“Laras, kamu mau Ibu jodohkan sama anak Ibu?” tanya wanita terhormat yang menjadi langganan tempat laundry-ku itu.Tentu saja aku terkejut. Apa dia sedang menggodaku karena setiap mengantar baju mereka, aku selalu terkesima memandangi putranya? Apa wanita itu tahu bahwa diam-diam aku mengagumi anaknya? Menjodohkan kami, mungkinkah? Ah, itu terlalu ajaib.Keajaiban adalah suatu kejadian yang langka, yang sangat ganjil dan aneh sehingga mustahil terjadi. Keajaiban adalah suatu peristiwa yang sulit diterima akal, tetapi nyata adanya. Bagaimana aku bisa mengalami keajaiban?Berdoa memiliki suami tampan saja tak pernah! Apalagi ini tampan dan kaya! Sungguh kombinasi yang langka. Sekalipun ada, makhluk seperti itu tentu sudah ada yang punya. Tak mungkin bersanding denganku yang papa. “Bukan, ini bukan keajaiban, ini candaan!” Karena mengira, nyonya dermawan itu hanya bercanda, maka aku pun menjawab bercanda.“Siapa yang tidak mau, Bu. Bahkan wanita buta tak akan menolak keberuntungan itu,”
Seseorang menggoyangkan tubuhku dengan halus. Aku menggeliat. Melihat sekeliling. Ah, ternyata aku ketiduran di kamar Mas Danu sambil memeluk fotonya. Mbok Minah melihatku dengan tatapan prihatin.“Ada apa, Mbok?”Ia mengangsurkan air putih. “Minum dulu ya, Bu.”Sikapnya membuatku heran dan bertanya-tanya. Ada apa sampai dia mencariku ke lantai atas? Bahkan menawarkan minum. Firasat buruk membuatku takut.“Ada apa, Mbok. Katakan?” Jangan-jangan Adam atau Hawa? “Anak-anak di mana?”“Mereka sudah tidur, Bu. Ditemani para nanny (pengasuh),” jelasnya.“Kenapa Mbok cemas begitu?” Kuperhatikan ia memilin-milin daster batiknya yang warnanya masih bagus. Meski sudah kepala lima, tetapi ia tergolong rajin beli daster setiap ke pasar. Atau jangan-jangan bapak mertuaku?“Saya disuruh ngasih tahu ibu kalau Pak Danu ... ia di rumah sakit.”Ha? Berita macam apa itu? “Siapa yang bilang, Mbok?” Aku masih sulit percaya. Sakit apa dia? Setahuku Mas Danu sangat sehat.“Tuan Besar, Bu. Barusan!”Tanpa me
“Danu sudah beristri! Ia punya kewajiban untuk menjaga hati istrinya!”“Aku tidak peduli! Jika dia sadar nanti, aku tak ingin Anda atau siapa pun menghalangi kami untuk bersama!” tekad Sekar tak mau diganggu gugat.“Baiklah, serahkan itu padanya! Jika dia sadar nanti, aku tak akan ikut campur lagi! Terserah dia, asal dia selamat,” jawab mertuaku.Terkoyak-koyak mendengarnya. Lemas seluruh raga.Jika dia sadar nanti.Jika dia sadar nanti.Jika dia sadar nanti.Kalimat itu terus menggema di relung kalbu. Jika dia sadar nanti, apa yang akan terjadi?Tak punya keberanian untuk terlibat di sana, aku melangkah gontai ke ruang tunggu.Air mata terus meluncur jatuh. Orang-orang melihat dengan penasaran, tapi tak kuhiraukan. Mungkin mereka mengira, aku menangis karena mengidap penyakit berat, atau kerabat ada yang terserang penyakit ganas. Bukankah banyak orang yang menangis di rumah sakit? Aku hanya salah satunya.Biarlah kulepaskan tangis, karena aku tak bisa berhenti menangis. Sekeras apa p
Mata pria tua itu bagai kuburan. Hilang bintang-bintang yang kemarin terlihat terang. Tubuhnya bergetar. Terlihat bersandar di bangku dingin, menunggu ruang operasi terbuka dan seseorang berbaju putih di sana mengatakan bahwa anaknya baik-baik saja.Sedangkan wanita itu, ia melihatku dengan api permusuhan. Bisa kulihat kebencian yang menyorot tajam membakarku.“Ini semua gara-gara kamu!” bentaknya marah. Ia berdiri dan menarik bajuku. “Keegoisanmu mencelakakan orang! Masih berani kamu di sini. Hah!” Ia mengguncang-guncang tubuhku. Menolak kehadiranku di sini. Mike yang sedari tadi mengikutiku segera menarik tubuh Sekar menjauh.“Jaga perilakumu!” perintahnya pada Sekar yang masih memaki-maki seperti kerasukan, “atau aku akan menyeretmu menjauh dari sini.”“Siapa kamu, berani menyeretku, Hah!” Wanita itu balas memukul-mukul tubuh Mike. Akan tetapi, Mike tak bergeming. Mungkin baginya, pukulan wanita itu tak berasa apa-apa. Hingga Sekar sendiri yang kelelahan dan memegangi perutnya. “Ad
“Pak, dokter ingin bertemu dengan wali pasien. Mungkin Anda harus bergegas ke sana untuk menandatangani beberapa persetujuan.” Mike muncul membawa informasi. Mas Danu sudah dibawa ke kamar rawat inap, tetapi sejak operasi ia belum sadarkan diri. Masih terbaring dengan aneka alat medis menancap di tubuhnya.Sekar melempar pandangan permusuhan pada Mike. Sedangkan Mike, melempar pandangan iba padaku. Aku sendiri tak berani menatap siapa-siapa. Terasa perih melihat perut Sekar. Menerka-nerka berapa usia kandungannya. Mungkin tiga sampai empat bulan.Tak berani pula, sedikit saja, mencuri pandang pada Mike. Perasaanku berkata, telaga yang memancar dari tubuhnya bisa membuatku ingin menenggelamkan diri di sana. Terlebih saat ini, saat aku butuh seseorang untuk menjadi pendongkrak semangat.Kembali kuambil gawai. Membuka aplikasi Quran. Duduk di sisi Mas Danu yang terpejam. Melantunkan ayat-ayat suci untuk menenangkan hati.Sekar tak mau kalah. Segera mengambil kursi dan duduk di sisi lain
Kuhela nafas, sabar. Saat ini posisiku tidak lebih kuat darinya. Aku membutuhkan Sekar untuk bisa bersimpati dan berbagi informasi. “Tolong, jangan begitu padaku. Hapuskan kebencianmu. Kita di satu posisi saat ini. Aku istrinya, kamu juga. Kita harus kompak demi kesembuhan Mas Danu.”Ia menggeleng. “Tidak. Mas Danu bukan kue yang bisa dibagi-bagi dengan adil dan merata. Aku tak akan membiarkan Mas Danu terus dilema. Jangan ganggu kami. Biarkan kami merawat cinta kami tanpa perlu memandang ke belakang.”Apa yang kutakutkan akhirnya jadi kenyataan. Inilah keinginan Sekar. Mungkin juga keinginan Mas Danu saat sadar nanti. Perpisahan tanpa perceraian.“Jangan rampas hak anak-anak atas ayahnya, Sekar! Kamu juga akan jadi ibu. Apakah kamu rela jika anak-anakmu kehilangan kasih dari ayahnya?”“Anak? Atas nama anak selama ini kamu menahannya?” cibirnya sinis. “Hey, hiduplah untuk dirimu sendiri. Anak atau orangtua, tak ada yang berhak mengatur hidup kita! Jangan libatkan orang lain untuk meng
“Bagaimana perasaanmu sekarang?” tanya beliau mengusikku. Mataku sedari tadi hanya memandangi susu hangat yang berubah dingin karena tak segera kuminum.Pertanyaan mertua membuat otakku berpikir keras. Bagaimana cara menyampaikan isi hatiku tanpa terkesan emosi? “Saya cemburu.” Hanya itu? Tidak, bukan hanya itu yang ingin kusampaikan padanya. “Saya juga ingin dicintai sebesar cinta Mas Danu untuk wanita itu.” Pertama kalinya aku berkata jujur di hadapannya. Spontan. Keberanian itu datang karena aku mengira sedang berbicara pada gelas di hadapanku yang sedari tadi kupandangi. Tak sekalipun kudongakkan muka untuk melihat langsung wajahnya, sekalipun hanya satu kerutan.“Cinta yang belum mati, menumbuhkan rasa penasaran. Rasa penasaran mendorong seseorang untuk bertualang. Danu sedang bertualang. Mungkin ia akan pulang padamu atau malah tinggal bersama surga baru yang ia temu.”Dadaku terasa kian sesak. Ada gumpalan emosi yang membebani.“Perasaan cinta tidak bisa dipaksakan. Kadang
“Mbak, mau kuliah? Sungguhan?” tanya Caca tak percaya bahwa keinginan itu keluar dari diriku sendiri.“Hem ....” Dibantu atau tidak dibantu olehnya, aku akan tetap mengambil kesempatan itu. Seperti kata mertuaku, aku harus mencintai diriku sendiri. Toh, cinta yang kuyakini, yang membuatku rela mati rasa, telah tiada. Tak ada akses ke sana. Aku sungguh buta!‘Bebaskan dirimu!’ ucapan wanita jahat itu seolah racun yang terus meremas-remas ingatan.Jadi aku tahanan di matanya? Atau budak?‘Ikhlaskan jika jodohmu dengan Danu tak panjang. Ubah dirimu menjadi wanita yang gemilang!’ Nasihat terakhir mertuaku berputar ulang.Jadi aku wanita yang suram? Wanita yang tak layak diperhitungkan!“Rekomendasikan padaku, klinik skincare yang bagus. Aku ingin memiliki kulit yang kencang dan bersinar seperti kulitmu,” pintaku di lain waktu pada Caca. Satu-satunya pihak keluarga yang masih bisa kumintai tolong. Tentu saja, lepas dari urusan Mas Danu, karena ia mengaku juga tak tahu.Entah, mengapa aku m