”Jasmine! Kenapa hampir setiap hari bangun kesiangan? Malam kamu ke mana?” bentak Jessica sembari mencuci piring.
”Tidak, Ke mana-mana, Bu!”
”Itu lihat kelakuan, anakmu! Edward O’neil yang selalu kamu banggakan. Sekarang hanya bisa membuatku pusing saja!” Jessica marah dan berteriak kencang lagi. Leo menahan amarah lagi dan lagi, dia memijit kening yang mulai sakit.
”Apa sih, Bu? Jangan memanggil Ayah dengan suara keras seperti itu!” seru Jasmine lalu berdiri sambil menghentakan kaki.
”Sudah, Ibu! Jasmine ini masih pagi! Tolong redam emosinya. Jangan ada yang memulai pertengkaran lagi!” seru Leo geram sambil memegang tangan, dia mencegah Jasmine yang ingin pergi dari rumah.
”Percuma, Kak. Lepas! Aku mau pergi ke sekolah, tidak perlu mengantarku antar saja Julie, Kak!” serunya sambil mengambil tas di sebelah Julie. Julie hanya menutup telinga dan menangis menyaksikan pertengkaran ini.
”Jasmine, tunggu!” Leo mengejar tapi sayang Jasmine sudah berlari dengan kencang tidak bisa terkejar.
Jessica membencinya sejak Jasmine lahir. Entah kenapa? Entah alasan apa? Apa karena mata ini? Tidak ada lagi kehangatan keluarga. Jasmine melamun selama perjalanan ke sekolah. Dari arah depan terdengar suara mobil mengklakson keras, dia langsung melompat untuk menghindari kecelakan itu. Dia terhempas keras sampai berguling-guling. Dia terkejut melihat lutut dan siku penuh luka goresan.
”Kamu, tidak apa-apa? Kenapa ada di tengah jalan seperti itu?” tanya pria yang panik melihat kejadian itu.
”Maaf. Aku tidak sadar, sudah di tengah jalan! Hanya luka tergores saja,” lirih Jasmine menahan rasa sakit.
”Oh, begitu. Beruntung sekali, Nak! Kalau saja kamu tidak menghindar, entah apa yang akan terjadi. Jangan di ulangi lagi, ya. Berhati-hatilah.” Nasihat Pak Supir.
”Iya, Pak! Maaf sekali lagi maaf,” jawab Jasmine sambil membungkukkan badan.
Jasmine dikerumuni banyak orang, semua orang menatap dengan aneh karena bisa selamat dari kecelakan itu. Jasmine hanya bisa menundukan kepala sambil berlari pergi. Namun, tidak jauh dari kerumunan itu. Dia merasakan ada seseorang yang tidak asing. Tiba-tiba mata ini mulai melihat jauh menembus seperti menerawang.
"Mataku sakit sekali!" lirih Jasmine. Dalam penglihatan itu sosok jubah hitam besar begitu jelas terlihat, merasa tidak percaya lalu lari secepat mungkin.
”Hah-Hah! Hah.” Jasmine kelelahan berhenti di jalan yang sepi.
”Maumu apa, hah! Selalu saja mengikutiku? Keluarlah, Pecundang!” Jasmine dengan suara lantang dan berteriak.
Wush! Wush!
Jasmine melihat sosok siluet hitam berjalan secara perlahan-lahan. Aneh, angin bertiup sangat kencang sampai debu dan dedaunan terbang ke sana kemari. Jasmine terbelalak sosok itu secepat kilat ada di depannya. Dia melangkah mundur. Melihat dengan seksama siluet itu hanya diam beberapa detik sudah ada di samping Jasmine.
“Pada waktunya, semua yang kamu tanyakan akan terjawab. Sekarang kamu hanya bisa meratapi takdirmu!“ bisik suara berat pria paruh baya memakai jubah hitam misterius.
Tubuh Jasmine kaku, napasnya tersengal-sengal. Dia merasakan tekanan hebat. Saat mencoba meliriknya, dia terkejut tidak bisa melihat wajah sosok berjubah itu. Ketika menghela napas panjang. Pria itu menghilang begitu saja. Jasmine lemas tidak percaya dan jatuh terduduk.
“Apa yang terjadi? Apa yang dimaksud, dengan meratapi takdirku?" keluh Jasmine. Dia hanya bisa menunduk dan menangis tersedu-sedu. Jasmine ingin sekali kepala dibenturkan ke bebatuan atau terjun dari tebing yang tinggi dan mati sia-sia agar melupakan semuanya.
“Tuhan apa rencana-Mu, untuk di kehidupanku sekarang dan selamanya?“ Jasmine memukul dada, hati teramat sakit tangan menarik kerah baju kemeja.
Dia merasakan sesak, kepala menunduk hingga dahi menyentuh aspal jalan. Jasmine menjambak rambut dan mengerang kesakitan. Dari kejauhan dua orang sahabat sejak kecil. Angellia Pierce dan Arthur Pierce, kembar tapi tidak seidentik dan teman satu kelasnya. Angellia melihat Jasmine dengan keadaan kacau lalu berlari menghampirinya.
”Jasmine! Kamu kenapa ada di jalan ini? Astaga ... apa yang terjadi di sini. Liat tangan dan kakimu terluka,“ tanya Angellia lalu mengangkat muka Jasmine sambil merapihkan rambut dengan tangannya.
”Kenapa? Ada yang mengganggumu, Jasmine?“ seru Arthur dan mengepal tangannya karena menahan marah.
”Angel, aku tadi kecelakanan di jalan pertigaan. Sesudah jalan ini dan aku dikejar sesuatu.” Jasmine memeluk Angellia.
”Siapa, Jasmine? Ceritakan saja,” tanya Angellia mengelus kepala Jasmine dengan perlahan.
“Angel, sebaiknya kita bercerita di sekolah saja! Ini sudah terlambat. Pokoknya kalau aku tau siapa dalangnya. Aku balas!” Arthur sangat marah.
”Entah, itu manusia atau bukan Arthur. Aku sangat ragu! Apakah kamu bisa membalasnya,” jelas Jasmine berusaha bangun dan merapikan baju.
Angellia dan Arthur saling bertatapan dengan bingung dan khawatir terhadap Jasmine. Mereka pun berjalan ke sekolah, ketika memasuki gerbang banyak orang yang melihat keadaannya yang kacau. Siswa-siswi sekolah menengah atas di Albert Schweitzer Erlangen-Jerman. Mereka memandanginya seperti menjijikan dan saling berbisik.
"Tiap hari pasti kaya gitu. Mau-maunya berteman sama orang gila!" Salah satu siswi yang sinis saat melihat mereka.
"Kalau gila, buat apa ke sekolah? Ya, masuk rumah sakit jiwa dong!"
"Diam semuanya! Kalian yang gila!" Arthur mendorong kerumunan, Angellia menarik kakaknya untuk cepat pergi dari sana.
”Jasmine, obati dulu lukamu! Nanti aku akan berbicara dengan guru. Kalau kamu ada di ruang UKS, ya?” perintah Arthur dengan senyum hangat.
”Iya, terima kasih Arthur,” sahut Jasmine sambil tertatih-tatih berjalan menuju ruangan UKS bersama Angellia.
”Angel, temani Jasmine, ya? Nanti kita berbicara empat mata.” Angellia hanya membalas anggukan.
Arthur berjalan menuju kelas, dalam lamunannya sambil duduk di bangku paling belakang, kedua tangan yang menopang dagu dan melihat jendela di sampingnya.
“Apa ini sudah semakin cepat? Membuat Jasmine menjadi ketakutan. Dia sangat cerdik dan licik. Apa Kak Leo sudah tau hal ini?“
Seketika, Arthur melihat sesosok jubah hitam. Arthur berlari keluar mengejar sosok itu. Berlari terus hingga ke bangunan di sebelah kelas, hanya jarak beberapa meter Arthur tidak bisa mengejarnya lagi. Si Jubah Hitam hilang begitu saja.
"Kenapa aku lemah, dalam hal berlari. Dia siapa? Berani-beraninya bisa dengan leluasa berkeliaran di bumi.”
Suara bel menandakan masuk kelas, Arthur dengan cepat berlari. Ketika sampai Arthur berbicara kepada guru bahwa Jasmine dan Angellia ijin satu mata pelajaran karena sedang ada di UKS. Ketika Jasmine dan Angellia sedang berbincang sambil mengobati luka, tiba-tiba mata hijau zamrud ini memberikan bayang-bayang sosok Edward yang berada di sampingnya.
“Dewa, apakah ini nyata?“ gumam Jasmine begitu terlihat jelas sosok itu tersenyum hangat. Dia pun menangis.
”Hei-hei, apa terlalu sakit. Sampai membuatmu menangis?” tanya Angellia menghentikan tangan yang sedang mengobati lutut.
”Bukan. Angel, luka ini tidaklah sakit bagiku."
"Sudah siap, Leo? Ingat, jangan ragu! Salah sedikit kita bisa adu tembak," pinta Sean yang sedang merapikan kemeja berdasi hitam itu, lalu memakai jaket coat panjang berwarna hitam. "Huh! Siap! Baiklah, aku paham. Tapi, jujur saja. Aku gugup, Kak Sean." Leo mengambil batu sihir dan menyerahkan satunya lagi ke Mayor. "Pasti, tapi tenang ada aku di sampingmu. Lakukanlah sesuai latihan kita tadi. Jangan lupa, aku jadi Steven dan kamu Lavier!" Sean mengambilnya sambil menjinjing tas kotak silver berisi uang banyak. "Hmm, oke-oke. Pengalaman pertama yang mendebarkan." Leo merapikan rambut blonde-nya dan memakai jaket coat pendek berwarna abu-abu. Lalu, menggunakan kacamata bertangkai emas. Mereka pun menggunakan mobil mewah yang sudah Sean sewa kemarin. Sean menggunakan cincin bermata biru dan Leo bercincin berlian dengan inisial L. Pakaian yang bermerek dari ujung leher sampai kaki menghiasi dua pria itu. Leo yang terus mengendalikan emosi dan ket
"Di mana ini? Perasaan aku tidur di sofa!" batin Leo yang syok melihat sekitarnya ada pohon pinus. "Di hutan? Tidak ada cahaya matahari! Kabutnya tebal juga," keluh Leo yang terus mengucek mata dan bangun. "Leo ... kemari ... Leo, sini kita main!" ajak suara gadis kecil dari arah samping Leo, tapi wujudnya tidak ada. Leo semakin tidak percaya melihat tangan yang mengecil. "Siapa kamu? Keluar! Hah, tubuhku mengecil?" teriak Leo yang meraba-raba tubuh tidak berotot itu. Dia seperti anak berumur 14 tahun. "Ayo, kita bermain petak umpet di sini. Leo ... lihat aku!" teriak gadis yang perlahan muncul di sampingnya dan merangkul tangan Leo. "Zena? Zena!" panggil Leo yang langsung menoleh dan menggenggam erat kedua bahu gadis itu. "Iya, lalu siapa lagi? Di sini hanya kita saja. Ayo, main." Zena yang masih muda dan cantik dengan rambut panjang berwarna putih. Dia tersenyum manis dan berjalan ke pohon pinus yang tinggi. "Ka
Leo yang mendengar teriakan itu langsung menoleh ke arah kerumunan. Saat Leo baru melangkah, ponselnya berdering dan melihat layar yang terpampang nama Jasmine. Sang kakak baru ingat sudah dua hari tidak menghubungi Jasmine. Leo yang hanya melihat kerumunan tadi langsung bubar. Dia hanya melihat wanita yang sedang di seret paksa pria paruh baya. Dia mengangkat telepon dan mendengar kemarahan Sang adik yang terus mengomel. Leo hanya terdiam dan tersenyum lebar, baru saja dua Minggu ditinggalkan sudah merindukan semuanya. Dia cekikikan yang membuat lawan bicaranya merengek dan mengeluh dengan jadwal latihan yang semakin sulit. Charless yang terus menyebalkan dan jahil. Tentu, keluhan soal Leo melanggar janjinya yang harus setiap hari berkomunikasi dengan Jasmine. "Oke-oke, maaf. Maaf, Sayang. Aku sibuk sampai lupa," jelas Leo yang melirik Sean yang masih memilih daging. "Kakak! Aku juga sibuk masih bisa kirim pesan dan menelepon tuh!" gerutu Jasmine yang istirahat
"Hah, terserah kamu saja. Aku paham! Tapi ... aku tidak bisa meninggalkan tempat ini!" seru Pedro yang terlihat cemas bila ikut melakukan pencarian bersama-sama. "Takut sama musuhmu? Atau kamu tidak ingin bertemu dengan Haden?" tanya Sean yang membuat Pedro terdiam. "Bukan, iya. Aku tidak bisa menatap wajah anak itu. Aku tidak sanggup." Pedro termenung mengingat kenangan lampau. Saat Pedro melepas tangan kecil Haden. Anak kecil yang merengek dan menangis kencang karena ditinggal pergi Pedro. "Kalau kamu menghindar terus. Haden akan semakin membencimu. Mau?" Sean menatap tajam Pedro yang menahan tangis. "Ingat, mungkin pertemuanmu yang sekarang akan membuat Haden marah besar." Sean menghela napas panjang. "Tetapi, kamu harus jelaskan alasannya agar kesalahan pahaman tidak terjadi lagi. Dia sudah besar sekarang pasti akan mengerti." Lanjut Sean sambil memanggil Leo untuk kembali ke kursi. "Kalau hal ini berat untukmu. Aku tid
Sean dan Leo jalan perlahan menyusuri anak tangga yang panjang ke bawah. Anak tangga yang berputar tanpa ujung, hawa mencekam dengan hanya di sinar satu cahaya di depan saja. Leo melihat ke bawah dan sampingnya hanya gelap gulita. Sean yang tetap fokus dan menajamkan instingnya. Dari kejauhan terdengar suara riuh orang-orang yang berjalan dan berbicara. Tiba-tiba diujung tangga itu cahaya tadi semakin bersinar menyilaukan mata. Sean dan Leo menutup mata, kedua pria itu syok diam diantara kerumunan orang yang sibuk bekerja di pasar lokal. Mereka bingung ada di mana, sayup-sayup terdengar suara bisikan, "ikuti anak panah itu." Suara pria nan dingin. Sean menolah ke tuannya dan saling mengangguk paham. Leo mencari anak panah yang dimaksud bisikan itu. Dia menemukan satu di dinding penjual ikan laut. Dia menarik Sean dan berjalan ke sana. Anehnya orang-orang di pasar itu tidak terganggu atau tidak melihat beradaan Leo dan Sean. Mereka saling melirik dan mengangkat bahu, berjal
"Hah, ranselnya berat sekali. Tante, Paman. Alat sihirnya kenapa banyak sekali?" keluh Leo yang memasukan alat sihir ke kantung ajaib yang diberikan Eleanor. "Ini pasti akan berguna. Karena kita tidak bisa membantu dengan cepat. Setidaknya benda-benda ini bisa menolongmu di situasi genting," jelas Elanor yang mengelus rambut Leo. "Nak, bawa obat-obatan medis ini. Komandan Tommy, memberitahu barang tambahanmu," ucap Serenity sambil terisak-isak menahan tangisnya dan menyodorkan kotak medis lengkap lalu dimasukan ke dalam ransel. "Oh, iya. Terima kasih, Tante dan Ibu Serenity. Kalian jangan menangis dong. Aku makin sedih." Leo menghampiri dua wanita dewasa yang tidak kuasa menahan tangisan. Leo memeluk erat kedua orang yang sudah dianggapnya sebagai ibu. "Aku akan baik-baik saja. Ada Kak Sean bersamaku. Kalian jaga kesehatan dan aku titip adik-adikku, ya. Kalau nakal pukul dan hukum mereka, oke." Leo mengecup kedua kening dan pipi Eleanor dan Serenity. Leo juga menghapus air mata m