“Hmm!! Jangan ... jangan!” seru Jasmine, sambil memegang leher, karena seperti ada yang mencekiknya hingga Jasmine meronta-ronta kesakitan.
“Aaargk!” teriak perempuan yang panik dan ketakutan sontak terbangun. Dia menoleh ke kiri dan kanan, Jasmine melihat adiknya yang berada di kasur depan.
”Huh! Untung aku tidak membangunkannya,” Jasmine menarik napas dalam-dalam sambil melihat muka dan sekujur tubuhnya yang bermandi keringat, melalui cermin.
Dia pergi ke kamar mandi untuk mengganti baju. Ketika melihat jam menunjukan pukul 02.00 AM dini hari, selalu tepat dia akan terbangun dan memimpikan hal sama. Kejadian tadi membuat Jasmine kehausan. Dia mengendap-endap keluar kamar untuk mengambil minuman di dapur yang berada di lantai satu.
”Sepertinya. Kak Leo sudah tidur,” gumam Jasmine sambil mengambil segelas air dan minum secara cepat.
"Kamu! Harus Mati!" Terdengar suara berat sangat seram.
Dia tersentak hampir menjatuhkan gelas yang ada di tangan. Perempuan berambut ikal panjang sepinggang itu, menoleh ke satu lorong menuju pintu halaman belakang. Tubuhnya gemetar dan menelan ludah sendiri. Lorong itu remang-remang, dari gorden yang terbuka masuk pantulan cahaya bulan. Dia perlahan maju, tangannya mencengkeram kuat ke baju. Mengintip di jendela, iris mata berwarna hijau zamrud pun mulai melihat jauh dan tajam. Dia mendekap mulut tak percaya atas penglihatannya. Ada sosok hitam besar dengan mata merah sedang mengintainya. Terdiam dalam beberapa saat, napasnya mulai tersengal-sengal serta suara jantung terdengar jelas. Sosok hitam itu mendekat. Dia jatuh terduduk, dua kakinya lemas. Banyak suara-suara seram yang semakin kencang. Dia menutup dua telinganya. Tiba-tiba ....
”Tidak. Lepaskan aku!! Lepaskan aku ...!” teriaknya dan memukul juga meronta-ronta sebisa mungkin melepaskan gengaman tangan itu.
”Hei! Jasmine ini aku! Kakakmu, Leo!” seru Leo sambil memegang muka adiknya dan mencoba menyadarkannya.
”Ka-Kak Leo benar ini, Kakak?” tanya Jasmine sambil memeluk erat Leo karena ketakutan.
”Ada apa Jasmine? Kenapa Kamu ada di sini, jam segini pula?” Leo bertanya memberikan pandangan bingung sambil membawa Jasmine ke ruang makan dan memberikannya segelas air putih.
”Entah Kak Leo, Aku juga bingung. Kenapa dengan diriku, pasti di jam segini terbangun dengan mimpi yang sama menakutkan, Kak!” lirih Jasmine menutup muka dengan kedua tangan.
Hanya kebingungan yang selalu hadir di kehidupan Jasmine, berujung menangis tersedu-sedu sangat teramat sakit sekilas mengingat ayahnya. Sang Ayah menjadi tumpuan selama dia menjalani takdir yang kejam ini. Sekarang, Leo menganti peran itu selalu melindungi, menyanyangi, dan mendengarkan semua kisah adiknya.
”Apa hal ini selalu terjadi? Sejak kapan kamu mulai merasakan ini?” tanya Leo dengan suara pelan, sambil memegang tangan Jasmine dengan lembut.
”Kak, maaf aku baru menceritakan hal ini. Karena bagaimana pun aku mencoba untuk melupakannya. Dan mencoba untuk tidak aku pedulikan,” tegas Jasmine sambil menghela napas dalam-dalam.
”Sudahlah, Jasmine mungkin kamu memerlukan sedikit waktu. Untuk menceritakan hal ini. Sekarang, kamu kembali tidur, karena besok masuk sekolah!" perintahnya, sembari mengelus rambut silver itu dengan lembut. Dia hanya tersenyum dan memeluk Leo. Hanya ada kata ‘terima kasih’ telah hadir dikisah kehidupannya ini.
”Iya, Kak Leo! Tapi masih takut untuk kembali tidur. Seperti ada yang menginginkanku, mengejarku, dan membunuhku,” murka Jasmine secara refleks memegang kepala dan mengacak-acak rambutnya.
”Hei ... Hei! Hentikan jangan seperti ini! Tolonglah. Ingat Ayah, kalau melihatmu dengan keadaan ini. Pasti akan merasa sedih juga,” jelas Leo memegang tangan dan merapikan rambut Jasmine.
Mengingat pesan ayahnya 'Ketika merasa terancam, gelisah, ketakutan ingatlah Ayah selalu ada di sampingmu. Dan bawalah selalu benda ini, benda yang akan memancarkan cahaya abadi yang akan mengalahkan kegelapan.' Dengan perlahan menarik napas menguatkan dirinya untuk melawan ini semua.
”Hmm ... benar. Kata Kakak, maafkan aku mungkin masih terguncang. Kak Leo apa masih ingat dengan ceritaku. Setelah Ayah meninggal, Beliau memberikan benda seperti kalung?” tanya Jasmine dan menatap dengan serius.
”Iya, Kakak pasti mengingatnya. Sekarang cobalah, untuk tenang gunakan kalung itu agar kamu merasa nyaman. Dan secara perlahan akan tertidur,” pinta Leo meyakinkan Jasmine.
”Baik, Kak.” sahut Jasmine sambil masih memegang gelas di tangan dan secepat mungkin menghabiskannya. Leo mengantarkannya ke kamar.
”Selamat malam adikku, besok kita bicarakan semuanya, oke?” pinta Leo dan memeluknya dengan erat.
”Iya Kak Leo, selamat malam juga. Pasti akan aku ceritakan semua.”
Jasmine menuju ke kasur yang terlihat nyaman. Terdiam sejenak mengingat benda peninggalan ayahnya. Dia mulai mencari kunci, sudah lama tidak membukanya semenjak kepergian sosok penting di keluarga. Jasmine dapat kunci itu langsung membuka laci di lemari. Dia melihat sebuah kotak penuh ukiran unik terbuat dari kayu tua. Terbukalah kotak itu, perempuan cantik itu melihat benda yang tidak asing lagi sebuah kalung indah berwarna metalik berbatu zamrud hijau yang hampir sama dengan warna kedua matanya. Dia tersenyum sambil memakai kalung, melihat jendela di depan kasur perlahan mulai menutup mata.
“Hah! Tolong, pergilah,“ batin Jasmine saat melihat sosok itu yang terus mengikutinya, tetapi mata ini sudah tidak mampu lagi menahan rasa kantuk akhirnya tertidur pulas.
Ketika pagi menjelang.
”Kak Jasmine! Bangun, Kak! Bangun, sudah pagi ayo ... ke sekolah!” seru Julie sambil mengoyang-goyangkan tubuh Jasmine yang sulit untuk bangun.
”Hmm ... iya-iya! Aku bangun ini, bangun ko!” jawab Jasmine meregangkan seluruh badan. Julie pun geram dan mendorongnya untuk ke kamar mandi, secara cepat untuk berangkat sekolah.
”Kak Jasmine, lama sekali! Aku sudah lapar, Kak!” teriak anak bungsu yang mulai merengek sambil mengetuk pintu.
”Iya, ini sudah selesai. Cerewet.” Jasmine mencubit hidungnya perlahan.
Mereka berlari menuju ruang makan, tiba-tiba Jasmine menghentikan langkah saat melihat wanita paruh baya itu menatapnya penuh amarah dan benci. Jasmine memalingkan muka sambil berjalan, melihat Leo sudah ada di ruang makan cepat-cepat duduk dan makan bersama.
”Jasmine, ini sudah jam berapa, ayo! Cepat sarapan! Julie kamu juga,” perintah Leo.
”Siap, Laksanakan! Kak Leo.” Menjawab bersamaan dan akhirnya sarapan habis juga.
Jessica, wanita yang kulitnya mulai keriput dan wajah sangat terlihat letih itu terus menggerutu. Leo hanya bisa menatap hampa, wanita yang telah melahirkan mereka sudah tak sama lagi. Semuanya berubah total. Jasmine menepuk bahu Leo.
"Anak tak tahu diuntung! Udah diurus masih saja menyusahkan!" gertak Jessica sambil melempar kain lap ke lantai.
"Ibu, cukup! Aku cape!" teriak Jasmine hingga memukul meja makan.
"Tuh, liat kelakuannya itu Leo. Tidak pernah menghormatiku! Pernahkah dia menurut?" Lanjutnya sambil menunjuk-nunjuk ke arah Jasmine.
"Sudah, cukup! Ibu!" murka Leo yang menatap tajam wanita itu membuatnya tersentak dan membalikan badannya.
"Sudah siap, Leo? Ingat, jangan ragu! Salah sedikit kita bisa adu tembak," pinta Sean yang sedang merapikan kemeja berdasi hitam itu, lalu memakai jaket coat panjang berwarna hitam. "Huh! Siap! Baiklah, aku paham. Tapi, jujur saja. Aku gugup, Kak Sean." Leo mengambil batu sihir dan menyerahkan satunya lagi ke Mayor. "Pasti, tapi tenang ada aku di sampingmu. Lakukanlah sesuai latihan kita tadi. Jangan lupa, aku jadi Steven dan kamu Lavier!" Sean mengambilnya sambil menjinjing tas kotak silver berisi uang banyak. "Hmm, oke-oke. Pengalaman pertama yang mendebarkan." Leo merapikan rambut blonde-nya dan memakai jaket coat pendek berwarna abu-abu. Lalu, menggunakan kacamata bertangkai emas. Mereka pun menggunakan mobil mewah yang sudah Sean sewa kemarin. Sean menggunakan cincin bermata biru dan Leo bercincin berlian dengan inisial L. Pakaian yang bermerek dari ujung leher sampai kaki menghiasi dua pria itu. Leo yang terus mengendalikan emosi dan ket
"Di mana ini? Perasaan aku tidur di sofa!" batin Leo yang syok melihat sekitarnya ada pohon pinus. "Di hutan? Tidak ada cahaya matahari! Kabutnya tebal juga," keluh Leo yang terus mengucek mata dan bangun. "Leo ... kemari ... Leo, sini kita main!" ajak suara gadis kecil dari arah samping Leo, tapi wujudnya tidak ada. Leo semakin tidak percaya melihat tangan yang mengecil. "Siapa kamu? Keluar! Hah, tubuhku mengecil?" teriak Leo yang meraba-raba tubuh tidak berotot itu. Dia seperti anak berumur 14 tahun. "Ayo, kita bermain petak umpet di sini. Leo ... lihat aku!" teriak gadis yang perlahan muncul di sampingnya dan merangkul tangan Leo. "Zena? Zena!" panggil Leo yang langsung menoleh dan menggenggam erat kedua bahu gadis itu. "Iya, lalu siapa lagi? Di sini hanya kita saja. Ayo, main." Zena yang masih muda dan cantik dengan rambut panjang berwarna putih. Dia tersenyum manis dan berjalan ke pohon pinus yang tinggi. "Ka
Leo yang mendengar teriakan itu langsung menoleh ke arah kerumunan. Saat Leo baru melangkah, ponselnya berdering dan melihat layar yang terpampang nama Jasmine. Sang kakak baru ingat sudah dua hari tidak menghubungi Jasmine. Leo yang hanya melihat kerumunan tadi langsung bubar. Dia hanya melihat wanita yang sedang di seret paksa pria paruh baya. Dia mengangkat telepon dan mendengar kemarahan Sang adik yang terus mengomel. Leo hanya terdiam dan tersenyum lebar, baru saja dua Minggu ditinggalkan sudah merindukan semuanya. Dia cekikikan yang membuat lawan bicaranya merengek dan mengeluh dengan jadwal latihan yang semakin sulit. Charless yang terus menyebalkan dan jahil. Tentu, keluhan soal Leo melanggar janjinya yang harus setiap hari berkomunikasi dengan Jasmine. "Oke-oke, maaf. Maaf, Sayang. Aku sibuk sampai lupa," jelas Leo yang melirik Sean yang masih memilih daging. "Kakak! Aku juga sibuk masih bisa kirim pesan dan menelepon tuh!" gerutu Jasmine yang istirahat
"Hah, terserah kamu saja. Aku paham! Tapi ... aku tidak bisa meninggalkan tempat ini!" seru Pedro yang terlihat cemas bila ikut melakukan pencarian bersama-sama. "Takut sama musuhmu? Atau kamu tidak ingin bertemu dengan Haden?" tanya Sean yang membuat Pedro terdiam. "Bukan, iya. Aku tidak bisa menatap wajah anak itu. Aku tidak sanggup." Pedro termenung mengingat kenangan lampau. Saat Pedro melepas tangan kecil Haden. Anak kecil yang merengek dan menangis kencang karena ditinggal pergi Pedro. "Kalau kamu menghindar terus. Haden akan semakin membencimu. Mau?" Sean menatap tajam Pedro yang menahan tangis. "Ingat, mungkin pertemuanmu yang sekarang akan membuat Haden marah besar." Sean menghela napas panjang. "Tetapi, kamu harus jelaskan alasannya agar kesalahan pahaman tidak terjadi lagi. Dia sudah besar sekarang pasti akan mengerti." Lanjut Sean sambil memanggil Leo untuk kembali ke kursi. "Kalau hal ini berat untukmu. Aku tid
Sean dan Leo jalan perlahan menyusuri anak tangga yang panjang ke bawah. Anak tangga yang berputar tanpa ujung, hawa mencekam dengan hanya di sinar satu cahaya di depan saja. Leo melihat ke bawah dan sampingnya hanya gelap gulita. Sean yang tetap fokus dan menajamkan instingnya. Dari kejauhan terdengar suara riuh orang-orang yang berjalan dan berbicara. Tiba-tiba diujung tangga itu cahaya tadi semakin bersinar menyilaukan mata. Sean dan Leo menutup mata, kedua pria itu syok diam diantara kerumunan orang yang sibuk bekerja di pasar lokal. Mereka bingung ada di mana, sayup-sayup terdengar suara bisikan, "ikuti anak panah itu." Suara pria nan dingin. Sean menolah ke tuannya dan saling mengangguk paham. Leo mencari anak panah yang dimaksud bisikan itu. Dia menemukan satu di dinding penjual ikan laut. Dia menarik Sean dan berjalan ke sana. Anehnya orang-orang di pasar itu tidak terganggu atau tidak melihat beradaan Leo dan Sean. Mereka saling melirik dan mengangkat bahu, berjal
"Hah, ranselnya berat sekali. Tante, Paman. Alat sihirnya kenapa banyak sekali?" keluh Leo yang memasukan alat sihir ke kantung ajaib yang diberikan Eleanor. "Ini pasti akan berguna. Karena kita tidak bisa membantu dengan cepat. Setidaknya benda-benda ini bisa menolongmu di situasi genting," jelas Elanor yang mengelus rambut Leo. "Nak, bawa obat-obatan medis ini. Komandan Tommy, memberitahu barang tambahanmu," ucap Serenity sambil terisak-isak menahan tangisnya dan menyodorkan kotak medis lengkap lalu dimasukan ke dalam ransel. "Oh, iya. Terima kasih, Tante dan Ibu Serenity. Kalian jangan menangis dong. Aku makin sedih." Leo menghampiri dua wanita dewasa yang tidak kuasa menahan tangisan. Leo memeluk erat kedua orang yang sudah dianggapnya sebagai ibu. "Aku akan baik-baik saja. Ada Kak Sean bersamaku. Kalian jaga kesehatan dan aku titip adik-adikku, ya. Kalau nakal pukul dan hukum mereka, oke." Leo mengecup kedua kening dan pipi Eleanor dan Serenity. Leo juga menghapus air mata m