Share

Bab 4 - Lelucon Aneh

"Pfft! Haha, apa kamu sedang membuat lelucon, Al. Lucu sekali."

Tawa Naila pecah seketika. Apa dia tidak salah mendengar tadi jika Ali mengatakan dirinya adalah seorang CEO. Walau Naila tak tamat sekolah. Tapi, dia sedikit mengetahui istilah-istilah sebutan tersebut. Setahunya kepanjangan CEO adalah chief executive officer, jabatan tertinggi dalam sebuah perusahaan.

Naila tak mempercayai perkataan Ali barusan.

"Jadi kamu mengatakan aku berbohong begitu?" Dengan mengangkat sedikit alis matanya, Ali bertanya.

Suara Ali terdengar dingin, membuat tawa Naila menghilang seketika. Dia melempar senyum hambar setelahnya. Naila diterpa kebingungan. Apa harus mempercayai Ali atau tidak. Lihatlah saja, rumah dan penampilan Ali tak mencerminkan Ali adalah seorang CEO. Belum lagi, Ali tinggal di rumah bambu, ukurannya lebih kecil dari rumah Mamanya. Namun, dari kedua mata Ali tak ada kebohongan yang tersirat. Pria itu seakan menegaskan jika yang dikatakannya tadi adalah benar.

Hening sesaat. Suasana mendadak mencekam.

Naila memeluk sendiri tubuhnya kala angin malam mulai masuk melalui sela-sela jendela rumah. Dia tampak salah tingkah, mendapat tatapan tajam dari Ali sekarang. Secara perlahan Naila menundukkan wajah dan tak berani menyanggah perkataan suaminya lagi dan berharap Ali tak menyiksanya.

Pandangan Ali masih tertuju pada Naila. Sedari tadi kedua matanya tak berkedip, memperhatikan reaksi Naila.

"Kalau kamu tak percaya. Ya sudah, yang terpenting aku sudah memberitahumu, Nai." Ali memecah keheningan malam tiba-tiba.

"Maaf, Ali. Aku tak bermaksud, iya aku percaya kalau kamu adalah seorang CEO." Lain di mulut, lain di hati, Naila berusaha menyenangkan hati Ali. Dia tak mau Ali naik pitam lalu melampiaskan kemarahan padanya nanti.

"Hm, iya. Sudahlah, lebih baik kamu beristirahat ke kamar, hari sudah malam, Nai," balas Ali.

Naila mengangguk pelan. Kemudian bangkit berdiri dan memberanikan diri, menatap Ali.

"Kamu juga tidur Al, besok kamu juga akan membajak sawah, 'kan? Susullah aku ke dalam."

"Iya, kamu tenang saja. Aku akan tidur di sini," ucap Ali.

"Kamu tidak tidur ke dalam, Al?" tanya Naila.

Seringai tipis terukir di wajah Ali seketika. "Apa kamu mau menghabiskan malam pertamaku bersamaku, Nai?" Bukannya menjawab pertanyaan Naila. Ali malah balik bertanya.

Mata Naila terbelalak. Dia membekap mulutnya sendiri. Baru menyadari perkataan yang ia lontarkan tadi. Seharusnya dia tahu diri, mana ada pria yang mau menyentuh tubuhnya ini. Naila tak menyadari pipi kanannya merah merona sekarang.

"Sudahlah, Nai. Masuklah ke dalam. Tenanglah aku tidak akan meminta hakku, lagipula kamu pasti keletihan."

Naila reflek menganggukkan kepala. Iya, dia memang lelah karena kemarin mendekorasi sendiri ruang tamu Mamanya untuk dipakai akad nikah hari ini. Meski hanya menikah sederhana. Tapi, dia tak mau melewatkan momen istimewanya.

"Iya, Al. Besok aku akan membuat kamu bekal, tak apa, 'kan?" Naila akan mulai belajar menjadi istri yang berbakti pada sang suami mulai besok.

"Iya, terserah kamu saja, Nai." Kemudian Ali mengalihkan pandangannya ke arah jendela seketika.

Setelah mendengar jawaban sang suami. Naila mengayunkan kakinya menuju kamar Ali. Sesampainya di dalam, Naila melangkah perlahan mendekati ranjang munggil yang sudah tampak lusuh. Kemudian dia duduk di tepi ranjang dan mengedarkan pandangan di sekitar. Walau kecil namun ruangan terlihat bersih. Terdapat lemari kecil di sudut ruangan dan sebuah jendela di sisi kanan.

"Besok adalah hari baru untukmu, Nai. Jadilah istri yang baik. Jangan membuat Ali marah denganmu," gumamnya, sambil tersenyum kecil.

*

*

*

Menjelang pagi. Suara kokok ayam membuat tidur Naila sedikit terusik. Naila melenguh pelan seketik. Secara perlahan-lahan ia membuka kelopak matanya dan hampir saja dia menjerit karena langit-langit kamar begitu asing bagi Naila. Akan tetapi, Naila baru saja tersadar jika sekarang sudah tinggal di rumah suaminya.

"Bodoh sekali kamu, Nai," desisnya pelan sambil duduk perlahan di atas kasur. Mata Naila berpendar sejenak di ruangan. Melihat tak ada tanda-tanda Ali masuk ke dalam ruangan.

Naila tersenyum getir. Semalam dia bermimpi Ali masuk ke dalam kamar. Akan tetapi, itu hanyalah mimpi, tak mungkin pula Ali masuk ke kamar. Namun, mimpi indahnya semalam membuat Naila tidur nyenyak.

Di dalam mimpinya, Ali memeluk tubuhnya dari belakang. Entah mengapa pelukan itu sangat hangat hingga membuat Naila tersenyum sendiri dan hatinya berbunga-bunga.

"Sadarlah, Nai!" Naila menabok pelan keningnya seketika, berusaha mengusir pikiran nakalnya. Dia pun beranjak dari ranjang dan melangkah pergi keluar hendak menemui Ali.

"Ali?" panggil Naila sembari menelisik keberadaan Ali di ruang depan.

Tak ada sahutan, dahi Naila mengernyit samar.

"Ke mana dia? Apa Ali sudah berangkat ke sawah?" ucapnya pada diri sendiri. Karena tak mau menerka-nerka, Naila memutuskan pergi ke dapur. Siapa tahu saja Ali berada di dapur.

"Ali." Sekali lagi Naila memanggil nama sang suami. Namun, tak ada jawabannya. Langkah kaki Naila terhenti ketika melihat secarik kertas di atas lemari kecil di dapur. Secepat kilat Naila menyambar benda tipis tersebut dan membacanya dengan seksama.

'Aku ada di sawah sekarang. Beristirahatlah di rumah, Nai. Jangan pergi ke mana-mana.'

Begitulah kalimat yang tertera di selembar kertas tersebut. Naila menghela napas pelan sebab di hari pertamanya sebagai seorang istri. Dia tidak menyiapkan sarapan untuk sang suami. Namun, Naila akan membuatkan Ali bekal makan siang dan akan mengantarnya ke sawah. Dia pun memutuskan untuk mandi dan bergegas memasak ke dapur.

Siang hari. Sesuai rencananya, Naila pergi menuju sawah sambil membawa rantang makanan.

Di tengah-tengah hamparan sawah membentang, Naila mengayunkan kakinya dengan lincah. Tak sabar ingin cepat-cepat datang ke sawah. Sedari tadi, Naila tak berhenti tersenyum kecil, tengah membayangkan Ali menyantap makanannya dengan lahap nanti.

"Gila kamu, Nai. Senyam-senyum sendiri," ucap seseorang dari samping.

Naila tersentak ketika melihat Rani berada di sampingnya. Langkah kakinya pun terhenti seketika.

"Rani, kenapa kamu ada di sini?" tanya Naila. Dia hapal betul perangai Rani yang tak mau keluar siang hari. Rani selalu beralasan jika terkena panas matahari bisa membuat kulitnya menghitam.

"Apa?!" Rani berkacak pinggang sembari melototkan mata. "Memangnya aku tidak boleh berjalan-jalan?" tanyanya.

"Bukan begitu, Rani. Hanya saja—"

"Sudahlah, tak usah banyak berbicara, mentang-mentang sudah menjadi istri orang lain, kamu sudah berani denganku hah!" Rani langsung memotong pembicaraan Naila.

Raut wajah Naila berubah drastis menjadi dingin. "Berani apa maksudmu, Rani? Kamu lebih muda dariku! Seharusnya aku yang marah denganmu, dari dulu kamu tak pernah menghormatiku sebagai orang yang lebih tua darimu!" balasnya sambil menatap balik Rani.

Selama ini Naila sudah cukup bersabar. Dia tak tahan lagi, sebab Rani selalu memperlakukannya semena-mena. Padahal umur Rani jauh lebih muda darinya.

Rani mulai tersulut emosi. Matanya melotot tajam, seakan bisa keluar dari tempatnya. Rahangnya mengeras, amarah terpancar jelas dari bola matanya.

"Dasar jelek dan tak tahu diri!" seru Rani sambil mendorong kasar tubuh Naila.

Naila terduduk di tanah, hingga rantang berisi makanan Ali pun ikut terjatuh dan berserakan.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status