Share

Bab 3 - Menikah Tanpa Cinta

'Kalaupun aku menolak, tidak akan bisa, 'kan. Lagipula perjodohan ini sudah di atur Mamaku.'

Naila hanya dapat melontarkan kata-kata itu di dalam hatinya. Dia mengangguk pelan, sebagai tanda mengiyakan perkataan Ali. Setelah bergelut dengan pikirannya tadi. Naila memutuskan menerima perjodohan tersebut. Lebih baik serumah dengan orang tak di kenal, daripada harus tinggal di rumah Mama tirinya yang seperti neraka.

"Baguslah, kamu akan tinggal di rumah kecilku nanti, dan aku tak bisa menjanjikan cinta untukmu," lanjut Ali lagi.

'Iya, aku tahu itu. Laki-laki mana yang mau mencintai wanita jelek sepertiku ini.'

Sekali lagi Naila menganggukkan kepala. Ingin sekali ia bertanya, mengapa Ali mau menikah dengannya. Namun, Naila mengurungkan niatnya ketika melihat sorot mata Ali yang menyeramkan, menurutnya. Padahal Ali tak menunjukkan ekspresi sama sekali saat ini.

"Apa ada lagi yang mau kamu tanyakan?"

"Tidak ada." Naila menggeleng cepat dan menatap dalam bola mata Ali. Walau rambut Ali panjang dan rahangnya ditutupi sebagian bulu-bulu lebat. Tapi, Naila dapat merasakan jika Ali memiliki wajah yang tampan.

***

Esok paginya, kini status Naila dan Ali sudah berubah menjadi pasangan suami-istri. Tadi pernikahan telah diadakan dengan sangat sederhana di rumah Mirna dan hanya dihadiri Mirna, Rani dan beberapa orang saja.

Naila sempat bertanya pada Ali ke mana orangtuanya. Namun, Ali tak memberi jawaban. Setelah itu, Naila tak lagi bertanya. Dia tak mau sampai membuat Ali kesal. Walau tampang Ali menyeramkan, tapi, sampai saat ini Ali memperlakukannya dengan baik.

"Selamat ya! Kami harap kamu segera punya anak, Nai," ucap Mirna, melempar senyum palsu.

Rani tertawa remeh. "Ma, jangan aneh-aneh deh." Lalu berbisik pelan di telinga Mirna. "Memangnya mereka bisa berhubungan badan. Aku yakin Ali pingsan melihat tubuh jelek Naila."

Mirna tertawa sejenak, menanggapi perkataan Rani. "Shftt, diamlah," balasnya kemudian.

Naila enggan menanggapi perkataan mama dan saudara tirinya itu. Dia malah melirik Ali di samping. Ali pun tak mengubris perkataan mereka. Pria itu hanya melayangkan tatapan datar seperti biasanya.

"Ayo, kita pulang ke rumahku," sahut Ali seketika. Saat sudah berada di luar rumah Mirna.

"Apakah rumahmu jauh, Ali?" Naila amat penasaran dengan letak rumah Ali. Pasalnya kemarin Mamanya mengatakan rumah Ali di ujung desa.

"Hm, lumayan. Ayo." Ali melangkah maju ke depan. Meninggalkan Naila yang masih mematung sejenak di tempat.

Melihat punggung Ali bergerak menjauhi, Naila buru-buru mengangkat tasnya kemudian mengekori Ali dari belakang. Dia sedikit kesusahan berjalan karena harus mengikuti gerakan langkah kaki Ali yang lebar itu.

Selang beberapa menit, Naila sudah sampai di gubuk bambu berukuran kecil. Naila menghentikan gerakannya kaki seketika. Dengan napas tersengal-sengal ia meletakkan tasnya ke tanah, lalu memandangi rumah yang akan menjadi tempat tinggalnya nanti.

Seulas senyum mengukir indah di wajah Naila. Walau kecil, tapi setidaknya tak ada lagi suara cacian orang-orang berdengung di telinganya. Dia berharap dapat menjadi istri yang baik. Meski menikah tanpa dasar cinta. Tapi, Naila tak peduli sama sekali.

"Naila, masuklah! Kenapa kamu berdiri di situ?" Ali berdiri di dekat pintu rumah. Sedari tadi, secara diam-diam memperhatikan tingkah laku Naila.

"Eh i—iya, maaf, Al!" Lamunan Naila membuyar. Satu tangannya menyambar cepat tas hitamnya itu dan melangkah tergesa-gesa, memasuki rumah kecil milik Ali.

*

*

*

Malam pun tiba. Rumah Ali sudah disinari lampu-lampu temaram. Kini, pria itu tak lagi tinggal seorang diri.

Saat ini, pengantin baru itu tengah menyantap makan malam. Baik Naila dan Ali tak ada yang membuka suara sedari tadi. Hanya terdengar bunyi cicitan serangga-serangga munggil bersenandung kecil dari luar rumah.

Naila mengunyah pelan nasi dan kangkung yang di masaknya tadi. Sambil sesekali curi-curi pandang ke arah Ali. Dia ingin bertanya, apakah rasanya enak atau tidak masakannya. Namun, Naila tak berani bertanya karena Ali tampak serius menyantap makanannya.

"Nai, selesai makan malam, ada yang mau aku sampaikan padamu nanti." Ali menatap Naila tiba-tiba.

Naila gugup kala matanya bertemu dengan mata Ali. Secepat kilat ia menundukkan pandangan dan membenarkan syal di atas kepala.

"I-ya, Ali. Tapi, aku mencuci piring dulu ya," Naila berkata tanpa menatap lawan bicara.

"Hm, iya, habiskanlah dulu makananmu, agar kamu cepat beristirahat juga." Ali meletakkan piringnya yang sudah kosong ke lantai lalu bangkit berdiri.

"Iya, Ali," sahut Naila.

Setelah membersihkan piring. Naila menghampiri Ali, yang duduk di ruang depan menghadap ke pintu rumah, tengah menunggu kedatangan Naila sedari tadi.

Saat melihat kedatangan Naila, Ali mematikan rokoknya seketika dan melempar puntung rokok melalui jendela rumah.

Dari jarak beberapa jengkal, Naila duduk perlahan berhadapan dengan Ali.

"Sudah selesai mencuci piringnya?" Ali membuka suara terlebih dahulu.

"Sudah Al," kata Naila sambil melihat lantai gubuk bambu itu. Dia tak berani menatap Ali.

"Karena kita sudah menjadi pasangan suami-istri sekarang, aku memiliki rahasia dan kamu perlu tahu itu, Nai."

Anggukan pelan sebagai balasan Naila. Dengan sabar dia menunggu apa yang ingin diutarakan Ali.

Sebelum menggerakkan bibirnya, Ali menarik napas panjang dan menghembuskannya perlahan-lahan. "Nai, sebenarnya aku ini CEO terkenal di ibu kota."

Naila reflek mengangkat wajahnya, menatap Ali dengan mata berkedip-kedip pelan.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status