'Kalaupun aku menolak, tidak akan bisa, 'kan. Lagipula perjodohan ini sudah di atur Mamaku.'
Naila hanya dapat melontarkan kata-kata itu di dalam hatinya. Dia mengangguk pelan, sebagai tanda mengiyakan perkataan Ali. Setelah bergelut dengan pikirannya tadi. Naila memutuskan menerima perjodohan tersebut. Lebih baik serumah dengan orang tak di kenal, daripada harus tinggal di rumah Mama tirinya yang seperti neraka."Baguslah, kamu akan tinggal di rumah kecilku nanti, dan aku tak bisa menjanjikan cinta untukmu," lanjut Ali lagi.'Iya, aku tahu itu. Laki-laki mana yang mau mencintai wanita jelek sepertiku ini.'Sekali lagi Naila menganggukkan kepala. Ingin sekali ia bertanya, mengapa Ali mau menikah dengannya. Namun, Naila mengurungkan niatnya ketika melihat sorot mata Ali yang menyeramkan, menurutnya. Padahal Ali tak menunjukkan ekspresi sama sekali saat ini."Apa ada lagi yang mau kamu tanyakan?""Tidak ada." Naila menggeleng cepat dan menatap dalam bola mata Ali. Walau rambut Ali panjang dan rahangnya ditutupi sebagian bulu-bulu lebat. Tapi, Naila dapat merasakan jika Ali memiliki wajah yang tampan.***Esok paginya, kini status Naila dan Ali sudah berubah menjadi pasangan suami-istri. Tadi pernikahan telah diadakan dengan sangat sederhana di rumah Mirna dan hanya dihadiri Mirna, Rani dan beberapa orang saja.Naila sempat bertanya pada Ali ke mana orangtuanya. Namun, Ali tak memberi jawaban. Setelah itu, Naila tak lagi bertanya. Dia tak mau sampai membuat Ali kesal. Walau tampang Ali menyeramkan, tapi, sampai saat ini Ali memperlakukannya dengan baik."Selamat ya! Kami harap kamu segera punya anak, Nai," ucap Mirna, melempar senyum palsu.Rani tertawa remeh. "Ma, jangan aneh-aneh deh." Lalu berbisik pelan di telinga Mirna. "Memangnya mereka bisa berhubungan badan. Aku yakin Ali pingsan melihat tubuh jelek Naila."Mirna tertawa sejenak, menanggapi perkataan Rani. "Shftt, diamlah," balasnya kemudian.Naila enggan menanggapi perkataan mama dan saudara tirinya itu. Dia malah melirik Ali di samping. Ali pun tak mengubris perkataan mereka. Pria itu hanya melayangkan tatapan datar seperti biasanya."Ayo, kita pulang ke rumahku," sahut Ali seketika. Saat sudah berada di luar rumah Mirna."Apakah rumahmu jauh, Ali?" Naila amat penasaran dengan letak rumah Ali. Pasalnya kemarin Mamanya mengatakan rumah Ali di ujung desa."Hm, lumayan. Ayo." Ali melangkah maju ke depan. Meninggalkan Naila yang masih mematung sejenak di tempat.Melihat punggung Ali bergerak menjauhi, Naila buru-buru mengangkat tasnya kemudian mengekori Ali dari belakang. Dia sedikit kesusahan berjalan karena harus mengikuti gerakan langkah kaki Ali yang lebar itu.Selang beberapa menit, Naila sudah sampai di gubuk bambu berukuran kecil. Naila menghentikan gerakannya kaki seketika. Dengan napas tersengal-sengal ia meletakkan tasnya ke tanah, lalu memandangi rumah yang akan menjadi tempat tinggalnya nanti.Seulas senyum mengukir indah di wajah Naila. Walau kecil, tapi setidaknya tak ada lagi suara cacian orang-orang berdengung di telinganya. Dia berharap dapat menjadi istri yang baik. Meski menikah tanpa dasar cinta. Tapi, Naila tak peduli sama sekali."Naila, masuklah! Kenapa kamu berdiri di situ?" Ali berdiri di dekat pintu rumah. Sedari tadi, secara diam-diam memperhatikan tingkah laku Naila."Eh i—iya, maaf, Al!" Lamunan Naila membuyar. Satu tangannya menyambar cepat tas hitamnya itu dan melangkah tergesa-gesa, memasuki rumah kecil milik Ali.***Malam pun tiba. Rumah Ali sudah disinari lampu-lampu temaram. Kini, pria itu tak lagi tinggal seorang diri.Saat ini, pengantin baru itu tengah menyantap makan malam. Baik Naila dan Ali tak ada yang membuka suara sedari tadi. Hanya terdengar bunyi cicitan serangga-serangga munggil bersenandung kecil dari luar rumah.Naila mengunyah pelan nasi dan kangkung yang di masaknya tadi. Sambil sesekali curi-curi pandang ke arah Ali. Dia ingin bertanya, apakah rasanya enak atau tidak masakannya. Namun, Naila tak berani bertanya karena Ali tampak serius menyantap makanannya."Nai, selesai makan malam, ada yang mau aku sampaikan padamu nanti." Ali menatap Naila tiba-tiba.Naila gugup kala matanya bertemu dengan mata Ali. Secepat kilat ia menundukkan pandangan dan membenarkan syal di atas kepala."I-ya, Ali. Tapi, aku mencuci piring dulu ya," Naila berkata tanpa menatap lawan bicara."Hm, iya, habiskanlah dulu makananmu, agar kamu cepat beristirahat juga." Ali meletakkan piringnya yang sudah kosong ke lantai lalu bangkit berdiri."Iya, Ali," sahut Naila.Setelah membersihkan piring. Naila menghampiri Ali, yang duduk di ruang depan menghadap ke pintu rumah, tengah menunggu kedatangan Naila sedari tadi.Saat melihat kedatangan Naila, Ali mematikan rokoknya seketika dan melempar puntung rokok melalui jendela rumah.Dari jarak beberapa jengkal, Naila duduk perlahan berhadapan dengan Ali."Sudah selesai mencuci piringnya?" Ali membuka suara terlebih dahulu."Sudah Al," kata Naila sambil melihat lantai gubuk bambu itu. Dia tak berani menatap Ali."Karena kita sudah menjadi pasangan suami-istri sekarang, aku memiliki rahasia dan kamu perlu tahu itu, Nai."Anggukan pelan sebagai balasan Naila. Dengan sabar dia menunggu apa yang ingin diutarakan Ali.Sebelum menggerakkan bibirnya, Ali menarik napas panjang dan menghembuskannya perlahan-lahan. "Nai, sebenarnya aku ini CEO terkenal di ibu kota."Naila reflek mengangkat wajahnya, menatap Ali dengan mata berkedip-kedip pelan."Pfft! Haha, apa kamu sedang membuat lelucon, Al. Lucu sekali."Tawa Naila pecah seketika. Apa dia tidak salah mendengar tadi jika Ali mengatakan dirinya adalah seorang CEO. Walau Naila tak tamat sekolah. Tapi, dia sedikit mengetahui istilah-istilah sebutan tersebut. Setahunya kepanjangan CEO adalah chief executive officer, jabatan tertinggi dalam sebuah perusahaan. Naila tak mempercayai perkataan Ali barusan."Jadi kamu mengatakan aku berbohong begitu?" Dengan mengangkat sedikit alis matanya, Ali bertanya. Suara Ali terdengar dingin, membuat tawa Naila menghilang seketika. Dia melempar senyum hambar setelahnya. Naila diterpa kebingungan. Apa harus mempercayai Ali atau tidak. Lihatlah saja, rumah dan penampilan Ali tak mencerminkan Ali adalah seorang CEO. Belum lagi, Ali tinggal di rumah bambu, ukurannya lebih kecil dari rumah Mamanya. Namun, dari kedua mata Ali tak ada kebohongan yang tersirat. Pria itu seakan menegaskan jika yang dikatakannya tadi adalah benar.Hening sesaat. Suas
"Shftt ...."Naila mengaduh kesakitan kala tulang ekornya membentur tanah.Rani melangkah cepat lalu menarik cepat syal putih Naila di atas kepalanya dan menjambak rambutnya seketika."Ahk! Lepaskan aku, Rani!" pekik Naila, sembari menahan rasa sakit di rambutnya. Dia berusaha memberontak. Namun, tak bisa kala Rani juga menginjak kuat kaki sebelah kirinya. Rasa sakit di kaki dan kepalanya semakin menjadi-jadi. Rani tersenyum licik. Ia sudah gelap mata dan gelap hati. Tak peduli dengan teriakan pilu Naila. "Dasar wanita jelek! Kamu berani denganku hah! Rasakan ini!" Rani semakin menarik kuat rambut Naila hingga Naila menitihkan air matanya."Lepaskan aku, Rani!" Naila berusaha bangkit berdiri."Haha! Tidak akan!" Seperti seorang psikopat, Rani tertawa terbahak-bahak, menganggap rasa kesakitan Naila adalah kesenangannya. Dia mendongakkan kepalanya ke atas sesaat sambil mengeluarkan tawa.Saat melihat ada celah, dengan sekuat tenaga Naila bangkit berdiri dan mendorong tubuh Rani sampai
"Haha!"Mendengar perkataan Ali barusan, suara tawa Rani dan penduduk desa pecah seketika. Mengabaikan tatapan Ali, Rani membuka suara tiba-tiba. "Ada-ada saja kamu, Ali! Teruslah berkhayal dan bermimpi, mana ada bos berpenampilan sepertimu! Kalian berdua sama-sama cocok! Satu buruk rupa, satunya lagi gila!" Rani tertawa kembali sambil berkacak pinggang."Benar Rani, sepertinya pria miskin ini gila. Berhentilah mengkhayal, Ali! Lebih baik bawa pergi istri jelekmu dari sawah, mata kami sakit melihat wajahnya itu!" Salah seorang pemuda yang sedang menonton pertengkaran antara Naila dan Rani tadi, menimpali seketika. "Iya! Bawa pergi sana istrimu itu! Tak usah membajak sawah! Mata kami semuanya sakit melihat pemandangan yang menjijikkan itu!" Pemuda yang menanam padi di sawah juga ikut mengeluarkan pendapat. Saat mendengar tanggapan mereka, mata Ali semakin melebar dan rahangnya pun mengeras. Sementara Naila menundukkan wajahnya. Dengan air mata masih mengalir deras dari pelupuk matan
Saat mendapat tatapan tajam dari wanita dan pria paruh baya di hadapannya, Naila langsung menundukkan pandangan. Ketakutan mulai menerpa hatinya dikala hawa di sekitar mulai terasa tak nyaman saat ini. "Ini istri Tuan Ali, namanya Naila. Tuan Ali sedang pergi ke kantor, Nyonya." Sebagai orang kepercayaan Ali, Santi mulai membuka suara. Walau rasa takut pun menderanya. "Istri?"Mendengar jawaban Santi, Anya Taamir—Mama kandung Ali, mengerutkan dahi."Iya Nyonya," sahut Santi, cepat.Untuk sejenak Anya melempar pandangan pada pria di sampingnya. Suara tawa tiba-tiba berkumandang di sekitar. Pasangan suami-istri itu tengah tertawa terpingkal-pingkal. Menganggap perkataan Santi barusan adalah sebuah lelucon. Saat Mendengar tawa yang tak asing ditelinganya, Naila masih bergeming, dengan rasa takut hinggap dihatinya sedari tadi. Tanpa berniat sekalipun menggerakkan kepala, Naila meremas ujung pakaiannya, cemas. "Haha! Astaga Santi, siang-siang begini kamu malah membuat lelucon, ada-ada
Naila tergugu, lidahnya sangat sulit digerakkan. Suara yang terdengar barusan memang benar Ali. Namun, mengapa penampilan Ali teramat berbeda. Ali menggenakan setelan jas berwarna hitam, rambutnya tampak pendek dan rapi, lalu tak ada lagi jambang panjang terlihat di rahangnya. Meski garis mukanya sama, tapi Ali tampak asing dimatanya sekarang. Masih duduk di atas lantai, Naila menundukkan wajah ke bawah. Mengabaikan rasa sakit yang menjalar di rambutnya.Sementara Anya, secara perlahan-lahan menurunkan tangannya dari kepala Naila. Lalu melipat tangan di dada, melirik ke arah Salman sesaat dan berkata,"Istri? Jangan aneh-aneh Ali! Apa kamu sedang mengarang cerita sama seperti Santi?" Anya dan Salman tertawa remeh sejenak, tak percaya akan perkataan putra bungsunya itu barusan.Ali enggan menyahut, berjalan cepat, menghampiri Naila dan mengulurkan tangannya. Mengabaikan kedua orang tuanya yang masih tertawa. "Nai, bangunlah!" Ali berkata dengan penuh penekanan, berharap Naila dapat s
Kembali ke dalam mansion, Naila dan Ali bergeming di tempat. Keduanya tengah berdiri menghadap ke arah pintu utama."Naila." Ali membalikkan badannya ke belakang seketika, melihat Naila masih menundukkan pandangan."Iya, Al," sahut Naila, memberanikan diri mengangkat wajah. "Kamu tak apa-apa, 'kan?" Ali menelisik keadaan tubuh Naila dari atas sampai ke ujung kaki, apakah ada yang terluka atau tidak.Naila menggeleng cepat dan berkata, "Tidak ada, Al, aku baik-baik saja." 'Tapi hatiku yang sakit, Al. Mengapa semua orang membenciku.' Naila hanya dapat melontarkan kalimat tersebut di dalam hatinya. Memikirkan penderitaannya yang tak kunjung habis.Kepergiannya ke ibu kota pun masih ada saja orang yang menyiksa dan mencaci makinya. Namun, sekarang Naila merasa senang sebab ada seseorang yang memperlakukannya selayaknya manusia, dialah Ali, suaminya sendiri. Meskipun Ali tampak asing di matanya kini. Oleh sebab itu, ketampanan Ali membuat Naila berkecil hati. Dia merasa tak pantas bersan
"Ahk! Tidak! Awas kamu, Ali!" Mirna menjerit histeris di depan rumahnya. Melihat para pria bertubuh besar dan bersetelan jas hitam mengobrak-abrik isi warungnya sekarang. Sepuluh menit lalu, Mirna yang sedang melayani pembeli di warung, begitu terkejut melihat kedatangan empat orang pria asing ke rumahnya. Mereka menyuruh Mirna untuk angkat kaki dari rumahnya sekarang. Sebab atasan mereka ingin membuka lahan di area rumahnya. Tentu saja Mirna tak terima dan mengatakan mereka tak memiliki hak untuk mengusirnya dari rumahnya sendiri. Tanpa banyak kata, salah seorang dari mereka memberikan dia dokumen yang menunjukkan kepemilikan rumah bukan miliknya lagi. Mirna tergugu sejenak, melihat nama Ali tertera di surat tersebut. Gurat kebingungan tergambar pula di wajahnya tadi, bertanya-tanya, mengapa sertifikat rumahnya bisa berada di tangan Ali, bukankah sertifikat rumahnya dia gadaikan kepada Pak RT, sebagai jaminan untuk meminjam uang beberapa tahun lalu. Mirna pun menyesali kebodohanny
Dengan tergesa-gesa Santi menghubungi Roni, menyuruhnya untuk cepat datang ke mansion, mengatakan ada seseorang yang berteriak-teriak tak jelas di depan pintu utama.Setelah memberitahu Roni, Santi pun mengajak Naila untuk pergi ke depan, melihat siapa yang berhasil menerobos mansion Ali. Sesampainya di depan pintu utama, Naila langsung menundukkan pandangan saat sosok asing itu nampak ketakutan melihat wajahnya."Astaga, mengerikan sekali wajah itu!" Dia berseru sambil memundurkan langkah kakinya perlahan.Melihat gurat ketakutan terpatri di wajah sosok tersebut. Santi lantas berdiri di depan Naila. Dia tak mau mendengar orang-orang kembali menggunjing Naila. "Hei, siapa kamu? Ada keperluan apa kamu datang kemari?" Santi bertanya dengan mata melirik ke kanan dan ke kiri sekilas, hendak menelisik keberadaan para penjaga, yang kebetulan tak nampak di pelupuk matanya sekarang. Biasanya ada dua orang bodyguard berjaga di depan pintu masuk mansion. Tapi, sekarang entah kemana perginya