"Shftt ...."
Naila mengaduh kesakitan kala tulang ekornya membentur tanah.Rani melangkah cepat lalu menarik cepat syal putih Naila di atas kepalanya dan menjambak rambutnya seketika."Ahk! Lepaskan aku, Rani!" pekik Naila, sembari menahan rasa sakit di rambutnya. Dia berusaha memberontak. Namun, tak bisa kala Rani juga menginjak kuat kaki sebelah kirinya. Rasa sakit di kaki dan kepalanya semakin menjadi-jadi.Rani tersenyum licik. Ia sudah gelap mata dan gelap hati. Tak peduli dengan teriakan pilu Naila."Dasar wanita jelek! Kamu berani denganku hah! Rasakan ini!" Rani semakin menarik kuat rambut Naila hingga Naila menitihkan air matanya."Lepaskan aku, Rani!" Naila berusaha bangkit berdiri."Haha! Tidak akan!" Seperti seorang psikopat, Rani tertawa terbahak-bahak, menganggap rasa kesakitan Naila adalah kesenangannya. Dia mendongakkan kepalanya ke atas sesaat sambil mengeluarkan tawa.Saat melihat ada celah, dengan sekuat tenaga Naila bangkit berdiri dan mendorong tubuh Rani sampai terjungkal ke tanah."Ahk! Sialan!" umpat Rani, kesal. Karena Naila berhasil terlepas dari jeratannya."Hentikan, Rani! Apa kamu tidak ada kerjaan menganggu aku terus? Aku sudah menikah dan tidak tinggal lagi di rumahmu." Naila menghapus jejak air matanya seketika.Dengkusan kasar terdengar dari hidung Rani. Secepat kilat ia berdiri lalu menatap dingin Naila."Menganggumu? Haha! Justru wajahmu itu yang selalu menganggu pandanganku! Walau kamu sudah menikah pun, aku tak peduli. Selama wajahmu membuat mataku sakit! Aku akan selalu menganggumu!" kata Rani lalu melipat kedua tangannya di depan dada.Naila menggeleng pelan sejenak. Benar-benar tak mengerti dengan pola pikir Rani saat ini."Kamu gila, Rani. Aku juga tidak mau memiliki wajah seperti ini. Lebih baik kamu pergi saja dari sini, jika wajahku membuat kamu sakit mata, kembalilah ke Jakarta," pinta Naila dengan suara pelan."Kamu mengusirku hah!?" Netra Rani mulai berkabut hitam lagi."Menurutmu?" Jika sebelumnya Naila tak berani melawan Rani. Tapi, saat ini dia sudah tak seatap dengan Rani dan statusnya adalah istri Ali."Kamu!" Rani melangkah cepat lalu mengangkat tangan ke udara hendak menampar Naila.Naila reflek memejamkan matanya. Akan tetapi, dahinya berkerut kuat kala tak mendapat sentuhan di pipinya. Kelopak matanya terbuka perlahan-lahan, matanya membola, melihat Ali di hadapannya sedang menahan tangan Rani.Irama detak jantung Rani tak karuan saat melihat Ali sekarang."Berani kamu menyentuh Naila lagi, tanganmu akan aku patahkan!" Dengan raut wajah penuh kemarahan, Ali berseru. Secepat kilat ia menyentak kasar tangan Rani hingga Rani terhuyung ke belakang seketika.Lidah Rani mendadak kaku, tangannya berkeringat dingin, menahan rasa takut yang melandanya saat melihat tatapan murka dari Ali sekarang. Tanpa banyak kata dia berlari cepat, meninggalkan Naila dan Ali.Selepas kepergian Rani, Ali mengambil syal Naila di tanah dan memberikan kain berwarna putih tersebut kepada Naila.Naila mengambil alih syalnya dari tangan Ali dan memakainya. Kemudian menundukkan pandangannya karena tak mau Ali sampai tahu kalau dia menangis tadi."Kenapa kamu keluar, Nai? Bukankah sudah aku katakan di rumah saja," kata Ali seketika."Aku mau mengantarkan kamu bekal Al, tapi makananmu jatuh." Naila menatap nanar butiran nasi di tanah.Ali enggan menganggapi. Dia malah mengalihkan pandangan, mengikuti arah mata Naila, melihat nasi dan sayur kangkung bertebaran di mana-mana."Tak usah kamu pikirkan, Nai. Aku bisa mencari makan sendiri, kalau aku tak melewati jalan ini, entah bagaimana nasibmu tadi," ucap Ali kemudian. Dia memang tak sengaja bertemu Naila dan Rani yang sedang berseteru.Naila reflek menatap Ali. "Maafkan kecerobohanku, Al.""Tak apa, itu juga bukan salahmu, 'kan?"Anggukan pelan sebagai balasan Naila. "Iya, Al. Aku tak mengerti, mengapa dia masih berbuat jahat padaku. Padahal aku sudah tak tinggal serumah dengannya.""Iya, mungkin bagi Rani menyiksamu adalah kesenangan untuknya. Maka dari itu, kamu harus bisa melawannya, Nai. Jangan diam saja. Lawan balik dia, jangan lemah! Aku tidak suka istriku lemah!" kata Ali dengan tegas.Tanpa sadar Naila tersenyum tipis saat mendengar, Ali mengatakan 'istriku'."Ayo sekarang kita pulang, aku juga sudah lapar." Ali mengajak Naila untuk pulang ke rumah hendak makan siang.***Sudah seminggu Naila menjadi istri Ali. Sejauh ini Ali memperlakukannya dengan sangat baik. Meski umur Ali lebih muda darinya. Tak seperti tetangga dan orang-orang terdekatnya. Naila begitu senang walau Ali tak menjanjikan cinta. Tapi, sikap Ali yang terlampau baik sudah lebih dari cukup baginya.Karena tak ada kesibukan di rumah, kadangkala membantu Ali membajak di sawah. Seperti hari ini, Naila sedang melanjutkan perkerjaan Ali dengan menanam padi.Lima menit sebelumnya, Ali berpamitan pada Naila untuk pergi sebentar ke rumah mengambil rokoknya yang ketinggalan.Teriknya matahari di atas, lantas tak menghentikan gerakan tangan Naila. Meski peluh keringat membasahi tubuhnya sedari tadi. Naila begitu semangat menancapkan padi ke tanah."Hei buruk rupa!" Dari samping, Rani berteriak nyaring membuat Naila terlonjak kaget seketika.Naila menegakkan tubuhnya lalu menoleh ke arah Rani, sedang berdiri di tepi sawah bersama gadis-gadis desa."Haha! Lihatlah si ireng ini berani menatapku!" serunya sambil tersenyum sinis.Para pemuda-pemudi yang tak sengaja melintas di hamparan sawah tertawa jua.Naila menatap malas Rani. Masih tak habis pikir dengan pola pikir saudara tirinya itu.Kalimat umpatan terdengar kembali dari ujung sana. Kali ini Rani memaki Naila dengan mengatakan 'wanita pembawa sial'. Naila memilih melanjutkan perkerjaannya kembali. Karena tak ada gunanya dia meladeni wanita itu, yang acapkali membuat darahnya mendidih.Sedangkan Rani menatap tajam Naila dengan tangan terkepal kuat. Dia marah karena Naila mengabaikannya. Tanpa pikir panjang, Rani melompat ke atas sawah dan melangkah cepat, menghampiri Naila."Naila! Mati saja kamu hah!" Rani menendang kuat punggung Naila hingga Naila terjungkal ke depan.Naila memekik kesakitan, wajahnya terkena lumpur sawah. Melihat hal itu tawa pun berkumandang di sekitar, baik Rani dan penduduk yang melihat wajah Naila yang digenangi lumpur, tertawa terbahak-bahak.Sambil menyeka lumpur di wajahnya, Naila berusaha bangkit berdiri."Rani! Apa kamu sudah gila hah! Pergi kamu dari sini! Jangan mengangguku lagi!" teriak Naila dengan napas memburu kuat. Dia tak tahan lagi dengan sikap Rani yang sangat keterlaluan, menurutnya sekarang."Haha! Kamu tak berhak mengusirku, Naila! Bagaimana rasanya, sakit tidak?" Bukannya takut, wanita berumur 28 tahun itu malah tertawa kuat seraya melayangkan tatapan remeh.Naila mulai tersulut emosi. Dengan wajah merah padam dia berkata, "Aku memiliki hak! Ini sawah suamiku! Pergi kamu dari sini! Aku tahu kamu ditalak suamimu, 'kan? Kamu pikir aku tidak tahu perkerjaanmu di Jakarta selama ini, Rani!"Rani terkesiap. Bagaimana bisa, Naila mengetahui jika dirinya ditalak suaminya karena ketahuan berbohong mengenai perkerjaan haramnya. Rani naik pitam. Dia pun kembali menyerang Naila. Namun, Naila kali ini melawan balik Rani dengan menampar pipinya. Alhasil perkelahian pun terjadi.Para penduduk desa yang melihat perseteruan, tak melerai Naila dan Rani. Mereka malah asik menonton sambil bersorak-sorai meneriaki nama Rani."Ahk!"Naila tersungkur ke sawah seketika hingga keningnya berdarah mengenai batu kecil."Rasakan, Naila!" Rani tertawa penuh kemenangan setelah berhasil membuat Naila terluka."Naila!"Tawa Rani dan para penduduk desa terhenti kala mendengar suara Ali seketika.Tubuh Rani seketika menegang. Dia memundurkan langkah kakinya perlahan-lahan.Ali baru saja sampai. Saat mendengar bunyi keributan di tengah sawah. Netra Ali terbelalak, melihat Naila tersungkur di atas lumpur sawah. Secepat kilat ia menghampiri Naila dan membantunya untuk berdiri."Aku akan mematahkan tanganmu nanti, Rani," kata Ali dengan wajah memerah sambil membopong Naila. Lalu mengedarkan pandangan kepada penduduk yang melihat pertikaian Naila dan Rani barusan."Dan kalian semua, apa kalian tak memiliki hati nurani sedikitpun untuk Naila. Kalian benar-benar sudah gila! Tertawa di atas penderitaan orang lain!" Ali berkata dengan sorot mata menyala-nyala."Heh! Ali, tak usah menggurui kami! Lagipula Rani dan Naila hanya bermain-main saja tadi. Biasalah adik dan kakak sedang bercengkerama bersama-sama," sahut seorang pemuda yang sedang menanam padi juga, mengulas senyum sinis."Iya, benar. Hidup jangan terlalu di bawa serius, Ali! Naila sudah terbiasa bermain bersama Rani, benar tidak teman-teman?" Tetangga Rani juga ikut menimpali."Iya benar itu! Haha!" Yang lainnya pun membenarkan perkataan temannya itu.Naila hanya diam saja. Saat ini menundukkan pandangannya, netranya sudah banjir dengan air mata. Rasa sakit akibat perkelahian tadi, membuat Naila tak mau menanggapi obrolan Ali dan penduduk desa. Sementara, Rani secara diam-diam berjalan pelan hendak keluar dari halaman sawah.Tangan Ali semakin terkepal kuat. Menahan amarah di dalam dadanya, yang akan siap meledak."Kalian semua benar-benar gila, aku akan memberi perhitungan pada kalian! Kalian lihat saja seluruh sawah ini akan aku beli!"Pecah tawa para penduduk lalu berkata-kata,"Haha! Sepertinya preman pasar ini sedang mabuk berat!""Iya, kamu benar. Membeli sawah katanya? Rumah dia saja tak pantas disebut rumah!"Semakin mendidih darah Ali. "Perlu kalian tahu, kalau aku ini CEO perusahaan A-group ternama di Jakarta, namaku Ali Taamir, apapun bisa aku lakukan. Seluruh sawah di desa ini juga bisa aku beli, bahkan nyawa kalian pun bisa aku beli!" sahutnya, berapi-api."Haha!"Mendengar perkataan Ali barusan, suara tawa Rani dan penduduk desa pecah seketika. Mengabaikan tatapan Ali, Rani membuka suara tiba-tiba. "Ada-ada saja kamu, Ali! Teruslah berkhayal dan bermimpi, mana ada bos berpenampilan sepertimu! Kalian berdua sama-sama cocok! Satu buruk rupa, satunya lagi gila!" Rani tertawa kembali sambil berkacak pinggang."Benar Rani, sepertinya pria miskin ini gila. Berhentilah mengkhayal, Ali! Lebih baik bawa pergi istri jelekmu dari sawah, mata kami sakit melihat wajahnya itu!" Salah seorang pemuda yang sedang menonton pertengkaran antara Naila dan Rani tadi, menimpali seketika. "Iya! Bawa pergi sana istrimu itu! Tak usah membajak sawah! Mata kami semuanya sakit melihat pemandangan yang menjijikkan itu!" Pemuda yang menanam padi di sawah juga ikut mengeluarkan pendapat. Saat mendengar tanggapan mereka, mata Ali semakin melebar dan rahangnya pun mengeras. Sementara Naila menundukkan wajahnya. Dengan air mata masih mengalir deras dari pelupuk matan
Saat mendapat tatapan tajam dari wanita dan pria paruh baya di hadapannya, Naila langsung menundukkan pandangan. Ketakutan mulai menerpa hatinya dikala hawa di sekitar mulai terasa tak nyaman saat ini. "Ini istri Tuan Ali, namanya Naila. Tuan Ali sedang pergi ke kantor, Nyonya." Sebagai orang kepercayaan Ali, Santi mulai membuka suara. Walau rasa takut pun menderanya. "Istri?"Mendengar jawaban Santi, Anya Taamir—Mama kandung Ali, mengerutkan dahi."Iya Nyonya," sahut Santi, cepat.Untuk sejenak Anya melempar pandangan pada pria di sampingnya. Suara tawa tiba-tiba berkumandang di sekitar. Pasangan suami-istri itu tengah tertawa terpingkal-pingkal. Menganggap perkataan Santi barusan adalah sebuah lelucon. Saat Mendengar tawa yang tak asing ditelinganya, Naila masih bergeming, dengan rasa takut hinggap dihatinya sedari tadi. Tanpa berniat sekalipun menggerakkan kepala, Naila meremas ujung pakaiannya, cemas. "Haha! Astaga Santi, siang-siang begini kamu malah membuat lelucon, ada-ada
Naila tergugu, lidahnya sangat sulit digerakkan. Suara yang terdengar barusan memang benar Ali. Namun, mengapa penampilan Ali teramat berbeda. Ali menggenakan setelan jas berwarna hitam, rambutnya tampak pendek dan rapi, lalu tak ada lagi jambang panjang terlihat di rahangnya. Meski garis mukanya sama, tapi Ali tampak asing dimatanya sekarang. Masih duduk di atas lantai, Naila menundukkan wajah ke bawah. Mengabaikan rasa sakit yang menjalar di rambutnya.Sementara Anya, secara perlahan-lahan menurunkan tangannya dari kepala Naila. Lalu melipat tangan di dada, melirik ke arah Salman sesaat dan berkata,"Istri? Jangan aneh-aneh Ali! Apa kamu sedang mengarang cerita sama seperti Santi?" Anya dan Salman tertawa remeh sejenak, tak percaya akan perkataan putra bungsunya itu barusan.Ali enggan menyahut, berjalan cepat, menghampiri Naila dan mengulurkan tangannya. Mengabaikan kedua orang tuanya yang masih tertawa. "Nai, bangunlah!" Ali berkata dengan penuh penekanan, berharap Naila dapat s
Kembali ke dalam mansion, Naila dan Ali bergeming di tempat. Keduanya tengah berdiri menghadap ke arah pintu utama."Naila." Ali membalikkan badannya ke belakang seketika, melihat Naila masih menundukkan pandangan."Iya, Al," sahut Naila, memberanikan diri mengangkat wajah. "Kamu tak apa-apa, 'kan?" Ali menelisik keadaan tubuh Naila dari atas sampai ke ujung kaki, apakah ada yang terluka atau tidak.Naila menggeleng cepat dan berkata, "Tidak ada, Al, aku baik-baik saja." 'Tapi hatiku yang sakit, Al. Mengapa semua orang membenciku.' Naila hanya dapat melontarkan kalimat tersebut di dalam hatinya. Memikirkan penderitaannya yang tak kunjung habis.Kepergiannya ke ibu kota pun masih ada saja orang yang menyiksa dan mencaci makinya. Namun, sekarang Naila merasa senang sebab ada seseorang yang memperlakukannya selayaknya manusia, dialah Ali, suaminya sendiri. Meskipun Ali tampak asing di matanya kini. Oleh sebab itu, ketampanan Ali membuat Naila berkecil hati. Dia merasa tak pantas bersan
"Ahk! Tidak! Awas kamu, Ali!" Mirna menjerit histeris di depan rumahnya. Melihat para pria bertubuh besar dan bersetelan jas hitam mengobrak-abrik isi warungnya sekarang. Sepuluh menit lalu, Mirna yang sedang melayani pembeli di warung, begitu terkejut melihat kedatangan empat orang pria asing ke rumahnya. Mereka menyuruh Mirna untuk angkat kaki dari rumahnya sekarang. Sebab atasan mereka ingin membuka lahan di area rumahnya. Tentu saja Mirna tak terima dan mengatakan mereka tak memiliki hak untuk mengusirnya dari rumahnya sendiri. Tanpa banyak kata, salah seorang dari mereka memberikan dia dokumen yang menunjukkan kepemilikan rumah bukan miliknya lagi. Mirna tergugu sejenak, melihat nama Ali tertera di surat tersebut. Gurat kebingungan tergambar pula di wajahnya tadi, bertanya-tanya, mengapa sertifikat rumahnya bisa berada di tangan Ali, bukankah sertifikat rumahnya dia gadaikan kepada Pak RT, sebagai jaminan untuk meminjam uang beberapa tahun lalu. Mirna pun menyesali kebodohanny
Dengan tergesa-gesa Santi menghubungi Roni, menyuruhnya untuk cepat datang ke mansion, mengatakan ada seseorang yang berteriak-teriak tak jelas di depan pintu utama.Setelah memberitahu Roni, Santi pun mengajak Naila untuk pergi ke depan, melihat siapa yang berhasil menerobos mansion Ali. Sesampainya di depan pintu utama, Naila langsung menundukkan pandangan saat sosok asing itu nampak ketakutan melihat wajahnya."Astaga, mengerikan sekali wajah itu!" Dia berseru sambil memundurkan langkah kakinya perlahan.Melihat gurat ketakutan terpatri di wajah sosok tersebut. Santi lantas berdiri di depan Naila. Dia tak mau mendengar orang-orang kembali menggunjing Naila. "Hei, siapa kamu? Ada keperluan apa kamu datang kemari?" Santi bertanya dengan mata melirik ke kanan dan ke kiri sekilas, hendak menelisik keberadaan para penjaga, yang kebetulan tak nampak di pelupuk matanya sekarang. Biasanya ada dua orang bodyguard berjaga di depan pintu masuk mansion. Tapi, sekarang entah kemana perginya
“Apa-apaan ini?!” teriak Roni, dengan raut wajah terkejut.Roni baru saja sampai di mansion. Karena padatnya jalanan ibu kota di sore hari, membuat Roni akhirnya terjebak macet. Alhasil jarak tempuh antara kantor dan mansion, yang seharusnya dua puluh menit menjadi lima puluh menit. Di tambah lagi mobilnya tadi tiba-tiba mogok tanpa tahu apa penyebabnya. Roni menebak ada sesuatu yang tidak beres sekarang. Namun, dia tak kehabisan akal, Roni kembali ke mansion dengan menggunakan taksi. Roni tak mau mengecewakan atasannya. Tadi, sebelum pergi ke mansion, Ali memberikan perintah, agar selalu bersiap siaga melindungi Naila, di saat Ali tengah sibuk merampungkan perkerjaan yang menggunung di kantor, akibat kepergiannya ke desa tiga bulan lalu. Sehingga banyak sekali dokumen yang harus diperiksa Ali sebelum ditandatangani. Para asisten rumah lantas menghentikan pergerakkan tangannya, kemudian menoleh serempak ke sumber suara, melihat Roni, tangan kanan Ali, berdiri di hadapan mereka dengan
Setelah puas memandangi wajah Naila. Ali naik ke atas tempat tidur dan merebahkan diri di samping Naila. Kemudian mendekap tubuh Naila dari belakang tiba-tiba. Ali tak bersuara sama sekali. Hanya alisnya yang terangkat sedikit, kala sensasi panas menerpa tubuhnya saat ini. "Tenanglah, Nai. Besok tak ada lagi orang yang menganggumu." Ali berbisik pelan di telinga Naila. Seolah-olah Naila dapat mendengarkannya. Wanita itu tertidur amat pulas sehingga tak menyadari jika Ali telah memeluknya kini. Ali semakin mengeratkan pelukan dan menaruh dagunya di pundak Naila pula. Lalu menutup kedua matanya perlahan-lahan, ikut mengarungi samudera mimpi bersama Naila. ***Waktu menunjukkan pukul satu dini hari, Ali membuka kelopak mata pelan-pelan dan melihat Naila masih terlelap dengan begitu damai di sampingnya. Dalam hitungan detik dia beringsut dari atas ranjang, kemudian berlalu pergi dari kamar. "Tuan, semua sudah beres."Baru saja Ali keluar dari kamar. Roni membuka suara tanpa menatap