Share

Bab 5 - Membeli Seluruh Sawah

"Shftt ...."

Naila mengaduh kesakitan kala tulang ekornya membentur tanah.

Rani melangkah cepat lalu menarik cepat syal putih Naila di atas kepalanya dan menjambak rambutnya seketika.

"Ahk! Lepaskan aku, Rani!" pekik Naila, sembari menahan rasa sakit di rambutnya. Dia berusaha memberontak. Namun, tak bisa kala Rani juga menginjak kuat kaki sebelah kirinya. Rasa sakit di kaki dan kepalanya semakin menjadi-jadi.

Rani tersenyum licik. Ia sudah gelap mata dan gelap hati. Tak peduli dengan teriakan pilu Naila.

"Dasar wanita jelek! Kamu berani denganku hah! Rasakan ini!" Rani semakin menarik kuat rambut Naila hingga Naila menitihkan air matanya.

"Lepaskan aku, Rani!" Naila berusaha bangkit berdiri.

"Haha! Tidak akan!" Seperti seorang psikopat, Rani tertawa terbahak-bahak, menganggap rasa kesakitan Naila adalah kesenangannya. Dia mendongakkan kepalanya ke atas sesaat sambil mengeluarkan tawa.

Saat melihat ada celah, dengan sekuat tenaga Naila bangkit berdiri dan mendorong tubuh Rani sampai terjungkal ke tanah.

"Ahk! Sialan!" umpat Rani, kesal. Karena Naila berhasil terlepas dari jeratannya.

"Hentikan, Rani! Apa kamu tidak ada kerjaan menganggu aku terus? Aku sudah menikah dan tidak tinggal lagi di rumahmu." Naila menghapus jejak air matanya seketika.

Dengkusan kasar terdengar dari hidung Rani. Secepat kilat ia berdiri lalu menatap dingin Naila.

"Menganggumu? Haha! Justru wajahmu itu yang selalu menganggu pandanganku! Walau kamu sudah menikah pun, aku tak peduli. Selama wajahmu membuat mataku sakit! Aku akan selalu menganggumu!" kata Rani lalu melipat kedua tangannya di depan dada.

Naila menggeleng pelan sejenak. Benar-benar tak mengerti dengan pola pikir Rani saat ini.

"Kamu gila, Rani. Aku juga tidak mau memiliki wajah seperti ini. Lebih baik kamu pergi saja dari sini, jika wajahku membuat kamu sakit mata, kembalilah ke Jakarta," pinta Naila dengan suara pelan.

"Kamu mengusirku hah!?" Netra Rani mulai berkabut hitam lagi.

"Menurutmu?" Jika sebelumnya Naila tak berani melawan Rani. Tapi, saat ini dia sudah tak seatap dengan Rani dan statusnya adalah istri Ali.

"Kamu!" Rani melangkah cepat lalu mengangkat tangan ke udara hendak menampar Naila.

Naila reflek memejamkan matanya. Akan tetapi, dahinya berkerut kuat kala tak mendapat sentuhan di pipinya. Kelopak matanya terbuka perlahan-lahan, matanya membola, melihat Ali di hadapannya sedang menahan tangan Rani.

Irama detak jantung Rani tak karuan saat melihat Ali sekarang.

"Berani kamu menyentuh Naila lagi, tanganmu akan aku patahkan!" Dengan raut wajah penuh kemarahan, Ali berseru. Secepat kilat ia menyentak kasar tangan Rani hingga Rani terhuyung ke belakang seketika.

Lidah Rani mendadak kaku, tangannya berkeringat dingin, menahan rasa takut yang melandanya saat melihat tatapan murka dari Ali sekarang. Tanpa banyak kata dia berlari cepat, meninggalkan Naila dan Ali.

Selepas kepergian Rani, Ali mengambil syal Naila di tanah dan memberikan kain berwarna putih tersebut kepada Naila.

Naila mengambil alih syalnya dari tangan Ali dan memakainya. Kemudian menundukkan pandangannya karena tak mau Ali sampai tahu kalau dia menangis tadi.

"Kenapa kamu keluar, Nai? Bukankah sudah aku katakan di rumah saja," kata Ali seketika.

"Aku mau mengantarkan kamu bekal Al, tapi makananmu jatuh." Naila menatap nanar butiran nasi di tanah.

Ali enggan menganggapi. Dia malah mengalihkan pandangan, mengikuti arah mata Naila, melihat nasi dan sayur kangkung bertebaran di mana-mana.

"Tak usah kamu pikirkan, Nai. Aku bisa mencari makan sendiri, kalau aku tak melewati jalan ini, entah bagaimana nasibmu tadi," ucap Ali kemudian. Dia memang tak sengaja bertemu Naila dan Rani yang sedang berseteru.

Naila reflek menatap Ali. "Maafkan kecerobohanku, Al."

"Tak apa, itu juga bukan salahmu, 'kan?"

Anggukan pelan sebagai balasan Naila. "Iya, Al. Aku tak mengerti, mengapa dia masih berbuat jahat padaku. Padahal aku sudah tak tinggal serumah dengannya."

"Iya, mungkin bagi Rani menyiksamu adalah kesenangan untuknya. Maka dari itu, kamu harus bisa melawannya, Nai. Jangan diam saja. Lawan balik dia, jangan lemah! Aku tidak suka istriku lemah!" kata Ali dengan tegas.

Tanpa sadar Naila tersenyum tipis saat mendengar, Ali mengatakan 'istriku'.

"Ayo sekarang kita pulang, aku juga sudah lapar." Ali mengajak Naila untuk pulang ke rumah hendak makan siang.

*

*

*

Sudah seminggu Naila menjadi istri Ali. Sejauh ini Ali memperlakukannya dengan sangat baik. Meski umur Ali lebih muda darinya. Tak seperti tetangga dan orang-orang terdekatnya. Naila begitu senang walau Ali tak menjanjikan cinta. Tapi, sikap Ali yang terlampau baik sudah lebih dari cukup baginya.

Karena tak ada kesibukan di rumah, kadangkala membantu Ali membajak di sawah. Seperti hari ini, Naila sedang melanjutkan perkerjaan Ali dengan menanam padi.

Lima menit sebelumnya, Ali berpamitan pada Naila untuk pergi sebentar ke rumah mengambil rokoknya yang ketinggalan.

Teriknya matahari di atas, lantas tak menghentikan gerakan tangan Naila. Meski peluh keringat membasahi tubuhnya sedari tadi. Naila begitu semangat menancapkan padi ke tanah.

"Hei buruk rupa!" Dari samping, Rani berteriak nyaring membuat Naila terlonjak kaget seketika.

Naila menegakkan tubuhnya lalu menoleh ke arah Rani, sedang berdiri di tepi sawah bersama gadis-gadis desa.

"Haha! Lihatlah si ireng ini berani menatapku!" serunya sambil tersenyum sinis.

Para pemuda-pemudi yang tak sengaja melintas di hamparan sawah tertawa jua.

Naila menatap malas Rani. Masih tak habis pikir dengan pola pikir saudara tirinya itu.

Kalimat umpatan terdengar kembali dari ujung sana. Kali ini Rani memaki Naila dengan mengatakan 'wanita pembawa sial'. Naila memilih melanjutkan perkerjaannya kembali. Karena tak ada gunanya dia meladeni wanita itu, yang acapkali membuat darahnya mendidih.

Sedangkan Rani menatap tajam Naila dengan tangan terkepal kuat. Dia marah karena Naila mengabaikannya. Tanpa pikir panjang, Rani melompat ke atas sawah dan melangkah cepat, menghampiri Naila.

"Naila! Mati saja kamu hah!" Rani menendang kuat punggung Naila hingga Naila terjungkal ke depan.

Naila memekik kesakitan, wajahnya terkena lumpur sawah. Melihat hal itu tawa pun berkumandang di sekitar, baik Rani dan penduduk yang melihat wajah Naila yang digenangi lumpur, tertawa terbahak-bahak.

Sambil menyeka lumpur di wajahnya, Naila berusaha bangkit berdiri.

"Rani! Apa kamu sudah gila hah! Pergi kamu dari sini! Jangan mengangguku lagi!" teriak Naila dengan napas memburu kuat. Dia tak tahan lagi dengan sikap Rani yang sangat keterlaluan, menurutnya sekarang.

"Haha! Kamu tak berhak mengusirku, Naila! Bagaimana rasanya, sakit tidak?" Bukannya takut, wanita berumur 28 tahun itu malah tertawa kuat seraya melayangkan tatapan remeh.

Naila mulai tersulut emosi. Dengan wajah merah padam dia berkata, "Aku memiliki hak! Ini sawah suamiku! Pergi kamu dari sini! Aku tahu kamu ditalak suamimu, 'kan? Kamu pikir aku tidak tahu perkerjaanmu di Jakarta selama ini, Rani!"

Rani terkesiap. Bagaimana bisa, Naila mengetahui jika dirinya ditalak suaminya karena ketahuan berbohong mengenai perkerjaan haramnya. Rani naik pitam. Dia pun kembali menyerang Naila. Namun, Naila kali ini melawan balik Rani dengan menampar pipinya. Alhasil perkelahian pun terjadi.

Para penduduk desa yang melihat perseteruan, tak melerai Naila dan Rani. Mereka malah asik menonton sambil bersorak-sorai meneriaki nama Rani.

"Ahk!"

Naila tersungkur ke sawah seketika hingga keningnya berdarah mengenai batu kecil.

"Rasakan, Naila!" Rani tertawa penuh kemenangan setelah berhasil membuat Naila terluka.

"Naila!"

Tawa Rani dan para penduduk desa terhenti kala mendengar suara Ali seketika.

Tubuh Rani seketika menegang. Dia memundurkan langkah kakinya perlahan-lahan.

Ali baru saja sampai. Saat mendengar bunyi keributan di tengah sawah. Netra Ali terbelalak, melihat Naila tersungkur di atas lumpur sawah. Secepat kilat ia menghampiri Naila dan membantunya untuk berdiri.

"Aku akan mematahkan tanganmu nanti, Rani," kata Ali dengan wajah memerah sambil membopong Naila. Lalu mengedarkan pandangan kepada penduduk yang melihat pertikaian Naila dan Rani barusan.

"Dan kalian semua, apa kalian tak memiliki hati nurani sedikitpun untuk Naila. Kalian benar-benar sudah gila! Tertawa di atas penderitaan orang lain!" Ali berkata dengan sorot mata menyala-nyala.

"Heh! Ali, tak usah menggurui kami! Lagipula Rani dan Naila hanya bermain-main saja tadi. Biasalah adik dan kakak sedang bercengkerama bersama-sama," sahut seorang pemuda yang sedang menanam padi juga, mengulas senyum sinis.

"Iya, benar. Hidup jangan terlalu di bawa serius, Ali! Naila sudah terbiasa bermain bersama Rani, benar tidak teman-teman?" Tetangga Rani juga ikut menimpali.

"Iya benar itu! Haha!" Yang lainnya pun membenarkan perkataan temannya itu.

Naila hanya diam saja. Saat ini menundukkan pandangannya, netranya sudah banjir dengan air mata. Rasa sakit akibat perkelahian tadi, membuat Naila tak mau menanggapi obrolan Ali dan penduduk desa. Sementara, Rani secara diam-diam berjalan pelan hendak keluar dari halaman sawah.

Tangan Ali semakin terkepal kuat. Menahan amarah di dalam dadanya, yang akan siap meledak.

"Kalian semua benar-benar gila, aku akan memberi perhitungan pada kalian! Kalian lihat saja seluruh sawah ini akan aku beli!"

Pecah tawa para penduduk lalu berkata-kata,"Haha! Sepertinya preman pasar ini sedang mabuk berat!"

"Iya, kamu benar. Membeli sawah katanya? Rumah dia saja tak pantas disebut rumah!"

Semakin mendidih darah Ali. "Perlu kalian tahu, kalau aku ini CEO perusahaan A-group ternama di Jakarta, namaku Ali Taamir, apapun bisa aku lakukan. Seluruh sawah di desa ini juga bisa aku beli, bahkan nyawa kalian pun bisa aku beli!" sahutnya, berapi-api.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status