"Mas, hari ini biar aku saja yang ngecek resto yang di sini. Mas ada jadwal memantau resto yang di Bandung, 'kan?" tanyaku, masih tak ingin melepaskan tubuhnya.
Sejak dua tahun lalu, Mas Irwan--suamiku--membuka cabang restorannya di beberapa kota besar. Salah satunya di Bandung.Jarang Jakarta-Bandung tidak terlalu jauh, itu sebabnya, suamiku tak perlu menginap di sana. Berangkat setelah subuh pun bisa, dan akan kembali ke rumah tengah malam."Gak usah, biarkan saja si Badrun yang urus. Kamu di rumah saja, istirahat," ucapnya, mencium dahiku sejenak, lalu kembali fokus pada dasi yang melingkar di lehernya."Aku setiap hari di rumah. Ngurus rumah, Allisya dan cek aplikasi pesan antar. Sesekali aku mau juga berada di tengah-tengah kesibukkan para koki dan pramusaji, Mas."Suamiku terdiam sesaat, seperti berpikir sesuatu yang aku sendiri tidak tahu."Baiklah. Tapi ingat, tugas utamamu hanya mengurus Allisya," tukasnya. Aku melihat raut jawahnya sedikit kurang bersahabat. Apa mungkin, Mas Irwan tak suka jika aku berada di luar rumah?Wajar, bukan, jika aku ingin membantunya. Apalagi, resto yang ada di kota ini adalah yang terbesar dan paling ramai. Tidak bisa ditinggalkan pemiliknya begitu saja."Mas pamit, ya. Do'akan, semoga di sana tidak ada masalah." Ia mendekat, mengulurkan tangannya untuk kucium. Berat sebetulnya, tapi inilah tugasnya sebagai kepala keluarga."Hati-hati.""Iya. Kalau gak sempat ke resto, kabari Mas saja.""Memangnya, kenapa? Bukannya ada Badrun juga di sana?" tanyaku sedikit heran."Ya, supaya Mas bisa kabari Badrun. Kalau kamu jadi ke sana, biarkan saja Badrun libur.""Oh, begitu. Iya, Mas."Sepeninggalan suamiku, kurapikan kasur yang sepreinya sudah tak karuan, bekas permainan kami semalam. Dengan rambut yang masih terlilit handuk, kubuka perlahan seprei itu dari kasurnya, hendak menggantinya dengan yang baru. Tiba-tiba aku teringat dengan permainan kami semalam. Mas Irwan bergumam, "Awas, Sayang, perutmu. Takutnya tertekan."Memang, mengapa jika perutku tertekan? Sepertinya Mas Irwan sangat ingin segera memiliki anak lagi. Sejak usia Allisya dua tahun, ia selalu memintaku untuk tidak berKB. Dan sekarang, hingga Allisya sudah sekolah kelas 1 SD, aku tak kunjung hamil lagi.Agaknya, gumaman Mas Irwan akibat ia terlalu berharap ada janin di dalam rahimku.Setelah kupikir ulang, apa sebaiknya aku ke rumah sakit saja, memeriksakan kesuburanku. Ke resto, 'kan bisa kapan-kapan, pikirku. Baiklah, hari ini sebaiknya aku ke dokter kandungan. Syukur-syukur, dapat rekomendasi obat yang baik untuk kesuburan.**"Al, Mama mau ke rumah sakit. Kamu mau ikut?" tanyaku pada gadis kecil berusia tujuh tahun yang kini tengah memainkan ponselnya."Ngapain Mama ke rumah sakit?" tanya gadis kecilku."Ada urusan sebentar, Sayang. Kamu di rumah saja, ya, sama Bibi.""Hmm ... ini, 'kan hari libur, Ma. Apa rumah sakit tidak libur?" tanya polosnya, membuatku terkekeh sejenak. Allisya benar juga. Gegas kucari klinik praktek dokter kandungan melalui laman internet."Rumah sakit gak ada liburnya, Sayang. Mama juga sudah cari dokter yang mau mama temui di hari libur begini. Memang, sih, hari libur biasanya tidak ada dokter spesialis di rumah sakit," jelasku, mengusap lembut rambut hitam lurusnya yang diturunkan dari Mas Irwan."Dokter spesial? Seperti martabak spesial?" tanyanya. Aku semakin gemas dengan gadis kecilku. Meski sudah kelas 1 SD, namun tak banyak yang ia pahami layaknya orang dewasa."Beda, Sayang. Dokter spesialis itu, ahlinya menangani suatu penyakit," terangku lagi."Mama sakit apa?" tanyanya lagi, dengan wajah terlihat khawatir."Mama gak sakit, cuma mau ngobrol sama dokter," jawabku. Memang butuh kesabaran dan cara bicara yang berbeda ketika berbicara dengan anak sekecil ini."Allisya ikut saja, Ma." Ia merengek, sepertinya memang tak ingin ditinggalkan. Demi mengusir rasa bosannya yang berlibur di rumah saja, aku pun menyetujui keinginannya.Kubawa serta Allisya bersamaku. Rencananya, setelah ini, akan kuajak dia jalan-jalan di mal kota yang kebetulan tak jauh dengan resto milik kami.[Mas, aku gak jadi ke resto, ya. Suruh Badrun tetap masuk.] Kuketik pesan pada layar ponsel, lalu mengirimnya pada Mas Irwan. Gegas kumasukkan kembali ponsel itu ke dalam tas, lalu bersiap melajukan mobil. Sejenak aku menoleh pada Allisya, memastikan bahwa ia sudah memakai seatbeltnya.Beruntung alamat praktek dokter yang akan kutuju, tidak terlalu jauh. Ya, meski memang lebih dekat rumah sakit. Alamatnya pun familiar, tidak sulit untuk dicari. Aku tidak ke rumah sakit, melainkan ke klinik praktek dokter.Lebih dari setengah jam, akhirnya kami sampai di depan klinik yang cukup besar. Aku mengambil antrean, bersama beberapa wanita hamil yang perutnya mulai membuncit. Bahkan, sepertinya ada sudah dekat dengan hari kelahiran. Melihatnya, aku turut tersenyum haru seolah tengah menantikan kelahiran sang bayi.**"Dua puluh delapan!" panggil seorang perawat. Dan hanya tersisa satu nomor dari nomor antreanku. Artinya, setelah ini adalah giliranku.Aku mendongak, melihat seorang wanita hamil yang perutnya sudah cukup besar. Wanita itu cantik, hanya pakaiannya saja terlalu seksi. Dia ditemani oleh wanita berusia setengah baya, sepertinya adalah ibunya.Seketika aku teringat pada Ibuku di kampung. Allah ... beri mereka kesehatan selalu.**Dokter bilang, kesuburanku baik-baik saja. Aku hanya diberi beberapa buah vitamin untuk menunjang kebaikan bagi kesuburanku saja. Terkadang aku menyesal, mengapa tidak melakukan ini sejak awal."Baru jam sepuluh, Al. Kita mau jalan-jalan ke mal dulu, atau langsung ke resto Papa?" tawarku pada gadis kecil yang nyaris terlelap di sampingku. Agaknya, dia bosan menunggu antrean tadi."Ke mal, habis itu ke resto Papa makan siang di sana. Aku mau main timezone di mal, terus makan eskrim paling enak di resto Papa." Celotehnya membuatku sontak melengkungkan senyuman. Sepertinya gadis itu sangat senang akan mendapatkan sesuatu yang menyenangkan.Ponselku berdering, kuminta Allisya untuk melihatnya."Sayang, kamu ke resto, ya. Hari ini Dia tidak ke resto." Allisya membacakan chat yang masuk ke ponselku."Siapa yang chat, Nak?""Papa, Ma. Memangnya, siapa lagi yang suka panggil Mama sayang? Lagian, ini namanya Papa." Allisya menunjukkan isi chat itu dengan sedikit menggoda. Papanya memang terkadang bermanja di hadapan Allisya. Sejenak aku memerhatikan nama pengirimnya dan benar Mas Irwan yang kuberi nama 'Papa.'Mengapa Mas Irwan chat seperti itu. Siapa 'Dia' yang Mas Irwan maksud? Dia atau dia? Sedangkan namaku sendiri Nadia dan sejak dulu Mas Irwan memanggilku 'Dia.'"Coba dibalas, Al," pintaku pada anak gadis. Meski baru kelas 1 semester 2, Allisya sudah pandai membaca dan menulis sejak masih duduk di bangku taman kanak-kanak. Dia pun sudah pandai berbalas pesan dengan Papanya."Balas apa, Ma?""Emm ..." aku berpikir sejenak, apa perlu kutunjukkan rasa janggal ini pada Allisya."Gak usah, Nak."**Setelah puas bermain di mal, Allisya merengek merasa lapar dan memintaku segera meluncur ke resto yang jaraknya hanya sekitar 200 meter saja. Sebetulnya, jalan kaki pun bisa. Tapi, arah pulang lebih dekat dari resto ketimbang balik lagi ke mal ini."Meluncur!" ujarku dengan ceria, meski pikiran-pikiran buruk mulai bergelayut.Kami sampai di resto bertepatan dengan waktu makan siang. Pengunjung sangat ramai, gegas aku masuk ke dalam untuk mengecek bagian dapur dan pramusaji. Jangan sampai ada yang terlihat santai saat sedang ramai seperti ini.Langkahku seketika terhenti ketika mata ini menangkap sosok wanita hamil yang tadi sempat kutemu di klinik praktek dokter. Wanita seksi itu masih ditemani seorang wanita setengah baya, sedang memarahi koki yang dia anggap lamban dalam bekerja."Cepetan! Jangan sampai pelanggan kita kabur, gara-gara kerjamu lelet!" sentaknya.Siapa dia? Jika dia salah satu pengunjung, mengapa lancang sekali memarahi karyawan suamiku?Bersambung ...Di waktu yang bersamaan, Azka Hamam kembali ke rumah. Diam-diam masuk, lalu mengusap puncak kepala sang istri dari belakang. Pria gagah itu memberikan kejutan kecil untuk sang istri. Tadinya, ia berencana membujuk sang istri, demi kesehatan."Astaghfirullah! Mas, aku kaget," pekik Allisya yang tak menduga suami akan kembali."He he he ... maaf, maaf. Masih gak enak perutnya?" tanya Azka, duduk di lantai sementara istrinya bangun dan duduk di sofa. Tatapannya tertuju pada bagian tubuh yang tadi Allisya bicarakan. "Ini juga sakit?" tanyanya, menunjuk itu."Enggak sakit. Cuma gak nyaman aja. Terasa berat, kayak bengkak gitu, Mas. Terus, kalau kesentuh ujungnya sakit." Allisya pun tanpa malu membeberkan."Semalam juga sakit? Kenapa enggak bilang?" tanya Azka lagi, mengingat kehangatan semalam. Ia tidak habis pikir, jika sampai menyakiti istrinya."Ya ... gimana. Mas suka," kata Allisya, malu-malu."Lain kali bilang, Sayang, kalau ada yang sakit. Ya, sudah. Sekarang kita ke dokter, ya?" bu
Pagi menjelang siang, di sebuah bangunan bertingkat, kini keluarga Allisya berada. Sebuah gedung mirip dengan rumah susun elit yang ada di kota asal mereka. Dan ternyata, tempat itu adalah sebuah panti jompo.Tadi, ketika pemandu wisata menanyakan soal Afifah--teman Khiara yang tinggal di sana, mereka mendapatkan informasi bahwa Afifah sudah berangkat bekerja bersama teman barunya (kemungkinan Khiara). Sang pemilik rumah sewa itu pun memberikan alamat tempat bekerja Afifah.Dan benar saja, Khiara ada bersamanya, sama-sama mengenakan seragam suster. Usut punya usut, rupanya Afifah sudah lama bekerja sebagai pengasuh lansia di tempat itu. Kini mengajak Khiara bekerja di sana pula karena memang sedang membutuhkan tenaga kerja baru."Kenapa Mama sampai nyusulin Khia ke sini?" tanya Khiara, tak menyangka. Sebelumnya, ia memang sempat memberikan alamat rumah sewa yang temannya tinggali. Tidak pernah menduga jika mama sambungnya sampai rela menyusul."Karena mama khawatir sama kamu, Nak." Na
Keduanya kini telah sampai di depan sekolah Ziya. Menyambut kedatangan Ziya yang selalu ceria dengan semringah. Karena besok, mereka akan pergi berlibur ke Jepang.Masuk ke dalam mobil, bercerita sepanjang jalan dengan antusias. Mulai dari kegiatan di sekolah, sampai tingkah polah Ziya dan teman-temannya di sekolah. Allisya dan Azka bergantian menyahuti penuh ekspresi."Ziya juga bilang ke teman-teman, kalau Ziya mau liburan ke Jepang. Teman-teman semua iri, mau juga katanya, Ma. Apa boleh, Ziya ajak mereka kapan-kapan?" tanya Ziya antusias."Wah, kalau mengajak teman tidak bisa sembarangan, Sayang. Apalagi Jepang itu sangat jauh. Nanti orang tua mereka khawatir," jelas Allisya, juga ditambahi penjelasan ringan oleh Azka.***Pukul 3 sore, Allisya beserta rombongan keluarga sudah sampai di Kota Sapporo setelah menempuh perjalanan kurang lebih 9 jam. Kota yang terletak di Pulau Hokkaido, pulau terbesar kedua di Jepang.Mereka sengaja tidak mendatangi Ibukota Jepang, demi menghindari ke
"Saudara Dareen dinyatakan bersalah atas kasus tabrak lari yang terjadi pada tanggal 20 Februari 2021, yang mengakibatkan korban atas nama Ibu Fitrinariza Azizah meninggal dunia.""Berdasarkan laporan yang baru masuk dua minggu lalu, pelaku tidak dinyatakan sebagai DPO atas kasus ini, sehingga vonis hukuman bisa saja berkurang."Allisya menemani suaminya yang hari ini sangat tegang menghadapi sidang. Nadia dan Emir pun turut hadir, tak kalau tegang karena ternyata Dareen memang bukan DPO atas kasus ini sehingga tidak memberatkan hukumannya. Ini semua karena pihak Azka Hamam tidak melapor sejak awal."Dengan ini, pelaku dijatuhkan hukuman kurungan selama lebih kurang 6 tahun penjara, dan denda sebesar lebih kurang 12 juta rupiah."Mendengar itu, Azka seketika tertunduk lemah. Rasanya, hukuman itu tidak setimpal dengan apa yang terjadi dengan mendiang istrinya.Namun ternyata, vonis hukuman belum selesai dibacakan. Ada sederet kasus berat yang Dareen dan papanya lakukan sejak sang papa
Seperti yang telah direncanakan, Nadia dan Emir tiba di rumah Azka Hamam diantar oleh sopir yang Allisya tugaskan. Keduanya mengucap salam bersama, disambut hangat oleh anak menantu dan cucu sambung yang ceria."Masuk, Ma, Pa." Allisya menggandeng sang mama."Iya. Oh, iya. Pak Didit sudah mama suruh makan di resto utama, biar lebih dekat. Nanti dia akan jemput kalau kita sudah selesai." Nadia menjelaskan. Karena biasanya, Allisya suka mengajak serta sopirnya makan bersama. Namun malam ini, Nadia ingin berbicara penting dengan anak dan menantunya."Oh, begitu. Ya sudah, Ma. Terima kasih," ucap Allisya. Meski restoran telah sepenuhnya beralih ke tangannya, namun Allisya selalu menghargai apa pun keputusan mamanya. Termasuk seperti malam ini, mengizinkan sopirnya makan sepuasnya di sana.Semua berkumpul di ruang makan, menikmati suapan demi suapan masakan yang Allisya buat. Udang asam manis, cah kangkung, dan perkedel kentang ayam kesukaan mamanya."Alhamdulillah ... makanannya enak-enak
"Ziya tau, kalau Bunda sedang hamil saat itu?" tanya Allisya, yang hanya mendapatkan tatapan tak mengerti dari Ziya."Emm ..." Ziya menggeleng. Ia masih sangat terlalu kecil untuk memahami apa yang terjadi, sebelum bundanya meninggal karena tertabrak mobil Dareen. "Nenek suka cerita. Katanya, bunda saat itu sedang ada dedek bayinya di perut. Sebentar lagi mau lahir," jelasnya kemudian.Allisya mengangguk-angguk. Ia tidak mau memperpanjang, sebab, sejujurnya ia cemburu. "Kita masuk, ya, Sayang," ajak Allisya setelah memarkir mobilnya di garasi rumah Azka.Keduanya pun masuk bersamaan, dengan perasaan masing-masing. Di dalam, Allisya menyiapkan pakaian ganti untuk putri sambungnya, lantas menemani sang putri agar tertidur pulas.Wanita cantik itu tanpa sadar mengusap perutnya rata, berdoa agar Allah segera mengirimkan makhluk kecil di dalam sana untuk melengkapi kebahagiaan mereka. Ada sedikit kekhawatiran, takut kalau-kalau ia tidak bisa hamil seperti sang mama.'Ah, tidak, tidak! Mama