Share

Bab 7 - Siapa Gadis Kecil Itu Sebenarnya?

Siapa Gadis Kecil Itu, Sebenarnya?

Kami berputar di gang komplek bagian belakang, yang nyaris tak pernah kulewati. Allisya menunjukkan arah setiap kali kami menemukan perempatan.

Jauh juga ternyata. Mengapa Khiara lebih suka main di taman tadi, sementara taman di gang belakang pun ada.

"Ini rumahnya, Ma!" teriak Allisya, ketika aku hampir melewati rumah yang bangunannya sama semua.

"No. 28?" tanyaku untuk memastikan.

"Iya, Ma. Itu Khiara!" tunjuknya pada gadis kecil tadi tang baru saja masuk ke halaman samping rumahnya.

"Khiara!" panggil Allisya tak sabar. Suaranya memekik, membuat gadis kecil itu lantas menoleh ke arah kami berdiri.

Khiara berlari ke arah kami masih dengan wajah cemberutnya. "Ada apa, Tan?" tanyanya.

Aku hanya membalasnya dengan senyuman, sebab ada Allisya yang akan menjelaskan.

"Aku mau pinjamin sepeda ini buat kamu. Nanti, Mamaku yang ambil kembali ke sini," jelas Allisya dengan lembut.

"Memangnya, aku enggak boleh, ya, antar sendiri ke rumahmu?" tanya gadis itu sedikit sinis.

Ah, kenapa setiap ingin berbuat baik, selalu ada saja yang menyalah artikannya.

"Memangnya kamu tau rumah Al?" tanyaku.

"Nanti bisa kucari, Tante. Tinggal sebutkan aja alamatnya. Pasti tidak jauh dari sini, bukan?"

Aku mengangguk. Anak ini butuh diajari, jadi tak perlu kubalas dengan mengasarinya. Sudahlah, lama-lama aku akan kenal dengan orang tuanya. Kuharap, aku bisa berbicara pada orang tuanya dari hati ke hati.

Kuminta Khiara membukakan pintu pagar seukuran pintu biasa, agar aku leluasa memasukkan sepeda Allisya ke dalam halaman rumahnya. Tanpa sengaja, aku melirik ke arah mobil yang terparkir di halaman depan yang tertutup oleh pagar besi setinggi sekitar dua meter.

Kutajamkan kedua netraku, berdiri mendekat di sela pagar besi itu.

Mobil Mas Irwan di dalam sana? Sedang apa?

"Khia, ke mana lagi kau?"

Aku terkesiap mendengar teriakan dari dalam. Khiara pun meminta kami untuk segera pergi, seraya menaiki sepeda itu ke halaman samping rumahnya.

"Ma, ada apa?" tanya Allisya, melihatku segera bersembunyi di dinding pinggir pagar.

"Gak pa-pa. Kayaknya, Khiara dipanggil Mamanya atau siapanya. Daripada dia dimarahi, lebih baik kita pulang," jelasku. Allisya tampak bingung dengan jawabanku yang mungkin baginya tak masuk akal.

Ya, mana mungkin ada orang tua tiba-tiba marah ketika anaknya sedang kedatangan tamu, bukan?

Sebetulnya aku penasaran sekali ingin melihat wanita bersuara cempreng yang barusan memanggil Khiara. Apakah dia wanita yang sama dengan yang mengaku sebagai pemilik restoranku. Sebab, dari suaranya sangat mirip.

Sebentar lagi sudah hampir maghrib, sementara Allisya belum mandi. Terpaksa kutinggalkan rumah itu bersama dengan gadis kecil yang duduk miring di depan sadelku. Mengayuh sepeda dengan perasaan yang nyaris runtuh.

Bagaimana tidak, mobil suamiku terparkir di rumah orang yang tidak kukenali. Setelah dia pulang bekerja, ternyata bukan aku yang pertama kali ia tuju. 'Siapa dia, Mas?' tanyaku di dalam hati.

Kami sampai di depan rumah. Kuminta anakku segera masuk dan mandi, sementara aku menaruh sepeda di garasi. Bangunan awal rumah kami sebetulnya sama dengan rumah yang tadi Khiara masuki. Hanya saja, rumah kami telah direnovasi area depan dan halaman samping, dibuat garasi mobil, motor dan sepeda.

Biasanya, setiap kali Mas Irwan sedang ingin libur mengontrol resto, ia akan mengajak kami bersepeda di area komplek atau bahkan ke taman-taman di luar komplek.

Sudah beberapa bulan ini, pria yang telah membersamaiku sekian tahun itu tak pernah lagi mengajak kami bersepeda.

**

Sudah jam 18.30, aku dan Allisya sudah berjamaah maghrib. Gadis kecilku merajuk tak mau makan, sebab rindu makan bersama Papanya. Ya, kami bahkan sudah jarang makan malam bersama dengan alasan, semakin malam resto semakin ramai.

"Ayolah, Cantik, makan dulu." Aku mencoba membujuknya.

"Maunya makan sama Papa. Al gak mau, lama-lama jadi seperti Khiara yang tidak pernah makan malam sama Papanya," rengek Allisya.

"Lho, memang Papanya Khiara ke mana?" tanyaku. Penasaran juga dengan latar keluarga gadis kecil itu. Jika benar orang tuanya adalah wanita hamil itu, artinya Khiara ada hubungannya dengan Mas Irwan.

"Gak tau, Ma. Khiara selalu marah, setiap aku atau teman-teman lain ngomongin Papa. Dia bilang, "Jangan pamer, nanti Papa kalian diambil sama Allah, dilempar ke laut, mau?"

"Lho, kok Khiara bicara seperti itu?"

"Gak tau, Ma. Dia gak mau cerita. Bisanya marah aja, tapi Al suka main sama dia, Ma. Dia suka perhatian sama Al," jelas anakku gadisku.

"Perhatian seperti apa, contohnya?" Aku menyelidik, seraya menguncir rambut panjang yang hitam dan lebat itu.

"Kalau Al ceroboh, selalu diingatkan. Al mau jatuh, ditolongin. Tapi memang suka marah juga, Ma." Allisya tetap asik dengan krayon di tangannya, menggoreskannya ke atas buku gambar.

"Baik juga, ya, Khiara. Kamu tau, siapa Mamanya?" Semoga saja, Khiara pernah menyebutkan nama Mamanya pada Allisya.

Allisya menggeleng cepat. Yah! Pupus sudah harapanku bisa mengetahui nama Ibunya Khiara. "Tapi Al tau nama Neneknya yang suka ngomel," tukas Allisya, tanpa kuduga.

"Hus, gak boleh bicara seperti itu. Memang siapa nama Neneknya?" tanyaku lagi, dengan dada berdegar kuat. Aku tak sabar ingin mendengar nama itu, tetapi tetap harus mengingatkan ketika anakku berbicara kurang sopan.

"Nenek Rita. Gak mau dipanggil Nenek, katanya Mama saja. Khiara bilang, Nek Rita itu suka sekali marah-marah sama Khiara."

Degh!

"Kuncinya dibawa Ibu Rita, Bu." Seketika ucapan Nining kemarin siang kembali berputar di telingaku.

Jadi, benar itu adalah rumah wanita hamil dan Ibunya yang bernama Rita itu? Khiara, apa anaknya wanita hamil itu dengan Mas Irwan?

Jika benar, artinya Khiara dan Allisya bersaudara, begitu?

Bersambung ....

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status