Siapa Gadis Kecil Itu, Sebenarnya?
Kami berputar di gang komplek bagian belakang, yang nyaris tak pernah kulewati. Allisya menunjukkan arah setiap kali kami menemukan perempatan.Jauh juga ternyata. Mengapa Khiara lebih suka main di taman tadi, sementara taman di gang belakang pun ada."Ini rumahnya, Ma!" teriak Allisya, ketika aku hampir melewati rumah yang bangunannya sama semua."No. 28?" tanyaku untuk memastikan."Iya, Ma. Itu Khiara!" tunjuknya pada gadis kecil tadi tang baru saja masuk ke halaman samping rumahnya."Khiara!" panggil Allisya tak sabar. Suaranya memekik, membuat gadis kecil itu lantas menoleh ke arah kami berdiri.Khiara berlari ke arah kami masih dengan wajah cemberutnya. "Ada apa, Tan?" tanyanya.Aku hanya membalasnya dengan senyuman, sebab ada Allisya yang akan menjelaskan."Aku mau pinjamin sepeda ini buat kamu. Nanti, Mamaku yang ambil kembali ke sini," jelas Allisya dengan lembut."Memangnya, aku enggak boleh, ya, antar sendiri ke rumahmu?" tanya gadis itu sedikit sinis.Ah, kenapa setiap ingin berbuat baik, selalu ada saja yang menyalah artikannya."Memangnya kamu tau rumah Al?" tanyaku."Nanti bisa kucari, Tante. Tinggal sebutkan aja alamatnya. Pasti tidak jauh dari sini, bukan?"Aku mengangguk. Anak ini butuh diajari, jadi tak perlu kubalas dengan mengasarinya. Sudahlah, lama-lama aku akan kenal dengan orang tuanya. Kuharap, aku bisa berbicara pada orang tuanya dari hati ke hati.Kuminta Khiara membukakan pintu pagar seukuran pintu biasa, agar aku leluasa memasukkan sepeda Allisya ke dalam halaman rumahnya. Tanpa sengaja, aku melirik ke arah mobil yang terparkir di halaman depan yang tertutup oleh pagar besi setinggi sekitar dua meter.Kutajamkan kedua netraku, berdiri mendekat di sela pagar besi itu.Mobil Mas Irwan di dalam sana? Sedang apa?"Khia, ke mana lagi kau?"Aku terkesiap mendengar teriakan dari dalam. Khiara pun meminta kami untuk segera pergi, seraya menaiki sepeda itu ke halaman samping rumahnya."Ma, ada apa?" tanya Allisya, melihatku segera bersembunyi di dinding pinggir pagar."Gak pa-pa. Kayaknya, Khiara dipanggil Mamanya atau siapanya. Daripada dia dimarahi, lebih baik kita pulang," jelasku. Allisya tampak bingung dengan jawabanku yang mungkin baginya tak masuk akal.Ya, mana mungkin ada orang tua tiba-tiba marah ketika anaknya sedang kedatangan tamu, bukan?Sebetulnya aku penasaran sekali ingin melihat wanita bersuara cempreng yang barusan memanggil Khiara. Apakah dia wanita yang sama dengan yang mengaku sebagai pemilik restoranku. Sebab, dari suaranya sangat mirip.Sebentar lagi sudah hampir maghrib, sementara Allisya belum mandi. Terpaksa kutinggalkan rumah itu bersama dengan gadis kecil yang duduk miring di depan sadelku. Mengayuh sepeda dengan perasaan yang nyaris runtuh.Bagaimana tidak, mobil suamiku terparkir di rumah orang yang tidak kukenali. Setelah dia pulang bekerja, ternyata bukan aku yang pertama kali ia tuju. 'Siapa dia, Mas?' tanyaku di dalam hati.Kami sampai di depan rumah. Kuminta anakku segera masuk dan mandi, sementara aku menaruh sepeda di garasi. Bangunan awal rumah kami sebetulnya sama dengan rumah yang tadi Khiara masuki. Hanya saja, rumah kami telah direnovasi area depan dan halaman samping, dibuat garasi mobil, motor dan sepeda.Biasanya, setiap kali Mas Irwan sedang ingin libur mengontrol resto, ia akan mengajak kami bersepeda di area komplek atau bahkan ke taman-taman di luar komplek.Sudah beberapa bulan ini, pria yang telah membersamaiku sekian tahun itu tak pernah lagi mengajak kami bersepeda.**Sudah jam 18.30, aku dan Allisya sudah berjamaah maghrib. Gadis kecilku merajuk tak mau makan, sebab rindu makan bersama Papanya. Ya, kami bahkan sudah jarang makan malam bersama dengan alasan, semakin malam resto semakin ramai."Ayolah, Cantik, makan dulu." Aku mencoba membujuknya."Maunya makan sama Papa. Al gak mau, lama-lama jadi seperti Khiara yang tidak pernah makan malam sama Papanya," rengek Allisya."Lho, memang Papanya Khiara ke mana?" tanyaku. Penasaran juga dengan latar keluarga gadis kecil itu. Jika benar orang tuanya adalah wanita hamil itu, artinya Khiara ada hubungannya dengan Mas Irwan."Gak tau, Ma. Khiara selalu marah, setiap aku atau teman-teman lain ngomongin Papa. Dia bilang, "Jangan pamer, nanti Papa kalian diambil sama Allah, dilempar ke laut, mau?""Lho, kok Khiara bicara seperti itu?""Gak tau, Ma. Dia gak mau cerita. Bisanya marah aja, tapi Al suka main sama dia, Ma. Dia suka perhatian sama Al," jelas anakku gadisku."Perhatian seperti apa, contohnya?" Aku menyelidik, seraya menguncir rambut panjang yang hitam dan lebat itu."Kalau Al ceroboh, selalu diingatkan. Al mau jatuh, ditolongin. Tapi memang suka marah juga, Ma." Allisya tetap asik dengan krayon di tangannya, menggoreskannya ke atas buku gambar."Baik juga, ya, Khiara. Kamu tau, siapa Mamanya?" Semoga saja, Khiara pernah menyebutkan nama Mamanya pada Allisya.Allisya menggeleng cepat. Yah! Pupus sudah harapanku bisa mengetahui nama Ibunya Khiara. "Tapi Al tau nama Neneknya yang suka ngomel," tukas Allisya, tanpa kuduga."Hus, gak boleh bicara seperti itu. Memang siapa nama Neneknya?" tanyaku lagi, dengan dada berdegar kuat. Aku tak sabar ingin mendengar nama itu, tetapi tetap harus mengingatkan ketika anakku berbicara kurang sopan."Nenek Rita. Gak mau dipanggil Nenek, katanya Mama saja. Khiara bilang, Nek Rita itu suka sekali marah-marah sama Khiara."Degh!"Kuncinya dibawa Ibu Rita, Bu." Seketika ucapan Nining kemarin siang kembali berputar di telingaku.Jadi, benar itu adalah rumah wanita hamil dan Ibunya yang bernama Rita itu? Khiara, apa anaknya wanita hamil itu dengan Mas Irwan?Jika benar, artinya Khiara dan Allisya bersaudara, begitu?Bersambung ....Di waktu yang bersamaan, Azka Hamam kembali ke rumah. Diam-diam masuk, lalu mengusap puncak kepala sang istri dari belakang. Pria gagah itu memberikan kejutan kecil untuk sang istri. Tadinya, ia berencana membujuk sang istri, demi kesehatan."Astaghfirullah! Mas, aku kaget," pekik Allisya yang tak menduga suami akan kembali."He he he ... maaf, maaf. Masih gak enak perutnya?" tanya Azka, duduk di lantai sementara istrinya bangun dan duduk di sofa. Tatapannya tertuju pada bagian tubuh yang tadi Allisya bicarakan. "Ini juga sakit?" tanyanya, menunjuk itu."Enggak sakit. Cuma gak nyaman aja. Terasa berat, kayak bengkak gitu, Mas. Terus, kalau kesentuh ujungnya sakit." Allisya pun tanpa malu membeberkan."Semalam juga sakit? Kenapa enggak bilang?" tanya Azka lagi, mengingat kehangatan semalam. Ia tidak habis pikir, jika sampai menyakiti istrinya."Ya ... gimana. Mas suka," kata Allisya, malu-malu."Lain kali bilang, Sayang, kalau ada yang sakit. Ya, sudah. Sekarang kita ke dokter, ya?" bu
Pagi menjelang siang, di sebuah bangunan bertingkat, kini keluarga Allisya berada. Sebuah gedung mirip dengan rumah susun elit yang ada di kota asal mereka. Dan ternyata, tempat itu adalah sebuah panti jompo.Tadi, ketika pemandu wisata menanyakan soal Afifah--teman Khiara yang tinggal di sana, mereka mendapatkan informasi bahwa Afifah sudah berangkat bekerja bersama teman barunya (kemungkinan Khiara). Sang pemilik rumah sewa itu pun memberikan alamat tempat bekerja Afifah.Dan benar saja, Khiara ada bersamanya, sama-sama mengenakan seragam suster. Usut punya usut, rupanya Afifah sudah lama bekerja sebagai pengasuh lansia di tempat itu. Kini mengajak Khiara bekerja di sana pula karena memang sedang membutuhkan tenaga kerja baru."Kenapa Mama sampai nyusulin Khia ke sini?" tanya Khiara, tak menyangka. Sebelumnya, ia memang sempat memberikan alamat rumah sewa yang temannya tinggali. Tidak pernah menduga jika mama sambungnya sampai rela menyusul."Karena mama khawatir sama kamu, Nak." Na
Keduanya kini telah sampai di depan sekolah Ziya. Menyambut kedatangan Ziya yang selalu ceria dengan semringah. Karena besok, mereka akan pergi berlibur ke Jepang.Masuk ke dalam mobil, bercerita sepanjang jalan dengan antusias. Mulai dari kegiatan di sekolah, sampai tingkah polah Ziya dan teman-temannya di sekolah. Allisya dan Azka bergantian menyahuti penuh ekspresi."Ziya juga bilang ke teman-teman, kalau Ziya mau liburan ke Jepang. Teman-teman semua iri, mau juga katanya, Ma. Apa boleh, Ziya ajak mereka kapan-kapan?" tanya Ziya antusias."Wah, kalau mengajak teman tidak bisa sembarangan, Sayang. Apalagi Jepang itu sangat jauh. Nanti orang tua mereka khawatir," jelas Allisya, juga ditambahi penjelasan ringan oleh Azka.***Pukul 3 sore, Allisya beserta rombongan keluarga sudah sampai di Kota Sapporo setelah menempuh perjalanan kurang lebih 9 jam. Kota yang terletak di Pulau Hokkaido, pulau terbesar kedua di Jepang.Mereka sengaja tidak mendatangi Ibukota Jepang, demi menghindari ke
"Saudara Dareen dinyatakan bersalah atas kasus tabrak lari yang terjadi pada tanggal 20 Februari 2021, yang mengakibatkan korban atas nama Ibu Fitrinariza Azizah meninggal dunia.""Berdasarkan laporan yang baru masuk dua minggu lalu, pelaku tidak dinyatakan sebagai DPO atas kasus ini, sehingga vonis hukuman bisa saja berkurang."Allisya menemani suaminya yang hari ini sangat tegang menghadapi sidang. Nadia dan Emir pun turut hadir, tak kalau tegang karena ternyata Dareen memang bukan DPO atas kasus ini sehingga tidak memberatkan hukumannya. Ini semua karena pihak Azka Hamam tidak melapor sejak awal."Dengan ini, pelaku dijatuhkan hukuman kurungan selama lebih kurang 6 tahun penjara, dan denda sebesar lebih kurang 12 juta rupiah."Mendengar itu, Azka seketika tertunduk lemah. Rasanya, hukuman itu tidak setimpal dengan apa yang terjadi dengan mendiang istrinya.Namun ternyata, vonis hukuman belum selesai dibacakan. Ada sederet kasus berat yang Dareen dan papanya lakukan sejak sang papa
Seperti yang telah direncanakan, Nadia dan Emir tiba di rumah Azka Hamam diantar oleh sopir yang Allisya tugaskan. Keduanya mengucap salam bersama, disambut hangat oleh anak menantu dan cucu sambung yang ceria."Masuk, Ma, Pa." Allisya menggandeng sang mama."Iya. Oh, iya. Pak Didit sudah mama suruh makan di resto utama, biar lebih dekat. Nanti dia akan jemput kalau kita sudah selesai." Nadia menjelaskan. Karena biasanya, Allisya suka mengajak serta sopirnya makan bersama. Namun malam ini, Nadia ingin berbicara penting dengan anak dan menantunya."Oh, begitu. Ya sudah, Ma. Terima kasih," ucap Allisya. Meski restoran telah sepenuhnya beralih ke tangannya, namun Allisya selalu menghargai apa pun keputusan mamanya. Termasuk seperti malam ini, mengizinkan sopirnya makan sepuasnya di sana.Semua berkumpul di ruang makan, menikmati suapan demi suapan masakan yang Allisya buat. Udang asam manis, cah kangkung, dan perkedel kentang ayam kesukaan mamanya."Alhamdulillah ... makanannya enak-enak
"Ziya tau, kalau Bunda sedang hamil saat itu?" tanya Allisya, yang hanya mendapatkan tatapan tak mengerti dari Ziya."Emm ..." Ziya menggeleng. Ia masih sangat terlalu kecil untuk memahami apa yang terjadi, sebelum bundanya meninggal karena tertabrak mobil Dareen. "Nenek suka cerita. Katanya, bunda saat itu sedang ada dedek bayinya di perut. Sebentar lagi mau lahir," jelasnya kemudian.Allisya mengangguk-angguk. Ia tidak mau memperpanjang, sebab, sejujurnya ia cemburu. "Kita masuk, ya, Sayang," ajak Allisya setelah memarkir mobilnya di garasi rumah Azka.Keduanya pun masuk bersamaan, dengan perasaan masing-masing. Di dalam, Allisya menyiapkan pakaian ganti untuk putri sambungnya, lantas menemani sang putri agar tertidur pulas.Wanita cantik itu tanpa sadar mengusap perutnya rata, berdoa agar Allah segera mengirimkan makhluk kecil di dalam sana untuk melengkapi kebahagiaan mereka. Ada sedikit kekhawatiran, takut kalau-kalau ia tidak bisa hamil seperti sang mama.'Ah, tidak, tidak! Mama