Share

Kebangkitan Helena

***

Hazel berbicara panjang lebar dengan klien sementara aku lebih banyak diam menyimak. Jujur, setelah lama tidak mengurus Perusahaan Papa rasanya aku kembali kikuk jika harus berhadapan dengan orang-orang penting ini.

"Mulai besok kembali bekerja di kantor, cari alasan agar Andra tidak curiga. Satu klien bisa kita atasi, tapi entah ada berapa banyak orang yang Andra hubungi, kamu harus bisa menghentikan sebelum semakin jauh dia bertindak."

Aku mengangguk. Setelah pertemuan di Cafe Cempaka aku segera membawa mobil pulang ke rumah. Rasanya lelah sekali, jiwa dan raga.

"Darimana kamu, Len? Sakit bukannya tidur malah kelayapan!"

Aku berjingkat. Untuk pertama kalinya melihat Mas Andra menggerutu di depanku. "Kenapa memangnya? Kamu khawatir?" sindirku. 

"Helena, sini, Sayang. Andra bilang kamu sakit, Mama datang membawa sup ayam, makan selagi masih hangat."

Aku hanya mengangguk. Jika dulu aku akan luluh dan merasa disayangi dengan sikap mereka, maka tidak dengan saat ini. Muak sekali melihat Mama Desinta yang berpura-pura perhatian padahal dia juga mendukung aksi penghianatan anaknya.

"Darimana kamu, katakan!"

"Dari butik, Mas. Kamu pikir darimana?"

"Sudah pandai bohong ya kamu! Aku baru saja dari Butik dan kamu tidak ada disana. Apa menjadi yatim piatu membuatku lupa bagaimana caranya minta ijin pada suami?"

Plak ...

Aku berbalik dan menampar pipi Mas Andra dengan keras. Hatiku berdenyut nyeri mendengar dia menghina status yang memang benar adanya, ya ... aku memang yatim piatu, tapi kedua orang tuaku selalu mendidikku dengan baik. 

"Andra!" teriak Mama Desinta. "Tenangkan dirimu, lagipula mungkin Helena sudah berada di jalan waktu kita ke butik."

Napasku memburu melihat laki-laki yang ternyata hanyalah seorang benalu selama ini. Lihat ... dia bahkan lupa siapa yang membiayai hidupnya selama ini.

"Maafkan Andra, Len. Dia hanya sedang kesal karena ada tetangga yang bilang kalau tadi kamu datang ke rumah."

"Lalu kenapa kalau aku memang kesana, Ma? Ada yang salah, lagipula itu juga rumahku, rumah yang kubeli dari uang Perusahaan Papaku. Iyakan? Atau mendadak kalian semua lupa kalau harta yang kalian nikmati ini adalah milikku?"

Kulihat wajah Mas Andra memerah. Aku tidak peduli, hatiku terlanjur sakit mendapat hinaan dari mulutnya.

"Kamu kenapa jadi bahas harta sih, Len?"

"Ya terus, apa aku salah kalau mengingatkan asal usul rumah yang Mama tempati? Lagipula kamu yang kenapa, Mas, istri baru datang malah marah-marah. Memang ada apa di rumah Mama sampai kamu begitu takut aku kesana, katakan?!"

Aku melirik tajam ke arah Mas Andra dan Mama Desinta. Keduanya terlihat saling pandang, lalu Mas Andra berjalan mendekat sembari menggenggam jemariku dengan lembut. "Maafkan Mas, Len. Mas hanya lelah seharian di kantor, pulang-pulang kamu malah nggak ada. Mas takut kamu kenapa-kenapa di luar."

Aku berdecih lirih. Kantor dia bilang? Aku semakin muak melihat tingkah Mas Andra dan Mamanya yang ternyata adalah ular selama ini.

"Minggir, aku mau istirahat!" Aku menepis tangannya dan hendak berlalu meninggalkan Mas Andra dan Mama di ruang tamu.

"Helena, Mama datang kesini ... ehm ... anu, Sayang ...."

Aku menghentikan langkah. Menoleh pada wanita yang selama ini aku sayangi sepenuh hati bahkan semua keinginannya aku yang penuhi, tapi apa yang kudapat ... penghianatan yang menyakitkan. 

Menatap wajah Mama Desinta membuat air mataku kembali menggenang. Hampir tiga tahun lamanya aku merasakan kasih sayang Mama yang telah lama hilang. Tapi ternyata Tuhan mempunyai takdir lain untuk hidupku. Dia tunjukkan kebusukan Mama dan Suamiku yang telah lama mereka sembunyikan.

"Katakan, Ma. Aku lelah, tidak punya banyak waktu."

"Helena!" Suara Mas Andra meninggi. Melihat wajahku yang datar, dia kembali merendahkan suaranya. "Maaf, Len. Tapi tolong hargai kedatangan Mama, dia kesini ingin melihat keadaan kamu dan ...."

"Biar Mama yang bicara, Ndra. Buatkan istrimu teh hangat, dia pasti lelah bekerja seharian disaat badannya sedang tidak sehat."

Mas Andra mengangguk samar kemudian berlalu meninggalkan aku dan Mama di ruang tamu. Jika dulu aku akan bermanja-manja dan bergelayut di lengannya, kini bahkan untuk menatap kedua matanya saja aku enggan. Ada sakit yang tidak bisa aku jelaskan saat ketulusan justru dibalas dengan penghianatan. Tidak tanggung-tanggung, Mas Andra bahkan hampir memberiku anak dari rahim wanita lain.

"Duduklah, Nak. Biar Mama pijit kakimu."

Aku menurut. Untuk saat ini tidak ada pilihan lain selain menekan rasa geram di dalam dada. Hazel benar, aku harus bermain cantik meskipun tidak jarang aku pun tersulut emosi melihat Mas Andra yang mulai menunjukkan kebusukannya.

"Maafkan Andra. Dia terlalu khawatir kamu kenapa-kenapa sampai terlihat marah sekali. Kamu percaya kan kalau anak Mama itu begitu mencintaimu?"

"Oh ya, Ma?"

Nampak wajah Mama terlihat kaget dengan ucapanku. "Kenapa kamu bicara seperti itu? Kamu mulai ragu pada Andra?" tanya Mama seraya memicingkan matanya.

Aku menggeleng. Mencoba tersenyum sekalipun hatiku rasanya hancur berkeping-keping. Lihat, betapa manis sikapnya di depanku, tapi di belakang ... dia tidak ubahnya ular yang siap mematuk.

"Andra mencintai kamu, Helena. Jangan berpikir yang tidak-tidak pada anak Mama. Dia laki-laki yang setia."

Aku membuang muka malas. "Sebenarnya apa yang ingin Mama katakan?"

"Mama ingin merayakan ulang tahun Kamila, Sayang," sahut Mas Andra dari arah dapur. Di tangannya membawa secangkir teh hangat dan diletakkan dengan perlahan di atas meja.

"Lalu?"

"Kok lalu sih? Ya, masa kamu diam-diam saja, Len. Adikku mau ulang tahun loh!" jawab Mas Andra ketus. "Setidaknya beri Kamila hadiah kejutan, Sayang. Apalagi biaya ulang tahun sekarang tidak murah."

Kedua tanganku mengepal kuat. Rahangku mengeras menahan geram mendengar ucapan Mas Andra. Helena ... Helena ... betapa kamu memang wanita bodoh! Mereka mengelabui kamu selama ini dan kamu bahkan tidak menyadarinya. Bodoh!

"Aku sedang tidak ada uang, Mas. Maaf."

"Len, bagaimana bisa nggak ada uang, pemasukan butik kamu melejit loh bulan ini."

Aku menoleh. Kedua mataku membulat lebar mendengar pernyataan yang keluar dari mulut suamiku. 

"Tunggu, darimana kamu tau? Jangan bilang kalau ....?"

"Tadi aku lihat pemasukan butik, Ana yang kupaksa memperlihatkan. Tega ya kamu, Helena ... pemasukan butik kamu bahkan begitu besar dan untuk memberi hadiah Kamila saja kamu enggan. Kamu kenapa sih, Len?"

Aku mencekal lengan Mas Andra dengan kuat. Ingin rasanya aku tampar dia sekarang juga dan mengusirnya dari rumah. Tapi lagi-lagi aku meraup udara dengan kasar, aku harus memastikan kalau uang yang Mas Andra ambil dari perusahaan kembali dengan utuh.

"Lancang kamu, Mas!" teriakku, "Tidak seharusnya kamu melihat apa yang menjadi privasiku! Lagipula kalau pendapatan butik melejit naik, apa urusannya denganmu, kenapa kamu terlihat ingin sekali menguasai semua hartaku, hah?"

"Aku suamimu, Len ... sekedar melihat perkembangan butikmu apa aku salah?"

"Ya! Jelas kamu salah, Mas!" sahutku cepat. "Kamu bertindak seolah-olah semua milikku adalah milikmu, seharusnya kamu sadar diri kalau semua peninggalan Papa adalah milikku, murni milikku. Jangan mengusik apapun selain Perusahaan yang bahkan hampir ...."

Aku membuang muka. Hampir saja aku kelepasan mengatakan semuanya jika aku sebenarnya mengetahui keadaan Perusahaan Papa.

"Hampir apa?" tanya Mas Andra dingin.

"Argh! Lama-lama aku muak melihat sikapmu, Mas! Kenapa yang ada di otakmu hanya uang, uang dan uang saja!"

Aku berlalu meninggalkan Mas Andra dan Mama di ruang tamu. Rasanya lelah sekali, jiwa dan ragaku benar-benar tidak sanggup menjalani ini semua. Aku berjalan sembari sibuk mengusap air mata yang mengalir membasahi pipi. Tapi tiba-tiba langkahku sengaja berhenti saat suara Mama sayup-sayup kudengar.

"Wanita kurang ajar! Beraninya dia berbicara sombong di depan kamu, Ndra."

Aku menghentikan langkah di balik dinding pembatas antara ruang tamu dan ruang keluarga. 

"Pokoknya Mama tidak mau tau, besok harus ada mobil baru untuk Anita. Dia sedang hamil cucu Mama, apa iya seorang Andra tidak bisa membelikan mobil baru untuk istrinya?"

"Ma, aku sedang kebingungan menutup pengeluaran Perusahaan yang membengkak. Kalau sampai Helena tau sebelum aku menguras semuanya, kita akan hancur."

"Persetan dengan wanita mandul itu, Andra! Mama muak sekali melihatnya yang sok berkuasa. Lihat saja, selangkah lagi Mama akan buat dia menderita!"

Aku meremas dada dengan kuat. Tolong, Helena ... sekarang bukan waktunya untuk lemah. Musuh ada di dekatmu dan kamu hanya bisa menangis saja?

Baiklah, Ma. Mari kita lihat siapa yang akan hancur. Aku, atau kalian!

"Mama mau pulang. Percuma ngemis-ngemis kesini tapi nggak ada hasil. Dasar mandul!"

Tidak kudengar suara Mas Andra mengelak ucapan Mamanya. Langkah kaki terdengar semakin menjauh, lalu disusul deru mobil yang mulai meninggalkan halaman rumah. 

Aku merogoh saku celana dan mengambil gawai di dalam sana. Kutekan nomor Hazel karena aku butuh dia untuk mengejutkan Mas Andra besok.

"Halo, Hazel ... besok aku akan kembali ke kantor, tolong jadi sekertarisku untuk saat ini karena tidak ada yang bisa kupercaya selain kamu."

"Apa balas dendam akan dimulai, Lena?"

"Ya, dan tidak ada ampun untuk penghianat!"

Bersambung

Komen (1)
goodnovel comment avatar
Winata Khaian
alur cerita yg sangat menarik
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status