***
Aku melangkah mundur dengan perlahan. Meskipun ingin sekali melabrak mereka sekarang juga, tapi aku tidak mau penghianatan yang Mas Andra berikan hanya berujung pada perceraian semata. Aku akan membalaskan dendam Mama dan Papa jika memang wanita yang menggoda suamiku adalah Dewi. Akan kupastikan jika balas dendam yang kuberikan tidak akan bisa dia lupakan.
"Kok balik lagi, Mbak?"
Bu Jihan yang masih menggendong cucunya melihatku dengan mengernyit. Aku terkekeh, lalu menarik tangan tetangga yang terkenal ramah itu untuk bersembunyi di balik mobil.
"Boleh saya minta tolong, Bu?"
Bu Jihan nampak mengerjapkan mata lalu mengangguk samar. "Kalau saya bisa, insyaallah saya bantu, Mbak Helen."
Aku menceritakan tentang wanita hamil di rumah Mertuanya, nampak wajah Bu Jihan begitu terkejut, lalu kembali menguasai diri karena terlihat jelas dari senyum yang dia paksakan.
"Mungkin adik ipar Pak Andra, Mbak. Kenapa tidak langsung masuk saja untuk memastikan."
Aku mematung. Kugigit bibir dengan gelisah, harusnya kuberitahu pada Bu Jihan tentang kondisi rumah tanggaku yang saat ini tengah mendapat terjangan sebuah penghianatan?
Seolah mengerti kegelisahan hatiku, Bu Jihan seketika mengangguk sambil berkata. "Kalau begitu beri saya nomor Mbak Helena, nanti kalau ada kabar atau wanita hamil itu keluar rumah akan segera saya berikan fotonya."
Aku mengangguk lega. Semoga Bu Jihan berhasil mencari bukti tentang siapa wanita hamil yang sedang berada di rumah Mama. Pandai sekali mereka mengelabuiku, padahal dulu setiap Minggu aku selalu datang ke rumah ini, meskipun beberapa bulan belakangan aku disibukkan dengan urusan Butik.
"Kuat, Mbak. Laki-laki boleh berhianat, tapi wanita harus tetap tegar. Jangan terlihat lemah atau mereka akan merasa menang."
Mendengar support dari mulut Bu Jihan tanpa terasa air mataku menggenang. Aku mengangguk samar tanpa kata. Kini aku yakin, tanpa kujelaskan sekalipun, Bu Jihan akan mengerti kondisiku saat ini.
"Terima kasih, Bu. Saya permisi."
Kuatur napas dengan perlahan. Mobil pemberian Papa saat dia masih hidup selalu setia menemani kemanapun aku pergi. Lagi-lagi bayangan Papa dan Mama berkelebatan disaat aku sedang sendiri. Merasa kosong, aku mendadak khawatir jika Mas Andra berhasil menguasai semuanya dan menendangku keluar dari rumahku sendiri. Ya, aku lemah karena tidak memiliki saudara.
Aku menepi, air mata mengalir deras bahkan kini tangisan yang keluar dalam diam mulai berubah menjadi sesenggukan. Aku wanita, sekuat apapun aku ingin melawan tetap saja aku rapuh.
Ddrrrttt ....
Aku melirik ponsel yang tergeletak di atas dasboard. Nama Hazel tertampang jelas di layar ponsel yang seolah memanggil-manggil ingin kuangkat.
"Ha-- halo?"
"Dimana? Sekarang ada janji temu dengan klien di Cafe Cempaka, suamimu memang tidak becus, Helena! Sekali lagi aku mendengar kamu masih membelanya, maka aku akan hancurkan sekalian Perusahaan Papamu."
Aku begidik ngeri. Ini adalah kali pertama Hazel terdengar begitu marah. Tapi, Mas Andra memang keterlaluan.
"Aku kesana, temani aku karena banyak hal yang tidak aku ketahui sejak beberapa tahun terakhir."
"Jangan lemah, aku di belakangmu!"
Aku mengangguk sekalipun tau kalau Hazel tidak akan melihat anggukan kepalaku.
Setelah mematikan telepon, aku mengarahkan mobil ke tempat yang Hazel maksud. Semua kekacauan ini harus segera diakhiri jika tidak maka perusahaan Papa akan terancam pailit.
Saat hendak meletakkan ponsel lagi, tiba-tiba aku terpikir untuk melihat pesan di ponsel Mas Andra. Aku yakin sekali suamiku pasti kembali pulang untuk mencari ponselnya yang sengaja kuletakkan kembali di atas meja makan. Lihat, dia bahkan tidak berusaha menghubungiku bukan?
|Jaga anakku dengan baik, Dra. Sedikit saja kamu melukai Dewi, maka aku tidak akan tinggal diam. Rahasiamu ada bersamaku|
Mama Fiona?
Aku yakin sekali ini pesan dikirim oleh Mama Fiona meskipun di kontak Mas Andra dia tulis dengan nama 'MamFi.'
Percakapan mereka cukup panjang siang ini, pantas dia tidak ada waktu untuk mencariku yang tidak ada di rumah. Oh ayolah, Helena. Jangan berharap lebih pada laki-laki brengsek seperti Mas Andra!
|Tenang saja, Ma. Aku akan menjaga Anitaku dengan baik. Usia kehamilannya sudah memasuki bulan keempat, semoga rahasiaku aman karena Mama pun ikut andil dalam proyek besar-besaran yang kita lakukan bukan?|
Kedua alisku bertaut. Apa sebenarnya yang sedang mereka bahas. Aku tidak mengerti karena setelah pesan tentang proyek besar-besaran keduanya beralih membahas tentang bagaimana caranya untuk mengusirku. Kamu benar-benar ular, Mas!
Kubuang ponsel di kursi sebelah, aku segera mengemudikan mobil untuk menyusul Hazel. Perusahaan Papa tidak boleh hancur karena ada banyak dana yang sudah Mas Andra tilap, aku yakin itu.
***
Sesampainya di depan Cafe, mataku celingukan mencari sosok Hazel. Tangannya melambai kubalas dengan anggukan lirih. Jantungku berdebar karena ini kali pertama aku harus bertemu klien padahal sebelumnya sudah membebaskan diri dari urusan Perusahaan.
"Duduk, klien dari Perusahaan Marco belum datang, beruntung kamu tidak terlambat," kata Hazel datar. Aku mengangguk, malas sekali memulai obrolan dengannya.
"Kamu tau klien yang akan kita temui ini dari mana?"
Aku mengedikkan bahu. "Mulailah peka pada urusan Perusahaan, Lena. Sekali saja kamu lengah, maka yang kamu dapat hanyalah penghianatan dan Perusahaan yang hanya tinggal nama. Suamimu berusaha mencari pinjaman dengan banyak sekali data yang dia palsukan. Jika semua klien menyetujui, maka tinggal menunggu waktu para Perusahaan yang terlibat akan mengejarmu selaku pewaris satu-satunya Perusahaan ini."
"Penghianatan memang sakit, tapi bagaimana jadinya jika semua kerja keras Papamu harus hancur dan itu semua sengaja dihancurkan oleh orang-orang brengsek seperti suamimu?"
Aku tertegun. Hazel ternyata memantau sejauh ini dan aku yang begitu bodoh masih saja tidak menyadari semua aduannya selama ini.
"Bangkit demi Om Bagas, Len. Jangan terpuruk lebih dalam karena para penghianat harus menerima balasannya."
Aku mengangguk mantap. Kami berdua berdiri saat dua orang laki-laki mendekat dan memperkenalkan siapa mereka.
Baiklah, mari menata hati, Helena. Setelah ini mungkin kejutan-kejutan lainnya akan keluar dan kamu harus siap.
Bersambung***Hazel berbicara panjang lebar dengan klien sementara aku lebih banyak diam menyimak. Jujur, setelah lama tidak mengurus Perusahaan Papa rasanya aku kembali kikuk jika harus berhadapan dengan orang-orang penting ini."Mulai besok kembali bekerja di kantor, cari alasan agar Andra tidak curiga. Satu klien bisa kita atasi, tapi entah ada berapa banyak orang yang Andra hubungi, kamu harus bisa menghentikan sebelum semakin jauh dia bertindak."Aku mengangguk. Setelah pertemuan di Cafe Cempaka aku segera membawa mobil pulang ke rumah. Rasanya lelah sekali, jiwa dan raga."Darimana kamu, Len? Sakit bukannya tidur malah kelayapan!"Aku berjingkat. Untuk pertama kalinya melihat Mas Andra menggerutu di depanku. "Kenapa memangnya? Kamu khawatir?" sindirku. "Helena, sini, Sayang. Andra bilang kamu sakit, Mama datang membawa sup ayam, makan selagi masih hangat."Aku hanya mengangguk. Jika dulu aku akan luluh dan merasa disayangi dengan sikap mereka, maka tidak dengan saat ini. Muak sekali meli
*** "Mau kemana, Len, kenapa rapi sekali?" Aku berjingkat mendengar suara Mama, pasalnya tadi malam dia sudah keluar diantar Mas Andra setelah mencaci makiku di belakang. Tapi pagi ini dia tiba-tiba sudah berada di dapur. "Lena?" "Ah, ehm ... ada urusan di kantor, Ma," sahutku cepat. "Apa Mas Andra sudah berangkat?" Mama Desinta mengangguk. Dia membawa sepiring nasi goreng dan satu gelas susu hangat di atas meja makan. Tanpa menghiraukan sarapan yang sudah Mama buat, aku segera berbalik hendak pergi ke kantor secepatnya, jangan sampai Mas Andra tahu jika aku sudah membatalkan semua pengajuan pinjaman yang sudah dia rencanakan. "Helena, makan dulu, Nak. Kamu baru pulih!" teriak Mama dari arah dapur. Aku berjalan semakin cepat menuju kamar, menyambar kunci mobil dan tas yang sudah berisi banyak bukti siapa sebenarnya Anita. Aku tidak akan memaafkan kalian! Setelah merebut Papa dari Mama, sekarang anaknya pula ingin merebut Mas Andra dariku. Apa mereka pikir aku akan selemah Mama beg
***"Jaga bicaramu, Len. Aku suamimu, tidak seharusnya kamu mempermalukan suami sendiri di depan umum," kata Mas Andra tegas. "Lihat, gara-gara suara kamu para staf sampai terganggu, sekarang ayo kita pergi!"Mas Andra menarik tanganku kasar. Kulihat senyuman tipis tergurat di bibir Anita. Oh ya, apa dia pikir aku selemah itu akan menangisi tamparan suamiku? Tentu tidak!"Lepaskan!" "Tolong jangan buat keributan di kantorku, Len. Aku tidak mau sampai harga diriku rusak gara-gara kamu yang terbakar cemburu!"Aku tertawa lantang. Saat Mas Andra menoleh ke arahku dengan setengah tercengang, disaat itulah aku melepaskan cekalan tangannya. Lihat, anak pelakor itu bahkan mengintil di belakang kami."Kamu sadar apa yang kamu katakan, Mas?"Wajah suamiku memerah. Mungkin dia merasa terhina. Ah, bukankah dia dan selingkuhnya memang hina. Kurang baik apa aku selama ini, sehingga dia berani mengkhianati ikatan suci sebuah pernikahan?"Ini Perusahaan Papaku, Mas. Mana ada kantor milikmu," jelask
*** "Sayang, sudah hentikan! Kamu hanya salah paham dan tersulut cemburu buta." "Cemburu buta?" kataku meniru ucapan Mas Andra. "Ha ... ha ... yang benar saja, Mas. Aku tidak akan menaruh rasa cemburu pada wanita murahan sepertinya! Bahkan jika dia mau ambil kamu, silahkan! Tapi jangan harap bisa mengambil harta orang tuaku sepeserpun!" Kulihat Mas Andra menggelengkank epalanya samar, dan saat itu pula Anita berlalu tanpa berani membalas hinaan yang keluar dari mulutku. Ayolah, Anita ... sakit hati atas ucapanku tidak sesakit kamu merebut suamiku bukan? Kamu dan Mamamu yang jalang itu sudah menghancurkan keluargaku. Aku merasakan tangan Mas Andra menggenggam jemariku. Bisa kulihat kedua mata Anita melotot melihat aksi laki-laki yang dia cintai memelas di depanku saat ini. "Pergilah, Nit! Jangan bikin suasana tambah runyam!" Aku membuang muka. Menepis tangan Mas Andra dan mulai berjalan hendak memasuki ruangan. "Kamu kenapa sih, Len? Kenapa tiba-tiba datang dan mau atur Perusaha
*** "A-- apa maksudmu, Len? Kumpulan pelakor siapa?" Aku tertawa getir. Ibu dan Anak sama saja, pintar bersandiwara. Jelas-jelas di dalam rumah ini ada Mama Fiona dan Anita, tapi dia bersikap seolah-olah tidak tahu menahu tentang apa maksud dari ucapanku. "Len, duduk, Sayang! Kita bicarakan baik-baik! Mama dengar dari Anita kalau kamu salah paham dengan Andra, iya?" Aku berdecih. "Tidak ada yang namanya salah paham. Sudahlah, Ma, aku lelah! Aku cuma mau bilang kalau besok rumah ini harus dikosongkan!" "Lalu kami semua akan tinggal dimana, Helena?" "Kami?" Mama nampak gelagapan. Dia berkali-kali mengerjapkan mata dan berusaha menggenggam jemariku. "Iya, kami. Mama dan Kamila. Apa kami akan kamu bawa tinggal di rumahmu, Nak?" Aku tertawa terbahak-bahak. Menatap satu per satu wajah di dalam rumah ini yang sangat aku benci. Mereka ... tega-teganya mereka membuat hidupku hancur setelah apa yang aku berikan selama ini. "Aku?" Aku menunjuk diriku sendiri di depan Mama. "Aku bawa Mam
PoV Author *** Helena terkekeh. Dia menarik rambut Anita hingga wanita itu berteriak kesakitan. Fiona menahan napas melihat anaknya diperlakukan kasar oleh Helena. Apalagi saat ini Anita sedang hamil, tentu saja Fiona takut jika satu-satunya senjata yang mereka miliki justru hilang begitu saja. Melihat ada pergerakan dari Fiona dan Desinta, Hazel menghalangi jalan mereka dengan tegap. "Berani meringsek maju, kupatahkan kedua tangan kalian!" serunya sengit. Desinta dan Fiona saling pandang sementara di depan pintu Helena semakin mengeratkan tarikannya di rambut panjang Anita. Wanita itu semakin mendongak, air mata mengalir di sudut-sudut matanya. "Gila kamu, Helena! Lepaskan aku!" teriaknya marah. "Kalau Mas Andra tau kamu memperlakukanku seperti ini, dia tidak akan mengampunimu!" "Kamu pikir aku butuh pengampunan dari laki-laki miskin itu, Nit?" tanya balik Helena seraya melirik Desinta sinis. "Dia dan keluarganya, atau bahkan kamu dan Mama lacurmu itu hidup dari uangku, dari bela
*** "Menangislah sekarang. Sepuasnya, seberapa banyak pun kamu ingin membuang air mata. Menangislah!" Helena semakin tergugu. Dia tidak menyangka jika selama ini Hazel justru selalu memantaunya dari jauh. "Andai saja dulu aku menikah denganmu, aku yakin Papa pasti masih hidup, Zel," lirih Helena sembari memanggil Hazel dengan sebutan masa kecil mereka. Hazel menoleh. Dadanya berdegup kencang, lebih kencang dari biasanya. Bibirnya tersenyum tipis kemudian membuang muka perlahan. Dia tidak mau Helena melihat wajahnya yang memerah karena bahagia wanita yang dia cintai memanggilnya dengan panggilan masa lalu mereka. "Bagaimana kalau kita menikah saja sekarang?" Helena menghembuskan napas kasar. Dia melengos dan mencebik. "Aku bahkan tidak berselera bercanda kali ini. Hatiku benar-benar hancur. Orang-orang yang aku anggap baik ternyata tidak ubahnya ular dalam hidupku," papar Helena mengurai pedihnya takdir yang menyapa. "Aku pikir menikah dengan laki-laki yang kucintai akan berakhir
*** "Len ... Helena!" Aku menutup telinga dengan bantal saat suara Mas Andra menggelegar di depan pintu pagar. "Keluar kamu, Helena!" Dadaku berdegup kencang. Untuk area Perumahan yang tidak banyak penghuni, suara Mas Andra cukup terdengar sampai ke lantai atas rumahku. Beruntung Hazel segera membawa dua orang satpam dan satu ART untuk menemaniku malam ini. Prediksinya benar, Mas Andra akan datang ke rumah ini karena sore tadi anak buah yang aku sewa sudah mengusir keluarganya dari rumah. "Bangsat kamu, Len!" Aku meremas tangan dengan gusar. Untuk pertama kalinya, setelah bertahun-tahun kami menjadi suami istri, aku bisa mendengar umpatan yang akhirnya keluar juga dari mulut suamiku. Ah, calon mantan suami. Tiba-tiba mataku menyapu ruangan. Di dalam kamar ini dulu kita selalu memadu kasih, berbagi cerita tentang kegiatan sehari-hari, juga menyusun rencana masa depan yang ternyata semua itu hanyalah pemanis saja. Mas Andra benar-benar membuat duniaku hancur. "Lepaskan! Aku sua