"Ceraikan aku, Mas," lirih Hana tapi masih jelas terdengar di telinga Adam.
"Yes! Inilah yang aku harapkan," ucap Alya sangat pelan hingga tak dapat terdengar oleh Adam dan Hana.
Kalimat yang tak pernah dibayangkan akan dia ucapkan pada Adam. Hana terpaksa melakukannya karena dia tidak siap dipoligami.
Hana sekuat hati menahan agar air matanya tidak keluar. Walaupun di dalam hatinya, dia hancur berkeping-keping. Belum lama dia sembuh dari rasa sakit akibat operasi dan kehilangan anak, kini luka itu kembali mengangga akibat perbuatan Adam suaminya.
"Tidak akan! Sampai kapanpun kamu akan tetap menjadi istri pertamaku," balas Adam tegas.
"Kenapa kamu begitu egois, Mas? Aku sangat terluka oleh sikapmu ini," ucap Hana menahan tangis.
"Aku masih sangat mencintaimu, Hana. Dan itu tidak akan pernah berubah sampai kapanpun," sahut Adam.
Hana pun mencebik, dia tidak percaya dengan ucapan Adam. Buktinya, Adam tega melakukan pernikahan lagi tanpa berterus terang kepadanya.
"Turuti saja kemauan Mbak Hana, Mas. Toh dia sendiri yang memintanya," celetuk Alya yang mulai gregetan karena suami istri itu tidak ada yang mau mengalah.
"Diam kamu, Al!" bentak Adam dengan mata melotot tajam ke arah Alya.
"Bukankah kita sudah sepakat soal ini sebelumnya? Tak ingatkah kamu, Al?" sambung Adam yang membuat Alya diam dengan bibir cemberut karena tak suka dibentak di depan Hana.
"Tapi, kan, ini Mbak Hana sendiri yang meminta, Mas," sahut Alya.
"Diam, kamu!" Lagi, Adam membentak Alya.
"Benar apa kata istrimu itu, Mas. Jujur saja, aku tidak sanggup jika harus dimadu." Hana mengucapkan kalimat itu dengar tegar walaupun hatinya teriris.
Lagi, Adam meraih tangan Hana dan menggenggamnya erat. Dia mencium tangan istri yang sudah tiga tahun menemaninya itu. Adam pun tak sanggup jika harus kehilangan Hana.
Dia menikahi Alya hanya karena bentuk rasa tanggung jawabnya kepada anak yang dikandung Alya. Bahkan, selama menikah dengan Alya, Adam tak pernah berhubungan badan lagi dengan Alya sampai saat ini.
"Percayalah padaku, Sayang, aku akan adil pada kalian. Aku tak sanggup kehilangan salah satu dari kalian. Anak yang ada dalam kandungan Alya, nantinya juga akan menjadi anakmu, Han," kata Adam sampai menatap mata Hana penuh cinta. Kalimat itu membuat Alya semakin membenci Hana. Dia bertekad akan membuat Hana keluar dari rumah itu agar dia jadi satu-satunya istri dari Adam.
Tak pernah berubah sedikitpun rasa cinta Adam kepada Hana walaupun kini dia memilik Alya juga. Alya memang tengah mengandung anaknya. Tapi, cinta Adam tetap untuk Hana.
Dia hilang akal dan kendali sehingga mabuk-mabukan di sebuah klub malam. Pertemuannya dengan Alya membuatnya lupa diri dan melakukan hal yang seharusnya tidak dia lakukan. Itu pun Adam tidak begitu yakin. Tapi saat itu, saat Adam terbangun, Adam dan Alya memang sudah dalam kondisi yang tanpa busana. Itulah yang membuat Adam yakin jika anak yang dikandung Alya adalah anaknya.
Satu bulan setelah kejadian itu, Alya mencoba mencari keberadaan Adam karena dia tengah mengandung. Kesalahan satu malam membuat Adam harus menanggungnya hingga keduanya menikah siri.
"Sejak kapan kalian berhubungan?" tanya Hana dingin. Dia menarik tangan yang digenggam oleh Adam.
"Ini hanya sebuah 'kecelakaan' yang tidak disengaja, Han. Bukan hanya kamu saja yang terpuruk saat kita kehilangan Kanaya, tapi aku juga." Adam mencoba menjelaskan kepada perempuan yang memakai piyama dan juga jilbab hitam itu.
Hana mencebik dan berkata, "Terpuruk? Kalau terpuruk, kenapa harus ke pelukan perempuan lain, Mas?"
Sebuah ucapan yang berhasil membuat Adam tak memiliki jawaban. Semua terjadi begitu saja dan tidak dapat diputar kembali. Adam memang salah dan tidak seharusnya ke tempat itu.
"Maafkan aku, Han! Percayalah padaku sekali ini saja, Han. Aku mohon!" iba Adam. Dia juga tidak tega meninggalkan Alya di apartemen sendirian dalam kondisi hamil besar.
"Apakah aku juga harus menerima dia tinggal di sini? Luka seperti apa lagi yang harus aku terima, Mas?"
"Tolong aku, Han. Untuk sementara ini, Alya akan tinggal bersama kita sampai dia lahiran. Kasihan dia tidak punya saudara di sini, Han. Mas harap kamu bisa mengerti itu. Ini salah satu bentuk tanggung jawabku kepada dia, Han. Kamu ngerti, kan?" ucap Adam.
Hana bangkit dan berjalan ke arah kamar tanpa merespon ucapan Adam. Dia menutup kamar dan mengunci pintunya dari dalam. Betapa hancurnya hatinya saat ini melihat suaminya ternyata memiliki istri yang lain.
"Kenapa, Mas? Kenapa?!" Hana menangis dibawah guyuran air di dalam kamar mandi.
"Apa karena aku belum memberikanmu anak lagi, Mas? Ini juga bukan kemauanku, Mas. Aku sakit, Mas! Perih di sini," rintih Hana yang semakin merasakan sesak di dada.
Pernikahan yang baru tiga tahun berjalan, kini menghadapi situasi yang sangat pelik. Hana sadar dia memiliki kekurangan. Tapi, pengkhianatan Adam ini sungguh sangat menyakiti hatinya.
***
Sementara itu, Adam membantu Alya ke salah satu kamar yang tak jauh dari kamarnya dan juga Hana. Dia sangat berhati-hati menuntun Alya serta membawakan barang bawaannya.
"Kamu tidurnya di sini, Al. Kamarku dan juga Hana ada di sebelah situ," ucap Adam sambil menunjuk kamar Hana.
"Tapi kamu nanti tidur di sini, kan, Mas? Aku takut tidur sendirian," rengek Alya seperti anak kecil.
"Aku harus menjelaskan semuanya dulu kepada Hana, Al. Aku harap kamu mengerti," tolak Adam.
"Baiklah," jawab Alya lesu.
"Nanti kalau kamu perlu apa-apa, tinggal bilang saja sama Mas atau Hana, ya. Setiap pagi akan ada Bi Imah yang bantu-bantu di rumah. Kamu bisa juga minta bantuan Beliau." Alya mengangguk paham.
"Sekarang kamu istirahat dulu. Mas mau ke kamar Hana dulu. Ingat, kalau butuh apa-apa, panggil Mas, ya!" kata Adam sebelum keluar dari kamar Alya. Alya pun mengangguk pelan.
Cup! Sebuah kecupan hangat dia berikan untuk Alya. Awalnya memang Adam tak bisa menerima kenyataan ini. Tapi, setelah dipikir-pikir, Adam juga sangat menginginkan seorang anak. Akhirnya, Adam mau menikahi Alya secara siri.
"Akhirnya kamu masuk juga perangkapku, Mas. Tunggu saja Mbak Hana, tak lama lagi, kamu akan diusir Mas Adam dari rumah ini!" kata Alya dengan senyum kecil di bibirnya.
Setelah mencium kening Alya, Adam keluar dari kamar Alya dan menutup pintunya secara perlahan. Ya, Adam hanya bisa sebatas mencium kening dan juga memegang tangan Alya. Untuk selebihnya, Adam tahu aturan. Dia menikahi Alya hanya agar nama baik keluarga Alya tidak tercoreng karena Alya hamil di luar nikah. Sesuai dengan ketentuan agama Islam, nantinya jika bayi itu lahir, mereka harus mengulang ijab dan qobul. Adam berjalan menuju ke kamar miliknya dan Hana. Dia menata hati untuk memberikan penjelasan kepada Hana sejelas-jelasnya agar tidak terjadi lagi kesalahpahaman. Tok! Tok! Tok!"Hana ... Sayang, tolong buka pintunya, Han, aku mau bicara. Kamu jangan salah paham dulu. Tolong dengarkan penjelasanku dulu, Han," ujar Adam sembari mengetuk pintu kamarnya. Adam terus saja membujuk Hana agar mau membukakan pintu. Adam pun juga khawatir dengan kondisi Hana. Dia memang salah karena sejak awal tidak jujur dengan Hana soal masalah ini. Adam tahu betul sifat Hana. Hati Hana sangatlah sen
PYAAARRRSebuah gelas kaca jatuh dan serpihannya berantakan di lantai. Dan Alya pun terkena serpihan kaca itu."AAWW!" teriak Alya sangat kencang. Karena terkejut mendengar teriak Alya, Hana langsung menghampirinya dan ternyata kaki Alya berdarah terkena pecahan kaca. Di waktu yang sama, Adam juga buru-buru menghampiri Alya."Kamu kenapa, Al?" tanya Adam sambil menuntun Alya ke kursi.Dengan sangat hati-hati, Adam membersihkan luka dan mengobatinya. Hal itu pun di saksikan oleh Hana. Jangan tanya lagi bagaimana sakitnya. "Kenapa bisa jadi begini, sih, Al? Kamu butuh apa?" tanya Adam lagi setelah selesai memberi obat pada luka Alya."Alya minta tolong Mbak Hana buatkan susu, Mas. Tapi, dia menolaknya. Jadilah aku buat sendiri. Aku gak sengaja menyenggol gelas itu, Mas," jelas Alya sambil menangis. Alya berpura-pura di depan Adam. "Apa benar kamu gak mau buatkan susu untuk Alya, Han?" tanya Adam yang masih memakai sarung dan peci. Seperti biasanya, selesai sholat subuh, Adam akan me
Laki-laki tampan dan gagah itu duduk bersebelahan dengan Pak Burhan. Acara pun segera dimulai setelah kedatangan laki-laki itu. Saat di tengah acara, tiba-tiba Luna menyenggol lengan Hana."Han! Hana ..." ucap Luna lirih. "Ada apa, sih, Lun? Dengerin tuh Pak Burhan lagi bicara," sahut Hana lirih juga. Dia tengah menyimak isi pidato Pak Burhan yang berisi perpisahan. "Laki-laki itu sejak tadi melihatmu terus. Kamu gak merasa apa?" ucap Luna sambil melirik ke arah laki-laki yang ternyata mereka tunggu yaitu Pak Marvin. "Gak usah ngaco kamu, Lun. Mana? Gak ada tuh!" Ketika Hana mencoba melihat Pak Marvin, laki-laki itu membuang muka dan sepertinya salah tingkah. "Iya beneran, Han. Aku dari tadi perhatikan dia. Jangan-jangan naksir kamu, Han?" terka Luna."Ehm ... ehm ..." Pak Burhan berdehem sambil memperhatikan Luna dan Hana. "Apa yang ingin Ibu Luna dan Ibu Hana sampaikan? Sejak tadi saya perhatikan mengobrol terus," ucap Pak Burhan. Hana dan Luna m*ti gaya. Mereka saling berpand
"Anak ini belum dijemput, ya, Bu? Sudah sore menjelang maghrib, lho, ini, Bu," ujar Marvin yang saat itu hendak pulang. Hana memandangi langit yang sudah mulai senja. Dan benar saja, hari sudah mulai sedikit gelap dan dia belum pulang juga."Iya, Pak. Sebentar saya coba hubungi mamanya Sela. Tadi Beliau bilang kalau memang terlambat," kata Hana. "Ya Allah ... ponselku mati. Gimana ini?" gumam Hana yang baru sadar. "Ada apa, Bu Hana? Ada masalahkah?" tanya Marvin yang melihat Hana kebingungan. "Ponsel saya baterainy habis, Pak. Padahal nomor dari Mama Sela ini ada di sana. Biar saya bawa pulang dulu saja Sela, Pak. Nanti biar saya kabari mamanya kalau sampai di rumah.""Bu Hana tahu alamat rumah anak ini? Kalau tahu, biar saya antar saja. Gimana?" Marvin menawarkan bantuan. "Tahu, Pak. Tapi, apa tidak merepotkan, Pak?" balas Hana."Gak mau, Bu Gulu, Cela takut," rengek Sela tiba-tiba. Wajar saja jika Sela takut. Marvin baru pertama kali ke yayasan itu dan anak-anak belum banyak y
"Hana?! Benar, kah, itu kamu, Bu Hana?" Hana menoleh ke arah belakang. Terlihat seorang laki-laki bertubuh tinggi dan berkulit putih di sana. Hana pun sama terkejutnya dengan laki-laki itu. Tak disangka, mereka bertemu lagi di masjid. "Pak Marvin? Kenapa bisa ada di sini, Pak?" celetuk Hana yang mulai berdiri dari duduknya. "Harusnya saya yang tanya kenapa Bu Hana masih ada di sini? Anak yang tadi sudah diantar pulang?" tanya balik Marvin. Ketampanannya makin terpancar karena dia memakai peci. "Sudah, Pak. Ini saya mampir untuk sholat maghrib dulu," jawab Hana sopan. Mereka berdua berdiri agak berjauhan. Tak pantas rasanya jika ada orang yang melihat karena bisa timbul fitnah. "Lalu, kenapa Bu Hana tidak langsung pulang? Ini sudah mau masuk waktu sholat isya' lho." Marvin melihat jam yang melingkar di tangannya. "Itu anu, Pak, saya —" Hana kelihatan gugup sekali menjawab pertanyaan dari Marvin.Apakah dia harus jujur kalau dia takut pulang karena ada orang yang mengikutinya? Ju
Adam berkacak pinggang saat Hana masuk ke dalam rumah. Terlihat sekali amarah di wajah suami Hana itu. "Benar kataku, 'kan, Mas, kalau Mbak Hana itu pasti lagi main sama laki-laki. Sampai-sampai, HP-nya aja gak aktif," celetuk Alya memancing kemelut.Hana tak mengerti maksud ucapan dari Alya. Jadi, dia tak menunjukkan sikap apapun. Bahkan, Hana terlihat sangat tenang. "Maaf, Mas, Hana pulang terlambat. Ada —""Jadi seperti ini balasan kamu padaku, Han? Kamu marah aku poligami, lalu kamu juga sesuka hati bersama laki-laki lain?" Suara tinggi Adam membuat Hana terdiam. Dia mencerna kalimat yang baru saja terlontar dari mulut suaminya itu. "Mau kamu apa? Mau cerai? Hah?" sambung Adam lagi."Astaghfirullah al'adzim," lirih Hana tanpa mau membuat pembelaan.Hatinya sakit lagi. Untuk kedua kalinya, Adam membentak dirinya dihadapan Alya bahkan terucap kata-kata yang seharusnya tidak dikatakan oleh Adam. Hana tak mengindahkan panggilan Adam, dia terus berjalan masuk ke dalam kamar.Tak tah
Hana memandang punggung abahnya dari belakang. Ya, Beliau tidak tahu kalau datang karena posisi mereka berlawanan. Setelah beberapa detik, Hana mengucap salam. "Assalamualaikum ..." seru Hana dengan mengukir senyum di bibir. "Waalaikumsalam!" Abah Hasan menoleh dan melihat putri semata wayangnya berdiri tepat dibelakangnya. "Hana? Ini beneran kamu, Nduk?" tanya Beliau sambil menghentikan aktivitasnya. "Iya, Bah, ini Hana. Hana kangen, Bah," sahut Hana sambil menghampiri Abah Hasan dan mencium punggung tangan Beliau. "Ya Allah, Nduk ... Abah juga kangen. Bagaimana kabarmu? Sehat, kan? Kamu datang sama suamimu?" Rentetan pertanyaan keluar dari mulut Abah Hasan. Hana menggeleng pelan. "Mas Adam lagi ada sibuk, Bah. Tapi Hana sudah izin kok mau ke sini. "Hem begitu, ya. Tapi kalian gak ada apa-apa, kan? Usaha suamimu juga lancar?" Pertanyaan yang sangat sulit dijawab oleh Hana. Jika boleh jujur, Hana sekarang sedang berada di posisi yang tidak mengenakkan. Adam yang tiba-tiba
Adam tak bisa berpikir jernih. Dia sangat mengkhawatirkan Hana. Ponsel Hana tak bisa dihubungi dan itu membuat dirinya tambah khawatir."Sudahlah, Mas. Mbak Hana itu sudah besar. Nanti dia juga pulang ke sini," celetuk Alya lagi ketika mereka tengah makan bersama. Adam tak sedikitpun menanggapi ucapan istri keduanya. Dia terus saja menyalahkan diri sendiri karena kecerobohannya semalam."Bi ... apa benar Bibi tadi tidak lihat Bu Hana?" tanya Adam pada asisten rumah tangga yang bernama Bi Imah."Tidak, Pak. Tadi, waktu Bibi tiba di rumah, Ibu sudah tidak ada. Bibi kira memang Ibu sedang keluar, Pak. Memangnya Ibu tidak pamit sama Bapak?" jawab Bi Imah yang saat itu tengah membersihkan meja makan bekas sarapan majikannya. "Tidak, Bi. Kira-kira kemana perginya Ibu, ya, Bi?" tanya Adam lagi. Terlihat kesedihan mendalam yang dirasakannya kini. Dan Bi Imah paham akan hal itu."Kasihan Pak Adam dan Bu Hana. Kenapa Pak Adam bisa menikahi perempuan itu, sih? Apa Pak Adam diguna-guna?" batin