Setelah mencium kening Alya, Adam keluar dari kamar Alya dan menutup pintunya secara perlahan. Ya, Adam hanya bisa sebatas mencium kening dan juga memegang tangan Alya. Untuk selebihnya, Adam tahu aturan.
Dia menikahi Alya hanya agar nama baik keluarga Alya tidak tercoreng karena Alya hamil di luar nikah. Sesuai dengan ketentuan agama Islam, nantinya jika bayi itu lahir, mereka harus mengulang ijab dan qobul.
Adam berjalan menuju ke kamar miliknya dan Hana. Dia menata hati untuk memberikan penjelasan kepada Hana sejelas-jelasnya agar tidak terjadi lagi kesalahpahaman.
Tok! Tok! Tok!
"Hana ... Sayang, tolong buka pintunya, Han, aku mau bicara. Kamu jangan salah paham dulu. Tolong dengarkan penjelasanku dulu, Han," ujar Adam sembari mengetuk pintu kamarnya. Adam terus saja membujuk Hana agar mau membukakan pintu.
Adam pun juga khawatir dengan kondisi Hana. Dia memang salah karena sejak awal tidak jujur dengan Hana soal masalah ini. Adam tahu betul sifat Hana. Hati Hana sangatlah sensitif. Dia takut jika Hana melakukan hal-hal yang tidak diinginkan.
Hana sudah keluar dari kamar mandi dan berganti pakaian. Dia duduk termenung di atas kasur. Panggilan Adam seperti tak terdengar olehnya. Lelah sudah dia menangisi kondisi rumah tangganya. Tak ada angin dan tak ada hujan, ada orang ketiga yang merusak semuanya.
Adam Pratama memulai usaha konveksinya dari nol. Awalnya, dia berjualan baju secara berkeliling hingga akhirnya dia mempunyai konveksi skala menengah sendirian.
Adam adalah salah satu pengusaha pakaian yang mengawali usahanya dari nol hingga banyak dikenal orang di kalangan pengusaha lain dan juga pedagang. Tak heran banyak perempuan yang berusaha mendekati Adam termasuk Alya.
Alya sudah lama mengincar dan mencari tahu tentang Adam. Hingga saat Adam lengah, Alya berhasil masuk dan menjerat pengusaha tampan itu. Alya merupakan anak pelanggan Adam yang baru diketahui Adam saat dia menikah secara siri dengan Alya.
Sudah jatuh bangun dia dalam menjalankan usahanya itu. Saat menikah dengan Hana, Adam sudah punya brand sendiri untuk usahanya itu.
"Han, please! Aku bisa jelaskan semuanya. Kamu jangan salah paham dulu, Han. Kasih aku kesempatan untuk menjelaskannya," kata Adam lagi.
Nasi sudah menjadi bubur. Hana juga sudah tidak bisa memutar waktu dan membalikkan keadaan. Kini, dia harus menghadapi situasi rumah tangganya ini. Lari bukanlah solusi yang tepat karena itu bukan ajaran abahnya.
Hana bangkit dari tempat tidurnya dengan lemas. Dia berjalan dan memutar kunci untuk membukakan pintu untuk Adam. Pandangannya tetap kosong dan tak bersemangat.
"Kamu kenapa, Han?" Adam terkejut melihat penampilan Hana yang sangat berantakan dan kacau.
Tampilan Hana seperti ini mengingatkan Adam saat Hana kehilangan Kanaya. Di sinilah Adam baru sadar jika istrinya lah yang sangat terluka. Dan Adam lah yang menorehkan luka di hati Hana.
Saat Adam hendak memegang Hana, dia mundur satu langkah ke belakang. Rasanya enggan dipegang oleh Adam. Helaan nafas berat terdengar dari mulut Adam. Dia pun tak mau memaksa Hana karena tahu ini sangat berat.
"Boleh aku masuk, Han?" tanya Adam sebelum masuk ke dalam kamar.
"Silahkan! Ini juga kamarmu, Mas. Aku tak berhak melarangnya," jawab Hana dingin.
Dia sudah menghapus air matanya. Tak akan mau Hana menangis di hadapan Adam lagi. Dulu, Adam memang tempatnya bersandar dan menumpahkan kesedihannya. Tapi kini, Adam lah penyebab kesedihannya.
Hana masuk terlebih dahulu dan duduk ditepi ranjang. Adam diam saja tak bicara. Dia mengikuti Hana dan duduk tak jauh dari Hana.
Ada kurang lebih setengah jam mereka berdua sama-sama diam. Tak ada sepatah katapun yang keluar dari mulut mereka. Mereka sama-sama menata hati.
"Han ... dengarkan aku," ucap Adam lirih. Mata Adam menatap sayu perempuan yang sudah tiga tahun menemaninya itu.
"Semua ini terjadi di luar kendaliku. Aku frustasi saat kehilangan anak, di saat yang bersamaan usahaku baru berada di titik rendah. Aku kalut saat itu dan pergi ke tempat yang dulu biasa aku pakai untuk nongkrong." Adam mulai menceritakan awal mula petaka itu terjadi.
Adam dulunya adalah remaja yang sangat buruk. Karena perceraian kedua orang tuanya, Adam sempat terjerumus ke dalam lembah hitam. Ayah Adam selingkuh dan memilih selingkuhan daripada istri sahnya.
Kematian ibunya, membawa perubahan yang sangat besar untuk Adam. Dia menjadi lebih baik setelahnya. Sampai pada akhirnya dia nekat berjualan dan memproduksi pakaian sendiri. Jatuh bangun dalam berusaha juga sudah Adam lalui hingga bisa sampai di titik sekarang ini.
Dan pertemuannya dengan Hana, membuat hidup Adam juga semakin lebih baik. Sifat Hana yang mirip dengan ibunya, membuat Adam mantap menikahi Hana.
Hana, dia adalah perempuan dari keluarga sederhana. Profesinya sebagai guru PAUD, mengantarkannya bertemu dengan Adam karena Adam salah satu donatur tetap di yayasan tempatnya mengajar.
Sampai sekarangpun, Hana masih aktif mengajar walaupun suaminya merupakan orang yang berkecukupan. Hana memang sangat suka sekali dengan anak kecil. Dan kegiatannya itu dapat mengisi waktu luang agar Hana tidak terus-menerus terpuruk karena memikirkan anaknya.
"Tapi kenapa harus ke sana, Mas? Bukankah berserah diri kepada Allah itu cukup? Atau ... memang kamu sengaja ingin kembali ke dunia itu, Mas?" Hana menyesalkan perbuatan Adam itu.
"Bu—bukan begitu, Han. Aku bersumpah kalau setelah itu, aku tidak bertemu dengan Alya lagi. Tiba-tiba saja dia datang menemuiku dan mengaku hamil anakku," terang Adam. Hana tak menemukan kebohongan dari mata laki-laki berkulit putih yang ada dihadapannya itu.
"Dan kamu percaya itu tanpa menyelidikinya terlebih dahulu?" Hana mencebik dan tertawa kecil.
Entahlah, Hana merasa ada sesuatu yang aneh dari Alya. Dan kesaksian Adam barusan membuat Hana semakin yakin ada sesuatu dan Hana tidak tahu itu. Perasaannya campur aduk, sehingga tidak bisa membedakan mana sedih dan mana yang curiga.
"Aku ... Aku ... saat terbangun pagi itu, dia berada di sampingku dan kami dalam kondisi tanpa busana," ucap Adam terbata. Kepala Adam menunduk saat mengingat hal itu.
Mata Hana terpejam ketika Adam menceritakan hal itu. Walaupun dia curiga dengan Alya, Hana juga tidak sanggup mendengar cerita Adam.
"Aku mohon, Han —"
"Stop, Mas! Aku butuh waktu untuk sendiri. Tolong hargai perasaanku!" Hana memotong ucapan Adam yang belum selesai.
"Tapi —"
"Mas ... Mas Adam! Tolong Alya, Mas!" Tiba-tiba suara Alya terdengar.
Adam panik. Dia langsung keluar dari kamar Hana tanpa memikirkan perasaan Hana yang tengah terluka. Alya ternyata sudah ada di depan pintu kamar. Pantas saja suara Alya begitu terdengar walau pintu kamar sudah di tutup.
"Ternyata dia penting buatmu, Mas," gumam Hana sambil tersenyum sinis.
***
"Kamu kenapa, Al? Kamu haus? Atau butuh apa?" tanya Adam panik.
Walaupun caranya salah, Adam tak bisa memungkiri jika dia menantikan kelahiran anak yang ada dalam perut Alya. Awal-awal kehamilan Alya dulu, dia hampir kehilangan bayinya karena pendarahan.
Adam patut bersyukur karena ternyata calon anaknya begitu kuat sehingga mampu bertahan di dalam rahim ibunya. Maka dari itu, Adam tak ingin kejadian itu terulang kembali.
"Aku gak bisa tidur sendirian, Mas. Aku takut. Tolong temani aku di sini, Mas!" rengek Alya sambil memeluk Adam.
Tanpa Adam sadari, Hana melihat kemesraan mereka. Hana yang penasaran dengan kondisi Alya membuatnya nekat keluar dari kamar dan melihat mereka.
Ternyata keputusannya salah. Hatinya semakin terluka melihat keduanya berpelukan.
"Ternyata sesakit ini, Mas. Apa aku kuat, Mas?" batin Hana berkata. Air matanya luruh lagi.
Tak ingin melihat pemandangan yang lebih dari itu, Hana memilih masuk kembali menutup kamarnya. Malam ini, Hana harus merelakan suaminya tidur bersama perempuan lain.
Keesokan harinya, Hana bangun pagi seperti biasa. Dia juga tetap melakukan pekerjaan rumah dan memasak seolah tidak terjadi apapun dalam rumah tangganya.
"Mbak, bisa tolong buatkan aku susu gak? Aku biasanya setiap pagi minum susu," pinta Alya yang tiba-tiba muncul di dapur. Dia menyodorkan susu khusus ibu hamil pada Hana.
"Saya bukan pembantumu. Silahkan buat sendiri atau tunggu Bi Imah datang," jawab Hana ketus.
"Kok gitu, sih, Mbak? Aku, kan, juga punya hak di sini karena aku istri Mas Adam juga," protes Alya yang tak terima diacuhkan oleh Hana.
"Hanya istri siri. Ingat itu! Saya istri sahnya!" sahut Hana tegas. Dia pun tetap melanjutkan aktivitasnya tanpa mempedulikan Alya yang terlihat kesal dengan sikapnya.
"Tolonglah, Mbak! Aku, kan, lagi hamil anak suami Mbak juga." Alya tak mau kalah dengan Hana.
Hana tak mempedulikan ucapan Alya. Dia pun sibuk menata makanan di atas meja. Tiba-tiba, PYAAARRR ....
Perasaan Adam dan Hana campur aduk. Mereka tidak mau bahagia lebih dahulu karena belum ada bukti, biarpun yang memeriksa Hana adalah dokter kandungan. Selama perjalanan menuju poliklinik Dokter Arif, Hana dan Adam saling berpegangan. Mereka menguatkan satu sama lain. Mereka akan melalui hari ini secara bersama-sama apapun hasilnya. "Aku takut, Mas," kata Hana ketika mereka menunggu di ruang tunggu depan poliklinik kandungan. "Kita hadapi sama-sama, ya! Berdoa saja semoga hasilnya sesuai dengan apa yang kita harapkan.""Aamiin."Hana dan Adam masih menunggu karena jadwal praktek Dokter Arif masih setengah jam lagi. Sudah ada beberapa ibu hamil yang juga ikut menunggu. Rasa rindu menghinggapi Hana ketika melihat hal itu. Dia rindu dengan Kanaya. Rindu akan tawa kecil yang selalu menghiasi harinya kala itu. Rindu hingga membuat Hana berharap jika dirinya saat ini benar-benar hamil. Setengah jam kemudian, mereka melihat Dokter Arif masuk ke dalam ruangan. Hati keduanya semakin berdeb
Kesedihan Hana tak berlangsung lama karena dia harus terus menjalani hidupnya. Masih ada Keenan dan juga Adam yang membuatnya bahagia. Tak ada waktu untuk bersedih. Dia harus bisa mensyukuri pemberian dari Allah setelah semua yang telah dia lalui. Dua bulan berlalu setelah kejadian testpack pagi itu. Hana semakin hari semakin giat bekerja. Sekarang bisnis Adam dan Hana mereka kelola sendiri-sendiri. Hana fokus pada bisnis baju-bajunya. Sedangkan Adam meneruskan bisnisnya yang sudah lama. "Kamu kok pucat sekali, Sayang? Kamu lagi sakit?" tanya Adam saat mereka hendak berangkat bekerja. Hana menggeleng pelan. Dia memang merasakan pusing. Tapi karena ada pekerjaan yang harus dia selesaikan, Hana terpaksa berbohong pada Adam. Jika Adam sampai tahu kalau dia sakit, pasti Adam tidak akan mengizinkannya untuk bekerja. Hana sudah terlalu mencintai pekerjaannya itu. Dengan bekerja, dia akan sedikit melupakan keinginannya untuk mempunyai anak. "Kamu yakin?" tanya Adam lagi untuk memastikan
"Ah rasanya aku sudah lupa hamil itu seperti apa. Apa aku cek saja? Tapi, nanti kalau hasilnya tak sesuai yang aku harapkan, pasti aku sedih. Tapi, aku penasaran juga. Toh aku juga sudah terlambat haid sudah hampir seminggu."Hati Hana bimbang. Dia merasa belum siap tapi penasaran juga. Apalagi dia juga sudah sangat merindukan kehadiran buah hati kembali. Walaupun ada Keenan, bukankah anak dari darahnya sendiri itu membahagiakan? Jikalau benar dia hamil, Hana berjanji akan tetap menyayangi Keenan seperti sebelumnya. Tanpa sepengetahuan Adam, Hana pergi ke apotik untuk membeli testpack. Dia memasukkan benda tipis itu ke dalam tasnya dan kembali lagi ke kantor. Kebetulan ada apotik yang dekat dengan tempat yang dijadikan kantor oleh Adam. Di kantor, dia pun bekerja seperti biasanya. Saat pertama kali Adam masuk ke kantornya, dia sangat kagum dengan banyaknya perubahan. Bahkan ada beberapa bisnis baru yang dikerjakan oleh Hana dan itu sangat diapresiasi oleh Adam. "Kamu darimana, Saya
"Kenapa kamu bisa sampai di sini, Lun?" tanya Hana yang kebingungan melihat sahabat yang sudah lama tidak ditemui sekarang ada di rumahnya. Bahkan sampai Marvin ada di rumahnya. Padahal mereka sudah lama sekali tidak berkomunikasi. Luna tak menjawab. Dia mengajak Hana dan Lita untuk duduk terlebih dahulu. Lalu, Luna mengambilkan air minum untuk diminum mereka berdua. Tujuannya agar bisa membuat keadaan keduanya lebih tenang. Sayup-sayup terdengar beberapa orang yang tengah berbisik. Saat itu juga mendadak rumah Hana menjadi ramai. Hana sampai dibuat bingung karenanya. "Terima kasih," ucap Hana setelah kondisinya agak tenang. Keenan pun juga ikut tenang saat melihat Hana tenang. Suasana menjadi hening. Baik Hana maupun Luna tidak saling bicara. Dan mata Hana pun menatap Luna seolah sedang menunggu jawaban dari sahabat yang sudah lama tidak dia temui itu. "Luna ..." ucap Hana lirih. "Iya, Hana. Kamu mau tahu kenapa aku dan Mas Marvin bisa di sini? Iya, kan?" Hana mengangguk cepat.
Sebuah bungkusan plastik yang isinya sudah berhamburan keluar. Banyak darah di sekitar plastik hitam itu. Hana bertakbir karena terkejut melihat hal itu. Tak lama kemudian terdengar lagi suara kaca dilempar batu. "Astaghfirullah hal adzim!" seru Hana dan Lita hampir bersamaan."Apa lagi itu, Bu?" tanya Lita yang melihat kertas yang sudah diremas-remas ada di dekat batu yang dipakai untuk melempar. Hana dengan hati-hati mengambil kertas itu dan membukanya. Matanya melotot ketika melihat tulisan berwarna merah menyala itu. "MAT* KALIAN!" eja Lita saat membaca tulisan yang ada di kertas. "Siapa yang melakukan ini, Bu? Saya takut sekali, Bu," kata Lita kemudian. "Ayo kita masuk ke dalam kamar! Aku harus minta bantuan karena kita sudah diteror," balas Hana. Dia kemudian mengajak Lita untuk ke kamarnya. Saat itu Hana ponsel Hana terletak di dalam kamarnya. Dengan langkah yang cepat keduanya berjalan menuju ke kamar Hana. Sesampainya di kamar, Hana segera mengambil ponsel miliknya unt
Hana membawa Lita ke klinik terdekat untuk diperiksa. Masih dengan ditemani pengacara dan juga polisi. Dan saat pemeriksaan Lita selesai, Hana pun pulang ke rumah.Asam lambung Lita naik karena dia terlalu stres dan juga makan tidak teratur. Dia membawa Lita pulang ke rumah agar bisa dipantau dengan baik. "Dia siapa, Nak?" tanya Ibu Muh saat mengantarkan Keenan pulang ke rumah Hana. "Dia karyawan Mas Adam, Bu. Ada hal yang ingin dia sampaikan ke Hana tapi kemarin dia sempat hilang. Baru tadi ketemu tapi malah dia sakit," jawab Hana. "Oh begitu. Semoga masalahmu cepat selesai, ya, Nak. Dan semoga Nak Adam cepat pulih juga seperti semula.""Aamiin. Terima kasih, ya, Bu, sudah mau Hana repotkan terus.""Gak apa-apa, Nak. Ibu malah senang jadi ada kegiatan ngurus Keenan. Badan Ibu rasanya sakit kalau gak dipakai ngapa-ngapain," sahut Ibu Muh. Walaupun menempuh jarak yang tidak dekat, Ibu Muh tidak pernah mengeluh. Dia dan Pak Muh sama-sama baiknya. Terkadang Ibu Muh diantar Pak Muh ke