Share

Kejutan

"Kenapa tidak masuk?" Nania terkejut saat Brata sudah muncul di dekatnya. Pria itu tampak sangat sempurna dengan kemeja putihnya yang digulung sampai ke siku. "Sudah lama menunggu?"

"Tidak juga." Nania berdusta. Dia sudah ada di restoran itu sejak pintunya belum terbuka. Hanya saja, Nania tak berani untuk masuk karena canggung ketika resepsionis menanyakan meja reservasi.

Yang membuat Nania lebih terkejut adalah cara Brata memperlakukannya. Pria itu masih seperti es di puncak Everest, namun entah kenapa dengan sangat mudah menggandeng Nania agar berjalan di dekatnya.

Nania ingin lepas dari genggaman itu. Dia merasa tak nyaman. Tapi sisi hatinya yang lain seperti ingin ada di genggaman itu selamanya, membuatnya mengutuk tingkahnya yang seperti melupakan siapa dirinya sebenarnya.

Brata melambai pada dua wanita yang tampak sibuk bicara. Kedua wanita itu punya perbedaan usia yang kentara tapi sama-sama memandang tak suka pada diri Nania yang berada di genggaman Brata.

"Siapa dia?" Evani masih berusaha tersenyum walau hatinya diliputi gundah. Wanita di dekat Brata bukan wanita yang cantik yang bisa membuatnya cemburu, tapi perlakuan Brata pada wanita itu lebih baik dari pada semua yang Brata tunjukkan padanya selama ini.

"Ah, aku belum memberi tahu kalian." Brata tersenyum dan entah kenapa seperti tak berbeban. "Dia calon istriku. Dia wanita yang pasti akan kunikahi."

Semua wanita di meja Brata terdiam. Ucapan Brata terlalu mengejutkan untuk jadi kenyataan. Bahkan Nania sendiri seperti merasakan serangan jantung dan rasa tak percaya.

"Gak lucu, Brata." Evani tersenyum dan menyesap kopinya. Dia tak lagi bisa menatap Brata dan merasa sedikit terkhianati.

"Aku tak sedang melucu."

"BRATA!" Nyonya Martha menjerit hingga seluruh pengunjung restoran menatapnya.

"Semuanya, aku mau bilang kalau pernikahanku dan Evani dibatalkan. Aku tak akan menikah kecuali dengan Nania, wanita di sampingku ini."

Pyar!

Evani membanting gelasnya dan merasakan emosinya meledak. Dia tak bisa bersabar terutama karena dia tahu kalau Brata tak pernah bercanda dengan ucapannya.

"Tarik kata-katamu!"

"Evani, sabar. Brata hanya bercanda."

"Tante!" Evani mengalihkan ucapannya pada mantan calon mertuanya. "Brata keterlaluan. Tolong bilang padanya untuk tak main-main dengan hubungan kami."

Brata medesah dan mencoba tak tertawa. "Selama ini, hubungan kita hanyalah hubungan sepihak, Van. Aku tak pernah betul-betul ingin menikahimu. Semua ini hanya ikatan yang keluarga kita buat."

"Cukup!"

Tapi Brata tak merasa ucapannya cukup. "Aku tak bisa menerimamu untuk jadi istriku. Aku tak punya rasa, Van."

Pyas!

Evani yang semakin mendidih menyiram air ke wajah Brata. Make up sempurnanya rusak karena air mata dan dia bahkan tak lagi bisa bersuara.

Adegan berikutnya diisi oleh Evani yang melarikan diri. Wanita itu pasti merasa terkhianati dan tak lagi mampu menunjukkan wajahnya ke Brata dan keluarga pria itu. Sementara itu Nyonya Martha menarik nafas. Dia mencoba tenang dalam situasi yang tak membuatnya senang.

"Apa yang kamu rencanakan, Brata?"

Brata kembali pada ekspresi dinginnya dan menatap mata sang Ibu.

"Aku hanya mencoba mengatur takdirku."

"Dengan cara yang sembrono?" Nyonya Martha melirik Nania seakan wanita itu sumber dari segala bencana. "Brata, apa kamu tahu apa yang kamu dapat dari kelakuanmu hari ini?" Brata tak menjawab. Dia menunggu seribu kata yang akan Ibunya keluarkan dalam bentuk amarah. "Kita kehilangan pemegang saham tertinggi di perusahaan kita. Semua itu akan mempengaruhi karirmu dan mereka tak akan membiarkanmu hidup tenang."

Nyonya Martha bangkit. Dia mulai tak betah melihat wanita di sebelah Brata dan mendengus sembari bergumam, "aku mencium bau pelacur. Sangat penasaran, berapa hargamu?"

Nania bukan wanita yang mampu menanggung cobaan yang sangat besar. Sedari pagi, dia sudah bisa merasakan adanya firasat buruk dari undangan Brata. Seharusnya dia tak datang. Seharusnya dia lebih memilih disiksa oleh suaminya dan bekerja sepanjang malam dari pada merusak hubungan Brata.

"Maaf, kau pasti kaget." Brata mengusap wajahnya yang basah karena siraman air. "Hari ini awal kontrak kita. Sampai waktu yang tidak ditentukan, kamu akan terus jadi calon istriku dan menuruti semua yang kuucapkan."

Nania menggigit bibirnya dan tanpa sadar memainkan ujung kemejanya.

"Pak, apa bapak yakin sudah berbuat hal yang benar?"

Brata tersenyum dingin. "Aku selalu berbuat hal yang benar, Nania."

Nania tanpa sadar menatap wajah Brata. Wajah itu tak bisa ditebak. Dia hanya memandang apa yang ada di depannya dan seperti tak peduli. Nania membayangkan bagaimana nasibnya jika bersama manusia seperti Brata? Manusia yang mudah membayar wanita yang tidak dikenal demi mencampakkan wanita lain yang bahkan lebih baik darinya.

"Nania, Budi akan menjemputmu ke tempatku setiap hari. Kamu harus diajarkan banyak hal penting selama kamu berpura-pura menjadi calon istriku."

"Pak, saya belum berkata apa, pun."

"Itu karena kamu tak punya hak untuk berkata selain yang aku mau." Brata menatapnya, dan saat itu, Nania baru menyadari jika warna mata Brata seperti almond kering. "Aku akan mengurus semua kebutuhanmu. Aku juga akan memastikan suamimu tak mengganggumu lagi. Semua akan berjalan sesuai dengan yang aku mau, dan ... " Brata melirik Nania yang masih duduk tegang. "Mari rubah penampilanmu dan belanja beberapa barang penting."

Nania tak terlalu mengerti apa yang dimaksud dengan barang penting. Hal terpenting baginya hanya perut yang bisa diisi denga makanan dan suaminya yang berhenti mengomel. Sampai Brata menunjukan kalau hidup punya kebutuhan lain yang harus Nania nikmati.

Make up, perawatan kuku dan kulit, baju-baju mahal, sepatu dengan bentuk sempurna yang bahkan menurut Nania tak cocok dengan warna kakinya, dan juga ponsel terbaru yang bahkan tak berani Nania impikan.

"Pak, terimakasih, tapi barang-barang ini bisa hilang kalau saya bawa pulang."

Brata mengernyit. "Hilang?"

Nania terlihat gugup. "Teman-tman saya suka meminjam banyak barang dari saya. Mereka bahkan sering tak mengembalikan lagi apa yang seharusnya jadi milik saya. Saya yakin, kalau barang-barang ini saya bawa pulang, semua kemewahan ini akan hilang dalam satu kedipan mata.

Brata mengangguk seperti mengerti. Kehidupan Nania memang alam berbeda yang tak pernah Brata rasakan, tapi Brata tahu kekhawatiran wanita itu.

Brata membuka gawainya dan menghubungkan panggilan ke ponsel seseorang. "Bud, hari ini kamu jangan kemana-mana. Kamu harus antar saya ke beberapa tempat." Brata menutup panggilannya dan kembali menatap Nania. "Ayo pergi."

"Pergi?" Nania bingung. "Kemana?"

"Kita beli rumah baru untukmu. Aku mau kamu jauh-jauh dari semua manusia parasit yang cuma tahu caranya memanfaatkanmu."

Kini Nania benar-benar tak bisa berkata-kata. Brata bicara tentang rumah baru seperti saat Nania bicara soal sayuran yang harus ia beli.

"Jangan banyak berpikir. Aku hanya melakukan apa yang pantas kulakukam untuk calon istriku."

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status