Share

Penolakan

last update Terakhir Diperbarui: 2022-11-23 14:46:00

"Bu, bagaimana kalau pernikahannya dibatalkan saja?"

Tepat setelah kalimat dari mulut Brata keluar, dentingan sendok terdengar beserta suara tercekik karena makanan yang menyangkut di tenggorokan.

"Kamu gila, ya? Kita baru aja memikirkan soal cathering, kamu malah asal membatalkan rencananya saja."

Brata kikuk. Dia tak pernah sekikuk ini. Yang dia tahu pasti, perasaannya pada Evani seperti nasi yang membusuk. Dia benar-benar ragu untuk meneruskan hubungan yang semula dia pikir akan menguntungkannya.

"Coba kamu pikir, apa yang harus Ibu katakan pada orang tua Evani kalau kamu memutuskan untuk menghentikan pernikahan ini? Wajah keluarga kita mau ditaruh ke mana?"

Brata menarik nafas. Bahkan setelah dia setua sekarang, dia masih harus mendengarkan semua yang Ibunya ucapkan seakan hal itu hukum pasti yang tak terbantahkan.

Dengan menahan kesal, Brata bangkit dan menjauh dari Ibunya yang terus mengomel. Dia benar-benar tak nyaman dan yang bisa ia lakukan adalah masuk ke kamarnya dan berusaha merenungkan masalah yang baru saja menerpanya.

Ada bayangan wanita lain yang lebih menarik dari Evani. Mungkin karena itu lah hayalan Brata melambung dan membuatnya memutuskan sebuah hal besar pada hubungannya dan sang kekasih.

Wanita dalam bayangan itu tak lain adalah Nania. Wanita yang bahkan tak bisa berdandan kecuali dengan make up tebal yang shadenya jauh dari warna kulit. Wanita yang menangis saat dilecehkan padahal menggunakan fungsi tubuhnya untuk hal lacur setiap hari. Wanita yang terlihat menerima semua luka hingga tubuhnya penuh dengan lebam.

"Aku pasti sudah gila."

***

"Hari ini Tuan Adam akan datang dan membicarakan tender mall di kota Semarang. Dia mengaku kapok dengan kontraktor lain yang memakai produk murah dan korup dana sebesar tiga puluh persen."

Brata masih sibuk dengan pemandangan di luar mobilnya. Budi sendiri tampak resah karena sangat jarang Brata, bossnya, diam dan tak menggubris semua jadwal yang ia bacakan.

Kalau pun tak fokus, Brata biasanya akan memenuhi tangannya dengan gadget berisi semua data pekerjaan. Hari masih pagi untuk melamun, dan Brata tak pernah begitu lupa akan sekelilingnya seperti saat ini.

"Apa Tuan ada masalah?" Budi mencoba menegur, tapi Brata tetap diam.

Budi memutuskan untuk mengunci mulutnya hingga mobil Brata memasuki loby perusahaannya. Mobil itu baru saja berhenti saat seorang pria menghadangnya seperti monyet yang tak tahu aturan. Asisten Brata menekan klakson sebagai tanda bahwa pria itu harus menyingkir. Para skuriti pun mulai mendekati mereka dan sukses membuat Brata terusik.

"Oh, dia pria yang bersama pelacur itu." Gumaman Budi seperti pesan untuk Brata. Pria itu segera bergerak keluar mobil dan memberi kode pada pihak keamanan agar melepaskan pria itu.

"Anda kenal saya? Saya yang bersama Nania." Rupanya dia Dono. Dengan sangat bersemangat, dia menarik tangan Brata untuk menjabatnya. "Saya bertanya-tanya, apa anda butuh Nania lagi atau tidak? Kami membicarakan anda sepanjang jalan dan memutuskan mampir untuk menyapa."

Brata mengernyit dan pelan mengedarkan pandangannya mencari Nania. Wanita itu tenga berjalan mendekat dengan dua tangan yang penuh minuman. Mereka tampak kikuk saat bertatapan sebelum akhirnya Nania pergi lagi karena tak kuat dengan mata Brata yang sedingin es.

"Pak, kalau anda mau Nania sekarang, saya akan beri anda diskon khusus. Saya akan kurangi harganya jadi lima puluh ribu." Dono terus mengoceh dan membuat semua orang tegang. Jika saja pria itu karyawan di bawah kendali Brata, dengan cepat dia akan kehilangan pekerjaannya.

"Bisa bawa Nania ke kantor saya?" Brata meminta Budi menjemput Nania sebelum dia sendiri lenyap di balik pintu.

Nania sendiri mendapat wejangan sesat dari suaminya dan mencoba menenangkan diri. Pertemuannya dengan Brata terakhir kali bukanlah pertemuan yang baik. Setidaknya dia tak ingin Brata marah dan menahan diri untuk tak memberinya uang.

Nania tahu betapa penting uang untuknya, dan tentu saja, dengan uang dari Brata, emosi Dono akan lebih lunak setidaknya dalam dua puluh empat jam ke depan.

"Sudah lama menunggu?" Budi mengernyit saat mendengar Brata bicara. Entah kenapa nada bicara bossnya terdengar cukup ramah seperti jika suaranya tak berasal dari mulut Brata. Sang bawahan Brata sendiri cukup tahu diri untuk tak banyak ikut campur dan memilih untuk diam di luar pintu agar Barat dan Nania lebih leluasa. "Apa kabar, Nan?"

Hati Nania bergetar. Dia seperti remaja yang baru saja ditegur pria yang menurutnya berkesan.

"Baik."

"Sudah makan?"

Kali ini Nania menggeleng. "Pak ... " Nania berusaha bersuara dan menatap mata Brata yang seperti tak bisa lepas darinya. "Saya minta maaf tentang suami saya. Dan tolong, jangan biarkan saya pergi tanpa melakukan apa pun."

Brata cukup terkejut. "Maksudmu?"

Kepala Nania menunduk. Dia sebenarnya malu karena ucapannya akan terdengar sangat hina, tapi dia mencoba untuk tak terlihat seperti parasit yang hanya mau uang Brata.

"Hari ini, saya akan memberikan layanan ke Bapak." Wajah Nania tampak merah, dan begitu pula dengan Brata.

Brata telah mendengar cukup banyak rayuan. Dia tahu wanita-wanita cantik selalu berkata manis ketika ada bersamanya. Tapi Nania bukanlah wanita yang ia inginkan untuk merayunya dengan kalimat semacam itu. Rayuan itu membuatnya lupa bernafas dalam sesaat sebelum akhirnya fokusnya kembali.

"Nania, maaf, tapi saya hanya melakukan apa yang saya ingin lakukan."

"Tidak, Pak." Nania bangkit dan berjalan pelan. "Uang sebanyak itu bahkan tak bisa saya bayar dengan tubuh saya. Setidaknya ... " Mata Nania mulai tampak sendu. Dia duduk di pangkuan Brata yang bingung, terutama karena nada suara Nania yang berbisik dan terasa hangat di telinganya. "Setidaknya, saya siap memberikan setiap senti di tubuh saya walau harus menghabiskan waktu seharian di pangkuan bapak."

Tanpa Brata sadari, dia meneguk liurnya yang seperti membanjiri seisi mulut. Dia bahkan berdehem agar ketenangannya kembali sebelum bangkit agar Nania tak lagi ada di pangkuannya.

"Nan, berapa uang yang kamu mau?"

"Ya?" Nania tampak bingung.

"Kamu kesini hanya untuk uang, kan? Katakan, berapa yang kamu mau?"

Nania berjalan cepat saat Brata menjauh darinya. "Saya hanya menerima uang saat saya sudah melayani anda."

"Nan ... " Tangan Brata menekan kode lokernya dan mengeluarkan beberapa tumpuk uang. "Dari pada membuatmu terpaksa melayaniku sebagai pelacur, apa tak sebaiknya kau melakukan hal lain untukku?"

Nania tak mengerti. "Maksud Bapak?"

Untuk pertama kalinya, Brata terlihat begitu santai dan tersenyum. Dia mencoret sebuah kertas dengan pena mahalnya dan memberikan apa yang ia tulis pada Nania.

"Besok, tepat pukul dua belas siang, datang ke restoran ini tanpa suamimu. Ingat, aku tak mau ada pria itu di dekatmu. Pakai pakaian yang paling sopan, dan jangan tunjukkan apa yang kau anggap tak pantas untuk ditunjukkan dari tubuhmu."

Nania mengerjap. Dia berusaha mencerna ucapan Brata, tapi pria itu hanya memberi kode agar Nania segera pergi dari hadapannya.

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Wanita Hina Bernama Nania   Aroma Kasmaran

    "Rasa lapar bukanlah hal terpenting bagi manusia seperti saya, Tuan." Nania menerawang entah kepada apa. Matanya yang hitam kecoklatan itu seperti membayangkan masa lalunya yang tak pernah diliputi bahagia."Yang terpenting bagi saya adalah, apakah orang-orang di sekitar saya bisa tidur nyenyak. Apakah mereka bisa bangun keesokan harinya tanpa banyak mengeluh."Mata itu kemudian menatap pada sosok Brata. Seorang pria yang entah bagaimana bisa terlarut dengan semua cerita Nania.Brata yang mengerti apa yang Nania rasa, kemudian bangkit. Dia mendekati Nania, memeluknya dan mengecup keningnya."Entah apa saja yang sudah kamu lalui selama ini. Yang jelas, aku tak mau kamu kembali menjadi Nania yang dulu."Nania menarik napas. Entah kenapa dia begitu tenang saat ada di peluk pria itu. Entah kenapa dia tak ingin lepas walau tahu bahwa dirinya tak pantas ada di naungan seorang Brata.***Nania membuka laptopnya dengan susah payah. Dia kehilangan fokus pada beberapa kolom dokumen yang sengaja

  • Wanita Hina Bernama Nania   Makan

    "Ga, Gado-gado?" Suara Budi seperti seekor tikus yang terkena jebakan. Dia tak mengira jika seluruh effort yang dia keluarkan adalah untuk mengabulkan keinginan Nyonyanya berjualan gado-gado. "Nyonya mau buka usaha gado-gado?" ulang Budi."Ya, Pak Budi. Ada yang salah?Sebenarnya tak ada yang salah. Semua bebas menentukan keinginannnya dalam menjalani hidup. Bahkan burung unta juga tak harus bisa terbang untuk mendapatkan predikat burung.Hanya saja, berjualan gado-gado tampaknya terlalu aneh. Biasanya, para wanita kaya akan memikirkan usaha elegan seperti sebuah rumah makan bergaya klasik yang lampu-lampunya dibiarkan temaram, atau sebuah coffee shop dengan biji kopi yang dimasukkan dalam toples demi sebuah kesan bahwa coffee shop itu hanya menggunakan biji kopi asli di menu mereka.Dan gado-gado tampaknya tak sesuai denga ciri khas mahal keluarga Sudibyo. Budi bisa membayangkan betapa murkanya Nyonya Martha jika tahu menantu yang tak dia inginkan justru mendirikan sebuah rumah makan

  • Wanita Hina Bernama Nania   Harga yang Pantas

    "Loh? Pak Budi udah kerja?" Nania terkejut saat Budi siap di depan mobil yang akan dia gunakan hari itu. "Pak! Bapak istirahat aja. Nanti saya hubungi suami saya, ya?""Tidak usah, Nyonya." Budi tersenyum santun dan meletakkan lap yang dia gunakan untuk menghapus bekas tetes air d mobil tuannya. "Saya sengaja bekerja hari ini karena bosan di kamar setiap hari.""Jangan khawtir pada Budi, Nyonya. Dia dan Tuan Brata sama-sama keras kepala dan tak bisa diam saja menunggu sembuh. Saya rasa tubuh mereka dibuat dari semacam lempengan besi.""Bi, jangan keterlaluan." Budi berusaha menahan kecepatan suara Bi Hanna yang entah kenapa semakin mudah berkomentar ketika ada di dekat Nania. "Nyonya tak perlu khawatir. Aku dan Tuan terlalu kuat untuk ditumbangkan."Sebenarnya Nania merasa kesal. Baru saja tadi pagi dia mendapati Brata yang hampir jatuh saat kesusahan berdiri. Dia ingin baik Brata mau pun Budi duduk tenang dan sembuh seperti sedia kala tanpa harus memaksakan diri bekerja.Apa yang seb

  • Wanita Hina Bernama Nania   Munculnya Setan Perayu

    Nania melihat punggung Evani menghilang. Dia hanya bisa menggeleng pasrah atas kelakuan tak sopan yang dia terima hari ini. Mungkin dia pantas atau mungkin hal semacam ini adalah hal wajar yang biasa diterima kalangan yang disebut Evani sebagai kalangan kelas bawah.Lalu mata Nania menatap Tuan Agustinus yang masih tak berdaya dengan segala alat bantu kehidupan. Dia menggenggam tangan itu, berdoa sejenak ke pada Tuhannya dan menyerahkan keajaiban yang bahkan tak bisa dilakukan manusia oleh tubuh sang pria kaya."Tuan, anda harus tetap kuat." Nania mencoba mengirim pesan positif walau mungkin Tuan Agustinus tak akan bisa mendengar. "Anda adalah orang yang luar biasa bagi keluarga anda. Nyonya Evani sangat beruntung bisa memiliki anda sebagai ayahnya." Nania mencoba memberikan segala dorongan yang bisa ia telurkan."Nyonya Evani pasti menunggu anda di rumah. Dia akan sangat bahagia jika anda kembali seperti sedia kala."Nania menarik napas dan mengalihkan pandangannya pada jendela rumah

  • Wanita Hina Bernama Nania   Hidup

    Agustinus tidak sekuat apa yang dia coba tunjukkan. Tepat saat penyiksaannya selesai, dia mulai menunjukkan wajah pucat dan juga napas yang berembus kasar.Pria itu mencoba duduk di salah satu bangku dan berusaha tetap sadar. Dia masih memikirkan putrinya dan tak mau jatuh tak sadarkan diri begitu saja.Tapi Agustinus hanya pria tua dengan berbagai masalah kesehatan. Dia mungkin berpikir jika duduk diam sembari mengatur napas akan membuat kesadarannya kembali. Tapi masalah kesehatan tidak sesederhana itu.Saat denyut jantungnya mulai menyakiti, Agustinus mulai tak lagi bisa menahan fokusnya. Dia mulai jatuh tergeletak dengan mengerang dan sekarat.Beranjak pada sisi lain di sebuah ruangan rumah sakit, berbeda dari Ayahnya yang sedang dalam perjalanan menuju rumah sakit yang sama, Evani justru sudah membuka mata dan mendapati tubuhnya mulai berbau seperti obat.Dia mencoba bangkit dan duduk, tapi ada rasa linu dan juga pusing yang menyadarkannya bahwa kepalanya juga terluka dan kini di

  • Wanita Hina Bernama Nania   Kemarahan Sang Orang Tua Tunggal

    "Kemungkinan fraktur! Semoga dia tetap tak sadar sampai rumah sakit."Kericuhan terjadi saat ambulan membawa Brata."Sayang! Jangan mati! Tolong jangan mati!"Evani yang ikut masuk ke dalam ambulance, histeris seperti jika nyawanya ikut melayang.Evakuasi Evani dari para penjahat sudah berhasil dilakukan. Bahkan pemimpinnya telah diamankan setelah ditemukan tak jauh dari tempat kejadian.Yang justru bernasib naas adalah sosok Budi dan Brata. Mereka melompat dari atas gedung dan harus mengalami beberapa luka walau tubuh mereka mendarat pada tumpukan sampah tak jauh dari gedung lama itu."Brata! Demi Tuhan, jangan tinggalkan aku!"Brata mengedip. Dengan tangan gemetar, dia meraih wajah Evani yang basah dan penuh lebam."Kau tetap cantik," ujar Brata yang bicara tanpa sadar."Jangan bicara omong kosong!"Brata tersenyum samar dengan oksigen di mulutnya."Kenapa aku harus membiarkan diriku jatuh cinta padamu?"Evani terenyuh. Tangan kekar itu seperti terbenam dalam wajahnya yang banjir ai

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status