"Bu, bagaimana kalau pernikahannya dibatalkan saja?"
Tepat setelah kalimat dari mulut Brata keluar, dentingan sendok terdengar beserta suara tercekik karena makanan yang menyangkut di tenggorokan."Kamu gila, ya? Kita baru aja memikirkan soal cathering, kamu malah asal membatalkan rencananya saja."Brata kikuk. Dia tak pernah sekikuk ini. Yang dia tahu pasti, perasaannya pada Evani seperti nasi yang membusuk. Dia benar-benar ragu untuk meneruskan hubungan yang semula dia pikir akan menguntungkannya."Coba kamu pikir, apa yang harus Ibu katakan pada orang tua Evani kalau kamu memutuskan untuk menghentikan pernikahan ini? Wajah keluarga kita mau ditaruh ke mana?"Brata menarik nafas. Bahkan setelah dia setua sekarang, dia masih harus mendengarkan semua yang Ibunya ucapkan seakan hal itu hukum pasti yang tak terbantahkan.Dengan menahan kesal, Brata bangkit dan menjauh dari Ibunya yang terus mengomel. Dia benar-benar tak nyaman dan yang bisa ia lakukan adalah masuk ke kamarnya dan berusaha merenungkan masalah yang baru saja menerpanya.Ada bayangan wanita lain yang lebih menarik dari Evani. Mungkin karena itu lah hayalan Brata melambung dan membuatnya memutuskan sebuah hal besar pada hubungannya dan sang kekasih.Wanita dalam bayangan itu tak lain adalah Nania. Wanita yang bahkan tak bisa berdandan kecuali dengan make up tebal yang shadenya jauh dari warna kulit. Wanita yang menangis saat dilecehkan padahal menggunakan fungsi tubuhnya untuk hal lacur setiap hari. Wanita yang terlihat menerima semua luka hingga tubuhnya penuh dengan lebam."Aku pasti sudah gila."***"Hari ini Tuan Adam akan datang dan membicarakan tender mall di kota Semarang. Dia mengaku kapok dengan kontraktor lain yang memakai produk murah dan korup dana sebesar tiga puluh persen."Brata masih sibuk dengan pemandangan di luar mobilnya. Budi sendiri tampak resah karena sangat jarang Brata, bossnya, diam dan tak menggubris semua jadwal yang ia bacakan.Kalau pun tak fokus, Brata biasanya akan memenuhi tangannya dengan gadget berisi semua data pekerjaan. Hari masih pagi untuk melamun, dan Brata tak pernah begitu lupa akan sekelilingnya seperti saat ini."Apa Tuan ada masalah?" Budi mencoba menegur, tapi Brata tetap diam.Budi memutuskan untuk mengunci mulutnya hingga mobil Brata memasuki loby perusahaannya. Mobil itu baru saja berhenti saat seorang pria menghadangnya seperti monyet yang tak tahu aturan. Asisten Brata menekan klakson sebagai tanda bahwa pria itu harus menyingkir. Para skuriti pun mulai mendekati mereka dan sukses membuat Brata terusik."Oh, dia pria yang bersama pelacur itu." Gumaman Budi seperti pesan untuk Brata. Pria itu segera bergerak keluar mobil dan memberi kode pada pihak keamanan agar melepaskan pria itu."Anda kenal saya? Saya yang bersama Nania." Rupanya dia Dono. Dengan sangat bersemangat, dia menarik tangan Brata untuk menjabatnya. "Saya bertanya-tanya, apa anda butuh Nania lagi atau tidak? Kami membicarakan anda sepanjang jalan dan memutuskan mampir untuk menyapa."Brata mengernyit dan pelan mengedarkan pandangannya mencari Nania. Wanita itu tenga berjalan mendekat dengan dua tangan yang penuh minuman. Mereka tampak kikuk saat bertatapan sebelum akhirnya Nania pergi lagi karena tak kuat dengan mata Brata yang sedingin es."Pak, kalau anda mau Nania sekarang, saya akan beri anda diskon khusus. Saya akan kurangi harganya jadi lima puluh ribu." Dono terus mengoceh dan membuat semua orang tegang. Jika saja pria itu karyawan di bawah kendali Brata, dengan cepat dia akan kehilangan pekerjaannya."Bisa bawa Nania ke kantor saya?" Brata meminta Budi menjemput Nania sebelum dia sendiri lenyap di balik pintu.Nania sendiri mendapat wejangan sesat dari suaminya dan mencoba menenangkan diri. Pertemuannya dengan Brata terakhir kali bukanlah pertemuan yang baik. Setidaknya dia tak ingin Brata marah dan menahan diri untuk tak memberinya uang.Nania tahu betapa penting uang untuknya, dan tentu saja, dengan uang dari Brata, emosi Dono akan lebih lunak setidaknya dalam dua puluh empat jam ke depan."Sudah lama menunggu?" Budi mengernyit saat mendengar Brata bicara. Entah kenapa nada bicara bossnya terdengar cukup ramah seperti jika suaranya tak berasal dari mulut Brata. Sang bawahan Brata sendiri cukup tahu diri untuk tak banyak ikut campur dan memilih untuk diam di luar pintu agar Barat dan Nania lebih leluasa. "Apa kabar, Nan?"Hati Nania bergetar. Dia seperti remaja yang baru saja ditegur pria yang menurutnya berkesan."Baik.""Sudah makan?"Kali ini Nania menggeleng. "Pak ... " Nania berusaha bersuara dan menatap mata Brata yang seperti tak bisa lepas darinya. "Saya minta maaf tentang suami saya. Dan tolong, jangan biarkan saya pergi tanpa melakukan apa pun."Brata cukup terkejut. "Maksudmu?"Kepala Nania menunduk. Dia sebenarnya malu karena ucapannya akan terdengar sangat hina, tapi dia mencoba untuk tak terlihat seperti parasit yang hanya mau uang Brata."Hari ini, saya akan memberikan layanan ke Bapak." Wajah Nania tampak merah, dan begitu pula dengan Brata.Brata telah mendengar cukup banyak rayuan. Dia tahu wanita-wanita cantik selalu berkata manis ketika ada bersamanya. Tapi Nania bukanlah wanita yang ia inginkan untuk merayunya dengan kalimat semacam itu. Rayuan itu membuatnya lupa bernafas dalam sesaat sebelum akhirnya fokusnya kembali."Nania, maaf, tapi saya hanya melakukan apa yang saya ingin lakukan.""Tidak, Pak." Nania bangkit dan berjalan pelan. "Uang sebanyak itu bahkan tak bisa saya bayar dengan tubuh saya. Setidaknya ... " Mata Nania mulai tampak sendu. Dia duduk di pangkuan Brata yang bingung, terutama karena nada suara Nania yang berbisik dan terasa hangat di telinganya. "Setidaknya, saya siap memberikan setiap senti di tubuh saya walau harus menghabiskan waktu seharian di pangkuan bapak."Tanpa Brata sadari, dia meneguk liurnya yang seperti membanjiri seisi mulut. Dia bahkan berdehem agar ketenangannya kembali sebelum bangkit agar Nania tak lagi ada di pangkuannya."Nan, berapa uang yang kamu mau?""Ya?" Nania tampak bingung."Kamu kesini hanya untuk uang, kan? Katakan, berapa yang kamu mau?"Nania berjalan cepat saat Brata menjauh darinya. "Saya hanya menerima uang saat saya sudah melayani anda.""Nan ... " Tangan Brata menekan kode lokernya dan mengeluarkan beberapa tumpuk uang. "Dari pada membuatmu terpaksa melayaniku sebagai pelacur, apa tak sebaiknya kau melakukan hal lain untukku?"Nania tak mengerti. "Maksud Bapak?"Untuk pertama kalinya, Brata terlihat begitu santai dan tersenyum. Dia mencoret sebuah kertas dengan pena mahalnya dan memberikan apa yang ia tulis pada Nania."Besok, tepat pukul dua belas siang, datang ke restoran ini tanpa suamimu. Ingat, aku tak mau ada pria itu di dekatmu. Pakai pakaian yang paling sopan, dan jangan tunjukkan apa yang kau anggap tak pantas untuk ditunjukkan dari tubuhmu."Nania mengerjap. Dia berusaha mencerna ucapan Brata, tapi pria itu hanya memberi kode agar Nania segera pergi dari hadapannya."Kenapa tidak masuk?" Nania terkejut saat Brata sudah muncul di dekatnya. Pria itu tampak sangat sempurna dengan kemeja putihnya yang digulung sampai ke siku. "Sudah lama menunggu?""Tidak juga." Nania berdusta. Dia sudah ada di restoran itu sejak pintunya belum terbuka. Hanya saja, Nania tak berani untuk masuk karena canggung ketika resepsionis menanyakan meja reservasi.Yang membuat Nania lebih terkejut adalah cara Brata memperlakukannya. Pria itu masih seperti es di puncak Everest, namun entah kenapa dengan sangat mudah menggandeng Nania agar berjalan di dekatnya.Nania ingin lepas dari genggaman itu. Dia merasa tak nyaman. Tapi sisi hatinya yang lain seperti ingin ada di genggaman itu selamanya, membuatnya mengutuk tingkahnya yang seperti melupakan siapa dirinya sebenarnya.Brata melambai pada dua wanita yang tampak sibuk bicara. Kedua wanita itu punya perbedaan usia yang kentara tapi sama-sama memandang tak suka pada diri Nania yang berada di genggaman Brata."Siapa dia?" Evani m
Nania berandai-andai, jika saja pertemuannya dengan Brata terjadi beberapa puluh tahun silam, mungkin nasibnya akan berubah. Kalau pun dia harus jadi budak, dia tak akan lebih dari budak orang kaya yang memberikannya banyak hal yang menarik hatinya.Dono tak mungkin memperlakukan Nania sebaik Brata. Dia hanya tahu mabuk dan beradu jotos dengan orang yang tak ia suka.Tapi Brata di depannya ini benar-benar sosok pria yang menarik. Dia hanya fokus pada kopinya, ponsel, dan tak seperti seseorang yang membutuhkan Nania namun sekaligus memperlihatkan kepeduliannya dalam diam.“Apa aku terlihat aneh?”“Ya?” Nania mengira Brata tak bicara dengannya.“Kau memandangiku sejak kopi kita datang, kau berpura-pura sibuk dengan ponsel tuamu yang mati sejak dua jam lalu dan kau menghela nafas seakan kau berbeban berat.” Mata almond kering itu menatap dengan esensi yang beku. “Apa yang aneh dariku?”“Ma, maaf.” Nania merinding. Dia dipergoki seperti seorang maling ayam.“Untuk apa? Untuk apa ka
“Kau mungkin mencoba terlihat baik-baik saja, Nania. Tapi kau tidak. Aku tahu hidung belang di luar sana semakin merendahkanmu dan bahkan tak membayarmu dengan layak.” Rokok baru hidup di bibir Mertua Nania. Dia adalah sosok yang tak bisa hidup lama jika jauh dari nikotin. “Dono bisa dapat banyak pelacur yang lebih memberikan kehidupan di kantongku, tapi kau ..., kau hanya bisa menangis seharian dan memenuhi tubuhmu dengan lebam.” Hisapan nikotin itu semakin kuat saat nada sinisnya terdengar. “Aku bahkan jengah menatap cerita hidupmu yang seperti itu setiap harinya.”“Tapi aku tak bisa pergi.”“Apa alasannya?” Suara Mertua Nania itu bertambah tinggi. “Kau mau bilang kau mencintai anakku? Kau sakit jiwa, hah? Anakku bahkan tak menganggap kamu manusia.”Nania diseret dengan kekuatan super seorang paruh baya. Dia melempar Nania dari rumahnya saat hujan baru saja turun ke bumi.“Pergi! Cari kehidupanmu dan lupakan tempat ini.”Petir menggelegar seperti tahu efek suaranya cocok dengan
“Boss. Sebenarnya, siapa Nania?” Budi baru saja menyeret tuannya agar segera menjauh dari rumah bordir itu. Dia tahu tak baik ada di tempat kotor itu dengan amarah yang tinggi.“Memang kenapa, Bud?” Brata tampak fokus dengan lebam di wajahnya.Budi menarik nafas dan terlihat tak nyaman. “Saya merasa anda tak seperti diri anda. Wanita bernama Nania itu seperti seseorang yang setiap tingkahnya menaklukkan anda.”Brata tersenyum dingin. “Aku tak pernah ditaklukkan, Bud. Dari pada banyak bicara, cepat bawa aku ke rumah. Aku lelah karena belum sempat istirahat semenjak tadi malam.”Budi tak punya pilihan. “Baik, Tuan.”Di dalam hati Brata sendiri, tampaknya ada rasa mengutuk atas apa yang dia perbuat. Perlahan dia tahu bahwa dia berbuat salah, tapi tak bisa memutar balik apa yang sudah dia perbuat.Brata masuk ke dalam kamarnya saat ruangan itu terlihat. Dia baru saja membuka kemejanya sampai sepasang tangan mencoba memeluknya.“Sayang ... “Brata mendesah lelah. “Untuk apa lagi ka
“Lagi pula, kau pasti membenci hidupmu, kan? Aku tahu tak ada yang mau menjadi pelacur.” Brata meraih sebuah apel dan mengupas kulitnya. “Kau harus berpikir tentang masa depanmu. Bayangkan jika kau bisa memiliki sebuah keluarga yang sehat, suami yang tak memaksamu bekerja, dan juga anak-anak yang mungkin berjumlah lebih dari dua di sekelilingmu.”“Anak-anak?” Entah kenapa Nania merasa amat canggung. “Apa anda juga menginginkanku untuk jadi Ibu anak-anak anda?”Kali ini Brata yang terdiam. Entah kenapa dia sadar kalau hayalnya sudah berjalan terlalu jauh. Dia ternyata sudah membayangkan hari depannya dengan seorang wanita yang bahkan berbeda kasta darinya.“Lupakan, Nan. Yang lebih penting, aku harus terus memastikan kalau kau tetap dalam kondisi sehat. Seluruh lukamu harus sudah sembuh sebelum akhirnya kau bekerja untukku.”Kalau boleh jujur, Nania merasa lega sudah dipertemukan dengan Brata. Walau setiap kalimatnya angkuh, tapi Brata selalu punya gambaran akan k
“Jadi dia ada di sini?” Nyonya Martha menatap Budi yang hanya bisa diam dengan wajahnya yang kaku. Saat ini Nyonya Martha sudah tak lagi tergeletak di ranjang kamarnya dia sudah sangat cantik dan bibirnya bahkan terpoles warna merah yang segar. “Kupikir Brata sudah angkat tangan untuk tak lagi berhubungan dengan wanita asing itu. Kupikir drama ini sudah sempurna, tapi ternyata aku salah.”Mata Nyonya Martha teralih pada Evani. Dia menggigit bibirnya dan terlihat sama kesalnya seperti si ibu mertua.“Evani sayang, tenanglah. Kau ketakutan soal apa, sih? Soal wanita yang Brata dekati? Bukankah sekarang kau sudah jadi istrinya?” Nyonya Martha tahu jika Evani takut akan pesaingnya. Dia juga lebih takut saat tahu wanita yang merebut Brata darinya tak lebih dari seorang wanita yang kelasnya jauh di bawahnya.“Bud!” Evani masih menggigiti jarinya karena resah. “Kenapa kau tidak pernah bisa menjaga Brata? Apa kamu tidak tahu mana yang baik dan buruk bagi Tuanmu?”Budi terdiam. Di saat sep
“Apa yang kau perbuat, Nan?” Nania sedang bicara dengan dirinya sendiri. Dia baru saja mencium seorang CEO perusahaan ternama tanpa ragu. “Pelacur. Kamu pelacur, Nan. Kamu menyerahkan segala yang ada pada dirimu untuk jadi objek pria setampan Pak Brata.”Nania mendesah dan terdiam memandang jendela kamar rumah sakitnya. Brata meninggalkannya untuk mengurus beberapa keperluan dan berjanji akan menemuinya kembali dengan cepat.Tapi apa gunanya? Nania sangat sadar bahwa pria bernama Brata itu membuatnya masuk ke sebuah masalah yang menurut batin Nania cukup salah.“Tidak. Hidupku tak mungkin akan berjalan dengan mudah dengan jadi istri seorang CEO. Jadi istri germo saja sudah susah, apa lagi jadi istri seorang petinggi perusahaan yang bertindak tak wajar atas hidupku.”Rasa kepak sayap kupu-kupu di perut Nania kini berubah jadi melilit yang pedih. Nania pikir, dia harus membuat keputusan lain sebelum akhirnya bertemu kembali dengan Brata.“Aku harus pergi. Aku harus meninggalkan pri
Beberapa jam sebelum Nania datang ke rumah barunya, Brata sedang melamun di sudut ruang yang ia klaim sebagai ruang kerja. Lamunannya tak lain merupakan kilasan memori dari apa yang terjadi d rumah sakit tempat Nania dirawat.Banyak kejadian aneh yang membuatnya pusing. Dimulai dari dua pernikahannya dalam satu waktu, kebohongan Ibunya, dan juga ciumannya dengan Nania kala itu.Seperti halnya Brata, dia yakin jika ciuman itu bukan ciuman pertama Nania.“Masalahnya, apakah Nania menganggap ciuman itu sebagai ciuman biasa selayaknya dia menciumi para pelanggannya?” Tanpa sadar Brata bergumam. Dia bahkan bangkit hanya untuk berjalan bolak-balik di ruangannya.Nania. Wanita itu sungguh berbeda. Brata mungkin mengira jika yang ia rasa hanyalah bentuk kepeduliannya pada Nania. Tapi tidak. Alasan itu memang adalah alasan pemicu, tapi jauh di dalam hati Brata, ada rasa cinta yang mau tak mau ia amini adanya.Brata yang sedang bingung mulai memeriksa ponselnya. Sudah berkali-kali dia menc