“Kau mungkin mencoba terlihat baik-baik saja, Nania. Tapi kau tidak. Aku tahu hidung belang di luar sana semakin merendahkanmu dan bahkan tak membayarmu dengan layak.” Rokok baru hidup di bibir Mertua Nania. Dia adalah sosok yang tak bisa hidup lama jika jauh dari nikotin. “Dono bisa dapat banyak pelacur yang lebih memberikan kehidupan di kantongku, tapi kau ..., kau hanya bisa menangis seharian dan memenuhi tubuhmu dengan lebam.” Hisapan nikotin itu semakin kuat saat nada sinisnya terdengar. “Aku bahkan jengah menatap cerita hidupmu yang seperti itu setiap harinya.”“Tapi aku tak bisa pergi.”“Apa alasannya?” Suara Mertua Nania itu bertambah tinggi. “Kau mau bilang kau mencintai anakku? Kau sakit jiwa, hah? Anakku bahkan tak menganggap kamu manusia.”Nania diseret dengan kekuatan super seorang paruh baya. Dia melempar Nania dari rumahnya saat hujan baru saja turun ke bumi.“Pergi! Cari kehidupanmu dan lupakan tempat ini.”Petir menggelegar seperti tahu efek suaranya cocok dengan
“Boss. Sebenarnya, siapa Nania?” Budi baru saja menyeret tuannya agar segera menjauh dari rumah bordir itu. Dia tahu tak baik ada di tempat kotor itu dengan amarah yang tinggi.“Memang kenapa, Bud?” Brata tampak fokus dengan lebam di wajahnya.Budi menarik nafas dan terlihat tak nyaman. “Saya merasa anda tak seperti diri anda. Wanita bernama Nania itu seperti seseorang yang setiap tingkahnya menaklukkan anda.”Brata tersenyum dingin. “Aku tak pernah ditaklukkan, Bud. Dari pada banyak bicara, cepat bawa aku ke rumah. Aku lelah karena belum sempat istirahat semenjak tadi malam.”Budi tak punya pilihan. “Baik, Tuan.”Di dalam hati Brata sendiri, tampaknya ada rasa mengutuk atas apa yang dia perbuat. Perlahan dia tahu bahwa dia berbuat salah, tapi tak bisa memutar balik apa yang sudah dia perbuat.Brata masuk ke dalam kamarnya saat ruangan itu terlihat. Dia baru saja membuka kemejanya sampai sepasang tangan mencoba memeluknya.“Sayang ... “Brata mendesah lelah. “Untuk apa lagi ka
“Lagi pula, kau pasti membenci hidupmu, kan? Aku tahu tak ada yang mau menjadi pelacur.” Brata meraih sebuah apel dan mengupas kulitnya. “Kau harus berpikir tentang masa depanmu. Bayangkan jika kau bisa memiliki sebuah keluarga yang sehat, suami yang tak memaksamu bekerja, dan juga anak-anak yang mungkin berjumlah lebih dari dua di sekelilingmu.”“Anak-anak?” Entah kenapa Nania merasa amat canggung. “Apa anda juga menginginkanku untuk jadi Ibu anak-anak anda?”Kali ini Brata yang terdiam. Entah kenapa dia sadar kalau hayalnya sudah berjalan terlalu jauh. Dia ternyata sudah membayangkan hari depannya dengan seorang wanita yang bahkan berbeda kasta darinya.“Lupakan, Nan. Yang lebih penting, aku harus terus memastikan kalau kau tetap dalam kondisi sehat. Seluruh lukamu harus sudah sembuh sebelum akhirnya kau bekerja untukku.”Kalau boleh jujur, Nania merasa lega sudah dipertemukan dengan Brata. Walau setiap kalimatnya angkuh, tapi Brata selalu punya gambaran akan k
“Jadi dia ada di sini?” Nyonya Martha menatap Budi yang hanya bisa diam dengan wajahnya yang kaku. Saat ini Nyonya Martha sudah tak lagi tergeletak di ranjang kamarnya dia sudah sangat cantik dan bibirnya bahkan terpoles warna merah yang segar. “Kupikir Brata sudah angkat tangan untuk tak lagi berhubungan dengan wanita asing itu. Kupikir drama ini sudah sempurna, tapi ternyata aku salah.”Mata Nyonya Martha teralih pada Evani. Dia menggigit bibirnya dan terlihat sama kesalnya seperti si ibu mertua.“Evani sayang, tenanglah. Kau ketakutan soal apa, sih? Soal wanita yang Brata dekati? Bukankah sekarang kau sudah jadi istrinya?” Nyonya Martha tahu jika Evani takut akan pesaingnya. Dia juga lebih takut saat tahu wanita yang merebut Brata darinya tak lebih dari seorang wanita yang kelasnya jauh di bawahnya.“Bud!” Evani masih menggigiti jarinya karena resah. “Kenapa kau tidak pernah bisa menjaga Brata? Apa kamu tidak tahu mana yang baik dan buruk bagi Tuanmu?”Budi terdiam. Di saat sep
“Apa yang kau perbuat, Nan?” Nania sedang bicara dengan dirinya sendiri. Dia baru saja mencium seorang CEO perusahaan ternama tanpa ragu. “Pelacur. Kamu pelacur, Nan. Kamu menyerahkan segala yang ada pada dirimu untuk jadi objek pria setampan Pak Brata.”Nania mendesah dan terdiam memandang jendela kamar rumah sakitnya. Brata meninggalkannya untuk mengurus beberapa keperluan dan berjanji akan menemuinya kembali dengan cepat.Tapi apa gunanya? Nania sangat sadar bahwa pria bernama Brata itu membuatnya masuk ke sebuah masalah yang menurut batin Nania cukup salah.“Tidak. Hidupku tak mungkin akan berjalan dengan mudah dengan jadi istri seorang CEO. Jadi istri germo saja sudah susah, apa lagi jadi istri seorang petinggi perusahaan yang bertindak tak wajar atas hidupku.”Rasa kepak sayap kupu-kupu di perut Nania kini berubah jadi melilit yang pedih. Nania pikir, dia harus membuat keputusan lain sebelum akhirnya bertemu kembali dengan Brata.“Aku harus pergi. Aku harus meninggalkan pri
Beberapa jam sebelum Nania datang ke rumah barunya, Brata sedang melamun di sudut ruang yang ia klaim sebagai ruang kerja. Lamunannya tak lain merupakan kilasan memori dari apa yang terjadi d rumah sakit tempat Nania dirawat.Banyak kejadian aneh yang membuatnya pusing. Dimulai dari dua pernikahannya dalam satu waktu, kebohongan Ibunya, dan juga ciumannya dengan Nania kala itu.Seperti halnya Brata, dia yakin jika ciuman itu bukan ciuman pertama Nania.“Masalahnya, apakah Nania menganggap ciuman itu sebagai ciuman biasa selayaknya dia menciumi para pelanggannya?” Tanpa sadar Brata bergumam. Dia bahkan bangkit hanya untuk berjalan bolak-balik di ruangannya.Nania. Wanita itu sungguh berbeda. Brata mungkin mengira jika yang ia rasa hanyalah bentuk kepeduliannya pada Nania. Tapi tidak. Alasan itu memang adalah alasan pemicu, tapi jauh di dalam hati Brata, ada rasa cinta yang mau tak mau ia amini adanya.Brata yang sedang bingung mulai memeriksa ponselnya. Sudah berkali-kali dia menc
Nania berjingkat keluar dari kamarnya dengan langkah yang nyaris tanpa suara. Saat itu masih pukul tiga pagi, dan rumah yang Nania tempati masih sangat sepi seperti tak berpenghuni.Brata sendiri memutuskan untuk tidur terpisah karena merasa bahwa Nania belum sepenuhnya siap untuk seranjang dengannya.Nania tak tahu dari mana pikiran seperti itu datang, tapi Nania akan menghargainya sebagai sebuah pemikiran dari manusia secerdas Brata yang penuh dengan perhitungan.Kembali lagi ke Nania yang tengah menuju dapur. Ada beberapa dapur di rumah itu. Satu dapur yang digunakan para pembantu untuk meracik makanan mereka, satu lagi adalah dapur khusus para koki yang tak boleh digunakan tanpa persetujuan kepala pelayan, dan satu sisanya adalah dapur yang sangat bersih dengan satu kompor induksi dan juga gelas-gelas mahal yang digantung di atasnya. Dapur terakhir tak pernah digunakan, dan Brata berpesan agar Nania tak repot-repot memasak di sana.Sebagai seorang istri, Nania ingin kesan pertaman
Entah kenapa atmosfer rumah megah terasa berbeda. Nania tak bisa untuk tak berdebar ketika dia melangkah. Ditambah, sepatu yang ia pakai terasa terlalu nyaman dibandingkan sepatu hak tinggi yang harus berkali-kali dia sol ulang.“Yuk.” Brata tiba-tiba menarik Nania dan membuat wanita itu bergerak kikuk.“Tuan. Kita mau ke mana?”“Jangan panggil aku dengan sebutan Tuan.” Brata tampak dingin dan tak suka cara Nania memanggilnya.“Tapi, Tuan.”“Nan ....” Brata berbalik dan hampir membuat Nania menabraknya. “Aku suamimu. Aku berhak meminta apa yang setiap suami ingin agar istrinya lakukan.”“Tapi ... ““Tidak ada tapi.”Nania melirik dan merasa tenggorokannya kering seketika. “Haruskah kupanggil Tuan dengan sayang?”“Ha?”“Sayangku?”Entah kenapa wajah Brata terasa panas. Dia ingin tersenyum tapi dia tak ingin kehilangan wibawanya.“Atau mau kupanggil dengan sebutan lain?”“Tidak!” Entah kenapa Brata tak mau menyetujui hal itu. “Aku hanya kaget.” Dia masih tak berani menatap