Sesaat setelah memasuki restoran, Pak Adit menunjuk seorang pria sedang duduk menunggu. Kami pun berjalan menghampirinya dan setelah dekat Pak Adit berhenti lalu menyapa. "Sudah lama, Pak?" "Saya barusan sampai, Pak Adit!" jawabnya sambil bangun dan menyalami Pak Adit. Astaga, ternyata klien Pak Adit ternyata dia, batinku shock. "Mari silahkan duduk, Pak!" pinta lelaki paruh baya di depan kami. Pak Adit mengangguk kemudian menoleh padaku lalu kami pun duduk bersebelahan. Pramusaji segera datang menghampiri, untuk bertanya dan mencatat apa yang mau dipesan. "Kami pesan minuman aja, dua cappucino hangat," kata Pak Adit, aku terima saja tanpa membantah. "Nggak pesan makan, Pak Adit?" tanya lelaki itu. "Nggak, kami udah makan sebelum kesini," jawab Pak Adit menolak. Setelah pramusaji itu pergi, kembali Pak Adit bicara. "Jadi, apa yang perlu kita bahas sekarang ini?" Lelaki tua itu ingin menjawab tapi matanya kemudian melirikku. Pak Adit seolah mengerti lalu berkata. "Dia asisten
Om Haris tertawa, sepertinya Pak Adit ini sangat terkenal di mana-mana. Buktinya banyak yang meminta kerjasama padanya, tapi tidak semua yang dituruti Pak Adit. Beliau akan memeriksa dulu laporan perusahaan bagaimana yang akan disetujui untuk kerjasama. "Maaf, Pak! Boleh saya tanya?" tanyaku pada Om Haris. Pak Adit menoleh ke arahku. "Ya, silahkan!" "Apa Pak Haris mengenal Pak Gading?" tanyaku penasaran. Pak Gading adalah bos tempatku dulu bekerja. "Pak Gading, bos perusahaan barang impor? Ya saya kenal, anak saya bekerja di sana sebagai manajer. Bangga saya, dengan cepat anak saya bisa naik pangkat di sana," jawab Om Haris merasa keren. Huh, Om hanya tak tau anak gadis kamulah yang sudah memfitnahku. Kalo merasa bangga dengan kelakuannya sungguh kasian. Satu keluarga semua hidup sebagai penjilat, sungguh buah jatuh tak jauh dari pohonnya. "Kenapa, kamu kenal dengan Pak Gading?" tanya Om Haris heran. "Nggak Pak! Teman saya ada bekerja di sana, jadi saya pengen tau seperti apa b
"Maaf, Pak! Tadi ada tamu yang datang, tapi beliau sudah pulang!" "Siapa?" tanya Pak Adit. "Namanya Pak Broto, Pak!" jawab sekretaris. "Oh, Pak Brotoseno ternyata," ucap Pak Adit berlalu sambil masuk kantor. Langkahku terhenti kala mendengar Pak Adit menyebut Brotoseno. Benarkah Om Seno yang kemari tadi? Lalu ada perlu apa, gumamku lirih. Pak Adit sudah masuk ke dalam kantor, aku segera mengikuti. Tampak Pak Adit sedang menelpon seseorang, tidak ingin menganggu aku pun mencari kesibukan sendiri. Sembari mencatat bahan penting di buku, aku teringat dengan masa lalu saat bekerja di perusahaan barang impor itu. Saat itu sudah menjadi tugasku untuk mengawasi barang keluar masuk. Pak Gading mempercayakan diriku sebagai kepala gudang karena penilaian serta kerjaku teliti katanya. Aku pun yang sebagai karyawan biasa menjadi sangat gembira dan menyambut dengan baik kesempatan itu. Bapak dan Ibu di kampung juga senang mendengar berita dariku. Mereka selalu mendoakan dan menasehati agar
Ya, aku tidak percaya. Sudah bertahun-tahun kerja bersamanya, Pak Gading tidak mempercayaiku tapi malah percaya sama saksi. Siapa saksi itu, mengapa dia begitu kejam telah memfitnahku. "Jawab, Ayu!" "Maaf, Pak! Saya nggak sanggup untuk mengganti kerugiannya jadi saya ikhlas kalo Pak Gading pecat saya," kataku pasrah. Aku tak mungkin bisa mengganti kerugian yang sampai miliaran itu. Uang dari mana? Gajianku sebagai manajer yang baru berjalan tiga bulan cuma ada lima juta. Sebagian sudah aku beri pada orang tua untuk biaya hidup dan juga renovasi rumah yang hampir roboh. "Baiklah, mulai hari ini kamu saya pecat tanpa pesangon. Silahkan tinggalkan ruangan saya dan pergi dari sini," usir Pak Gading. Dengan hati tersayat, aku keluar dan membereskan barang di kantor. Air mataku tumpah ruah, kenapa nasibku begini. Baru saja meraih mimpi kini sudah hancur, ya aku udah berjanji pada Ibu dan Bapak akan menaikkan mereka haji bila sudah bekerja setahun. Desi masuk ke kantor dan memelukku. "
"Sebenarnya, Marissa bukan anak kandung saya," tampik Om Seno sedih. Marissa? Anak Om Seno? Tunggu, jangan-jangan Marissa yang sering datang mengganggu Pak Adit itu anaknya Om Seno. Bukankah Om Seno bilang namanya Widya? Aku harus bertanya pada Om Seno sendiri. "Om, Marissa anak Om. Bukannya Widya?" tanyaku penasaran. "Kamu kenal dengan Marissa?" tanya Om Seno balik. "Ayu udah beberapa kali ketemu Marissa di sini, Pak Broto! Dia nggak tau kalo Marissa itu anak Pak Broto karena saya juga baru tau kalo anda itu Om nya Ayu," jelas Pak Adit menjawab. Om Seno mengangguk lalu menoleh padaku. "Ayu, nanti aja kapan-kapan Om cerita ya soal Marissa. Nggak enak kalo mengganggu Pak Adit di sini, apalagi ini kantor nggak etis bicara masalah keluarga," ucap Om Seno padaku. Aku mengangguk mengerti, kemudian Om Seno beralih pada Pak Adit. "Kedatangan saya ke sini ingin minta maaf pada Pak Adit. Karena masalah Marissa yang sudah merepotkan Anda. Tadi Mamanya Marissa menelepon saya dan marah kare
Sampai di rumah, Ibu sedang mengangkat jemuran. Melihatku pulang, Ibu segera menghampiriku sambil menenteng pakaian. "Loh, tumben kamu hari ini cepat pulang?" tanya Ibu heran. "Iya, Bu! Pak Adit mengizinkan pulang, lagian hari ini udah selesai mengerjakan pekerjaan penting," jawabku sembari melepas sepatu. "Apa itu? Pasti kamu sukses dengan masakan baru," tebak Ibu. Aku menggeleng. "Bukan, Bu! Pak Adit mengajak Ayu bertemu klien, juga mengajari Ayu bagaimana proses negoisasi dengan klien." "Benarkah? Alhamdulillah, berarti Bos kamu udah percayai kamu kerja di kantornya," ucap Ibu tersenyum. Hatiku juga senang dan ingin secepatnya bisa bekerja penuh di kantor. Banyak misi yang harus aku lakukan untuk membuat orang-orang yang sudah menghancurkan hidupku merasakan akibatnya. Setelah masuk, aku langsung mandi dan berganti pakaian. Tak sabar ingin mencoba berdandan dan eksekusi berbagai make up yang aku pinjam dari Desi. Ya, selain temu kangen aku juga meminjam alat make up Desi aga
"Hari ini, nggak usah masak siang! Kita makan di luar aja sekalian mengajakmu membeli gaun. Saya pikir kamu pasti nggak punya gaun cantik kan!" ujar Pak Adit memastikan. "Ada satu, Pak! Om Seno yang belikan kemarin." "Itu kan beda, saya ingin semua saya yang belikan. Sudah, nanti ikut saja! Saya berangkat dulu," ucap Pak Adit sambil menghidupkan mobil. Aku masuk ke dalam rumah, karena Pak Adit bilang tak masak. Aku pun mengerjakan hal yang lain. Ah, bagaimana kalo aku mencuci baju Pak Adit saja. Dengan bersenandung kecil, mencari pakaian kotor. Walaupun sudah kotor, Pakaian Pak Adit masih wangi. Aku mencium sekilas sebelum masuk ke mesin cuci. Seketika sadar, aduh apa yang barusan aku lakukan. Menciumi baju Pak Adit, sungguh memalukan kamu Ayu! Ingat dia itu Bos bukan suami kamu, batinku bicara. Siangnya, aku tiba di perusahaan. Begitu di depan meja sekretaris, menyuruhku langsung masuk ke dalam kantor. Aku pun mengetuk pintu dan terdengar seruan dari dalam. Begitu aku buka pint
Pak Gading melirikku lalu menoleh Pak Adit. "Siapa wanita ini?" tanyanya heran, Pak Gading tidak mengenalku karena penampilan baruku. "Kenalkan, dia Ayu, calon istriku! Eks manajer yang dulu Pak Gading pecat!" kata Pak Adit tersenyum. Mata Pak Gading membulat sempurna, terkejut. Tentu saja, aku lebih lagi saat Pak Adit mengaku aku calon istrinya. Entah apa maksud Pak Adit mengatakan itu, yang pasti Pak Gading sangat malu mengingat kejadian dulu itu. "Ayu?" katanya tak percaya. Aku mengulurkan tanganku dan berusaha tersenyum manis. "Iya, saya Ayu! Pak Gading masih ingat, kan!" Dengan kikuk Pak Gading mengangguk dan menjabat tanganku. Wajahnya menyiratkan seperti mimpi melihatku berubah dan kini diakui calon istri dari seorang Bos besar, Aditya Pratama Sulistyo. Dari ekor mataku terlihat Pak Adit sangat menikmati momen kejutan ini. Ah, ternyata Pak Adit pintar memainkan perannya. Aku berharap pengakuan Pak Adit itu benar, bukan saja hanya ingin membantuku menjatuhkan mental orang-