Suara maskulin yang cukup keras tertangkap indra pendengaran Debby. Wanita itu menoleh ke arah asal suara. Ia mengernyit heran mendengar pertanyaan itu. Dipandanginya sejenak pria asing itu tanpa menjawab pertanyaannya. Lalu perhatiannya dialihkan kembali pada Fanny.
“Saya Niel!” seru pria asing itu dengan cepat seraya mengulurkan tangan kanannya di bawah hidung Debby.
“Oh.”
‘Si pria penelepon tadi.’
Debby sebetulnya enggan berurusan dengan pria asing. Namun, mengingat pria di hadapannya ini mengaku sebagai teman Fanny, setelah bimbang sejenak, dengan berat hati disambutnya juga uluran tangan itu. “Debby.”
“Biar saya bantu,” tawar Niel ketika Debby kesusahan mengangkat Fanny.
Tanpa memberikan respons apa pun, mereka lalu mengangkat Fanny bersama-sama agar berdiri. Sosok yang berusaha dipapah meracau tidak jelas, tetapi tidak dihiraukan oleh mereka berdua. Lengan kiri Fanny dikalungkan ke leher Debby sementara tangan kanan Debby melingkari pinggang kurus Fanny. Sesudah Debby merasa mantap untuk memapah Fanny dan mencangklong tas milik wanita yang tengah mabuk itu, Debby pun bersiap-siap untuk segera berlalu dari tempat yang dipenuhi dengan suara musik yang memekakkan bagi indra pendengarannya.
“Ayo, saya antar sampai depan.”
“Nggak perlu. Biar saya saja. Terima kasih.”
“Bos, tambah satu gelas lagi!” seru seorang pria yang berada di belakang Debby. Niel langsung memberi tanda dengan tangan untuk menahan Debby yang hendak beranjak.
“Huh! Ada apa lagi sih?” gerutu Debby dengan lirih. Kerutan halus juga muncul di antara kedua alisnya.
Pria dengan rambut bergelombang itu lalu menatap ke arah asal suara. Sebuah senyuman terbit menghiasi wajahnya yang bulat telur. “Yo, Bro! Bisa tunggu sebentar? Nanti aku kasih gratis untuk gelas yang ini.”
Debby yang tak ingin melakukan kontak mata dengan siapa pun akhirnya langsung menunduk menatap sahabatnya sembari membenarkan letak tas milik Fanny. Ia tak mendengar sahutan apa pun dari pria yang berada di belakangnya. Namun, ketika kepalanya kembali terangkat, sebuah acungan jempol diberikan Niel untuk pria tersebut. Senyum yang menghias wajah Niel berangsur-angsur memudar ketika perhatiannya kembali tertuju pada Debby.
“Apa kamu bawa kendaraan sendiri?” Debby hanya mengangguk sebagai jawaban.
“Kalau begitu, tinggalkan saja mobil Fanny di sini. Besok pagi akan saya antar ke apartemennya. Saya sudah meminta kuncinya tadi.” Lagi-lagi Debby hanya memberikan anggukan kepala sebagai respons.
“Baiklah. Maaf, saya tidak bisa mengantar kalian pulang. Saya ingin, tapi ... yah, kamu lihat sendiri, ‘kan? Saya harus kembali bekerja. Terima kasih banyak kamu sudah mau bersusah payah menjemput Fanny.” Tangan kiri Niel terulur ke atas untuk mengusap puncak kepala Fanny.
“Hmm.” Lagi-lagi hanya jawaban singkat yang terdengar dari mulut mungil Debby.
“Kalau begitu, akan saya traktir makan malam lain waktu sebagai ucapan terima kasih. Bagaimana?” tawar Niel. Kedua ujung bibirnya kembali terangkat.
“Maaf, nggak perlu sampai sejauh itu. Diucapkan saja juga sudah cukup kok,” sahut Debby. Wanita berjaket denim itu bahkan tak membalas senyuman yang dilontarkan Niel padanya. Tanpa berkata-kata lagi, ia lalu menganggukkan kepalanya sedikit ke arah Niel dan segera berlalu dari hadapan si bartender.
Dengan perlahan-lahan, tetapi pasti, dipapahnya Fanny keluar dari kelab malam. Dengan kebulatan tekad yang patut diacungi jempol—Debby memuji dirinya sendiri—akhirnya ia berhasil melewati pintu keluar setelah beberapa menit. Ia berhenti sejenak di depan pintu. Dengan tangan masih memegangi Fanny, ia menghirup napas dalam-dalam, lalu mengembuskannya dengan perlahan-lahan melalui mulut mungilnya. Setelah membenarkan posisi Fanny yang sedikit merosot, Debby akhirnya melanjutkan langkah kakinya yang terhenti.
*****
William Aaron Christiadjie mengedarkan pandangan sambil lalu ke seantero ruangan sejauh matanya bisa memandang. Tanpa menghiraukan obrolan sahabat-sahabatnya, William menyesap sedikit minuman dari gelas yang digenggamnya. Matanya tiba-tiba tertumbuk pada sosok wanita yang tengah memapah seseorang.
“Lo, bukankah itu wanita yang tadi bertabrakan denganku? Si Singa Betina. Cantik sih, tapi auranya dingin. Lebih cocok dijuluki Wanita Es,” batin William terkekeh sendiri dengan julukan yang ia berikan. Lelaki berusia 34 tahun itu lalu mendesah sembari terus memperhatikan pergerakan si wanita dari tempat ia duduk.
Dengan tiba-tiba, William meletakkan begitu saja gelas yang digenggamnya ke atas meja dan beranjak dari tempat duduknya. Tak lupa diraihnya jas yang tadi diletakkan di sofa di sampingnya. Tatapan mata sipitnya tak pernah lepas dari sosok wanita yang terlihat kepayahan memapah wanita lain.
“Mau ke mana, Will?” Suara salah satu sahabatnya sampai ke gendang telinganya.
“Pulang,” sahut William singkat tanpa menoleh pada sang empunya suara. Ia langsung berjalan menuju pintu keluar.
“Pestanya baru juga dimulai, Will, masa sudah mau pulang?”
Pertanyaan sahabatnya itu menghentikan langkah kaki William yang belum terlalu jauh beranjak. Ia segera membalikkan badan dan menatap sang empunya suara. “Sori, ada urusan mendadak. By the way, happy birthday, Ton,” ucap William sebelum kembali berbalik dan melangkah. “Besok aku akan ke tempatmu.”
Pandangan mata William kembali menyapu area pintu masuk di mana ia terakhir kali melihat sosok si Wanita Es. Seperti yang sudah ia duga, wanita itu telah menghilang di balik pintu ganda. Tak ingin kehilangan kesempatan, William segera mempercepat langkah kakinya.
Ketika tiba di depan kelab malam, diedarkannya pandangan ke kanan dan ke kiri untuk mencari sosok si Wanita Es. Dilihatnya wanita itu masih memapah seseorang menuju sebuah mobil. William segera mengikuti mereka dari belakang.
Setibanya di samping mobil SUV warna gelap, si Wanita Es itu tampak berkutat mengambil sesuatu—yang ia duga kunci mobil—dari saku belakang celananya. Tas wanita yang tergantung di bahu kiri dan tubuh temannya yang mabuk di sisi kanan sukses menghambat pergerakannya dalam meraih benda mungil tersebut. Namun, setelah berkutat sejenak, akhirnya si Wanita Es itu berhasil mengeluarkan remote control. Sesudah terdengar bunyi bip, William mempercepat langkah kakinya, berniat untuk membantu.
“Biar kubukakan pintunya untukmu,” tawar William.
Yeay!!! 🎉🎉Cerita “Wanita Incaran CEO Arogan” akhirnya sampai di penghujung juga. Ini merupakan cerita pertama saya dalam bentuk novel. Gak nyangka bakal bisa sepanjang ini, bahkan sampai dua season. Biasanya pendek-pendek. 😄Perjalanan yang panjang dan gak selalu mulus, tapi menyenangkan 😄. Sudah sama aja kayak lika-liku kisah cintanya William dan Debby yang gak selalu mulus tapi happy ending ... eaakkk ....Saya pribadi sangat menikmati proses penulisan kisah cinta William dan Debby ini. Meskipun sudah dibuat outline-nya, beberapa kali muncul ide secara tiba-tiba di tengah-tengah saya tengah mengetik yang belum terpikirkan sebelumnya saat membuat outline. Adegan-adegan tersebut memang diperlukan, tapi waktu bikin outline masih belum ada bayangan nanti adegannya bakal seperti apa. Ups, buka kartu deh! 🤭😁Tak lupa saya ucapkan terima kasih buat para pembaca yang baik hati, yang sudah bersedia mampir ke lapak saya, dan terutama yang sudah memberikan gem buat William dan Debby. Ter
“Sssh! Jangan nangis, Sayang.” William buru-buru menenangkan si sulung. Ini bukan kali pertama si sulung merengek minta adik bayi di perut maminya perempuan. “Laki-laki apa perempuan sama aja, Sayang. Di mata Papi sama Mami, kalian semua anak-anak kesayangan Papi sama Mami. Gak ada yang dibeda-bedain.” William juga meminta anak lelakinya untuk mendekat.“Cici juga harus sayang sama dedek bayi yang masih ada di perut Mami, sama seperti Cici sayang sama Dedek Ello. Cici sayang ‘kan sama Dedek Ello?”“Sayang, Pi.”“Nah, kalau gitu, jangan bilang kayak tadi lagi, ya. Kalau gak, Dedek bayinya nanti sedih, lo. Apa Cici senang kalau Shelin bilang gak suka atau gak mau temanan lagi sama Cici di sekolah?”“Nggak senang. Tapi kalau dedek bayinya kayak Dedek Ello, nanti aku nggak punya teman di rumah, Pi,” rengek Grace lagi dengan bibir mungilnya maju beberapa senti.
Warning!!! Episode ini mengandung adegan dewasa yang mungkin tidak cocok atau membuat tidak nyaman bagi sebagian pembaca.Harap kebijakannya dalam membaca episode ini.*****Bukannya berhenti, sang istri justru berpindah ke titik sensitif lainnya.“Baby, please,” desis William lagi dengan gelisah.Tangannya kini mencengkeram pergelangan sang istri. “Koko gak mau sampai lepas kendali.”“Ssst! Kalau gitu, jangan ditahan-tahan, Ko. Aku sengaja kok mau kasih kompensasi buat Koko,” terang Debby sambil tangannya memainkan salah satu kepik tak bersayap milik William. “Jadi, Koko rileks aja. Serahkan semuanya sama aku. Aku bakal kasih servis yang memuaskan malam ini.”“Tunggu, tunggu! Kompensasi buat apa?” tanya William di antara giginya yang kembali bera
William menunggu sejenak hingga anak perempuannya memusatkan perhatian padanya.“Ya, Pi,” sahut Grace.“Cici bantuin Papi sama Mami jagain Dedek Ello sementara waktu, ya.”“Siap, Pi,” sahut Grace dengan antusias. Kepalanya manggut-manggut dengan cepat.“Anak pintar,” puji William sambil mengacungkan ibu jari. “Ya sudah, kalian bobo sekarang. Papi sama Mami sayang kalian. Peluk cium buat kalian berdua. Selamat bobo dan mimpi indah, malaikat-malaikat kecil kesayangannya Papi sama Mami.”“Oh, Tuhan! Aku sudah kangen sama anak-anak, Ko,” ucap Debby begitu panggilan video terputus.“Bukan cuma kamu aja, Baby,” timpal William. Sesaat, ia jadi teringat ketika siang tadi, ia dan sang istri mengantar anak-anak ke rumah ka
“Happy wedding anniversary, Baby!” ucap William dengan sangat mesra. Lelaki itu mencium punggung tangan sang istri dengan sangat lembut.Mereka baru saja selesai makan malam romantis yang sengaja disiapkan oleh William. Sayangnya, kebahagiaan William bercampur dengan rasa jengkel setiap kali ada pria yang memandang istrinya hingga dua kali. Tak ingin membagi pesona sang istri dengan orang lain, William pun buru-buru mengajak wanita itu untuk kembali ke kamar suite yang khusus dipesan untuk momen istimewa ini.William tak bosan-bosannya memandangi sang istri. Hingga detik ini, ia masih dan selalu saja terpukau dengan sosok sang istri yang tak banyak berubah selain bertambah cantik sejak ia menikahinya, apalagi malam ini. Berbalut busana malam warna merah menyala dengan bahu terbuka dan belahan gaun setinggi setengah paha yang menampilkan lekuk tubuh di tempat-tempat yang tep
“Koko kenapa? Masuk angin?” tanya Debby dengan panik. Wanita itu tahu-tahu sudah ada di sampingnya. Satu tangan memijat-mijat tengkuknya sementara tangan yang lain meraba keningnya.Perutnya kembali bergolak. Namun, William mencoba mengabaikannya. Tak berani membuka mulut, lelaki itu hanya bisa menggeleng sembari menghentikan apa pun niat Debby saat ini dengan isyarat tangan.Ketika Debby menyingkir, William sedikit merasa lega. Ia menghirup napas dalam-dalam sambil bertumpu pada dinding. William mengerutkan kening dengan perasaan tak enak.Setelah perutnya berhenti bergolak, William melangkah ke wastafel. Ia menatap sekilas pantulan dirinya di cermin, lalu membasuh wajahnya. Saat menegakkan tubuh, sang istri kembali muncul di sisinya dengan membawa botol minyak kayu putih.“Gak perlu, Baby. Koko gak apa-apa kok,&rdquo