Share

BAB 3 ~ KELAB MALAM

Suara maskulin yang cukup keras tertangkap indra pendengaran Debby. Wanita itu menoleh ke arah asal suara. Ia mengeryit heran mendengar pertanyaan itu. Dipandanginya sejenak pria asing itu tanpa menjawab pertanyaannya. Lalu perhatiannya dialihkan kembali pada Fanny.

“Saya Niel!” seru pria asing itu dengan cepat seraya mengulurkan tangan kanannya di bawah hidung Debby.

“Oh.”

‘Si pria penelepon tadi.’

Debby sebetulnya enggan berurusan dengan pria asing. Namun, mengingat pria di hadapannya ini mengaku sebagai teman Fanny, setelah bimbang sejenak, dengan berat hati disambutnya juga uluran tangan itu. “Debby.”

“Biar saya bantu,” tawar Niel ketika Debby kesusahan mengangkat Fanny.

Tanpa memberikan respons apa pun, mereka lalu mengangkat Fanny bersama-sama agar berdiri. Sosok yang berusaha dipapah meracau tidak jelas, tetapi tidak dihiraukan oleh mereka berdua. Lengan kiri Fanny dikalungkan ke leher Debby sementara tangan kanan Debby melingkari pinggang kurus Fanny. Sesudah Debby merasa mantap untuk memapah Fanny dan mencangklong tas milik wanita yang tengah mabuk itu, Debby pun bersiap-siap untuk segera berlalu dari tempat yang dipenuhi dengan suara musik yang memekakkan bagi indra pendengarannya.

“Ayo, saya antar sampai depan.”

“Nggak perlu. Biar saya saja. Terima kasih.”

“Bos, tambah satu gelas lagi!” seru seorang pria yang berada di belakang Debby. Niel langsung memberi tanda dengan tangan untuk menahan Debby yang hendak beranjak.

“Huh! Ada apa lagi sih?” gerutu Debby dengan lirih. Kerutan halus juga muncul di antara kedua alisnya.

Pria dengan rambut bergelombang itu lalu menatap ke arah asal suara. Sebuah senyuman terbit menghiasi wajahnya yang bulat telur. “Yo, Bro! Bisa tunggu sebentar? Nanti aku kasih gratis untuk gelas yang ini.”

Debby yang tak ingin melakukan kontak mata dengan siapa pun akhirnya langsung menunduk menatap sahabatnya sembari membenarkan letak tas milik Fanny. Ia tak mendengar sahutan apa pun dari pria yang berada di belakangnya. Namun, ketika kepalanya kembali terangkat, sebuah acungan jempol diberikan Niel untuk pria tersebut. Senyum yang menghias wajah Niel berangsur-angsur memudar ketika perhatiannya kembali tertuju pada Debby.

“Apa kamu bawa kendaraan sendiri?” Debby hanya mengangguk sebagai jawaban.

“Kalau begitu, tinggalkan saja mobil Fanny di sini. Besok pagi akan saya antar ke apartemennya. Saya sudah meminta kuncinya tadi.” Lagi-lagi Debby hanya memberikan anggukan kepala sebagai respons.

“Baiklah. Maaf, saya tidak bisa mengantar kalian pulang. Saya ingin, tapi ... yah, kamu lihat sendiri, ‘kan? Saya harus kembali bekerja. Terima kasih banyak kamu sudah mau bersusah payah menjemput Fanny.” Tangan kiri Niel terulur ke atas untuk mengusap puncak kepala Fanny.

“Hmm.” Lagi-lagi hanya jawaban singkat yang terdengar dari mulut mungil Debby.

“Kalau begitu, akan saya traktir makan malam lain waktu sebagai ucapan terima kasih. Bagaimana?” tawar Niel. Kedua ujung bibirnya kembali terangkat.

“Maaf, nggak perlu sampai sejauh itu. Diucapkan saja juga sudah cukup kok,” sahut Debby. Wanita berjaket denim itu bahkan tak membalas senyuman yang dilontarkan Niel padanya. Tanpa berkata-kata lagi, ia lalu menganggukkan kepalanya sedikit ke arah Niel dan segera berlalu dari hadapan si bartender.

Dengan perlahan-lahan, tetapi pasti, dipapahnya Fanny keluar dari kelab malam. Dengan kebulatan tekad yang patut diacungi jempol—Debby memuji dirinya sendiri—akhirnya ia berhasil melewati pintu keluar setelah beberapa menit. Ia berhenti sejenak di depan pintu. Dengan tangan masih memegangi Fanny, ia menghirup napas dalam-dalam, lalu mengembuskannya dengan perlahan-lahan melalui mulut mungilnya. Setelah membenarkan posisi Fanny yang sedikit merosot, Debby akhirnya melanjutkan langkah kakinya yang terhenti.

*****

William Aaron Christiadjie mengedarkan pandangan sambil lalu ke seantero ruangan sejauh matanya bisa memandang. Tanpa menghiraukan obrolan sahabat-sahabatnya, William menyesap sedikit minuman dari gelas yang digenggamnya. Matanya tiba-tiba tertumbuk pada sosok wanita yang tengah memapah seseorang.

“Lo, bukankah itu wanita yang tadi bertabrakan denganku? Si Singa Betina. Cantik sih, tapi auranya dingin. Lebih cocok dijuluki Wanita Es,” batin William terkekeh sendiri dengan julukan yang ia berikan. Lelaki berusia 34 tahun itu lalu mendesah sembari terus memperhatikan pergerakan si wanita dari tempat ia duduk.

Dengan tiba-tiba, William meletakkan begitu saja gelas yang digenggamnya ke atas meja dan beranjak dari tempat duduknya. Tak lupa diraihnya jas yang tadi diletakkan di sofa di sampingnya. Tatapan mata sipitnya tak pernah lepas dari sosok wanita yang terlihat kepayahan memapah wanita lain.

“Mau ke mana, Will?” Suara salah satu sahabatnya sampai ke gendang telinganya.

“Pulang,” sahut William singkat tanpa menoleh pada sang empunya suara. Ia langsung berjalan menuju pintu keluar.

“Pestanya baru juga dimulai, Will, masa sudah mau pulang?”

Pertanyaan sahabatnya itu menghentikan langkah kaki William yang belum terlalu jauh beranjak. Ia segera membalikkan badan dan menatap sang empunya suara. “Sori, ada urusan mendadak. By the way, happy birthday, Ton,” ucap William sebelum kembali berbalik dan melangkah. “Besok aku akan ke tempatmu.”

Pandangan mata William kembali menyapu area pintu masuk di mana ia terakhir kali melihat sosok si Wanita Es. Seperti yang sudah ia duga, wanita itu telah menghilang di balik pintu ganda. Tak ingin kehilangan kesempatan, William segera mempercepat langkah kakinya.

Ketika tiba di depan kelab malam, diedarkannya pandangan ke kanan dan ke kiri untuk mencari sosok si Wanita Es. Dilihatnya wanita itu masih memapah seseorang menuju sebuah mobil. William segera mengikuti mereka dari belakang.

Setibanya di samping mobil SUV warna gelap, si Wanita Es itu tampak berkutat mengambil sesuatu—yang ia duga kunci mobil—dari saku belakang celananya. Tas wanita yang tergantung di bahu kiri dan tubuh temannya yang mabuk di sisi kanan sukses menghambat pergerakannya dalam meraih benda mungil tersebut. Namun, setelah berkutat sejenak, akhirnya si Wanita Es itu berhasil mengeluarkan remote control. Sesudah terdengar bunyi bip, William mempercepat langkah kakinya, berniat untuk membantu.

“Biar kubukakan pintunya untukmu,” tawar William.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status