Share

BAB 4 ~ ANGIN LALU

Suara pria yang muncul secara tiba-tiba di belakangnya membuat Debby berjingkat. “Sial!” umpat Debby ketika kunci mobilnya terlepas dari genggaman tangannya. Tubuh Fanny yang memang sudah sempoyongan semakin terdorong ke samping karena gerakan Debby yang tiba-tiba. Buru-buru diposisikan lagi pegangan tangannya pada tubuh Fanny.

Ia tak menyangka kalau ada seseorang yang membuntutinya. Bulu-bulu halus di sekujur tubuhnya seketika meremang. Debar jantungnya yang sedari tadi sudah berpacu cepat kini semakin bertalu-talu. Untuk sesaat, ia mengira kalau jantungnya sudah berpindah lokasi karena sekarang tengah berdetak di dekat gendang telinga dan bukannya di rongga dadanya. Kepalanya pun segera ditolehkan dengan cepat ke arah pria penguntit yang menegurnya.

“Siapa kamu? Dan mau apa? Kamu menguntit aku, ya?” sergah Debby sengit campur panik. Tubuhnya memutar sedikit, membawa serta Fanny. Kepalanya bergerak ke kanan dan ke kiri menilai situasi. Masih terdapat beberapa orang yang berlalu-lalang di area parkir mobil, tetapi hal itu tak mengurangi rasa paniknya.

“Astaga, lehermu bisa patah nanti,” gumam si penguntit lirih. Debby tidak percaya dengan pendengarannya.

“Kamu bilang apa?” cecar Debby untuk memastikan.

“Ah, bukan apa-apa,” elak si penguntit yang kini berhadap-hadapan dengannya.

“Sialan! Orang ini menertawakanku?!” sembur Debby dalam hati ketika pria asing di hadapannya menyunggingkan senyum geli.

Pria asing itu membungkukkan tubuh untuk mengambil kunci mobil yang tergeletak di aspal. Tangannya terulur menyerahkan kunci mobil. “Ini kunci mobilmu. Maaf, sudah membuatmu kaget. Bukan itu maksudku. Aku cuma ingin membantumu. Kamu sepertinya kesusahan tadi.”

“Aku nggak butuh bantuanmu!” tolak Debby seraya menyambar kunci itu dengan tangan kirinya. Ketika ia berusaha mengantongi kembali kunci mobil di saku belakang celananya, pria penguntit itu tengah membuka pintu depan mobil bagian penumpang. Tubuh Debby langsung bereaksi lagi. Siaga satu.

“Mau apa kamu?!” seru Debby yang kembali panik.

“Astaga! Aku gak berniat jahat!” protes pria itu. “Aku cuma ingin membantumu. Seperti kataku tadi, kamu sepertinya kepayahan. Sudah, ayo dudukkan dulu temanmu itu! Dia temanmu, ‘kan?” tanya si penguntit lebih lanjut seraya menunjuk Fanny yang sempoyongan dengan dagunya sementara kedua tangannya memegangi pintu mobil.

Mau tak mau Debby menuruti perkataan pria itu. Fanny dipapah ke kursi penumpang di bagian depan, lalu dengan hati-hati didudukkannya Fanny di sana. Tak lupa ia pasangkan juga sabuk pengaman untuk Fanny. Selama itu, beberapa kali Fanny meracau tak jelas, tetapi tak dihiraukan oleh Debby. Baginya yang terpenting saat ini adalah segera menyingkir dari pria penguntit itu atau pria asing itu yang segera enyah dari hadapannya, yang mana pun boleh.

Sementara kedua tangan Debby masih mengurus Fanny, indra pendengarannya kembali menangkap suara berat pria itu yang bertanya, “Apa kamu gak ingat aku?”

‘Apa aku harus mengingatmu?’

Debby mengerutkan kening. Ia tak langsung menjawab pertanyaan itu. Setelah memastikan Fanny aman di kursinya, ia kembali menegakkan tubuh. Debby lalu berbalik menghadap pria asing itu sembari memicingkan mata, mengamati pria itu tanpa sungkan.

Penerangan yang lumayan terang di area parkir cukup membantu Debby untuk meneliti pria di hadapannya. Tingginya mungkin mencapai 180 sentimeter karena Debby harus mendongak sedikit untuk menatap wajahnya. Cukup lama netra Debby memperhatikan wajah tampan dengan garis rahang yang tegas itu.

Bakal janggut mulai membayang di kedua sisi rahang dan dagu belah pria itu. Kedua alis matanya yang tegas menaungi sepasang mata tajam beriris gelap. Kedua kelopak matanya tak memiliki garis lipatan. Hidungnya mancung sementara bibirnya tipis dengan kedua ujung sedikit naik ke atas, mengesankan seolah-olah bibir itu tersenyum sepanjang waktu. Namun, Debby sama sekali tak ingat dengan wajah di hadapannya itu.

“Di dalam tadi,” ujar pria penguntit itu mengingatkan, “kita sempat bertabrakan.” Lelaki itu menunjuk pintu masuk kelab malam dengan ibu jari yang mengarah ke balik bahunya.

“Oh!” Ingatan akan gangguan yang sempat membuatnya sedikit kesal tadi berkelebat sekilas. “Maaf soal tadi dan … yah … terima kasih untuk bantuannya barusan,” ucap Debby dengan enggan.

Debby hendak menutup pintu mobil, tetapi lelaki jangkung itu masih memegangi pintu bagian atas dan samping. “Tolong pintunya,” pinta Debby sedikit ketus. Ia langsung menutup pintu mobil begitu si pria penguntit menjauh beberapa langkah ke belakang. Debby berniat untuk memutari mobil bagian depan dan segera berlalu dari area parkir, tetapi baru satu langkah, pria itu kembali buka suara.

“Sepertinya aku tadi menumpahkan minumanku ke tubuhmu. Maafkan aku.”

“Apa?” tanya Debby keheranan sembari memutar tubuh.

“Itu … jaketmu.” Pria itu menunjuk jaket Debby bagian depan.

Debby menunduk mengikuti arah telunjuk si pria penguntit itu dan memperhatikan jaketnya. Ia baru menyadari kalau sebagian jaketnya telah basah. “Oh. Yah, nggak masalah. Nggak usah dipikirkan.” Tangan kirinya ikut bergerak, melambai seperti menepis sesuatu. Setelah itu, Debby mengangguk sekilas, lalu kembali melanjutkan langkah kakinya memutari mobil menuju pintu kemudi.

“Boleh aku tahu namamu?” tanya pria itu lagi.

Namun, kali ini Debby menulikan telinganya. Ia mengabaikan pertanyaan itu dan terus berjalan. Sebelum menghilang dari pandangan, ditatapnya sekilas pria asing di seberang mobil sambil berujar, “Maaf. Selamat malam.” Tanpa menunggu jawaban, Debby meneruskan langkah untuk membuka pintu bagian kemudi dan masuk ke dalamnya.

“Hei, tunggu!” Lamat-lamat Debby masih bisa mendengar seruan pria itu, tetapi lagi-lagi tak dihiraukan. Dari kaca spion kiri, Debby yang tengah berbelok menuju pintu gerbang melihat si pria penguntit mengangkat kedua tangannya ke udara, lalu menjatuhkannya di kedua sisi tubuhnya.

“Maaf, kita ini nggak ada urusan apa-apa, ya!” ucap Debby dengan mantap pada sosok di dalam kaca spion. “Jadi, kamu nggak perlu tahu namaku, toh kita juga nggak akan ketemu lagi!”

*****

Setelah minggu kemarin diakhiri dengan drama tengah malam, Debby siap menyongsong minggu ini dengan semangat empat lima yang menyala-nyala, apalagi minggu ini diawali dengan prospek mendapat klien baru. Mendapat pekerjaan dari klien baru bagi bidang yang digeluti Debby saat ini sebagai desainer grafis lepas selalu membawa keuntungan tersendiri bagi Debby meski tak dimungkiri selalu ada risiko yang kemungkinan harus ia tanggung di kemudian hari. Bagi wanita berusia tiga puluh tahun itu, segala sesuatu selalu memiliki dua sisi seperti koin mata uang. Ada baik ada buruk, ada positif ada negatif. Dengan keyakinan tersebut, membuat Debby selalu siap menghadapi risiko apa pun.

Siang ini, wanita berparas oriental dengan tinggi 165 sentimeter itu memiliki janji temu dengan calon klien baru. Berhubung ia tak memiliki kantor, hanya ruang kerja di rumah, setiap janji temu selalu dilakukan di luar rumah. Entah itu di kantor klien atau di tempat umum lainnya sesuai kesepakatan.

“Aku harus memastikan semuanya sempurna. Jangan sampai ada kesalahan. Ini pertemuan pertama, aku harus memberi kesan yang baik,” ucap Debby pada dirinya sendiri selagi ia mempersiapkan segala sesuatunya untuk pertemuan siang ini dengan antusias. Sesekali, bibir mungilnya mengerucut menghasilkan siulan-siulan kecil. Tak jarang bibir itu juga menyenandungkan lagu-lagu berirama riang.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status