Suara pria yang muncul secara tiba-tiba di belakangnya membuat Debby berjingkat. “Sial!” umpat Debby ketika kunci mobilnya terlepas dari genggaman tangannya. Tubuh Fanny yang memang sudah sempoyongan semakin terdorong ke samping karena gerakan Debby yang tiba-tiba. Buru-buru diposisikan lagi pegangan tangannya pada tubuh Fanny.
Ia tak menyangka kalau ada seseorang yang membuntutinya. Bulu-bulu halus di sekujur tubuhnya seketika meremang. Debar jantungnya yang sedari tadi sudah berpacu cepat kini semakin bertalu-talu. Untuk sesaat, ia mengira kalau jantungnya sudah berpindah lokasi karena sekarang tengah berdetak di dekat gendang telinga dan bukannya di rongga dadanya. Kepalanya pun segera ditolehkan dengan cepat ke arah pria penguntit yang menegurnya.
“Siapa kamu? Dan mau apa? Kamu menguntit aku, ya?” sergah Debby sengit campur panik. Tubuhnya memutar sedikit, membawa serta Fanny. Kepalanya bergerak ke kanan dan ke kiri menilai situasi. Masih terdapat beberapa orang yang berlalu-lalang di area parkir mobil, tetapi hal itu tak mengurangi rasa paniknya.
“Astaga, lehermu bisa patah nanti,” gumam si penguntit lirih. Debby tidak percaya dengan pendengarannya.
“Kamu bilang apa?” cecar Debby untuk memastikan.
“Ah, bukan apa-apa,” elak si penguntit yang kini berhadap-hadapan dengannya.
“Sialan! Orang ini menertawakanku?!” sembur Debby dalam hati ketika pria asing di hadapannya menyunggingkan senyum geli.
Pria asing itu membungkukkan tubuh untuk mengambil kunci mobil yang tergeletak di aspal. Tangannya terulur menyerahkan kunci mobil. “Ini kunci mobilmu. Maaf, sudah membuatmu kaget. Bukan itu maksudku. Aku cuma ingin membantumu. Kamu sepertinya kesusahan tadi.”
“Aku nggak butuh bantuanmu!” tolak Debby seraya menyambar kunci itu dengan tangan kirinya. Ketika ia berusaha mengantongi kembali kunci mobil di saku belakang celananya, pria penguntit itu tengah membuka pintu depan mobil bagian penumpang. Tubuh Debby langsung bereaksi lagi. Siaga satu.
“Mau apa kamu?!” seru Debby yang kembali panik.
“Astaga! Aku gak berniat jahat!” protes pria itu. “Aku cuma ingin membantumu. Seperti kataku tadi, kamu sepertinya kepayahan. Sudah, ayo dudukkan dulu temanmu itu! Dia temanmu, ‘kan?” tanya si penguntit lebih lanjut seraya menunjuk Fanny yang sempoyongan dengan dagunya sementara kedua tangannya memegangi pintu mobil.
Mau tak mau Debby menuruti perkataan pria itu. Fanny dipapah ke kursi penumpang di bagian depan, lalu dengan hati-hati didudukkannya Fanny di sana. Tak lupa ia pasangkan juga sabuk pengaman untuk Fanny. Selama itu, beberapa kali Fanny meracau tak jelas, tetapi tak dihiraukan oleh Debby. Baginya yang terpenting saat ini adalah segera menyingkir dari pria penguntit itu atau pria asing itu yang segera enyah dari hadapannya, yang mana pun boleh.
Sementara kedua tangan Debby masih mengurus Fanny, indra pendengarannya kembali menangkap suara berat pria itu yang bertanya, “Apa kamu gak ingat aku?”
‘Apa aku harus mengingatmu?’
Debby mengerutkan kening. Ia tak langsung menjawab pertanyaan itu. Setelah memastikan Fanny aman di kursinya, ia kembali menegakkan tubuh. Debby lalu berbalik menghadap pria asing itu sembari memicingkan mata, mengamati pria itu tanpa sungkan.
Penerangan yang lumayan terang di area parkir cukup membantu Debby untuk meneliti pria di hadapannya. Tingginya mungkin mencapai 180 sentimeter karena Debby harus mendongak sedikit untuk menatap wajahnya. Cukup lama netra Debby memperhatikan wajah tampan dengan garis rahang yang tegas itu.
Bakal janggut mulai membayang di kedua sisi rahang dan dagu belah pria itu. Kedua alis matanya yang tegas menaungi sepasang mata tajam beriris gelap. Kedua kelopak matanya tak memiliki garis lipatan. Hidungnya mancung sementara bibirnya tipis dengan kedua ujung sedikit naik ke atas, mengesankan seolah-olah bibir itu tersenyum sepanjang waktu. Namun, Debby sama sekali tak ingat dengan wajah di hadapannya itu.
“Di dalam tadi,” ujar pria penguntit itu mengingatkan, “kita sempat bertabrakan.” Lelaki itu menunjuk pintu masuk kelab malam dengan ibu jari yang mengarah ke balik bahunya.
“Oh!” Ingatan akan gangguan yang sempat membuatnya sedikit kesal tadi berkelebat sekilas. “Maaf soal tadi dan … yah … terima kasih untuk bantuannya barusan,” ucap Debby dengan enggan.
Debby hendak menutup pintu mobil, tetapi lelaki jangkung itu masih memegangi pintu bagian atas dan samping. “Tolong pintunya,” pinta Debby sedikit ketus. Ia langsung menutup pintu mobil begitu si pria penguntit menjauh beberapa langkah ke belakang. Debby berniat untuk memutari mobil bagian depan dan segera berlalu dari area parkir, tetapi baru satu langkah, pria itu kembali buka suara.
“Sepertinya aku tadi menumpahkan minumanku ke tubuhmu. Maafkan aku.”
“Apa?” tanya Debby keheranan sembari memutar tubuh.
“Itu … jaketmu.” Pria itu menunjuk jaket Debby bagian depan.
Debby menunduk mengikuti arah telunjuk si pria penguntit itu dan memperhatikan jaketnya. Ia baru menyadari kalau sebagian jaketnya telah basah. “Oh. Yah, nggak masalah. Nggak usah dipikirkan.” Tangan kirinya ikut bergerak, melambai seperti menepis sesuatu. Setelah itu, Debby mengangguk sekilas, lalu kembali melanjutkan langkah kakinya memutari mobil menuju pintu kemudi.
“Boleh aku tahu namamu?” tanya pria itu lagi.
Namun, kali ini Debby menulikan telinganya. Ia mengabaikan pertanyaan itu dan terus berjalan. Sebelum menghilang dari pandangan, ditatapnya sekilas pria asing di seberang mobil sambil berujar, “Maaf. Selamat malam.” Tanpa menunggu jawaban, Debby meneruskan langkah untuk membuka pintu bagian kemudi dan masuk ke dalamnya.
“Hei, tunggu!” Lamat-lamat Debby masih bisa mendengar seruan pria itu, tetapi lagi-lagi tak dihiraukan. Dari kaca spion kiri, Debby yang tengah berbelok menuju pintu gerbang melihat si pria penguntit mengangkat kedua tangannya ke udara, lalu menjatuhkannya di kedua sisi tubuhnya.
“Maaf, kita ini nggak ada urusan apa-apa, ya!” ucap Debby dengan mantap pada sosok di dalam kaca spion. “Jadi, kamu nggak perlu tahu namaku, toh kita juga nggak akan ketemu lagi!”
*****
Setelah minggu kemarin diakhiri dengan drama tengah malam, Debby siap menyongsong minggu ini dengan semangat empat lima yang menyala-nyala, apalagi minggu ini diawali dengan prospek mendapat klien baru. Mendapat pekerjaan dari klien baru bagi bidang yang digeluti Debby saat ini sebagai desainer grafis lepas selalu membawa keuntungan tersendiri bagi Debby meski tak dimungkiri selalu ada risiko yang kemungkinan harus ia tanggung di kemudian hari. Bagi wanita berusia tiga puluh tahun itu, segala sesuatu selalu memiliki dua sisi seperti koin mata uang. Ada baik ada buruk, ada positif ada negatif. Dengan keyakinan tersebut, membuat Debby selalu siap menghadapi risiko apa pun.
Siang ini, wanita berparas oriental dengan tinggi 165 sentimeter itu memiliki janji temu dengan calon klien baru. Berhubung ia tak memiliki kantor, hanya ruang kerja di rumah, setiap janji temu selalu dilakukan di luar rumah. Entah itu di kantor klien atau di tempat umum lainnya sesuai kesepakatan.
“Aku harus memastikan semuanya sempurna. Jangan sampai ada kesalahan. Ini pertemuan pertama, aku harus memberi kesan yang baik,” ucap Debby pada dirinya sendiri selagi ia mempersiapkan segala sesuatunya untuk pertemuan siang ini dengan antusias. Sesekali, bibir mungilnya mengerucut menghasilkan siulan-siulan kecil. Tak jarang bibir itu juga menyenandungkan lagu-lagu berirama riang.
Yeay!!! 🎉🎉Cerita “Wanita Incaran CEO Arogan” akhirnya sampai di penghujung juga. Ini merupakan cerita pertama saya dalam bentuk novel. Gak nyangka bakal bisa sepanjang ini, bahkan sampai dua season. Biasanya pendek-pendek. 😄Perjalanan yang panjang dan gak selalu mulus, tapi menyenangkan 😄. Sudah sama aja kayak lika-liku kisah cintanya William dan Debby yang gak selalu mulus tapi happy ending ... eaakkk ....Saya pribadi sangat menikmati proses penulisan kisah cinta William dan Debby ini. Meskipun sudah dibuat outline-nya, beberapa kali muncul ide secara tiba-tiba di tengah-tengah saya tengah mengetik yang belum terpikirkan sebelumnya saat membuat outline. Adegan-adegan tersebut memang diperlukan, tapi waktu bikin outline masih belum ada bayangan nanti adegannya bakal seperti apa. Ups, buka kartu deh! 🤭😁Tak lupa saya ucapkan terima kasih buat para pembaca yang baik hati, yang sudah bersedia mampir ke lapak saya, dan terutama yang sudah memberikan gem buat William dan Debby. Ter
“Sssh! Jangan nangis, Sayang.” William buru-buru menenangkan si sulung. Ini bukan kali pertama si sulung merengek minta adik bayi di perut maminya perempuan. “Laki-laki apa perempuan sama aja, Sayang. Di mata Papi sama Mami, kalian semua anak-anak kesayangan Papi sama Mami. Gak ada yang dibeda-bedain.” William juga meminta anak lelakinya untuk mendekat.“Cici juga harus sayang sama dedek bayi yang masih ada di perut Mami, sama seperti Cici sayang sama Dedek Ello. Cici sayang ‘kan sama Dedek Ello?”“Sayang, Pi.”“Nah, kalau gitu, jangan bilang kayak tadi lagi, ya. Kalau gak, Dedek bayinya nanti sedih, lo. Apa Cici senang kalau Shelin bilang gak suka atau gak mau temanan lagi sama Cici di sekolah?”“Nggak senang. Tapi kalau dedek bayinya kayak Dedek Ello, nanti aku nggak punya teman di rumah, Pi,” rengek Grace lagi dengan bibir mungilnya maju beberapa senti.
Warning!!! Episode ini mengandung adegan dewasa yang mungkin tidak cocok atau membuat tidak nyaman bagi sebagian pembaca.Harap kebijakannya dalam membaca episode ini.*****Bukannya berhenti, sang istri justru berpindah ke titik sensitif lainnya.“Baby, please,” desis William lagi dengan gelisah.Tangannya kini mencengkeram pergelangan sang istri. “Koko gak mau sampai lepas kendali.”“Ssst! Kalau gitu, jangan ditahan-tahan, Ko. Aku sengaja kok mau kasih kompensasi buat Koko,” terang Debby sambil tangannya memainkan salah satu kepik tak bersayap milik William. “Jadi, Koko rileks aja. Serahkan semuanya sama aku. Aku bakal kasih servis yang memuaskan malam ini.”“Tunggu, tunggu! Kompensasi buat apa?” tanya William di antara giginya yang kembali bera
William menunggu sejenak hingga anak perempuannya memusatkan perhatian padanya.“Ya, Pi,” sahut Grace.“Cici bantuin Papi sama Mami jagain Dedek Ello sementara waktu, ya.”“Siap, Pi,” sahut Grace dengan antusias. Kepalanya manggut-manggut dengan cepat.“Anak pintar,” puji William sambil mengacungkan ibu jari. “Ya sudah, kalian bobo sekarang. Papi sama Mami sayang kalian. Peluk cium buat kalian berdua. Selamat bobo dan mimpi indah, malaikat-malaikat kecil kesayangannya Papi sama Mami.”“Oh, Tuhan! Aku sudah kangen sama anak-anak, Ko,” ucap Debby begitu panggilan video terputus.“Bukan cuma kamu aja, Baby,” timpal William. Sesaat, ia jadi teringat ketika siang tadi, ia dan sang istri mengantar anak-anak ke rumah ka
“Happy wedding anniversary, Baby!” ucap William dengan sangat mesra. Lelaki itu mencium punggung tangan sang istri dengan sangat lembut.Mereka baru saja selesai makan malam romantis yang sengaja disiapkan oleh William. Sayangnya, kebahagiaan William bercampur dengan rasa jengkel setiap kali ada pria yang memandang istrinya hingga dua kali. Tak ingin membagi pesona sang istri dengan orang lain, William pun buru-buru mengajak wanita itu untuk kembali ke kamar suite yang khusus dipesan untuk momen istimewa ini.William tak bosan-bosannya memandangi sang istri. Hingga detik ini, ia masih dan selalu saja terpukau dengan sosok sang istri yang tak banyak berubah selain bertambah cantik sejak ia menikahinya, apalagi malam ini. Berbalut busana malam warna merah menyala dengan bahu terbuka dan belahan gaun setinggi setengah paha yang menampilkan lekuk tubuh di tempat-tempat yang tep
“Koko kenapa? Masuk angin?” tanya Debby dengan panik. Wanita itu tahu-tahu sudah ada di sampingnya. Satu tangan memijat-mijat tengkuknya sementara tangan yang lain meraba keningnya.Perutnya kembali bergolak. Namun, William mencoba mengabaikannya. Tak berani membuka mulut, lelaki itu hanya bisa menggeleng sembari menghentikan apa pun niat Debby saat ini dengan isyarat tangan.Ketika Debby menyingkir, William sedikit merasa lega. Ia menghirup napas dalam-dalam sambil bertumpu pada dinding. William mengerutkan kening dengan perasaan tak enak.Setelah perutnya berhenti bergolak, William melangkah ke wastafel. Ia menatap sekilas pantulan dirinya di cermin, lalu membasuh wajahnya. Saat menegakkan tubuh, sang istri kembali muncul di sisinya dengan membawa botol minyak kayu putih.“Gak perlu, Baby. Koko gak apa-apa kok,&rdquo
“I love you too, Baby. My Love. My Wife. Now and forever,” sahut William dengan senyum mesra terpampang di wajah. Lelaki itu pun balas mencium Debby di beberapa titik di wajah.Setelah mendapatkan ciuman di kening, kedua pipi, dan bibir, Debby lantas menghirup napas dalam-dalam sambil memejamkan mata sejenak. Saat membuka mata, ada kebulatan tekad dan keberanian yang bersemayam di hati.“Aku percaya sama Koko. Kalau sikap Koko kayak gitu, mana mungkin aku tega membuat Koko berharap lama-lama. Aku nggak bakal minta Koko buat nunda kehamilan. Kalau Tuhan kasih kepercayaan itu sama kita sekarang, aku bakal menerima dan menjalaninya.”“Oh, Baby! Kamu serius? Kamu benar gak apa-apa?”Debby mengiyakan dengan mantap. Kepalanya ikut mengangguk untuk meyakinkan suaminya.&ldqu
Seringai jahil sang suami semakin lebar saja. Lelaki itu kemudian bertanya, “Apa kamu sadar, Baby, kalau nanti ada yang kebakaran lagi seperti dulu, sekarang sudah gak perlu bingung-bingung lagi buat cari pemadamnya?”“Ish! Koko ini, lo!” pekik Debby. Tangannya pun langsung mencubit daging terdekat.William sontak mengaduh kesakitan dan menggosok-gosok dada kirinya. “Astaga, Baby! Jarimu pedas juga, ya.”“Hmm! Siapa suruh godain terus?” rajuk Debby. Namun, sesaat kemudian Debby kembali berujar, “Tapi sori, ya, Ko, aku baru bisa kasih semalam.”“Hush! Kamu ini omong apaan sih! Setelah pemberkatan di gereja dan resepsi dengan segitu banyak tamu, kita kan sama-sama kecapaian, Baby. Kamu jangan omong gitu, ah. Meskipun Koko pengin, Koko juga gak mau ma
Warning!!! Episode ini mengandung adegan dewasa yang mungkin tidak cocok atau membuat tidak nyaman bagi sebagian pembaca.Harap kebijakannya dalam membaca episode ini.*****Selagi Debby menerka-nerka siapa sosok yang dengan lancang berani memanggil-manggil nama suaminya, tiba-tiba suara William yang terdengar parau menembus gendang telinga Debby. “Lepaskan, Baby. Lepaskan.”“Ko Billy!” jerit Debby putus asa. ‘Ah! Kenapa suara yang keluar sama dengan yang tadi? Apa tadi itu suaraku sendiri?’“Ya, Baby, ya. Ayo, jangan ditahan lagi. Koko pengin lihat kamu, Baby,” ucap William terus menyemangati.Tak ingin mengecewakan lelaki itu, Debby berusaha menuruti kata-katanya. Dengan sedikit takut, dorongan yang semula ia tahan-tahan kini ia biarkan lepas mengalir begitu sa