Share

BAB 6 ~ KLIEN BARU

Setelah menunggu beberapa saat di depan salah satu lift, pintu kotak baja itu akhirnya terbuka. Debby segera masuk bersama dengan dua orang lainnya. Di dalam lift, Debby menyempatkan diri membalas pesan dari Fanny yang menyatakan kalau ia akan bertemu dengan calon klien potensial dan akan menghubungi Fanny setelah pertemuan selesai.

Sesudah membalas pesan, Debby kembali memasukkan ponselnya ke dalam tas. Netranya kemudian beralih menatap indikator lantai di atas panel tombol angka. Dalam perjalanan menuju lantai sepuluh, beberapa kali pintu lift membuka dan menutup.

Ketika pintu lift terbuka di lantai sepuluh, Debby segera melangkah keluar dari kotak baja yang membawanya ke lantai ini hanya dalam hitungan kurang dari dua menit. Mengikuti arahan yang diberikan Sonia tadi, Debby segera menjauhi lift ke sisi kiri. Di depan meja keempat—meja paling ujung, Debby menyapa seorang wanita muda yang tengah duduk membelakanginya.

“Selamat siang.”

Wanita yang tengah menanti kertas keluar dari mesin pencetak itu langsung menolehkan kepalanya dan menyahut, “Selamat siang. Ah, maaf, Anda tentu Ibu Debbora, bukan?” Sebuah senyum ramah menyertai pertanyaan sang sekretaris.

Debby membalas senyum tersebut sambil menganggukkan kepala. “Benar.”

“Kalau begitu, mari ikut saya,” pinta sang sekretaris yang memakai papan nama bertuliskan Astri. “Akan saya tunjukkan ruang pertemuan Anda dengan Bapak Anggoro.” Wanita itu bangkit berdiri dan berjalan mendahului Debby ke sisi lain ruangan.

Sesampainya di depan sebuah pintu kayu yang tertutup, wanita berpakaian modis di depannya membuka pintu tersebut dan melangkah ke dalam. Ia mempersilakan Debby untuk masuk sembari menunjuk salah satu kursi. “Silakan duduk dulu dan mohon tunggu sebentar, saya akan memberi tahu Bapak Anggoro kalau Ibu sudah di sini.”

“Baik, terima kasih.”

Begitu pintu tertutup di belakangnya, Debby menarik kursi yang tadi ditunjuk oleh Astri seraya mengedarkan pandangan sekilas ke seantero ruangan. Sebuah ruang pertemuan kecil yang hanya mampu menampung lima hingga enam orang. Sebuah layar proyektor yang saat ini dalam posisi tergulung tergantung di salah satu dinding terjauh dari pintu. Di ujung meja terdekat dengan layar, berdiam sebuah proyektor dalam keadaan mati. Sementara di salah satu sudut lain, di seberang pintu, berdiri sebuah pot bulat berwarna gelap dengan tanaman hijau artifisial sebagai pemanis ruangan.

Setelah mengedarkan pandangan sekilas, Debby mengeluarkan berkas portofolio yang sudah ia persiapkan sehari sebelumnya dari dalam tas laptop, berikut laptop dan buku catatan serta alat tulis. Sebelum ada kesepakatan bisnis yang jelas, Debby selalu menganggap prospek klien baru sebatas calon yang sewaktu-waktu bisa batal sebelum proyek dimulai. Namun demikian, ia selalu mempersiapkan segala sesuatunya secara mendetail. Ia tetap membuat bahan untuk presentasi yang jelas dan rapi berikut salinannya dalam bentuk cetak.

Ketika Debby tengah membuka-buka portofolionya sambil menunggu, pintu ruangan terbuka diikuti dengan masuknya seorang pria paruh baya berpakaian necis. Di belakangnya, menyusul sang sekretaris yang membawa berkas dan buku catatan sembari menutup pintu. Debby segera meletakkan portofolionya dan bangkit berdiri.

“Selamat siang, Ibu Debbora. Anda benar-benar tepat waktu,” puji pria paruh baya tersebut seraya menghampiri Debby dan mengulurkan tangan. Seulas senyum lebar menghiasi wajahnya yang bulat. “Saya Anggoro.”

“Selamat siang juga, Pak. Saya rasa itu sudah seharusnya, Pak. Janji adalah utang,” timpal Debby seraya memberikan senyum balasan seperlunya, “dan panggil saya Debby saja, Pak.”

Anggoro tertawa puas. “Bagus, bagus! Mari, silakan duduk!”

“Nah, seperti yang sudah saya sampaikan sebelumnya melalui telepon, kami mendapatkan rekomendasi nama Anda dari Pak Widodo dan Ibu Melani. Omong-omong, saya sudah kenal mereka sejak lama. Mereka sangat puas dengan hasil kerja Anda. Menurut penuturan mereka masing-masing, bisnis mereka sekarang maju pesat dengan branding yang Anda buat,” tutur Anggoro seraya kembali tersenyum begitu kami menduduki kursi masing-masing. Anggoro menempati posisi kepala meja, sedangkan Debby dan sang sekretaris menempati kursi di sisi kiri dan kanannya.

“Ah, itu bukan semata-mata karena saya, Pak. Saya hanya membantu sebagian,” sahut Debby sembari tersenyum kecil.

Anggoro spontan tertawa lepas. “Anda sungguh merendah. Baiklah, saya percaya pada mereka. Jadi, bisakah kita memulainya sekarang?” tanya Anggoro lebih lanjut.

“Baik, Pak. Ah, ini portofolio yang sudah saya siapkan, Pak, mungkin Bapak ingin melihat lebih jauh,” ujar Debby seraya mengangsurkan portofolionya.

“Ah, itu tidak perlu! Seperti yang saya bilang tadi, saya percaya sama penilaian Pak Widodo dan Bu Melani,” tolak Anggoro. Namun demikian, diambilnya juga portofolio tersebut dan dibaliknya lembaran demi lembaran dengan perlahan-lahan. Kepalanya mengangguk-angguk sambil tersenyum puas. “Memang mereka tidak salah,” tambahnya kemudian.

Tatapannya kini tertuju pada Debby yang sabar menanti. “Kalau dilihat dari portofolio ini,” ujar Anggoro sambil menunduk sekilas dan mengetuk-ngetuk berkas portofolio yang masih dipegangnya di tangan kiri dengan jari telunjuknya yang lain, “sepertinya jam terbang Anda sudah tinggi, ya?”

Belum sempat Debby menyahut, Anggoro sudah kembali berbicara. “Baiklah. Jadi begini, kami memiliki beberapa produk wewangian baru yang akan dirilis beberapa bulan mendatang. Karena satu dan lain hal, untuk sementara ini kami membutuhkan jasa profesional dari luar dan kami mendapatkan nama Anda. Kami berharap Debby bisa bergabung dengan tim kami untuk menyukseskan acara peluncuran tersebut dengan membuat brand bagi produk-produk tersebut berikut alat-alat promosinya,” tutur Anggoro mulai menjelaskan pekerjaan yang akan dikerjakan oleh Debby nantinya. 

Pertemuan berjalan kurang lebih satu setengah jam. Selama pertemuan itu, Debby banyak mendengarkan dan mencatat semua permintaan dan detail-detail pekerjaan di laptop dan sebagian corat-coret gambar di buku catatannya. Beberapa kali, Debby memberikan masukan atau menanyakan sesuatu yang masih belum jelas. Debby diberi waktu dua minggu untuk mempelajari data-data yang ada dan memberikan rancangan kasar seluruh pekerjaan.

“Jika nanti masih ada data yang diperlukan, jangan sungkan hubungi saya. Begitu pula sebaliknya, jika ada tambahan yang diperlukan, saya akan menghubungi Debby. Tapi saya harap data yang ada pada Debby sekarang ini sudah mencakup semuanya,” kata Anggoro mengakhiri pertemuan.

“Baik, Pak,” jawab Debby sambil membereskan berkas-berkas dan laptop yang ada di hadapannya.

“Oke.” Anggoro bangkit dari kursinya yang langsung diikuti oleh Debby. Sekretaris Anggoro yang selama pertemuan ikut mencatat dan membantu memberikan data-data yang dibutuhkan pun ikut bangkit.

“Saya rasa pertemuan siang ini cukup sekian dulu. Terima kasih untuk waktunya, ya.” Anggoro mengulurkan tangan kanannya sambil tersenyum ramah.

Debby membalas senyum tersebut dan menyambut uluran tangan Anggoro. “Baik, Pak. Kalau begitu, saya pamit undur diri dulu. Terima kasih untuk kerja samanya, Pak.” Tak lupa Debby juga menyalami sekretaris Anggoro. 

“Silakan,” sahut Anggoro sambil menunjuk pintu dengan telapak tangan kanan menghadap ke atas.

Debby meninggalkan lantai sepuluh dengan hati ringan. Ia senang bisa mendapatkan klien baru dan akan terlibat dalam persiapan peluncuran produk baru. Otaknya sudah membayangkan apa saja yang akan ia buat setibanya di rumah nanti.

Dengan tak sabar, Debby menukar kartu tanda pengenal tamu yang tadi dikenakannya dengan kartu tanda pengenalnya sendiri. Ketika hendak menyimpan kartu identitasnya ke dalam dompet, dari ekor matanya, Debby sempat menangkap pergerakan seseorang. Ia lantas melirik sekilas pada sosok yang tengah melangkah ke arahnya itu.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status