Share

BAB 7 ~ BERTEMU KEMBALI

William baru saja keluar dari lift khusus direksi yang berada di lorong sebelah kiri lobi ketika matanya menangkap sosok wanita yang terasa tidak asing. Wanita itu tengah berjalan menuju meja resepsionis. Mata William terus mengamati gerak-gerik si wanita sementara telinganya sudah tak mendengarkan lagi obrolan sekretaris di sampingnya yang sekaligus juga merupakan sahabat dekatnya itu.

“Eh, kamu duluan aja, Leon. Nanti aku menyusul,” ucap William tanpa memandang Leon, sang sekretaris.

“Ha? Apa? Memangnya ada apa?” tanya Leon dengan raut bingung.

“Sudah sana! Tunggu aja di mobil. Nih, kuncinya. Aku ada urusan sebentar,” usir William dengan enteng sembari mengulurkan kunci mobil di hadapan Leon.

“Astaga! Kamu ini!” Leon meninju bahu William sebelum menyambar kunci itu. “Mentang-mentang aku ini bawahan sekaligus sahabat baikmu, kamu main usir aku gitu aja?”

“Ck,” decak William tak sabar sambil melirik Leon dengan tajam. Mereka sudah hampir mencapai meja resepsionis.

“Baiklah, baiklah. Aku pergi. Tapi kamu utang penjelasan padaku,” timpal Leon tak mau kalah seraya melangkahkan kaki meninggalkan William.

William masih melangkah dengan perlahan. Tatapannya masih tertuju pada sosok yang sudah dikenalinya sejak beberapa saat yang lalu. Ia menanti momen si Wanita Es menyadari keberadaannya.

Dengan sabar, William menunggu wanita itu yang rupanya baru saja menukarkan kartu tanda pengenal tamu dengan kartu tanda pengenalnya sendiri. Hingga wanita itu berbalik hendak meninggalkan meja resepsionis, belum ada tanda-tanda si Wanita Es menyadari keberadaannya. William akhirnya memutuskan untuk langsung menghampirinya.

Tangan wanita itu sedang berada di dalam tas ketika kepala bermahkota rambut panjang terurai itu menoleh ke arah William. Namun, mata sipitnya hanya menatap sedetik saja. Pandangan matanya langsung turun lagi ke arah dompet dan KTP yang tengah disimpannya. Kakinya pun tak tinggal diam. Tungkai berbalut celana kain hitam itu turut bergerak menuju pintu keluar.

William terperangah selama beberapa saat. ‘Astaga! Apa dia gak mengenaliku? Lagi?’ William segera bergegas menjajari langkah kaki si Wanita Es.

“Halo. Kita ketemu lagi,” sapa William tanpa basa-basi yang langsung menghentikan ayunan kaki si Wanita Es.

“Eh?” Wanita itu kembali menolehkan kepalanya. Tubuhnya terhuyung ke belakang sedikit dan mata sipitnya membesar.

“Kamu gak mengingatku lagi?” tanya William sambil memaksakan senyum. Ada sedikit rasa kecewa dalam hati melihat sosok yang diajak bicara hanya mengernyitkan dahi.

“Maaf. Anda siapa, ya? Sepertinya Anda salah orang. Saya sama sekali tidak ingat kalau kita pernah bertemu.”

“Benarkah?” ucap William sedikit tak percaya. “Tapi kita pernah ketemu kok.”

Melihat wanita di hadapannya hanya menggeleng pelan, William kemudian memancing, “Akhir pekan yang lalu?”

William hanya mendapatkan gelengan kepala yang semakin kuat dan kernyitan dahi yang semakin dalam. Mendapati respons seperti itu, William hanya bisa mengerang dalam hati. ‘Astaga! Belum juga lewat dari seminggu. Benar-benar wanita berhati es!’

William berdeham, mengatur emosi dalam hatinya. “Di Nath’s  Café?” William kembali mencoba mengingatkan pertemuan pertama mereka. Masih belum ada respons apa-apa dari wanita di hadapannya.

‘Ya, ampun! Sabar, Will, sabar!’

“Di area parkir?” sambung William lagi yang masih mencoba menggali ingatan si wanita.

Sesudah beberapa waktu berlalu, kernyitan pada wajah bak porselen itu akhirnya menghilang. “Oh! Yang itu!”

”Ya, yang itu,” ucap William membeo. Senyum cerah menghiasi wajah tampannya.

“Puji Tuhan,” batin William senang, “akhirnya kamu berhasil mengingatku.”

“Maafkan saya. Saya sama sekali nggak ingat sebelumnya,” ujar wanita itu lebih lanjut. Kedua ujung bibirnya terangkat sedikit. Sangat sedikit. Kalau saja William tidak sedang memperhatikan wajah porselennya, ia mungkin tidak akan menangkap gerakan sekecil itu.

“Uhm. Gak apa-apa. Oh ya, kalau boleh tahu, apa yang sedang kamu lakukan di sini?”

“Oh, itu. Eh ... urusan pekerjaan.” Tiba-tiba terdengar suara dering ponsel dari dalam tas yang dibawa wanita itu.

“Silakan diangkat dulu,” ucap William mempersilakan.

“Maaf,” ujar wanita itu seraya menjauh sedikit untuk menerima panggilan.

Tak ingin dianggap menguping pembicaraan orang, William pun ikut membuka ponsel yang digenggamnya sejak tadi. Namun, indra pendengarannya masih bisa menangkap pembicaraan searah wanita itu dengan sosok di seberang telepon. Sesekali, William mencuri pandang ke arah wanita yang membelakanginya itu.

“Halo, Fan … iya, barusan selesai … lumayanlah job-nya … hahaha, belumlah, baru juga mulai … iya, Tuan Putri, kita ketemu langsung di sana. See you … bye.”

Begitu mematikan sambungan telepon, wanita itu kembali menghampiri William. “Maaf, saya masih ada keperluan lain. Saya harus pergi sekarang,” pamit wanita itu sembari tersenyum kaku dan menganggukkan kepala sedikit. Tubuhnya berbalik dan berlalu begitu saja dari hadapan William.

William termangu beberapa detik, lalu menyadarkan dirinya sendiri dan ikut beranjak dari lobi gedung. “Astaga, ini seperti dejavu! Dan sial! Lagi-lagi aku belum berhasil mengetahui namanya. Siapa dia? Masa aku harus menyebutnya Wanita Es terus?” gumam William kesal sambil menggelengkan kepala dan terus melangkah menyusul Leon.

Sesampainya di samping mobil dengan model hatchback warna hitam, William mengetuk kaca jendela penumpang bagian depan. Kaca jendela pun segera turun yang langsung mengembuskan sedikit hawa sejuk dan lantunan suara instrumen bersamaan dengan munculnya seraut wajah bulat telur milik Leon. Kedua alis sahabatnya yang hitam tebal terangkat dengan mata sipit yang dipenuhi tanya.

“Kamu yang setir.” Tanpa basa-basi, William langsung memberi perintah disertai dengan gerakan keempat jari tangan kanan yang mengepal dan ibu jari mengarah ke luar menjauhi mobil.

“Eh, tumben. Biasanya kamu nggak pernah mau disopiri orang lain. Yakin nih?” Meskipun nadanya dipenuhi keheranan dan ketidakpercayaan, Leon tetap membuka pintu mobil dan melangkah ke luar.

William langsung menempati kursi yang baru saja ditinggalkan oleh pria berpostur kurus dengan tinggi 173 sentimeter itu dan memasang sabuk pengaman. Sosok sang sekretaris pun tengah mengitari bagian depan mobil menuju pintu kemudi. Sejurus kemudian, mobil hatchback dengan logo berupa huruf H berbingkai kotak dengan warna dasar merah itu pun melaju dengan kecepatan sedang membelah jalanan ibu kota yang cukup padat.

Angan William mengembara ke hari Sabtu dini hari kemarin hingga hari ini. Lebih tepatnya ke saat-saat ia bertemu dengan wanita yang sudah menarik perhatiannya sejak pertama kali ia melihatnya. Pada awalnya, ia sebenarnya tidak merasakan apa-apa, hanya perasaan tidak enak karena telah menabrak seseorang dan menumpahkan minuman pada pakaiannya.

Namun, ketika melihat adegan wanita itu yang melabrak seorang pria membuat hatinya mulai tergelitik. Terlebih lagi ketika melihat wanita itu kepayahan memapah temannya yang mabuk. Jiwa penyelamat dalam dirinya langsung meronta-ronta ingin membantu.

William tidak berharap akan bertemu lagi dengan wanita itu jika menilik dari sikapnya yang dingin sepanjang interaksi mereka. Ia tampak seperti seseorang yang tidak suka bersosialisasi dan tidak suka hang out, biarpun dirinya sendiri juga bukan penyuka dunia malam. Jadi, sangat mengejutkan sekaligus menggembirakan baginya ketika ia melihat wanita itu lagi hari ini, apalagi di kantornya.

“Hmm, pekerjaan apa yang dia maksud?” gumam William. “Apa dia melamar pekerjaan? Divisi mana yang dia tuju? Seingatku ada beberapa lowongan yang tengah dibuka di kantor.”

Related chapter

Latest chapter

DMCA.com Protection Status