Angga menghempaskan tubuhnya di ranjang kamarnya dan Dina, laki-laki itu bahkan sudah melepas jas dan dasinya lalu menyampirkannya asal di kursi rias, yang membuat Dina sedikit mengomel.
“Apa yang kamu lakukan?” tanya Angga mungkin heran melihat Dina yang sibuk sendiri membongkar isi lemari.“Bentar, Mas aku mau ambilin baju ganti bentar?”“Untuk apa?” Dina segera tersadar sekarang suaminya bukan hanya untuk dirinya ada wanita lain yang berhak memberi perhatian yang sama untuk sang suami. “Maaf, aku lupa kalau Mas bukan hanya suamiku, mungkin Keira yang akan menyiapkan kebutuhan Mas beberapa hari nanti.” Dina berusaha tersenyum dan tampak baik-baik saja di hadapan sang suami, meski hatinya sakit sekali. “Kemarilah sebentar,” panggil Angga, laki-laki itu sudah duduk tegak di atas ranjang. Dina menurut wanita itu segera menghampiri Angga dan meraih kaki sang suami ke dalam pangkuananya, dengan pelan dia memijit kaki itu. sebenarnya dia sangat tak ingin mengingat keadaanya sekarang tapi dia juga tahu bahwa hal seperti ini tak akan bisa dihindari mulai sekarang.Apalagi suaminya yang bukan orang dari kalangan biasa, pasti banyak kepala yang akan berusaha mencari tahu kehidupan rumah tangga mereka. “Sudah cukup, capeknya sudah hilang,” Angga tersenyum manis pada sang istri. “Mendekatlah.” Tanpa diminta dua kali Dina mendekat pada sang suami dan langsung memeluknya erat, berusaha meyakinkan dirinya sendiri bahwa meski semuanya tak lagi sama tapi tetap akan baik-baik saja, dia hanya perlu menata hatinya supaya menjadi terbiasa. Terbiasa berbagi, terbiasa diduakan, dan terbiasa untuk berteman dengan rasa cemburu. “Maaf.” Dina masih bisa mendengar ucapan suaminya yang memeluknya erat sambil mendaratkan kecupan di puncak kepalanya. "Maaf karena memduakanmu, maaf aku tidak bisa melawan takdir di antara kita." Dina tak dapat membendung air matanya bahkan dia tak peduli kemeja Angga yang basah oleh air matanya, dia hanya ingin menangis menyesali takdir yang telah menyapa mereka. "Apakah, Mas mencintainya?" Dina sudah melepaskan pelukannya dan menatap sang suami tajam. Keira, wanita yang baru saja dinikahi suaminya itu sangat cantik dan terlihat baik, dan yang pasti dia dari keluarga yang jelas asal usulnya bukan anak panti tanpa tahu siapa orang yang bertanggung jawab lahirnya dia di dunia ini."Aku sudah banyak belajar, Din, dalam penikahan tak harus ada cinta, hanya saling pengertian dan tanggung jawab."Dina meringis pandangan suaminya tentang penikahan memang seperti itu. Dan dia dapat mengartikan pula kalau tak ada cinta untuk dirinya, hanya masalah tanggung jawab saja. mungkin karena dia belum rela ditinggalkan untuk selama-lamanya oleh istri yang dia cintai."Aku mengerti." "Aku sudah cukup tua untuk membicarakan tentang cinta, sekarang usiaku empat puluh satu, aku hanya ingin hidup tenang bersama istri dan anakku.""Berarti nggak masalah ya kamu punya istri banyak asal hidupmu tenang," sindirnya ketus.Angga tertawa puas melihat kecemburuan di wajah istrinya. "Malah ketawa seneng banget kayaknya.""Bukannya seneng mukamu itu lucu banget waktu bilang begitu, sudahlah kita jalani saja ini takdir kita.""Enak banget situ bilang takdir," dumel Dina.Angga kembali memeluk Dina erat. Dia bahkan sudah menjelajahi wajah sang istri, tangannya juga tak mau ketinggalan bergerilya mencari bagian yang sangat dia sukai, semula Dina hanya memandang sang suami heran tapi akhirnya dia hanya pasrah membuang semua gengsi dan membalas perlakuan sang suami."Bukannya, Mas seharusnya bersama Keira, kenapa malah di sini bersamaku?" tanya Dina, tak dapat membendung rasa penasarannya, bahkan nafas mereka masih memburu setelah perang dahsyat yang mereka lakukan. "Aku akan tidur di sini malam ini.""Hah, bukannya ini malam pertama kalian?" cari mati kamu Dina sudah tahu akan sakit hati tetap saja ditanyakan."Itu kesepakatan kami, sebelum kami pergi bulan madu aku akan tidur bersamamu." "Setelah ini, Mas mau ke mana?" "Ke mana, maksudnya?""Itu tadi Mas nggak mau ganti baju, apa mau pergi ke suatu tempat, tapi sekarang baju, Mas...." Dina menunjuk pakaian mereka yang sudah kusut tak karuan."Oh itu maksudku, aku mau ngomong sama kamu, tapi kamunya malah sibuk sendiri.""Mas benar-benar membatalkan resepsi nanti malam? Bagaimana dengan para undangan?" "Aku sudah minta Bara mengurusnya, jadi jangan khawatir dia pasti tahu apa yang harus dilakukan," katanya dengan tak perduli."Bagaimana perasaan, Mas saat ini apa Mas bahagia?" "Tanpa aku bilang kamu pasti sudah tahu, Din. Ini memang kesalahanku tapi aku juga tak bisa lari begitu saja, aku harap kamu mengerti ini juga sulit untukku."Dina tentu saja mengerti dengan kondisi mereka saat ini, hanya hatinya yang tak begitu saja menerima tiba-tiba harus diduakan."Apa rencana, Mas selanjutnya?""Jujur saja, aku belum tahu, ini juga terlalu tiba-tiba untukku. Apa kamu keberatan kalau Keira juga tinggal di rumah ini?" Dina terdiam, rumah yang mereka tempati sekarang adalah rumah Angga dan mendiang istrinya, dan Dina merasa dia sama sekali tak punya hak atas rumah ini, dia selalu merasa dua anak Angga dari pernikahan sebelumnyalah yang pantas memilikinya."Ini rumah, Mas jadi terserah saja apa yang akan Mas lakukan.""Ckkk maksud aku apa kalian akan akur... baiklah aku akan menempatkan Keira di rumah tersendiri, bagaimanpun akan sangat canggung kalau kalian ada dalam satu rumah." Dina memandang suaminya datar, itu memang alasan yang paling masuk akal, sulit sekali mengetahui ada orang lain yang punya hak yang sama atas suami kita, apalagi kalau dalam satu rumah."Mas sudah menanyakan pada Keira?" "Belum, aku belum sempat bicara dengannya, pikiranku tadi kacau saat melihatmu dan Ara." "Sebaiknya Mas juga membicarakan dengannya dia juga punya hak berpendapat."Dina melihat Angga yang mengangguk menyetujui usulannya, bukannya Dina ingin sok bijak, sok bisa terima semuanya tapi dia hanya ingin realistis, dan mencegah berbagai masalah yang bisa timbul nantinya.Lima tahun menjadi istri Angga, Dina menyadari bahwa tidak mudah mendampingi pria itu, laki-laki yang sangat tampan dengan harta melimpah, banyak sekali wanita yang ingin mendekati suaminya. Belum lagi keluarga mereka yang masih memiliki darah ningrat, memaksanya belajar berbagai macam adat istiadat yang kadang terasa tak masuk akal."Bagaimana kesehatan Keira sendiri sekarang?" tanya Dina yang tiba-tiba ingat bagaimana kondisi istri muda suaminya itu paska kecelakaan."Kata dokter sudah membaik, tapi masih butuh banyak istirahat. Aku sebenarnya menolak saat Mama mengatakan membelikan tiket bulan madu ke lombok, tapi sepertinya Keira sangat ingin ke sana jadi aku setuju." Dina tidak mengatakan apapun, dia sedikit iri pada Keira yang bisa pergi berdua dengan suaminya. Saat pernikahan dulu jangankan bulan madu, Angga saja langsung bekerja di hari berikutnya, dan Dina harus mengurus anak-anak Angga yang saat itu masih kecil. Mereka hanya akan pergi berdua saat menghadiri kondangan dari kerabat, sisanya mereka sibuk dengan urusan masing-masing.Pernikahan yang luar biasa bukan."Bu Dina dilarikan ke rumah sakit."Pesan salah satu anak buahnya, membuat Angga langsung meninggalkan semua pekerjaannya.Dia melangkah terburu-buru, ingin rasanya dia terbang supaya cepat sampai, dia merutuki dirinya sendiri kenapa harus ada masalah di kantor saat seperti ini, padahal dia sudah berusaha membereskan pekerjaannya dan menemani Dina yang sedang hamil tua. Syukurlah Bara sangat bisa diandalkan di saat seperti ini, dia juga meminjamkan sang istri, Hera untuk menjaga Dina."Bagaimana keadaan Dina?" tanya Angga tak sabar saat melihat Hera terduduk di kursi tunggu."Masih ditangani dokter."Tanpa membuang waktu Angga menuju ruangan yang ditunjuk Hera."Eh pak kita tunggu di sini saja nggak boleh masuk!" Tapi Angga tampaknya tak peduli."Sus, dimana istri saya?" tanyanya pada seorang perawat."Istri Bapak siapa?" tanya sang perawat bingung."Dina, Sus, istri saya yang akan melahirkan."Untunglah sang perawat punya kesabaran lebih
“Ciee mbak Dina... sebentar lagi akan jadi mertuanya Pak Brian.” Dina bahkan baru saja menginjakkan kakinya di lobi kantor, terdengar suara membahana Siska yang membuatnya melongo tak mengerti. Dia akan jadi mertuanya Pak Brian, seingatnya dia memang punya dua orang putri cantik Arsyi dan Ara dan usia keduanyapun masih anak-anak. Tak mungkinkan Brian mau menikahi salah satu dari dua bocilnya itu. Jadi anak yang mana yang dimaksud Siska?“Kamu belum sarapan ya, Sis, sana ke kantin dulu atau ke cafe depan, biar kamu lebih fokus ngomongnya,” kata dina sedikit jengkel. “Gratis, Mbak?” “Apanya?’ “Makannyalah katanya tadi suruh makan.” “Makannya gratis, tapi setelah itu kamu harus cuci piring.” “Mbak Dina kayak ibu tiri saja. kejam.” “Bahkan anak tiriku bilang aku baik hati.” “Ups aku lupa kalau memang mbak Dina ibu tiri.” Dina segera meneruskan langkahnya , ngobrol dengan Siska tak akan ada habisnya. “Eh, Mbak tunggu, tapi aku serius soal Pak Brian yang akan menikah dan jadi m
Brian memasuki kamarnya dengan hati bercabang, dia sebenarnya juga terkejut dengan keputusannya sendiri yang mengatakan kalau Sinta adalah calon istrinya. Dan lebih buruknya lagi dia mengatakannya di depan sang mama, wanita yang sangat dia sayangi dan tidak ingin dia kecewakan. Sekarang apa yang akan dia lakukan? Tetap menikahi Sinta seperti perkataannya tadi atau menjelaskan semuanya dengan resiko membuat mamanya kecewa. “Apa kamu yakin mau menjadikannya istri dan atas dasar apa keinginanmu itu?”Pertanyaan sang mama seolah terus terngiang di dalam otaknya membuatnya pusing luar biasa, dia bahkan tak bisa menjawab pertanyaan itu dan dengan pengecut, dia malah mengalihkan pembicaraan pada hal lain. Syukurlah sang mama cukup bijak untuk tak terus mendesaknya dan memberikan waktu untuknya menelaah rasa yang ada di hati.Tapi sekarang dia bingung sendiri apa yang harus dia katakan pada Sinta, gadis itu pasti juga membuatuhkan penjelasan darinya. Mulutnya kadang-
Mobil yang dikendarai Brian tiba di halaman rumah yang ditunjukkan Sinta. Dengan senyum terima kasih atas semua kebaikan Brian, gadis itu mengangguk dan turun dari dalam mobil.“Sin, tunggu.” Gadis itu menoleh dan terlihat Brian sudah turun dari mobil mewahnya. “Telepon aku jika kamu butuh tumpangan untuk pulang.” Sinta sudah akan membuka mulutnya menjawab tawaran Brian, tapi tubuhnya langsung tersentak saat sebuah gagang sapu memukul punggungnya dengan keras, sakit sekali. “Dasar anak tak tahu diuntung, sudah numpang bikin malu saja, berikan gajimu padaku.”Rasa sakit di punggungnya bahkan jadi tak terasa saat dia bersitatap dengan mata Brian yang memandang semua ini dengan tatapan tak percaya. “Iya, Bi, kita masuk dulu.... terima kasih sudah mengantar saya, Pak.” Sang Bibi memandang Brian dari atas sampai bawah, penampilan Brian yang sangat tampan dan juga semua benda yang melekat dalam tubuhnya meneriakkan kata mahal... dan jangan lupakan mobil me
Dalam kegelapan, Brian terduduk diam dalam mobilnya yang sewarna malam, matanya begitu tajam mengawasi seorang gadis yang terlihat tersenyum bersama teman-temannya di seberang sana. Sampai satu persatu gadis-gadis itu pergi dari sana, tinggallah Sinta, gadis mungil dengan kuncir ekor kuda yang sesekali melihat arloji di pergelangan tangannya. Brian terus mengamati dalam diam, bahkan sampai setengah jam, yang ditunggu gadis itu tak juga datang, tapi gadis itu tetap menunggu di sana. Malam yang kian beranjak membuat suasana menjadi sepi, bahkan semua toko yang tadi masih ramai dengan pembeli sudah membenahi barang dagangannya. “Apa dia tak takut semakam ini pulang sendiri,” gumam Brian tak senang. Dia sudah akan membuka pintu mobilnya, saat sebuah motor menghampirinya dan terlihat gadis itu menerima uluran helm dari si pengendara dan bergegas naik keboncengannya. Brian cepat-cepat menstater mobilnya untuk mengikuti motor itu sambil terus menjaga jarak ama
Setelah dengan penuh perjuangan mengantar Winda ke rumahnya, akhirnya Brian bisa bernapas lega dia bisa terbebas dari wanita itu, dia bahkan tak habis pikir bagaimana mamanya yang biasanya sangat kalem dan anggun itu bisa menyukai wanita agresif seperti itu untuk dikenalkan padanya. Apa dia terlihat setak laku itu, usianya baru tiga puluh dua tahun, usia yang belum terlalu tua untuk laki-laki sepertinya. Dan yang lebih menyebalkan lagi, wanita itu dengan tak tahu malunya mengambil hadiah yang akan dia berikan pada Sinta. Brian menghela napas dalam berusaha menetralkan perasaannya, dia ingin menemui Sinta, tapi tentu saja tidak dengan tangan kosong. “Ah! Dasar sialan,” maki Brian kesal. Dia harus memikirkan hadiah apa yang bisa dia bawa untuk Sinta, memang bukan keharusan, Sinta juga tidak sedang berulang tahun, tapi tetap saja, Brian merasa tak nyaman.Dengan tergesa dia meminggirkan mobilnya, sejenak dia menimbang apakah akan menghubungi Dina atau S