“Miss A datang untuk Anda,” seru Venus, sebelum akhirnya dia pamit.
Ayunda kembali menemui Adrian Laksana. Respons pertama mereka satu sama lain adalah ... saling tatap.
Pria itu tengah duduk bertelekan satu kaki panjangnya di sofa berlengan. Jasnya tersampir di sana meninggalkan terusan kemeja berlekuk lelah di gulungan siku.
“Tutup pintunya.”
Jantung Ayunda berdebar kencang saat mendengar titah itu. Ia lantas mengikuti permintaan itu. Ia menutup pintu di belakangnya dengan hati-hati dan perlahan. Seperti sengaja untuk memperlambat waktu.
“Kemari.”
Setiap langkah, jantung Ayunda tampak berdebar lebih cepat. Ia berhenti tepat di depan seorang Adrian Laksana, musuh bebuyutannya di masa SMA dulu.
Ia sempat mengalami hal ini. Adrian duduk di hadapannya di atas meja kelas. Sementara itu ia dipanggil untuk menghadapnya sendirian. Sensasi menegangkan itu masih teringat jelas sampai sekarang.
Sial.
Adrian lantas bangkit dari tempat duduknya. Ia jauh lebih tinggi dari yang Ayunda ingat. Satu tangannya bergerak dengan lembut menangkup dagunya dan mengangkatnya. Tatapan mereka lantas kembali bertemu.
Matanya sangat memesona. Terlalu memesona.
Adrian tidak salah ingat. Ia benar soal Miss A.
Kenapa harus bertemu di saat seperti ini? Reaksi macam apa ini?
Adrian pun bisa merasakan panas mengalir dari tubuhnya dari tempat menyentuh perempuan itu. Ia tahu tidak seharusnya melakukannya, tetapi ia tidak bisa menghentikan tubuhnya untuk bereaksi.
Napasnya sedikit tidak teratur. Ia mengamati pakaian Miss A saat ini. Bagian atas menempel di lekuk tubuhnya dan mendorong dadanya ke atas untuk memberikan ilusi yang lebih penuh.
“Mau dengar ceritaku? Ketua OSIS-ku dulu bukan tipe cewek yang suka memakai riasan apalagi berpakaian ketat.”
Berengsek! Ayunda memelotot.
Namun, bukannya mengikuti apa yang tubuhnya teriakkan untuk dia lakukan, Ayunda menampik lengan Adrian.
“Bukankah itu tidak sopan, Miss ... A?” Dia jelas menggoda Ayunda.
Dan, Ayunda tidak bisa berdiam diri saja. “Maaf.”
Adrian terlihat bosan, dia lalu duduk kembali di sofa. “Mungkin sebaiknya kamu menuangkan minuman untukku?”
Ayunda buru-buru membungkuk dan meraih satu botol minuman yang ada di meja. “Ten-tu saja.”
Sepuluh tahun memang waktu yang lama. Tetap saja, Adrian menyadari tangan perempuan itu sedikit gemetar saat menuangkan minum untuknya.
“Kenapa kamu tidak ikut duduk, Miss A?”
Perempuan itu tampak terkejut dengan permintaannya. Adrian pun harus menahan tawa saat perempuan itu dengan hati-hati duduk di tepi sofa di sebelahnya.
Ayunda bergeser dengan gugup di sofa berlengan. Ia tidak yakin bagaimana memahami situasi ini. Ia bisa merasakan mata Adrian yang terus menelisik dirinya.
Sedangkan pria itu seakan-akan ingin menyemburkan tawa keras-keras.
Ia pasti tengah menertawakan aku sekarang.
Lalu apa setelahnya?
Mengambil gambar dan mempostingnya di internet? Oh, itu bahkan dilarang. Sayang sekali.
Ayunda tersenyum lamat-lamat.
“Ada yang lucu?” Ayunda mengerjap, mendengar teguran Adrian. Tatapannya kembali terfokus pada pria itu.
“Oh, tidak.” Dia menggeleng. “Aku hanya bertanya-tanya. Mengapa kamu ada di sini?” Ayunda kemudian berseru. Mata Adrian berkedip-kedip karena terkejut dengan pertanyaan itu.
“Bukankah pria sepertimu bisa pergi untuk mendapatkan kesenangan tanpa harus repot-repot datang ke sini untuk mengobrol apalagi bermain-main denganku?”
Adrian terkekeh. “Apa maksudmu ... dengan pria sepertiku? Memangnya seperti apa aku di matamu?”
Ayunda tersenyum miring.
“Kamu ... suka bermain-main?” jawab Ayunda sambil memastikan.
“Aku tidak bermain-main denganmu. Aku sedang serius menantangmu sekarang.”
Tantangan bodoh. Mereka—termasuk Adrian Laksana hanya buang-buang waktu dan uang. Ayunda rasanya ingin menjerit sekuat tenaga.
“Jadi, kamu ingin menantangku? Dari semua wanita yang jelas kamu tahu jauh lebih cantik dariku, mengapa kamu memilihku?”
Dan ... nasib buruk macam apa ini? Bukankah lebih baik dia pergi saja?
Sial. Sial. Sial.
“Kenapa?” Adrian berseru. “Mungkin untuk alasan yang sama semua pria lain datang ke sini, Miss A—yunda.” Adrian meletakkan gelas dan menaruh jemarinya di pangkuan wanita yang baru saja dipanggil Ayunda.
Mata Ayunda terpancang sempurna.
“Yang terpenting, aku datang untuk menyewamu dengan pantas, kan? Apa masalahnya?”
Adrian menunjukkan senyum geli sebelum kembali bicara. “Rumornya kamu adalah wanita yang membuat setiap pria puas. Tidak ada yang bisa melewati tantanganmu. Kamu bahkan cukup pintar mengaturnya sehingga kamu tidak perlu disentuh. Aku yakin semua pria cukup tertarik. Mereka tentu ingin terus kembali lagi sampai mereka berhasil. Aku ... penasaran.”
Ayunda menyipitkan mata padanya. Seolah-olah Adrian sedang menyelidikinya, lalu diam-diam kembali menertawakan dirinya. Itu seperti di SMA dulu, di mana dia selalu menjadi bahan tertawaan Adrian dan teman-temannya soal semua pidato dan kebijakannya di sekolah.
“Kenapa kamu tidak mencobanya?” Ayunda membalas dengan dingin.
Senyum tersungging di bibir Adrian. “Ya, kenapa tidak?”
Bersambung ....
Mereka tidak langsung bicara lagi setelah itu. Hanya ada denting sendok di gelas anggur, suara-suara samar dari meja lain, dan jazz Nina Simone yang seperti menyelinap masuk ke dada.Ayunda menarik napas pelan, lalu memainkan lipatan serbet di pangkuannya.“Kamu tahu nggak,” ujarnya akhirnya, suaranya nyaris seperti bisikan, “waktu kamu bilang kamu suka aku dulu … aku ngerasa takut.”Adrian menoleh, keningnya berkerut lembut. “Takut?”Ayunda mengangguk pelan. “Karena aku pikir, kalau aku percaya kamu, aku bisa kalah. Dan aku benci kalah. Apalagi … kalah sama perasaan sendiri.”Adrian tersenyum miring. “Padahal kamu udah sering bikin aku kalah dalam debat, hukuman, dan kecurian tempat parkir.”“Lagian,” lanjut Ayunda tanpa menggubris lelucon itu, “kamu terlalu bebas. Terlalu … acak. Aku nggak tahu harus naruh kepercayaan itu di mana.”“Sekarang kamu tahu?”Ayunda menatapnya. Wajah Adrian masih sama seperti dulu—t
Restoran itu tersembunyi di lantai atas sebuah gedung tua yang telah disulap menjadi ruang makan bergaya art deco, dengan pencahayaan temaram dan musik jazz lembut yang mengalun pelan. Bukan tempat yang biasa dikunjungi oleh publik figur untuk makan malam bisnis—dan mungkin itu alasan Adrian memilihnya.Ayunda datang tepat waktu, mengenakan dress hitam sederhana yang membingkai tubuhnya dengan anggun. Wajahnya hanya dipoles tipis, tapi sorot matanya tampak lebih hidup malam itu. Ada gemetar di tangannya ketika ia membuka pintu kaca.Adrian sudah menunggunya di dalam, duduk santai dengan jas abu dan kemeja putih yang digulung di lengan. Ia berdiri ketika melihat Ayunda datang, lalu tersenyum kecil.“Pakaiannya bukan buat wawancara, kan?” seloroh Ayunda, mencoba meredakan ketegangan.“Dan kamu bukan lagi model kampanye yang harus aku evaluasi,” balas Adrian dengan nada yang sama ringan.Mereka duduk. Sesaat hanya suara pisau dan garpu dari
Senja di pelataran rumah sakit berwarna jingga tembaga. Warna yang tak disukai Rose. Ia selalu berpikir warna itu pertanda peralihan yang tak pasti—seperti hidupnya setelah Liam pergi.Hari ini, seperti kunjungan sebelumnya, ia berdiri di balik tiang beton besar di area taman rumah sakit. Tempat favorit pasien yang masih bisa berjalan atau sekadar menghirup udara sore. Dari situ, ia bisa melihatnya.Liam duduk di bangku paling pojok, mengenakan sweater rajut yang terlalu besar dan celana kain abu yang tampak baru. Wajahnya tenang, matanya kosong tapi bahagia. Sesekali tertawa pelan, berbicara dengan seseorang.Rose menggigit bibirnya sendiri. Di tangannya, seikat bunga aster ungu dan secarik surat bersampul hitam.Ia tidak pernah datang langsung. Hanya menitipkan bunga itu di resepsionis. Tapi malam ini, langkahnya nyaris terbawa maju—sebelum hatinya tercekat.Seorang gadis duduk di samping Liam. Usianya sekitar belasan tahun. Wajahnya po
Rose berdiri di depan gedung GAIA. Dari seberang gedung ini, ia memandangi papan iklan digital yang mengganti wajahnya beberapa bulan lalu dengan wajah baru: Ayunda Betari. Miss A. Gadis yang dulu diam-diam menjadi staf wanita malam di lantai kelab miliknya. “Berani sekali dia kembali dengan nama asli,” gumamnya dingin. Dia menggeser layar ponselnya, membuka grup internal Tempus Fugit. Salah satu mantan klien mengirim pesan: “Itu dia, kan? Miss A? Sekarang di Stardust? Gila sih naiknya.” Rose menarik napas tertahan. Ia lantas berbalik dan masuk ke dalam gedung. Sebelum masuk ke ruangannya, ia mengambil beberapa dokumen yang diangsurkan sekretarisnya dan sebuah majalah. “Bu Mirna meminta Anda untuk segera ke ruang rapat, Bu. Ini mengenai majalah MOST.” Rose memandang majalah yang baru diterimanya. Wajah wanita itu sungguh membuat hatinya muak.
Pagi itu, sebuah paket berbungkus rapi dengan segel hitam mengilap tergeletak di depan pintu rumah Ayunda. Tidak ada nama pengirim, hanya tulisan kecil berwarna perak di pojok kanan bawah: MOST — The Woman Issue.Ayunda sempat ragu membukanya, tapi rasa penasaran segera mengalahkan ketakutan. Dengan hati-hati, ia mengupas plastiknya dan mengangkat majalah tebal bercover glossy.Matanya membelalak.Di sana, tepat di halaman depan, dengan latar monokrom minimalis dan judul besar “She Rises Without Permission,” adalah fotonya sendiri. Ayunda Betari. Bukan Miss A. Bukan bayangan masa lalu. Tapi dirinya, yang baru—yang nyata.Ia mengenakan blazer putih dengan wajah menatap langsung ke kamera. Sorot matanya tegas, sedikit dingin, tapi justru itulah yang membuat sampul itu hidup.Tangannya bergetar ketika ia membalik halaman demi halaman. Tulisan dalam majalah itu memuat kisah singkat tentang wajah baru Stardust, bagaimana ia tidak berasal dari agensi mana pun, dan bagaimana keberaniannya me
Boy nyaris tertawa keras usai mendengar kabar mengejutkan soal Adrian Laksana yang ditolak Miss A di masa SMA. “Oh, ya ampun! Ternyata mereka teman semasa SMA?!” Boy menahan diri. Ia melangkah pelan, di saat yang bersamaan Amanda keluar dari pantry dan hampir menabraknya. “Boy?” Amanda memelototinya curiga. “Ngapain kamu?” “Dari balik pintu pantry, dengar kisah cinta masa SMA seseorang yang dramatis banget,” kata Boy dengan seringai nakal. “Nguping, ya?” Amanda berbisik sambil melirik ke arah pintu yang tertutup rapat di belakang punggungnya. Ayunda masih ada di sana dan hendak menelepon adiknya, jadi ia keluar sebentar. “Ehem. Menguping dengan penuh rasa ingin tahu demi riset visual karakter,” jawab Boy santai, lalu mendekat. “Jadi … bener tuh, Adrian pernah ditolak Miss—maksud gue … Ayunda?” Amanda melipat tangan di dadanya, lalu mengangguk pelan. “Waktu SMA. Dan dia cukup konyol buat berani ngakuin perasaannya ke ketua OSIS yang tiap minggu nyita rompi basketnya.” B