Tempus fugit adalah sebuah tempat untuk menghabiskan malam bersama deretan wanita terbaik. Waktu akan berlalu, tapi masalah tidak akan berlalu jika tidak diselesaikan. Setelah ayahnya kabur dan meninggalkan utang besar, Ayunda Betari telah menumbuhkan kebencian khusus terhadap laki-laki. Namun, pekerjaan dengan gaji terbaik yang bisa dia dapatkan adalah di kelab malam. Tak ada yang mengira, Ayunda yang membenci laki-laki, bekerja sebagai Miss A di kelab malam. Ia memasuki kehidupan malam sebagai seorang wanita yang elegan, cantik dan menawan untuk menghibur pria dengan minum, berbicara dan menemani mereka. Suatu malam, saat menemani pelanggannya, Ayunda bertemu dengan Adrian Laksana, musuh bebuyutannya di SMA. Waktu memang sudah lama berlalu. Namun, dendam itu masih meronta untuk diluapkan. Adrian perlahan-lahan menjadi pelanggan tetap dan—menggodanya. Akankah Ayunda bertahan menghadapi Adrian—lelaki sinting yang kerap kali mempermainkan wanita?
Lihat lebih banyak“Anda nakal,” bisik Ayunda dengan riasan wajah yang menggoda.
“Miss A ...,” suara parau itu berbisik di telinganya, tangannya hinggap di pangkuan sambil tersenyum. “Kenapa kamu tidak pernah mau pergi denganku? Aku berjanji, kita akan bersenang-senang.”
Kliennya yang kali ini terlihat tua mendekatkan wajahnya. Napasnya berbau alkohol dan rokok. Sementara itu, dasi dan bajunya longgar dan kusut—sepertinya hari ini benar-benar melelahkan buatnya.
“Aku juga lelah,” batinnya.
Miss A—nama samaran Ayunda—sangat istimewa di Tempus Fugit. Bahkan tarifnya sangat tinggi dari yang lainnya. Namun, tidak ada yang berhasil menyentuhnya dalam arti khusus.
“Anda tentu terlalu banyak waktu. Lain kali pastikan tambah durasi bersamaku, ya?” Ayunda menolaknya dengan halus. Dia lalu memindahkan tangan pria itu hati-hati dari atas pangkuannya sambil tertawa genit.
Tersisa dua menit lagi sesi pria itu berakhir bersamanya. Dia berharap tidak ada lagi yang ‘memesan’ dirinya.
“Aku benci pekerjaan ini.”
Jika adik dan ibunya tahu ia bekerja di tempat seperti ini, mereka pasti akan terkejut dan—tentu saja membunuhnya. Untungnya, dia dibayar dengan upah paling besar.
“Whoa!”
Ayunda mendengar sebuah suara mengejutkan. Dia menoleh untuk menemukan salah satu pria yang berdiri tidak jauh dari hadapannya. Pria itu berjalan sambil mengeluarkan tangannya yang tenggelam di saku pantalon.
“Ini benar-benar mengejutkan,” sambung pria itu, dengan suaranya yang menjengkelkan. Dengan pandangan tidak percaya, dia menatap Miss A dari atas ke bawah, sebelum akhirnya berjalan lebih mendekat.
“Kamu ...?” Pria itu mengangguk lalu tertawa menilik ponselnya, “Pfft—apa yang aku lihat ini? Ternyata itu benar-benar dia?”
Bisikkan pria itu terdengar oleh Miss A dan kliennya.
“Hei, kamu seenaknya saja mendatangi Miss A. Dia milikku sekarang,” seru kliennya kesal.
Pria yang lebih muda itu terkekeh. “Maaf, tapi saat ini adalah giliranku.”
“Tidak bisa begitu. Tempat ini ada aturannya.” Klien itu menoleh ke kanan dan kiri, mencari-cari staf yang berjaga. “Di mana mereka? Seharusnya mereka mengusirmu!”
Ayunda sempat memelotot sebelum akhirnya mengerling pada kliennya dengan sopan.
“Maaf, Pak. Saya urus sebentar,” pamit Ayunda. Ia berdiri dan mendatangi sosok pria yang dinilai mengganggu. Namun, belum sempat ia menegurnya, ponselnya berbunyi.
Tring!
Ayunda menilik ponselnya, membaca sebaris notifikasi di sana.
Sesi berakhir. Klien Anda yang baru sudah menunggu.
“Ah, sial! Waktu berlalu dengan cepat!” Klien Miss A marah-marah sendiri dan beranjak lalu beradu pandang dengan Miss A.
“Aku akan kembali lain kali,” katanya, lalu pergi.
Ayunda berharap tidak. Dia lalu beringsut mengabaikan pria di hadapannya.
“Hei, mau ke mana kamu?” Pria itu menarik lengan Miss A yang segera ditepisnya.
“Maaf, tapi aku ada urusan.”
Seulas senyum terulas di bibir pria itu.
“Urusanmu denganku sekarang.”
Tatapan Ayunda terpancang. Ibu jarinya membuka pesan di ponselnya. Terlihat lebih jelas detail klien barunya di sana. Ia kembali mengangkat wajahnya, bertemu pandang dengan pria yang kini balik menatapnya dengan angkuh.
“Adrian ... Laksana?” bisik Ayunda, ragu-ragu.
Pria itu mengangguk. “Iya, kamu nggak salah menyebutkan namaku.”
Dengan gemetar, Ayunda menggenggam ponselnya dan menatap balik pria itu. Kacau. Dia sangat kacau.
Adrian Laksana? Nama itu mungkin tidak satu-satunya di dunia ini, tapi ... Ayunda bisa mengingat jelas nama dan senyuman mengejek pria itu sama persis seperti yang dia kenal dulu.
“Adrian Laksana? Kenapa dia harus ada di sini?” batin Ayunda.
Suara Adrian berbeda dari yang ia kenal dulu. Suara yang cempreng yang kerap kali berteriak padanya itu berubah menjadi lebih berat dan maskulin.
“Maaf, Pak. Anda bisa menunggu dengan durasi tunggu yang bisa ditukar nanti. Bagaimanapun Anda bisa melanggar peraturan yang ada dengan mendatangi staf kami secara langsung.” Venus staf Tempus Fugit—di mana Miss A bekerja—datang dan melerai mereka.
Adrian mengangguk dengan tanda menyerah sambil mengangkat kedua tangannya. “Baiklah. Aku akan menunggu.”
Ayunda ditarik mundur oleh stafnya ke ruang ganti.
“Kenapa harus dia?” Ayunda berbisik putus asa di depan meja rias.
Adrian terkenal sebagai salah satu orang paling populer di sekolah dulu. Akrab dengan hampir semua orang dan disenangi oleh semua murid.
“Sudah berakhir. Semuanya sudah berakhir.” Ayunda berpikir akan sangat gawat jika Adrian berlaku macam-macam dengan status pekerjaan sekarang.
Ayunda menepis semua pikiran itu saat Venus memanggilnya. Dia segera keluar dengan mengenakan blus putih panjang mirip seperti seragam sekolahnya dulu dan rok lipit pendek kotak-kotak merah dipadu stoking jaring hitam yang motifnya seperti sarang laba-laba juga sepatu kets yang pernah ia pakai dulu. Rambut panjangnya tak diikat, dibiarkan digerai tanpa hairspray.
“Miss A! Kenapa kamu berpakaian seperti itu? Ini bukan sesi anak sekolahan lagi—“
“—Pria itu, aku jamin dia akan suka dengan kostumku.” Entah kenapa ia kesal sekali mengucapkannya. Ia bahkan tak peduli sudah membantah Venus. Namun, anehnya perempuan kaku itu juga tidak memintanya kembali berganti pakaian seperti biasanya.
Ia melangkah keluar diikuti Venus yang langsung menuju pada satu orang pria yang sudah menunggunya di sebuah tempat yang agak jauh dari suara-suara yang keras di lantai atas.
“Kenapa tempat ini?” tanya Ayunda saat ia menyadari Venus membawanya ke mana.
“Pria itu ... membayarmu dengan sangat mahal, Miss A.”
Dia tentu tahu artinya ‘sangat mahal’.
Sial.
Bersambung ....
Mereka tidak langsung bicara lagi setelah itu. Hanya ada denting sendok di gelas anggur, suara-suara samar dari meja lain, dan jazz Nina Simone yang seperti menyelinap masuk ke dada.Ayunda menarik napas pelan, lalu memainkan lipatan serbet di pangkuannya.“Kamu tahu nggak,” ujarnya akhirnya, suaranya nyaris seperti bisikan, “waktu kamu bilang kamu suka aku dulu … aku ngerasa takut.”Adrian menoleh, keningnya berkerut lembut. “Takut?”Ayunda mengangguk pelan. “Karena aku pikir, kalau aku percaya kamu, aku bisa kalah. Dan aku benci kalah. Apalagi … kalah sama perasaan sendiri.”Adrian tersenyum miring. “Padahal kamu udah sering bikin aku kalah dalam debat, hukuman, dan kecurian tempat parkir.”“Lagian,” lanjut Ayunda tanpa menggubris lelucon itu, “kamu terlalu bebas. Terlalu … acak. Aku nggak tahu harus naruh kepercayaan itu di mana.”“Sekarang kamu tahu?”Ayunda menatapnya. Wajah Adrian masih sama seperti dulu—t
Restoran itu tersembunyi di lantai atas sebuah gedung tua yang telah disulap menjadi ruang makan bergaya art deco, dengan pencahayaan temaram dan musik jazz lembut yang mengalun pelan. Bukan tempat yang biasa dikunjungi oleh publik figur untuk makan malam bisnis—dan mungkin itu alasan Adrian memilihnya.Ayunda datang tepat waktu, mengenakan dress hitam sederhana yang membingkai tubuhnya dengan anggun. Wajahnya hanya dipoles tipis, tapi sorot matanya tampak lebih hidup malam itu. Ada gemetar di tangannya ketika ia membuka pintu kaca.Adrian sudah menunggunya di dalam, duduk santai dengan jas abu dan kemeja putih yang digulung di lengan. Ia berdiri ketika melihat Ayunda datang, lalu tersenyum kecil.“Pakaiannya bukan buat wawancara, kan?” seloroh Ayunda, mencoba meredakan ketegangan.“Dan kamu bukan lagi model kampanye yang harus aku evaluasi,” balas Adrian dengan nada yang sama ringan.Mereka duduk. Sesaat hanya suara pisau dan garpu dari
Senja di pelataran rumah sakit berwarna jingga tembaga. Warna yang tak disukai Rose. Ia selalu berpikir warna itu pertanda peralihan yang tak pasti—seperti hidupnya setelah Liam pergi.Hari ini, seperti kunjungan sebelumnya, ia berdiri di balik tiang beton besar di area taman rumah sakit. Tempat favorit pasien yang masih bisa berjalan atau sekadar menghirup udara sore. Dari situ, ia bisa melihatnya.Liam duduk di bangku paling pojok, mengenakan sweater rajut yang terlalu besar dan celana kain abu yang tampak baru. Wajahnya tenang, matanya kosong tapi bahagia. Sesekali tertawa pelan, berbicara dengan seseorang.Rose menggigit bibirnya sendiri. Di tangannya, seikat bunga aster ungu dan secarik surat bersampul hitam.Ia tidak pernah datang langsung. Hanya menitipkan bunga itu di resepsionis. Tapi malam ini, langkahnya nyaris terbawa maju—sebelum hatinya tercekat.Seorang gadis duduk di samping Liam. Usianya sekitar belasan tahun. Wajahnya po
Rose berdiri di depan gedung GAIA. Dari seberang gedung ini, ia memandangi papan iklan digital yang mengganti wajahnya beberapa bulan lalu dengan wajah baru: Ayunda Betari. Miss A. Gadis yang dulu diam-diam menjadi staf wanita malam di lantai kelab miliknya. “Berani sekali dia kembali dengan nama asli,” gumamnya dingin. Dia menggeser layar ponselnya, membuka grup internal Tempus Fugit. Salah satu mantan klien mengirim pesan: “Itu dia, kan? Miss A? Sekarang di Stardust? Gila sih naiknya.” Rose menarik napas tertahan. Ia lantas berbalik dan masuk ke dalam gedung. Sebelum masuk ke ruangannya, ia mengambil beberapa dokumen yang diangsurkan sekretarisnya dan sebuah majalah. “Bu Mirna meminta Anda untuk segera ke ruang rapat, Bu. Ini mengenai majalah MOST.” Rose memandang majalah yang baru diterimanya. Wajah wanita itu sungguh membuat hatinya muak.
Pagi itu, sebuah paket berbungkus rapi dengan segel hitam mengilap tergeletak di depan pintu rumah Ayunda. Tidak ada nama pengirim, hanya tulisan kecil berwarna perak di pojok kanan bawah: MOST — The Woman Issue.Ayunda sempat ragu membukanya, tapi rasa penasaran segera mengalahkan ketakutan. Dengan hati-hati, ia mengupas plastiknya dan mengangkat majalah tebal bercover glossy.Matanya membelalak.Di sana, tepat di halaman depan, dengan latar monokrom minimalis dan judul besar “She Rises Without Permission,” adalah fotonya sendiri. Ayunda Betari. Bukan Miss A. Bukan bayangan masa lalu. Tapi dirinya, yang baru—yang nyata.Ia mengenakan blazer putih dengan wajah menatap langsung ke kamera. Sorot matanya tegas, sedikit dingin, tapi justru itulah yang membuat sampul itu hidup.Tangannya bergetar ketika ia membalik halaman demi halaman. Tulisan dalam majalah itu memuat kisah singkat tentang wajah baru Stardust, bagaimana ia tidak berasal dari agensi mana pun, dan bagaimana keberaniannya me
Boy nyaris tertawa keras usai mendengar kabar mengejutkan soal Adrian Laksana yang ditolak Miss A di masa SMA. “Oh, ya ampun! Ternyata mereka teman semasa SMA?!” Boy menahan diri. Ia melangkah pelan, di saat yang bersamaan Amanda keluar dari pantry dan hampir menabraknya. “Boy?” Amanda memelototinya curiga. “Ngapain kamu?” “Dari balik pintu pantry, dengar kisah cinta masa SMA seseorang yang dramatis banget,” kata Boy dengan seringai nakal. “Nguping, ya?” Amanda berbisik sambil melirik ke arah pintu yang tertutup rapat di belakang punggungnya. Ayunda masih ada di sana dan hendak menelepon adiknya, jadi ia keluar sebentar. “Ehem. Menguping dengan penuh rasa ingin tahu demi riset visual karakter,” jawab Boy santai, lalu mendekat. “Jadi … bener tuh, Adrian pernah ditolak Miss—maksud gue … Ayunda?” Amanda melipat tangan di dadanya, lalu mengangguk pelan. “Waktu SMA. Dan dia cukup konyol buat berani ngakuin perasaannya ke ketua OSIS yang tiap minggu nyita rompi basketnya.” B
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Komen