Home / Romansa / Wanita Kelas Atas Milik sang CEO / Bab 9. No Matter What I Do

Share

Bab 9. No Matter What I Do

Author: Geesandrj
last update Huling Na-update: 2023-05-19 13:19:43

“Kamu tegang sekali.” Adrian benar-benar tidak bisa mengelak.

“Kamu tegang sekali, Ian. Mau kubantu?” Wajah Ayunda yang menggoda terus-menerus melesak di antara celah kedua tungkai kakinya. Adrian mereguk air liurnya. Ia menahan napas seketika wanita itu kembali tersenyum dan bicara, “Kubantu sini ..., kamu tegang sekali.”

Seketika gigi taring Ayunda terlihat. Tawa wanita itu lantas terdengar keras lalu—HAP.

“ARRGHHHH!”

Adrian bangkit berteriak keras, membuka matanya. Napasnya tersengal-sengal. Sementara itu, seseorang masuk begitu saja dalam kamarnya.

“Ada apa, Ian?! Kenapa?!” Adrian melihat teman lelakinya yang berambut biru pirus dengan setelan pakaian tidur yang tak kalah mentereng berdiri di depan tempat tidurnya dengan wajah cemas.

Kenapa pakaian pria itu selalu membuatnya sakit mata? Boy memang selalu tampil nyentrik!

Adrian lantas tersadar dan bernapas lega. Sial. Tadi itu cuma mimpi ternyata.

“Heh, lo kenapa?!” Boy kembali bersuara. Adrian bersandar di ranjangnya. Ia tertawa terbahak-bahak dan memandang temannya itu dengan tatapan kosong. 

Ian sudah nggak waras, batin Boy.

Pria itu lantas geleng-geleng kepala. “Sejak dua malam ini lo jadi nggak waras gini. Diapain sih sama Miss A?”

“Berengsek. Ini semua gara-gara lo,” seru Adrian.

Boy tidak mengerti. Semalam Adrian menghilang begitu saja usai sesi berakhir dan malah meneleponnya sudah berada di mobil.

“Eh, tapi, omong-omong ... semalam gimana? Sesinya cepet banget. Lo nggak pernah cerita apa-apa setelah keluar dari sana. Lo benar-benar serius nggak, sih, Ian?”

Pikiran Adrian lantas kembali fokus. “Semalam gue ....”

Ia mengingat kejadian semalam. Setelah ia keluar dari pintu terkutuk itu, ditinggalkan Miss A, wajahnya malah memucat dan lututnya lemas bukan main hingga memilih mendekam di salah satu bilik toilet.

Adrian berdecak. Apa dia sudah keterlaluan?

“Woy, Ian. Kenapa?” Boy berkacak pinggang. “Lo nggak menyia-nyiakan kesempatan semalam, kan? Ngaku lo!” Pria itu menunjuk dan mengancamnya. “Lo ... benar-benar tidur dengan Miss A?!”

“Belum.” Adrian menjawabnya begitu singkat.

“Apa maksudnya belum? Lo kalah?” Boy terkekeh pelan. “Nggak heran. Berarti apa yang dikatakan orang-orang soal Miss A itu benar.”

Boy melihat Adrian diam saja.

“Sabar, Ian. Kita masih punya cara lain untuk dekat dengan Miss A. Lo bisa kunjungi dia lagi dan mulai fokus buat bicara soal project kita. Fokus, Ian. Miss A itu memang nggak bisa ditaklukkan buat hal-hal kayak gitu.”

Adrian menatap Boy yang tampak mengejek buatnya.

“Kenapa lo ngeliatin gue kayak gitu?” Adrian terus diam sambil menatap tajam Boy. “Hei, jangan bilang—lo berhasil?!”

Adrian tidak ingin bangkit sekarang. Bisa-bisa Boy menertawakan dirinya, tapi sumpah—Boy bikin keki pagi ini.

“Yang jelas gue udah bicara dengannya,” tekan Adrian.

Boy sontak mendelik tajam.

“Lo benar-benar tertarik dengan Miss A?”

Senyum Adrian tak bisa dibaca dengan jelas, tapi yang jelas ia tersenyum mendengar kata ‘tertarik’. Sejak dulu memang ia tertarik pada wanita itu. Ayunda Betari.

Bukan hanya tertarik, dia ingin Ayunda Betari! Miss A! Atau siapakah sebutannya sekarang.

“Whoaa, itu bagus,” Boy tertawa keras menyadari perubahan raut wajah Adrian, tapi kemudian dia terdiam. Wajahnya terlihat khawatir.

“Tapi ... gimana caranya lo bikin dia mau bekerjasama dengan kita? Lo bilang kenal dia? Apakah itu artinya ... lo bisa membuat dia keluar dari tempat itu?!” Boy mendadak heboh.

Adrian tersenyum miring. “Dia akan lakukan itu.”

Boy geleng-geleng kepala. “Nggak mungkin. Dia itu nomor satu di sana, nggak mungkin dia meninggalkan pekerjaan yang udah membuat dia jadi seperti sekarang.”

“Berisik! Kenapa lo jadi peduli akan hidup orang lain? Bukankah lo mau Ayu—“ Adrian menggigit lidahnya, “Ehm, maksud gue Miss A jadi bagian dari project kita?”

Boy mengangguk-angguk antusias.

“Ya, tapi ... gimana dengan Rose?” Pria itu kembali berpikir.

“Rose? Rose Martha?“ Adrian memicingkan mata, bertanya-tanya. “Apa urusannya dengan wanita ceking itu?“

Boy terlihat kikuk. Dia garuk-garuk kepala dan tersenyum seakan menyembunyikan sesuatu.

“Ada hal yang nggak gue tahu?“ tembak Adrian.

Sahabatnya itu kembali tersenyum takut-takut. “Ehm ... sebenarnya, Tempus Fugit, tempat di mana Miss A berada itu punya Rose. Secara nggak langsung, kita akan berurusan dengan Rose kalau sampai Miss A keluar dari sana dan bekerja dengan kita.“

Adrian memelotot. “Kenapa lo nggak bilang dari awal?“

“Sori, Ian. Tapi ....“

“—Kita nggak akan berurusan dengan Rose,” sergah Ian. “Biar wanita itu aja yang berurusan langsung dengan Rose.”

Tatapan Adrian tidak main-main, membuat Boy bertanya-tanya.

“Gimana caranya?“

Adrian tersenyum. Senyum yang terlihat licik di mata Boy.

Bersambung ....

Patuloy na basahin ang aklat na ito nang libre
I-scan ang code upang i-download ang App

Pinakabagong kabanata

  • Wanita Kelas Atas Milik sang CEO   Bab 38. Perasaan yang Perlahan Luruh

    Mereka tidak langsung bicara lagi setelah itu. Hanya ada denting sendok di gelas anggur, suara-suara samar dari meja lain, dan jazz Nina Simone yang seperti menyelinap masuk ke dada.Ayunda menarik napas pelan, lalu memainkan lipatan serbet di pangkuannya.“Kamu tahu nggak,” ujarnya akhirnya, suaranya nyaris seperti bisikan, “waktu kamu bilang kamu suka aku dulu … aku ngerasa takut.”Adrian menoleh, keningnya berkerut lembut. “Takut?”Ayunda mengangguk pelan. “Karena aku pikir, kalau aku percaya kamu, aku bisa kalah. Dan aku benci kalah. Apalagi … kalah sama perasaan sendiri.”Adrian tersenyum miring. “Padahal kamu udah sering bikin aku kalah dalam debat, hukuman, dan kecurian tempat parkir.”“Lagian,” lanjut Ayunda tanpa menggubris lelucon itu, “kamu terlalu bebas. Terlalu … acak. Aku nggak tahu harus naruh kepercayaan itu di mana.”“Sekarang kamu tahu?”Ayunda menatapnya. Wajah Adrian masih sama seperti dulu—t

  • Wanita Kelas Atas Milik sang CEO   Bab 37: Pengakuan yang Tertunda

    Restoran itu tersembunyi di lantai atas sebuah gedung tua yang telah disulap menjadi ruang makan bergaya art deco, dengan pencahayaan temaram dan musik jazz lembut yang mengalun pelan. Bukan tempat yang biasa dikunjungi oleh publik figur untuk makan malam bisnis—dan mungkin itu alasan Adrian memilihnya.Ayunda datang tepat waktu, mengenakan dress hitam sederhana yang membingkai tubuhnya dengan anggun. Wajahnya hanya dipoles tipis, tapi sorot matanya tampak lebih hidup malam itu. Ada gemetar di tangannya ketika ia membuka pintu kaca.Adrian sudah menunggunya di dalam, duduk santai dengan jas abu dan kemeja putih yang digulung di lengan. Ia berdiri ketika melihat Ayunda datang, lalu tersenyum kecil.“Pakaiannya bukan buat wawancara, kan?” seloroh Ayunda, mencoba meredakan ketegangan.“Dan kamu bukan lagi model kampanye yang harus aku evaluasi,” balas Adrian dengan nada yang sama ringan.Mereka duduk. Sesaat hanya suara pisau dan garpu dari

  • Wanita Kelas Atas Milik sang CEO   Bab 36. Bunga yang Tak Pernah Layu

    Senja di pelataran rumah sakit berwarna jingga tembaga. Warna yang tak disukai Rose. Ia selalu berpikir warna itu pertanda peralihan yang tak pasti—seperti hidupnya setelah Liam pergi.Hari ini, seperti kunjungan sebelumnya, ia berdiri di balik tiang beton besar di area taman rumah sakit. Tempat favorit pasien yang masih bisa berjalan atau sekadar menghirup udara sore. Dari situ, ia bisa melihatnya.Liam duduk di bangku paling pojok, mengenakan sweater rajut yang terlalu besar dan celana kain abu yang tampak baru. Wajahnya tenang, matanya kosong tapi bahagia. Sesekali tertawa pelan, berbicara dengan seseorang.Rose menggigit bibirnya sendiri. Di tangannya, seikat bunga aster ungu dan secarik surat bersampul hitam.Ia tidak pernah datang langsung. Hanya menitipkan bunga itu di resepsionis. Tapi malam ini, langkahnya nyaris terbawa maju—sebelum hatinya tercekat.Seorang gadis duduk di samping Liam. Usianya sekitar belasan tahun. Wajahnya po

  • Wanita Kelas Atas Milik sang CEO   Bab 35. Dunia Mulai Berputar

    Rose berdiri di depan gedung GAIA. Dari seberang gedung ini, ia memandangi papan iklan digital yang mengganti wajahnya beberapa bulan lalu dengan wajah baru: Ayunda Betari. Miss A. Gadis yang dulu diam-diam menjadi staf wanita malam di lantai kelab miliknya. “Berani sekali dia kembali dengan nama asli,” gumamnya dingin. Dia menggeser layar ponselnya, membuka grup internal Tempus Fugit. Salah satu mantan klien mengirim pesan: “Itu dia, kan? Miss A? Sekarang di Stardust? Gila sih naiknya.” Rose menarik napas tertahan. Ia lantas berbalik dan masuk ke dalam gedung. Sebelum masuk ke ruangannya, ia mengambil beberapa dokumen yang diangsurkan sekretarisnya dan sebuah majalah. “Bu Mirna meminta Anda untuk segera ke ruang rapat, Bu. Ini mengenai majalah MOST.” Rose memandang majalah yang baru diterimanya. Wajah wanita itu sungguh membuat hatinya muak.

  • Wanita Kelas Atas Milik sang CEO   Bab 34. Halaman Depan: Wajah yang Kita Kenal

    Pagi itu, sebuah paket berbungkus rapi dengan segel hitam mengilap tergeletak di depan pintu rumah Ayunda. Tidak ada nama pengirim, hanya tulisan kecil berwarna perak di pojok kanan bawah: MOST — The Woman Issue.Ayunda sempat ragu membukanya, tapi rasa penasaran segera mengalahkan ketakutan. Dengan hati-hati, ia mengupas plastiknya dan mengangkat majalah tebal bercover glossy.Matanya membelalak.Di sana, tepat di halaman depan, dengan latar monokrom minimalis dan judul besar “She Rises Without Permission,” adalah fotonya sendiri. Ayunda Betari. Bukan Miss A. Bukan bayangan masa lalu. Tapi dirinya, yang baru—yang nyata.Ia mengenakan blazer putih dengan wajah menatap langsung ke kamera. Sorot matanya tegas, sedikit dingin, tapi justru itulah yang membuat sampul itu hidup.Tangannya bergetar ketika ia membalik halaman demi halaman. Tulisan dalam majalah itu memuat kisah singkat tentang wajah baru Stardust, bagaimana ia tidak berasal dari agensi mana pun, dan bagaimana keberaniannya me

  • Wanita Kelas Atas Milik sang CEO   Bab 33: Alasan yang Tak Pernah Padam

    Boy nyaris tertawa keras usai mendengar kabar mengejutkan soal Adrian Laksana yang ditolak Miss A di masa SMA. “Oh, ya ampun! Ternyata mereka teman semasa SMA?!” Boy menahan diri. Ia melangkah pelan, di saat yang bersamaan Amanda keluar dari pantry dan hampir menabraknya. “Boy?” Amanda memelototinya curiga. “Ngapain kamu?” “Dari balik pintu pantry, dengar kisah cinta masa SMA seseorang yang dramatis banget,” kata Boy dengan seringai nakal. “Nguping, ya?” Amanda berbisik sambil melirik ke arah pintu yang tertutup rapat di belakang punggungnya. Ayunda masih ada di sana dan hendak menelepon adiknya, jadi ia keluar sebentar. “Ehem. Menguping dengan penuh rasa ingin tahu demi riset visual karakter,” jawab Boy santai, lalu mendekat. “Jadi … bener tuh, Adrian pernah ditolak Miss—maksud gue … Ayunda?” Amanda melipat tangan di dadanya, lalu mengangguk pelan. “Waktu SMA. Dan dia cukup konyol buat berani ngakuin perasaannya ke ketua OSIS yang tiap minggu nyita rompi basketnya.” B

Higit pang Kabanata
Galugarin at basahin ang magagandang nobela
Libreng basahin ang magagandang nobela sa GoodNovel app. I-download ang mga librong gusto mo at basahin kahit saan at anumang oras.
Libreng basahin ang mga aklat sa app
I-scan ang code para mabasa sa App
DMCA.com Protection Status