/ Romansa / Wanita Kelas Atas Milik sang CEO / Bab 8. Time Flies When You're Having Fun

공유

Bab 8. Time Flies When You're Having Fun

작가: Geesandrj
last update 최신 업데이트: 2023-05-19 11:29:38

Peraturan Tempus Fugit:

1. Klien dan staf tidak diperkenankan untuk bertukar kontak apalagi menjalin hubungan setelah sesi berakhir.

2. Klien tidak diperkenankan untuk mempertanyakan identitas asli staf.

3. Klien diperkenankan untuk bicara apa saja termasuk masalah mereka. Staf akan mendengarkan dan jika punya saran atau hiburan mereka akan melakukannya.

4. Jika klien ingin mencapai level atas berupa bonus spesial, klien harus membuat kesepakatan dengan tantangan.

5. Tidak ada kesepakatan adalah pelanggaran.

6. Klien tidak diperbolehkan mengambil rekaman suara, gambar dan video selama dalam sesi.

7. Tidak ada pemukulan fisik, tidak ada pelecehan verbal, tidak ada menguntit staf kami dan tidak melanggar batasan yang ditetapkan.

8. Klien satu dan lainnya tidak diperkenankan merebut sesi.

9. Apabila klien melanggar batasan akan dimasukkan dalam daftar hitam dan tidak diperkenankan untuk kembali datang.

Adrian memutar bola matanya dengan malas. Dia tidak membaca habis semuanya. Lagi pula untuk apa dia tahu semua ini? Ia hanya ingin pertemuan saja apakah harus ‘memesan’? Benar-benar merepotkan.

Pria itu meletakkan ponselnya di meja, lalu memelototi Boy yang mengaduk minumannya sambil menopang dagu.

“Kenapa?” Pandangan Boy berubah takut-takut padanya.

“Tempat ini benar-benar sin—ting,” cetus Adrian. Tentu yang dimaksud Adrian adalah konsep disertai hal-hal yang cukup standar dan masuk akal ada dalam peraturan itu. Namun, semua itu benar-benar membuatnya pusing.

Boy tertawa.

“Gue lihat dulu apakah jadwal Miss A kosong,” ujar pria nyentrik itu. Ia membuka laman profil para wanita yang memenuhi Tempus Fugit dan menyentuh wajah Miss A. “Ah, dia selalu penuh. Siapa, sih, yang pesan dia sampai tengah malam?”

“Sia-sia aja,” desis Adrian. “Kenapa lo nggak booking dari jalan tadi?”

“Nggak bisa gitu, Ian. Kita hanya boleh lakuin itu saat di sini. Servernya bekerja di sini nggak bisa luar sana.”

Adrian geleng-geleng. Lelaki itu meraih jasnya, menyambar ponselnya dan turun dari kursi. “Lebih baik gue keluar sekarang. Gue mungkin bisa nemu cewek lain di luar.”

Boy lekas-lekas menahannya pergi. Napasnya terhela berat. Tatapannya terpancang. “Arah jam satu, tepat di belakang lo. Gaun merah, baru turun dan menyambut seseorang bersama Venus.”

Seketika itu, Adrian menoleh. Ia melihat wanita tinggi dan anggun memakai gaun merah yang sangat rendah di antara banyak orang. Rambut panjangnya bergelombang diikat dengan indah.

“Kita harus temui dia,” seru Adrian.

Boy menahan bahunya. “Hei, hei, ini bukan kelab biasa, Ian. Ada sesi buat mendatanginya secara langsung kalau nggak lo bisa dianggap merebut sesi klien lain dan lebih parahnya—menguntit.”

Adrian menurunkan bahunya dengan lemas dengan helaan napas tak kalah berat. “Bukankah lo sangat akrab dengannya? Apa itu juga pelanggaran?”

Boy menggaruk tengkuknya. “Iya, bisa aja, sih, tapi mungkin itu akan berpengaruh untuk kontrak gue dan Tempus Fugit. Lagian gue nggak mungkin juga janjian sama dia di luar, kalau ketahuan bisa kacau.”

Adrian paham itu. Keduanya lantas berpandangan.

“Terus sekarang gimana?” seru Adrian tak sabar.

Boy tersenyum lebar. “Lo jadi klien Miss A, tentu aja.”

Sekejap, Adrian mendelik. Boy lekas menepuk-nepuk bahunya sambil terkekeh. “Kenapa? Lo takut reputasi lo sebagai Adrian Laksana bakalan ....” Boy menggerakkan tangannya ke bawah.

Pria di depannya menyeringai dengan alis menukik tajam. “Ha-ha-ha. Siapa takut?” Tawa Adrian terdengar sengau. Pria itu lekas menenggak habis minumannya. Sorot matanya menatap ke arah di mana wanita yang dimaksud Boy baru saja menyambut klien yang baginya tidak lebih menarik darinya.

Sayang, ia tidak bisa melihat jelas wajahnya. Namun, dari perawakan, lekuk tubuh dan gerak-geriknya, wanita itu 90% cocok sebagai kandidat.

“Apa setelah ini?” tanya Adrian.

“Tentu kita harus menunggu. Gue udah booking untuk lo,” jelas Boy, menyerahkan ponselnya usai mengotak-atik keperluan di sana.

Sementara itu, Adrian terlihat terus-menerus mengawasi gerak-gerik Miss A yang kini digandeng seorang pria tua menuju sebuah sofa khusus. Mereka semua bisa melihatnya di sana. Bukan tempat yang begitu privat.

Mata Adrian terus memperhatikannya. Garis senyum yang tampak dibuat-buat. Gerakan tangan menutup tawa yang sangat memuakkan. Wanita itu bisa dikatakan wanita penghibur? Ia penuh dengan kepalsuan.

Matanya masih tak berpindah pada Miss A yang kini menuangkan minuman ke gelas panjang kliennya.

“Satu sesi berapa durasinya?” tanya Adrian. 

“Satu jam.”

“HAH?!”

Beberapa orang menoleh pada keduanya. Boy lekas-lekas menenangkan Adrian yang agaknya ingin melahapnya bulat-bulat.

“Waktu satu jam itu akan cepat banget, kan?” kekeh Boy, menepuk-nepuk pundaknya.

Katanya, waktu bisa berlalu begitu cepat saat kita sedang melakukan hal menyenangkan. Sebaliknya, jika kita tengah menunggu, bosan, merasa sedih atau melakukan hal-hal yang tidak diinginkan, agaknya waktu begitu lama sekali untuk dilalui.

Adrian sudah tidak tahan lagi menunggu. 

“Berapa lama lagi, sih?”

“Lo tinggal lihat di profilnya,” sahut Boy.

Adrian membuka aplikasi di ponselnya yang sudah ditangani Boy beberapa waktu lalu. Ia mencari profil Miss A yang dimaksud. Terlihat foto seorang perempuan berambut panjang hitam legam dengan mata runcing yang cantik juga senyum manis disertai dua gigi taring yang keluar dari celah kedua ujung bibirnya. Adrian mengernyit memandangi foto perempuan itu.

“Lo yakin ini ... Miss A?”

“Hu-um.” Boy mengangguk sambil menyesap minumannya.

Adrian menggeleng cepat. “Nggak mungkin, Boy. Ini nggak mungkin.”

“Lo kenapa, sih?”

Adrian kembali menoleh pada wanita yang mengaku bernama Miss A. Kalau tidak salah ingat Boy mengatakan bahwa nama itu adalah samaran.

Miss A? Apanya yang Miss A?

Hampir satu dekade telah berlalu dan Miss A terlihat kurang lebih sama dalam ingatannya, hanya lebih dewasa dan dengan rambut lebih panjang. Dia tampak agak bosan, duduk di dekat pria yang tak henti-hentinya membuatnya tersenyum agak jengah.

Adrian bangkit melangkah menuju tempat yang sejak tadi digunakan Miss A dan kliennya berbincang. Hanya berbincang. Sementara itu, Boy mengejarnya.

“Ian! Lo ngapain?”

“Seenggaknya gue mau memastikan sebelum kecewa dengan pikiran gue.”

“Apa maksud lo?”

Adrian berhenti dan menoleh dengan tatapan tajam. “Gue kenal siapa itu Miss A, lebih daripada lo dan tempat ini.”

Bersambung ....

이 책을.
QR 코드를 스캔하여 앱을 다운로드하세요

최신 챕터

  • Wanita Kelas Atas Milik sang CEO   Bab 42. Cahaya yang Tak Menyerah

    Studio masih dipenuhi sisa suara tawa, kru bersiap membereskan peralatan setelah wawancara eksklusif dengan MOST Live. Lampu sorot masih menyala, membiaskan bayangan lembut di wajah Ayunda yang duduk di kursi tengah. Nafasnya pelan, tapi jantungnya belum berhenti berdebar.Wawancara itu berjalan mulus—setidaknya sampai segmen terakhir. Sang host, dengan nada hangat namun penuh rasa ingin tahu, menanyakan hal yang selama ini tak pernah benar-benar Ayunda ceritakan pada publik.“Ayunda, kamu tampil luar biasa di dunia modeling. Tapi banyak orang penasaran, kamu berasal dari mana? Sepertinya kamu bukan dari latar belakang fashion?”Pertanyaan itu sederhana, tapi menusuk. Untuk sesaat, Ayunda menelan ludah. Pandangannya sempat mencari arah, tapi tak ada tempat untuk bersembunyi. Kamera menyorot wajahnya, menunggu.“Aku… bukan dari dunia modeling,” ujarnya akhirnya, suara tenang tapi jujur. “Aku dulu kerja apa saja yang bisa aku lakukan. Mulai dari jaga toko, jadi cleaning service, bahkan

  • Wanita Kelas Atas Milik sang CEO   Bab 41. Yang Diam-diam Kita Tahu

    “Jadi mereka berdua masih di studio?” tanya Boy sambil menyeruput minumannya.Amanda mengangguk sambil menggigit croissant setengah hati. “Masih. Katanya tinggal beresin properti. Tapi itu udah satu jam lalu.”Mereka duduk di lounge kecil lantai enam, tempat favorit staf untuk kabur dari tekanan kantor. Dari tempat duduk mereka, jendela kaca menghadap ke arah studio yang sudah sepi, tapi lampunya masih menyala samar.Boy meletakkan gelasnya. “Aman nggak kalau gue bilang… kayaknya mereka akhirnya mulai nggak jaim satu sama lain?”Amanda menyeringai. “Lo baru sadar sekarang?”“Bukan. Gue baru mengakui sekarang.” Boy memutar bola matanya dramatis. “Dan gue cukup dewasa buat bilang… mereka cocok. Tapi juga cukup realistis buat bilang, ini bakal ribet banget.”Amanda tertawa pelan. “Setidaknya, Adrian kelihatan lebih hidup sekarang. Dan Ayunda… dia kayak versi dirinya yang dulu, tapi lebih kuat.”Boy menyandarkan tubuhnya ke sofa. “Gue sempat mikir, Ayunda nggak akan pernah buka hati lagi.

  • Wanita Kelas Atas Milik sang CEO   Bab 40. Diam yang Tak Lagi Asing

    Studio sudah sepi. Kru dan tim kreatif sudah pulang lebih dulu. Bahkan Amanda dan Boy yang biasanya paling betah lembur sudah pamit satu jam lalu, dengan senyum menggoda yang tidak bisa Ayunda lupakan.Tinggal Adrian dan Ayunda.Lampu utama sudah dipadamkan. Hanya pencahayaan lembut dari pojok ruangan yang menyala, cukup untuk menerangi sisa-sisa properti yang belum dibereskan.Adrian sedang berdiri di dekat rak bahan kain, tangannya menyentuh sampel tekstur yang digunakan untuk gaun kampanye. Ayunda berdiri beberapa meter darinya, masih mengenakan blouse satin putih dan celana linen berpotongan tinggi.“Kamu nggak pulang?” tanya Ayunda pelan, mencoba memecah hening.Adrian menoleh, suaranya tenang. “Aku bisa tanya hal yang sama ke kamu.”Ayunda tersenyum tipis. “Aku cuma … belum pengen pulang.”Adrian menatapnya sejenak. “Karena kamu takut merasa sendiri lagi, kan?”Ayunda terdiam.Jawaban itu terlalu tepat. Terlalu dalam.Dia ingin menyangkal, tapi tidak ada gunanya. Jadi dia hanya

  • Wanita Kelas Atas Milik sang CEO   Bab 39. Sorot yang Terlalu Terang

    Sejak kemunculan majalah MOST edisi eksklusif dengan wajah Ayunda di sampul depannya, dunia seakan mulai berputar lebih cepat. Undangan wawancara datang hampir setiap hari—dari stasiun TV nasional hingga kanal YouTube independen yang naik daun. Semua ingin tahu siapa wanita yang bisa mengguncang industri fashion dalam semalam.Amanda sibuk memilah-milah permintaan yang masuk. Boy sibuk memilih outfit mana yang layak untuk sesi live berikutnya. Ayunda… sibuk mengatur napasnya.“Aku masih merasa ini semua mimpi,” kata Ayunda sambil duduk di sofa ruang tunggu, memandangi layar ponsel yang dipenuhi notifikasi.Amanda menoleh dari mejanya. “Kamu harus mulai percaya. Kamu ada di MOST, Yun. Itu salah satu fashion bible paling elit di Asia Tenggara.”“Dan mereka bilang ini belum puncaknya,” tambah Boy, masuk dengan secangkir kopi yang ditaruhnya di hadapan Ayunda. “Kamu belum lihat video dokumenter pendek yang mereka tayangkan tadi pagi, kan?”Ayunda menggeleng pelan. “Belum. Aku belum berani

  • Wanita Kelas Atas Milik sang CEO   Bab 38. Perasaan yang Perlahan Luruh

    Mereka tidak langsung bicara lagi setelah itu. Hanya ada denting sendok di gelas anggur, suara-suara samar dari meja lain, dan jazz Nina Simone yang seperti menyelinap masuk ke dada.Ayunda menarik napas pelan, lalu memainkan lipatan serbet di pangkuannya.“Kamu tahu nggak,” ujarnya akhirnya, suaranya nyaris seperti bisikan, “waktu kamu bilang kamu suka aku dulu … aku ngerasa takut.”Adrian menoleh, keningnya berkerut lembut. “Takut?”Ayunda mengangguk pelan. “Karena aku pikir, kalau aku percaya kamu, aku bisa kalah. Dan aku benci kalah. Apalagi … kalah sama perasaan sendiri.”Adrian tersenyum miring. “Padahal kamu udah sering bikin aku kalah dalam debat, hukuman, dan kecurian tempat parkir.”“Lagian,” lanjut Ayunda tanpa menggubris lelucon itu, “kamu terlalu bebas. Terlalu … acak. Aku nggak tahu harus naruh kepercayaan itu di mana.”“Sekarang kamu tahu?”Ayunda menatapnya. Wajah Adrian masih sama seperti dulu—t

  • Wanita Kelas Atas Milik sang CEO   Bab 37: Pengakuan yang Tertunda

    Restoran itu tersembunyi di lantai atas sebuah gedung tua yang telah disulap menjadi ruang makan bergaya art deco, dengan pencahayaan temaram dan musik jazz lembut yang mengalun pelan. Bukan tempat yang biasa dikunjungi oleh publik figur untuk makan malam bisnis—dan mungkin itu alasan Adrian memilihnya.Ayunda datang tepat waktu, mengenakan dress hitam sederhana yang membingkai tubuhnya dengan anggun. Wajahnya hanya dipoles tipis, tapi sorot matanya tampak lebih hidup malam itu. Ada gemetar di tangannya ketika ia membuka pintu kaca.Adrian sudah menunggunya di dalam, duduk santai dengan jas abu dan kemeja putih yang digulung di lengan. Ia berdiri ketika melihat Ayunda datang, lalu tersenyum kecil.“Pakaiannya bukan buat wawancara, kan?” seloroh Ayunda, mencoba meredakan ketegangan.“Dan kamu bukan lagi model kampanye yang harus aku evaluasi,” balas Adrian dengan nada yang sama ringan.Mereka duduk. Sesaat hanya suara pisau dan garpu dari

더보기
좋은 소설을 무료로 찾아 읽어보세요
GoodNovel 앱에서 수많은 인기 소설을 무료로 즐기세요! 마음에 드는 책을 다운로드하고, 언제 어디서나 편하게 읽을 수 있습니다
앱에서 책을 무료로 읽어보세요
앱에서 읽으려면 QR 코드를 스캔하세요.
DMCA.com Protection Status