Peraturan Tempus Fugit:
1. Klien dan staf tidak diperkenankan untuk bertukar kontak apalagi menjalin hubungan setelah sesi berakhir.2. Klien tidak diperkenankan untuk mempertanyakan identitas asli staf.3. Klien diperkenankan untuk bicara apa saja termasuk masalah mereka. Staf akan mendengarkan dan jika punya saran atau hiburan mereka akan melakukannya.4. Jika klien ingin mencapai level atas berupa bonus spesial, klien harus membuat kesepakatan dengan tantangan.5. Tidak ada kesepakatan adalah pelanggaran.6. Klien tidak diperbolehkan mengambil rekaman suara, gambar dan video selama dalam sesi.7. Tidak ada pemukulan fisik, tidak ada pelecehan verbal, tidak ada menguntit staf kami dan tidak melanggar batasan yang ditetapkan.8. Klien satu dan lainnya tidak diperkenankan merebut sesi.9. Apabila klien melanggar batasan akan dimasukkan dalam daftar hitam dan tidak diperkenankan untuk kembali datang.Adrian memutar bola matanya dengan malas. Dia tidak membaca habis semuanya. Lagi pula untuk apa dia tahu semua ini? Ia hanya ingin pertemuan saja apakah harus ‘memesan’? Benar-benar merepotkan.
Pria itu meletakkan ponselnya di meja, lalu memelototi Boy yang mengaduk minumannya sambil menopang dagu.
“Kenapa?” Pandangan Boy berubah takut-takut padanya.
“Tempat ini benar-benar sin—ting,” cetus Adrian. Tentu yang dimaksud Adrian adalah konsep disertai hal-hal yang cukup standar dan masuk akal ada dalam peraturan itu. Namun, semua itu benar-benar membuatnya pusing.
Boy tertawa.
“Gue lihat dulu apakah jadwal Miss A kosong,” ujar pria nyentrik itu. Ia membuka laman profil para wanita yang memenuhi Tempus Fugit dan menyentuh wajah Miss A. “Ah, dia selalu penuh. Siapa, sih, yang pesan dia sampai tengah malam?”
“Sia-sia aja,” desis Adrian. “Kenapa lo nggak booking dari jalan tadi?”
“Nggak bisa gitu, Ian. Kita hanya boleh lakuin itu saat di sini. Servernya bekerja di sini nggak bisa luar sana.”
Adrian geleng-geleng. Lelaki itu meraih jasnya, menyambar ponselnya dan turun dari kursi. “Lebih baik gue keluar sekarang. Gue mungkin bisa nemu cewek lain di luar.”
Boy lekas-lekas menahannya pergi. Napasnya terhela berat. Tatapannya terpancang. “Arah jam satu, tepat di belakang lo. Gaun merah, baru turun dan menyambut seseorang bersama Venus.”
Seketika itu, Adrian menoleh. Ia melihat wanita tinggi dan anggun memakai gaun merah yang sangat rendah di antara banyak orang. Rambut panjangnya bergelombang diikat dengan indah.
“Kita harus temui dia,” seru Adrian.
Boy menahan bahunya. “Hei, hei, ini bukan kelab biasa, Ian. Ada sesi buat mendatanginya secara langsung kalau nggak lo bisa dianggap merebut sesi klien lain dan lebih parahnya—menguntit.”
Adrian menurunkan bahunya dengan lemas dengan helaan napas tak kalah berat. “Bukankah lo sangat akrab dengannya? Apa itu juga pelanggaran?”
Boy menggaruk tengkuknya. “Iya, bisa aja, sih, tapi mungkin itu akan berpengaruh untuk kontrak gue dan Tempus Fugit. Lagian gue nggak mungkin juga janjian sama dia di luar, kalau ketahuan bisa kacau.”
Adrian paham itu. Keduanya lantas berpandangan.
“Terus sekarang gimana?” seru Adrian tak sabar.
Boy tersenyum lebar. “Lo jadi klien Miss A, tentu aja.”
Sekejap, Adrian mendelik. Boy lekas menepuk-nepuk bahunya sambil terkekeh. “Kenapa? Lo takut reputasi lo sebagai Adrian Laksana bakalan ....” Boy menggerakkan tangannya ke bawah.
Pria di depannya menyeringai dengan alis menukik tajam. “Ha-ha-ha. Siapa takut?” Tawa Adrian terdengar sengau. Pria itu lekas menenggak habis minumannya. Sorot matanya menatap ke arah di mana wanita yang dimaksud Boy baru saja menyambut klien yang baginya tidak lebih menarik darinya.
Sayang, ia tidak bisa melihat jelas wajahnya. Namun, dari perawakan, lekuk tubuh dan gerak-geriknya, wanita itu 90% cocok sebagai kandidat.
“Apa setelah ini?” tanya Adrian.
“Tentu kita harus menunggu. Gue udah booking untuk lo,” jelas Boy, menyerahkan ponselnya usai mengotak-atik keperluan di sana.
Sementara itu, Adrian terlihat terus-menerus mengawasi gerak-gerik Miss A yang kini digandeng seorang pria tua menuju sebuah sofa khusus. Mereka semua bisa melihatnya di sana. Bukan tempat yang begitu privat.
Mata Adrian terus memperhatikannya. Garis senyum yang tampak dibuat-buat. Gerakan tangan menutup tawa yang sangat memuakkan. Wanita itu bisa dikatakan wanita penghibur? Ia penuh dengan kepalsuan.
Matanya masih tak berpindah pada Miss A yang kini menuangkan minuman ke gelas panjang kliennya.
“Satu sesi berapa durasinya?” tanya Adrian.
“Satu jam.”
“HAH?!”
Beberapa orang menoleh pada keduanya. Boy lekas-lekas menenangkan Adrian yang agaknya ingin melahapnya bulat-bulat.
“Waktu satu jam itu akan cepat banget, kan?” kekeh Boy, menepuk-nepuk pundaknya.
Katanya, waktu bisa berlalu begitu cepat saat kita sedang melakukan hal menyenangkan. Sebaliknya, jika kita tengah menunggu, bosan, merasa sedih atau melakukan hal-hal yang tidak diinginkan, agaknya waktu begitu lama sekali untuk dilalui.
Adrian sudah tidak tahan lagi menunggu.
“Berapa lama lagi, sih?”
“Lo tinggal lihat di profilnya,” sahut Boy.
Adrian membuka aplikasi di ponselnya yang sudah ditangani Boy beberapa waktu lalu. Ia mencari profil Miss A yang dimaksud. Terlihat foto seorang perempuan berambut panjang hitam legam dengan mata runcing yang cantik juga senyum manis disertai dua gigi taring yang keluar dari celah kedua ujung bibirnya. Adrian mengernyit memandangi foto perempuan itu.
“Lo yakin ini ... Miss A?”
“Hu-um.” Boy mengangguk sambil menyesap minumannya.
Adrian menggeleng cepat. “Nggak mungkin, Boy. Ini nggak mungkin.”
“Lo kenapa, sih?”
Adrian kembali menoleh pada wanita yang mengaku bernama Miss A. Kalau tidak salah ingat Boy mengatakan bahwa nama itu adalah samaran.
Miss A? Apanya yang Miss A?
Hampir satu dekade telah berlalu dan Miss A terlihat kurang lebih sama dalam ingatannya, hanya lebih dewasa dan dengan rambut lebih panjang. Dia tampak agak bosan, duduk di dekat pria yang tak henti-hentinya membuatnya tersenyum agak jengah.
Adrian bangkit melangkah menuju tempat yang sejak tadi digunakan Miss A dan kliennya berbincang. Hanya berbincang. Sementara itu, Boy mengejarnya.
“Ian! Lo ngapain?”
“Seenggaknya gue mau memastikan sebelum kecewa dengan pikiran gue.”
“Apa maksud lo?”
Adrian berhenti dan menoleh dengan tatapan tajam. “Gue kenal siapa itu Miss A, lebih daripada lo dan tempat ini.”
Bersambung ....
Mereka tidak langsung bicara lagi setelah itu. Hanya ada denting sendok di gelas anggur, suara-suara samar dari meja lain, dan jazz Nina Simone yang seperti menyelinap masuk ke dada.Ayunda menarik napas pelan, lalu memainkan lipatan serbet di pangkuannya.“Kamu tahu nggak,” ujarnya akhirnya, suaranya nyaris seperti bisikan, “waktu kamu bilang kamu suka aku dulu … aku ngerasa takut.”Adrian menoleh, keningnya berkerut lembut. “Takut?”Ayunda mengangguk pelan. “Karena aku pikir, kalau aku percaya kamu, aku bisa kalah. Dan aku benci kalah. Apalagi … kalah sama perasaan sendiri.”Adrian tersenyum miring. “Padahal kamu udah sering bikin aku kalah dalam debat, hukuman, dan kecurian tempat parkir.”“Lagian,” lanjut Ayunda tanpa menggubris lelucon itu, “kamu terlalu bebas. Terlalu … acak. Aku nggak tahu harus naruh kepercayaan itu di mana.”“Sekarang kamu tahu?”Ayunda menatapnya. Wajah Adrian masih sama seperti dulu—t
Restoran itu tersembunyi di lantai atas sebuah gedung tua yang telah disulap menjadi ruang makan bergaya art deco, dengan pencahayaan temaram dan musik jazz lembut yang mengalun pelan. Bukan tempat yang biasa dikunjungi oleh publik figur untuk makan malam bisnis—dan mungkin itu alasan Adrian memilihnya.Ayunda datang tepat waktu, mengenakan dress hitam sederhana yang membingkai tubuhnya dengan anggun. Wajahnya hanya dipoles tipis, tapi sorot matanya tampak lebih hidup malam itu. Ada gemetar di tangannya ketika ia membuka pintu kaca.Adrian sudah menunggunya di dalam, duduk santai dengan jas abu dan kemeja putih yang digulung di lengan. Ia berdiri ketika melihat Ayunda datang, lalu tersenyum kecil.“Pakaiannya bukan buat wawancara, kan?” seloroh Ayunda, mencoba meredakan ketegangan.“Dan kamu bukan lagi model kampanye yang harus aku evaluasi,” balas Adrian dengan nada yang sama ringan.Mereka duduk. Sesaat hanya suara pisau dan garpu dari
Senja di pelataran rumah sakit berwarna jingga tembaga. Warna yang tak disukai Rose. Ia selalu berpikir warna itu pertanda peralihan yang tak pasti—seperti hidupnya setelah Liam pergi.Hari ini, seperti kunjungan sebelumnya, ia berdiri di balik tiang beton besar di area taman rumah sakit. Tempat favorit pasien yang masih bisa berjalan atau sekadar menghirup udara sore. Dari situ, ia bisa melihatnya.Liam duduk di bangku paling pojok, mengenakan sweater rajut yang terlalu besar dan celana kain abu yang tampak baru. Wajahnya tenang, matanya kosong tapi bahagia. Sesekali tertawa pelan, berbicara dengan seseorang.Rose menggigit bibirnya sendiri. Di tangannya, seikat bunga aster ungu dan secarik surat bersampul hitam.Ia tidak pernah datang langsung. Hanya menitipkan bunga itu di resepsionis. Tapi malam ini, langkahnya nyaris terbawa maju—sebelum hatinya tercekat.Seorang gadis duduk di samping Liam. Usianya sekitar belasan tahun. Wajahnya po
Rose berdiri di depan gedung GAIA. Dari seberang gedung ini, ia memandangi papan iklan digital yang mengganti wajahnya beberapa bulan lalu dengan wajah baru: Ayunda Betari. Miss A. Gadis yang dulu diam-diam menjadi staf wanita malam di lantai kelab miliknya. “Berani sekali dia kembali dengan nama asli,” gumamnya dingin. Dia menggeser layar ponselnya, membuka grup internal Tempus Fugit. Salah satu mantan klien mengirim pesan: “Itu dia, kan? Miss A? Sekarang di Stardust? Gila sih naiknya.” Rose menarik napas tertahan. Ia lantas berbalik dan masuk ke dalam gedung. Sebelum masuk ke ruangannya, ia mengambil beberapa dokumen yang diangsurkan sekretarisnya dan sebuah majalah. “Bu Mirna meminta Anda untuk segera ke ruang rapat, Bu. Ini mengenai majalah MOST.” Rose memandang majalah yang baru diterimanya. Wajah wanita itu sungguh membuat hatinya muak.
Pagi itu, sebuah paket berbungkus rapi dengan segel hitam mengilap tergeletak di depan pintu rumah Ayunda. Tidak ada nama pengirim, hanya tulisan kecil berwarna perak di pojok kanan bawah: MOST — The Woman Issue.Ayunda sempat ragu membukanya, tapi rasa penasaran segera mengalahkan ketakutan. Dengan hati-hati, ia mengupas plastiknya dan mengangkat majalah tebal bercover glossy.Matanya membelalak.Di sana, tepat di halaman depan, dengan latar monokrom minimalis dan judul besar “She Rises Without Permission,” adalah fotonya sendiri. Ayunda Betari. Bukan Miss A. Bukan bayangan masa lalu. Tapi dirinya, yang baru—yang nyata.Ia mengenakan blazer putih dengan wajah menatap langsung ke kamera. Sorot matanya tegas, sedikit dingin, tapi justru itulah yang membuat sampul itu hidup.Tangannya bergetar ketika ia membalik halaman demi halaman. Tulisan dalam majalah itu memuat kisah singkat tentang wajah baru Stardust, bagaimana ia tidak berasal dari agensi mana pun, dan bagaimana keberaniannya me
Boy nyaris tertawa keras usai mendengar kabar mengejutkan soal Adrian Laksana yang ditolak Miss A di masa SMA. “Oh, ya ampun! Ternyata mereka teman semasa SMA?!” Boy menahan diri. Ia melangkah pelan, di saat yang bersamaan Amanda keluar dari pantry dan hampir menabraknya. “Boy?” Amanda memelototinya curiga. “Ngapain kamu?” “Dari balik pintu pantry, dengar kisah cinta masa SMA seseorang yang dramatis banget,” kata Boy dengan seringai nakal. “Nguping, ya?” Amanda berbisik sambil melirik ke arah pintu yang tertutup rapat di belakang punggungnya. Ayunda masih ada di sana dan hendak menelepon adiknya, jadi ia keluar sebentar. “Ehem. Menguping dengan penuh rasa ingin tahu demi riset visual karakter,” jawab Boy santai, lalu mendekat. “Jadi … bener tuh, Adrian pernah ditolak Miss—maksud gue … Ayunda?” Amanda melipat tangan di dadanya, lalu mengangguk pelan. “Waktu SMA. Dan dia cukup konyol buat berani ngakuin perasaannya ke ketua OSIS yang tiap minggu nyita rompi basketnya.” B