Share

Bab 8. Time Flies When You're Having Fun

Peraturan Tempus Fugit:

1. Klien dan staf tidak diperkenankan untuk bertukar kontak apalagi menjalin hubungan setelah sesi berakhir.

2. Klien tidak diperkenankan untuk mempertanyakan identitas asli staf.

3. Klien diperkenankan untuk bicara apa saja termasuk masalah mereka. Staf akan mendengarkan dan jika punya saran atau hiburan mereka akan melakukannya.

4. Jika klien ingin mencapai level atas berupa bonus spesial, klien harus membuat kesepakatan dengan tantangan.

5. Tidak ada kesepakatan adalah pelanggaran.

6. Klien tidak diperbolehkan mengambil rekaman suara, gambar dan video selama dalam sesi.

7. Tidak ada pemukulan fisik, tidak ada pelecehan verbal, tidak ada menguntit staf kami dan tidak melanggar batasan yang ditetapkan.

8. Klien satu dan lainnya tidak diperkenankan merebut sesi.

9. Apabila klien melanggar batasan akan dimasukkan dalam daftar hitam dan tidak diperkenankan untuk kembali datang.

Adrian memutar bola matanya dengan malas. Dia tidak membaca habis semuanya. Lagi pula untuk apa dia tahu semua ini? Ia hanya ingin pertemuan saja apakah harus ‘memesan’? Benar-benar merepotkan.

Pria itu meletakkan ponselnya di meja, lalu memelototi Boy yang mengaduk minumannya sambil menopang dagu.

“Kenapa?” Pandangan Boy berubah takut-takut padanya.

“Tempat ini benar-benar sin—ting,” cetus Adrian. Tentu yang dimaksud Adrian adalah konsep disertai hal-hal yang cukup standar dan masuk akal ada dalam peraturan itu. Namun, semua itu benar-benar membuatnya pusing.

Boy tertawa.

“Gue lihat dulu apakah jadwal Miss A kosong,” ujar pria nyentrik itu. Ia membuka laman profil para wanita yang memenuhi Tempus Fugit dan menyentuh wajah Miss A. “Ah, dia selalu penuh. Siapa, sih, yang pesan dia sampai tengah malam?”

“Sia-sia aja,” desis Adrian. “Kenapa lo nggak booking dari jalan tadi?”

“Nggak bisa gitu, Ian. Kita hanya boleh lakuin itu saat di sini. Servernya bekerja di sini nggak bisa luar sana.”

Adrian geleng-geleng. Lelaki itu meraih jasnya, menyambar ponselnya dan turun dari kursi. “Lebih baik gue keluar sekarang. Gue mungkin bisa nemu cewek lain di luar.”

Boy lekas-lekas menahannya pergi. Napasnya terhela berat. Tatapannya terpancang. “Arah jam satu, tepat di belakang lo. Gaun merah, baru turun dan menyambut seseorang bersama Venus.”

Seketika itu, Adrian menoleh. Ia melihat wanita tinggi dan anggun memakai gaun merah yang sangat rendah di antara banyak orang. Rambut panjangnya bergelombang diikat dengan indah.

“Kita harus temui dia,” seru Adrian.

Boy menahan bahunya. “Hei, hei, ini bukan kelab biasa, Ian. Ada sesi buat mendatanginya secara langsung kalau nggak lo bisa dianggap merebut sesi klien lain dan lebih parahnya—menguntit.”

Adrian menurunkan bahunya dengan lemas dengan helaan napas tak kalah berat. “Bukankah lo sangat akrab dengannya? Apa itu juga pelanggaran?”

Boy menggaruk tengkuknya. “Iya, bisa aja, sih, tapi mungkin itu akan berpengaruh untuk kontrak gue dan Tempus Fugit. Lagian gue nggak mungkin juga janjian sama dia di luar, kalau ketahuan bisa kacau.”

Adrian paham itu. Keduanya lantas berpandangan.

“Terus sekarang gimana?” seru Adrian tak sabar.

Boy tersenyum lebar. “Lo jadi klien Miss A, tentu aja.”

Sekejap, Adrian mendelik. Boy lekas menepuk-nepuk bahunya sambil terkekeh. “Kenapa? Lo takut reputasi lo sebagai Adrian Laksana bakalan ....” Boy menggerakkan tangannya ke bawah.

Pria di depannya menyeringai dengan alis menukik tajam. “Ha-ha-ha. Siapa takut?” Tawa Adrian terdengar sengau. Pria itu lekas menenggak habis minumannya. Sorot matanya menatap ke arah di mana wanita yang dimaksud Boy baru saja menyambut klien yang baginya tidak lebih menarik darinya.

Sayang, ia tidak bisa melihat jelas wajahnya. Namun, dari perawakan, lekuk tubuh dan gerak-geriknya, wanita itu 90% cocok sebagai kandidat.

“Apa setelah ini?” tanya Adrian.

“Tentu kita harus menunggu. Gue udah booking untuk lo,” jelas Boy, menyerahkan ponselnya usai mengotak-atik keperluan di sana.

Sementara itu, Adrian terlihat terus-menerus mengawasi gerak-gerik Miss A yang kini digandeng seorang pria tua menuju sebuah sofa khusus. Mereka semua bisa melihatnya di sana. Bukan tempat yang begitu privat.

Mata Adrian terus memperhatikannya. Garis senyum yang tampak dibuat-buat. Gerakan tangan menutup tawa yang sangat memuakkan. Wanita itu bisa dikatakan wanita penghibur? Ia penuh dengan kepalsuan.

Matanya masih tak berpindah pada Miss A yang kini menuangkan minuman ke gelas panjang kliennya.

“Satu sesi berapa durasinya?” tanya Adrian. 

“Satu jam.”

“HAH?!”

Beberapa orang menoleh pada keduanya. Boy lekas-lekas menenangkan Adrian yang agaknya ingin melahapnya bulat-bulat.

“Waktu satu jam itu akan cepat banget, kan?” kekeh Boy, menepuk-nepuk pundaknya.

Katanya, waktu bisa berlalu begitu cepat saat kita sedang melakukan hal menyenangkan. Sebaliknya, jika kita tengah menunggu, bosan, merasa sedih atau melakukan hal-hal yang tidak diinginkan, agaknya waktu begitu lama sekali untuk dilalui.

Adrian sudah tidak tahan lagi menunggu. 

“Berapa lama lagi, sih?”

“Lo tinggal lihat di profilnya,” sahut Boy.

Adrian membuka aplikasi di ponselnya yang sudah ditangani Boy beberapa waktu lalu. Ia mencari profil Miss A yang dimaksud. Terlihat foto seorang perempuan berambut panjang hitam legam dengan mata runcing yang cantik juga senyum manis disertai dua gigi taring yang keluar dari celah kedua ujung bibirnya. Adrian mengernyit memandangi foto perempuan itu.

“Lo yakin ini ... Miss A?”

“Hu-um.” Boy mengangguk sambil menyesap minumannya.

Adrian menggeleng cepat. “Nggak mungkin, Boy. Ini nggak mungkin.”

“Lo kenapa, sih?”

Adrian kembali menoleh pada wanita yang mengaku bernama Miss A. Kalau tidak salah ingat Boy mengatakan bahwa nama itu adalah samaran.

Miss A? Apanya yang Miss A?

Hampir satu dekade telah berlalu dan Miss A terlihat kurang lebih sama dalam ingatannya, hanya lebih dewasa dan dengan rambut lebih panjang. Dia tampak agak bosan, duduk di dekat pria yang tak henti-hentinya membuatnya tersenyum agak jengah.

Adrian bangkit melangkah menuju tempat yang sejak tadi digunakan Miss A dan kliennya berbincang. Hanya berbincang. Sementara itu, Boy mengejarnya.

“Ian! Lo ngapain?”

“Seenggaknya gue mau memastikan sebelum kecewa dengan pikiran gue.”

“Apa maksud lo?”

Adrian berhenti dan menoleh dengan tatapan tajam. “Gue kenal siapa itu Miss A, lebih daripada lo dan tempat ini.”

Bersambung ....

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status