Share

Bab 10. Still I Wait

Malam ini, Adrian tak datang lagi.

Ayunda memastikan itu berkali-kali di ponselnya. Laman itu sudah sekian kali ia refresh, tapi tidak ada daftar klien lain yang masuk. Sementara itu, Venus sudah memanggilnya untuk menemui klien selanjutnya. Sepertinya ini klien terakhir. Sudah lewat tengah malam dan Venus sudah menutup akses.

Ayunda merutuki notifikasi yang muncul. “Pria itu lagi! Tidak ada Adrian.”

Malam berikutnya pun sama.

Dan berikutnya.

Berikutnya.

Dipikir-pikir, kenapa ia jadi gelisah seperti ini. Adrian sepertinya memang tidak serius dengan tujuannya. Apa lelaki itu memang ingin mengerjainya lagi seperti di masa sekolah dulu? Sampai membuatnya mundur dari jabatan ketua OSIS dan dihujat satu sekolah hingga berakhir membuatnya keluar dari sana.

Adrian memang tidak pernah bisa dipercaya.

Lagi pula kenapa ia jadi kepikiran tentang poin yang besar selama dua malam lalu berturut-turut memenuhi akunnya? Bukan hanya sekali ini saja kan dia dapat hal seperti itu. 

Adrian masih menduduki peringkat teratas sebagai klien yang memfavoritkan dirinya dengan poin begitu banyak.

”Sial, dia benar-benar mengejekku!” Ayunda membatin kesal.

”Apanya yang klien nomor satu? Peringkatnya memang nomor satu sekarang di laman klien milikku, tapi rutinitasnya masih kalah dengan pria yang mendatangiku malam ini.”

Pria Tua Nomor 23 yang selalu datang untuk bicara dengannya tanpa melakukan apa pun. Entah kenapa, pria itu membuat akun dengan nama samaran yang unik, kecuali Adrian yang percaya diri dengan nama aslinya.

Pria itu juga menginginkan Miss A untuk pergi dari tempat ini. Sepertinya hampir semua lelaki mengatakan hal yang sama, termasuk Adrian. Namun, bedanya pria tua itu tidak pernah menyentuhnya, dalam arti yang sesungguhnya apalagi khusus. Dia benar-benar datang hanya untuk bicara dengan Miss A.

Selama Ayunda berada di tempat ini, sepertinya pria itu juga akan tetap berkunjung ke tempat ini. Malam ini pun pria itu memuji kecantikannya dan gaun yang ia kenakan. Dan—tentu saja kembali mengatakan hal yang sama.

“Pergilah bersamaku, Miss A.”

Ayunda tersenyum menanggapinya. “Kalau Anda ingin aku pergi bersama Anda, bagaimana caranya? Aku, kan, tidak bisa ke mana-mana selain di sini.”

“Kamu berhenti dari sini dan jadilah wanitaku.”

Ayunda tersenyum. Sial, semua pria memang sama saja.

“Itu sangat tidak baik, aku tidak mau jadi simpanan,” bisik Ayunda. Ia beralih melambaikan tangan pada bartender dan memesan minuman.

”Berengsek. Pekerjaan ini saja sudah membuatnya ingin muntah, apalagi jadi simpanan.” Ayunda kembali menggerutu dalam hatinya, dengan segala hal yang terjadi padanya malam demi malam.

“Anda ingin minum di sini saja? Agak ramai, lho.” Ia kembali menoleh usai bartender menyajikan dua gelas minuman untuk mereka. Suasana cukup ramai dan padat di sisi bar. Banyak juga yang datang hanya untuk bersenang-senang tanpa memesan dalam artian khusus.

“Aku bosan di sana,” tunjuk pria di dekat Miss A. “Di sini lebih terlihat menyenangkan. Dekat dengan musik dan membuatku jadi lebih muda. Mau berdansa, Miss A?”

Ayunda terkekeh kecil. Ia tahu pria itu tengah bercanda. Ia lantas melirik orang-orang yang duduk di dekat mereka dan di lantai dansa. Memang tidak ada yang setua pria itu.

“Anda masih gagah kok, masih muda.”

“Kamu bercanda, Miss A.” Pria itu meraih gelasnya. Begitu juga Ayunda. Keduanya saling mendekatkan gelas satu sama lain dan bersulang.

“Terima kasih sudah selalu sabar menghadapiku, Miss A.”

“Anda tidak perlu memikirkan itu. Aku baik-baik saja di sini.”

“Kamu masih sangat muda, aku terlalu tua. Mungkin aku terlihat seperti ayahmu, ya? Karena itu kamu tidak mau pergi bersamaku?”

Ayunda kembali tersenyum. Pandangan pria itu berubah teduh dari biasanya. Ia agak aneh dan merasa bersalah soal itu. Entah apa. Tiba-tiba saja ia teringat sesuatu hingga akhirnya ia tidak tahu harus berkata apa.

Menyadari Miss A tidak merespons, pria tua itu lantas menatap Miss A khawatir. “Ah, maafkan aku, Miss A. Aku melanggar peraturan. Kamu bisa melaporkan ini.”

Ayunda lekas tersadar lalu menggeleng.

“Tidak apa-apa, lagi pula aku tidak tahu berapa usia ayahku.”

Raut wajah pria itu lantas berubah terkejut. “Maaf.” Ia pun tidak tahu kenapa harus kembali meminta maaf kali ini.

Ayunda pun kembali menggeleng.

“Sial, kenapa harus bahas soal ayah, sih?“

Ayunda menggerutu sambil menahan diri. 

Kliennya yang satu itu tidak pernah macam-macam selain permintaan untuk pergi. Bisa dikatakan dia pria yang terlalu baik. Ia lantas kembali teringat pada Adrian.

Berengsek!

Jika diingat lagi, semua pria tidak ada yang baik. Ayunda menyingkirkan pikiran terakhir. Kedua pria itu bahkan hanya menginginkan tubuhnya. Apa bedanya, Adrian yang ingin menjadikannya sebagai model dan pria tua itu yang ingin dirinya jadi sugar baby atau ... simpanan, begitu? Apalah istilahnya. Ia pusing dengan semua obrolan teman-temannya yang diam-diam mengambil kesempatan itu di luar. Jika Venus tahu, mereka bisa tamat.

Namun, ia tidak ingin seperti itu. Pekerjaan ini sudah berisiko besar untuk hidupnya, jika harus ditambah dengan menerima pilihan yang mereka ajukan, ia bisa saja masuk ke jurang dan tidak bisa kembali naik ke permukaan. Apalagi menghadapi keluarganya.

Ia harus bertahan sebentar lagi. Mungkin sebentar lagi. Tapi bagaimana? Apa ia harus merayu semua pria itu untuk selalu memberikan tip besar atau .... Ia lantas kembali terpikir pada Adrian.

Dalam semalam, ia bisa mendapatkan poin sebesar tiga kali lipat dari biasanya karena Adrian. Tidak ada yang mampu melampaui. Namun, nasibnya masih seperti ini. Rasanya semua uang itu belum cukup juga.

”Ada yang kamu pikirkan?”

Pria tua itu menyadari Ayunda tampak melamun. Ayunda lekas kembali memasang wajah penuh senyuman dan menggeleng. Mereka kembali mengobrol banyak hal. Terutama tentang pekerjaan pria itu yang membuatnya lelah. Ia sudah seharusnya pensiun dan tinggal di pulau yang tenang.

”Namun, aku tidak ingin sendirian,” katanya.

“Anda bisa datang lagi ke sini daripada harus hidup di pulau terpisah. Aku akan menemani Anda, jadi Anda tidak akan kesepian.”

Pria itu tersenyum dan terkekeh-kekeh. Ia senang dan meraih kembali gelas minumannya. Ayunda makin senang, berharap poinnya bertambah dari pria ini.

Namun, belum sempat ia merayunya, seseorang tiba-tiba saja terdorong dan menubruk pria tua itu dengan satu gelas minuman.

“Duh, maaf, maafkan saya. Saya nggak sengaja.”

Ayunda bangkit dengan khawatir diiringi pria tua itu. “Anda tidak apa-apa?”

“Sepertinya Anda harus ke toilet,” kata seseorang, dengan penuh antusias.

Pria tua itu tampak menilik pakaiannya yang basah. “Ah, nggak apa-apa. Aku harus toilet sebentar. Tunggu, ya, Miss A.”

“Ah, iya.” Ayunda mengangguk. Pria itu lantas pergi. Seseorang mendekat pada Ayunda dan membuat wanita itu tercengang bukan main.

Adrian Laksana!

“Kenapa melihatku begitu?”

Ayunda menghela napas berat. “Sedang apa kamu?”

“Tentu saja—minum, apalagi?” Pria itu—Adrian Laksana mengangkat  gelasnya yang sudah tandas akibat kejadian tadi.

“Tapi, sepertinya aku harus memesan lagi.”

Ayunda bersedekap. Ia tidak ingin diganggu. Sesi kliennya belum berakhir. “Banyak tempat di sini, kenapa harus di hadapanku?”

Adrian meraih lengan Ayunda. Wanita itu sontak menahan diri.

“Ian—perlu kuingatkan mata Venus tidak hanya dua. Kalau kamu begini, kamu bisa dikatakan merebut sesi klien lain.”

Adrian balas menyeringai. “Baiklah.”

Pria itu lantas beralih pada bartender dan meminta gelasnya diisi.

“Duduklah.” Adrian memintanya duduk. Wanita itu memandang ke arah toilet. Kliennya belum muncul juga. Ia lantas duduk.

Adrian tersenyum melihat Ayunda yang begitu gelisah melihat layar ponsel. Adrian di sini, tapi tidak ada notifikasi yang muncul. Ini sudah sesi terakhir. Venus sudah menutupnya. Pria itu tidak ada kesempatan, tapi kenapa datang kemari?

“Kamu khawatir pria itu nggak bisa mengeringkan pakaiannya?” Tiba-tiba saja Adrian bicara, membuatnya terkejut sekaligus jengkel.

“Susul saja. Tadi, tumpahnya banyak sekali lho, tepat di bawah—“

Ayunda mendelik. Adrian balas terkekeh. Ia meraih gelas minumannya dan tampak menikmatinya dengan santai.

Ayunda yang kesal lantas bangkit dan berjalan menuju toilet.

”Kenapa lama sekali? Apa pria itu baik-baik saja?”

Belum sempat Ayunda memeriksanya, tiba-tiba saja lengannya terseret seseorang. Ia memekik, tapi suara dentuman musik begitu keras di antara orang-orang yang larut dalam hiburan malam hingga membuat pekikan Ayunda tenggelam.

Ia terseret masuk ke sebuah koridor. Dan orang yang membawa masuk adalah ...

“Mau apa kamu, Ian?!” teriak Ayunda usai menyadari siapa yang baru saja membekap mulutnya.

“Ssshhh, kamu berisik banget, sih? Tenang dulu, dong.”

“Kamu ngapain? Kamu nggak dengar apa yang aku katakan tadi?”

“Periksa ponselmu,” pinta Adrian tanpa harus menjawab pertanyaan Ayunda.

Wanita itu mengernyit.

“Periksa,” tegas Adrian. Ayunda lekas membuka ponsel dan melihat notifikasi muncul di sana.

Klien Anda mengakhiri sesi.

“Menunggu itu membosankan sekali. Aku terlambat beberapa menit saja sudah penuh. Kamu memang sebegitu menariknya, ya?”

Ia beralih menatap Adrian yang tampak sangat lelah. Pria itu melirik ke arah pintu keluar. “Pria tua itu baru saja keluar.”

Ia lantas menghela napas dan menyugar rambut yang tidak begitu panjang juga tidak begitu pendek. Ayunda memperhatikannya dengan seksama. Ia ingat sekali dulu sering memarahi Adrian bahkan sampai mencukur dan membuatnya botak dengan pitak di sana-sini.

Adrian kembali menatap Ayunda yang kini tampak tersenyum tipis-tipis.

“Kamu akhir-akhir ini banyak melamun. Apakah itu pertanda bagus?”

“Akhir-akhir ini?” Mata Ayunda menyipit.

Pria itu menyeringai. “Aku tidak punya kegiatan apa-apa setiap malam, dan minuman di sini enak.”

Ayunda merasa dipermainkan.

“Jadi, kenapa?“ Adrian kembali bertanya, “Kamu mulai berpikir untuk keluar dari tempat ini?”

Bersambung ....

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status