Share

Hari ke-3

Judul: Wanita lain dalam hatiku (Maafkan aku, istriku)

***

Malam ini aku tak bisa tidur dengan tenang lagi. Walau tadi aku mencoba memejamkan mata duluan. Namun, akhirnya terbangun.

Kutatap Resti yang pulas tertidur. Posisinya memunggungiku lagi malam ini.

Jam dinding menunjukkan pukul 12 lewat. Lama aku perhatikan wajah serta tubuh Resti. 

Semua sempurna, tak ada sedikit pun noda di wajahnya. Resti begitu cantik dan mulus.

Berdebar dadaku ketika Resti menggeliat membalikkan tubuh ke arahku.

Saat tidur begitu, Resti tetap terlihat cantik. Apa aku lelaki yang tak bersyukur selama ini?

Tidakkah seharusnya aku menerima Resti dan menyayanginya?

Tidak, tidak! Aku hanya mencintai Susi. Kami sudah saling memadu kasih sejak SMA dulu. 

Maafkan aku, istriku.

.

Pagi harinya, seperti biasa aku berangkat ke kantor setelah selesai sarapan.

"Bang, nanti Resti ada janji di luar. Mungkin pulangnya nanti malam. Abang bawa saja kunci rumah ini," ujar Resti saat aku hendak melangkah keluar.

Sontak langkahku terhenti, aku pun menoleh ke arahnya yang mengiringiku di belakang.

"Mau ke mana? Kenapa harus pulang malam?" tanyaku heran.

"Ada urusan, Bang. Bukankah selama ini Abang selalu menyuruh Resti pergi ke mana pun yang Resti mau. Lalu kenapa bertanya begitu banyak hari ini?"

Degh!

Seperti tamparan untukku kata-kata yang Resti lontarkan itu. 

"Baiklah, Abang tidak akan banyak bertanya. Hanya saja berikan satu jawaban yang lengkap dan jelas!" perintahku.

"Ada acara reuni teman-teman kuliah dulu. Jadi Resti akan pulang sedikit malam. Boleh?"

Bergeming aku untuk beberapa detik. Hingga akhirnya aku pun mengangguk setuju.

Entah kenapa, hatiku berat untuk mengiyakan. Padahal biasanya, persis yang dikatakan Resti, aku selalu menyuruhnya pergi ke mana pun dan membebaskannya, walau tanpa izin. Namun, istriku tak pernah keluar terlalu lama. Paling hanya membeli kebutuhan pokok, dan mengunjungi orang tuanya, atau pun orang tuaku.

.

Di kantor, sama seperti kemarin. Hari ini aku pun gelisah, bahkan jauh lebih gelisah.

Resti akan berangkat jam dua siang. Aku ingin pulang lebih awal, dan membuntutinya. 

Aku peduli padanya?

Ah, entahlah ....

Waktu berjalan, aku meminta Asistenku untuk mengurus semua pekerjaan di kantor. 

"Tuan mau ke mana?" tanya Melia, Asisiten pribadiku.

"Saya tidak harus menjawab pertanyaanmu itu, bukan?" ketusku, kemudian berlalu.

.

Masuk aku ke dalam mobil, kunyalakan, dan melaju dengan cepat.

Saat berada di dekat rumah, aku sengaja menepikan mobilku di dalam gang kecil. Saat ini jam menunjukkan kurang dari pukul 2 siang. 

Setelah pas, akhirnya mobil Resti tampak melaju. Aku mengikuti dengan jarak yang tak terlalu dekat. Takutnya Resti menyadarinya.

Dua puluh menit perjalanan yang Resti tempuh. Hingga kemudian ia berhenti di sebuah Restoran mewah yang dilengkapi dengan musik.

Setelah Resti turun dari mobil dan melangkah ke dalam tempat tersebut, aku pun segera memarkirkan mobilku.

Sembunyi-sembunyi aku ikuti jejak Resti. Dirinya tak berbohong. Di dalam memang sangat ramai. Tampak lelaki dan perempuan datang bersama pasangan masing-masing. Walau ada beberapa yang datang sendirian juga, sama seperti Resti.

Tempat mereka sudah dibooking. Ruangan itu hanya untuk merayakan pertemuan. Sedangkan aku, pemilik Restoran ini mengira, bahwa aku adalah salah satu dari mereka.

Jadi aku bisa masuk, dan bersembunyi di balik sudut. Aku juga menggunakan topi dan masker.

"Hay, Res! Kamu tuh ya, cantiknya awet banget. Malahan bertambah cantik," puji salah seorang wanita. 

Pastinya itu adalah teman Resti. Tersenyum aku mendengar pujian itu dilontarkan untuk istriku.

Tak lama, datang pula serombongan menghampiri Resti.

"Apa kabar Res? Kok kurusan sekarang? Kamu bahagia kan Res? Kalau suamimu tidak berhasil membahagiakanmu, maka aku siap menggantikannya," ucap seorang pria.

Mengepal tanganku di dada. Walau mungkin pria itu hanya bercanda, tapi tetap saja aku tak suka mendengarnya.

Kenapa aku ini?

Ah, aku adalah seorang suami. Walau Resti bukan istri yang aku cinta. Namun, aku juga tidak akan membiarkan seseorang mendekatinya.

Apa aku cemburu?

Tidak mungkin.

"Alhamdulillah, kabar Resti baik kok Dim. Kamu sendiri bagaimana?" tanya Resti dengan diiringi senyum.

Resti sungguh membuatku kesal hari ini. Dia tak tersenyum padaku sejak kemarin. Akan tetapi di sini, ia malah tertawa dan terlihat begitu senangnya.

"Aku juga baik. Oya, Res kenapa kamu pergi sendirian?" Pria itu terus saja menanyakan banyak hal pada istriku.

"Suami Resti sibuk di kantor."

Mereka terus bersenda gurau. Aku bahkan sudah tak tahan melihat sikap pria itu yang tampak begitu sengaja ingin mencari perhatian Resti.

Ini masih sangat siang, kenapa Resti meminta izin untuk pulang malam?

Aku sungguh tak bisa membiarkannya begitu saja.

"Resti pulang!" hardikku sambil melepaskan masker.

"Bang Ardan," lirih Resti dengan mata membeliak.

Aku tahu, pasti Resti terkejut.

Tanpa banyak bicara, aku langsung menarik tangannya.

Resti pun tidak membantah, ia menurut dan mengikuti langkahku.

"Masuk ke dalam mobil Abang! Nanti mobilmu biar dijemput oleh orang suruhan Abang."

Resti langsung masuk tanpa menjawabku.

Melaju mobilku dengan kecepatan sedang. Resti bergeming, sedangkan aku gugup dan tak tahu harus berkata apa.

.

Sampai di rumah. Aku dan Resti segera masuk. Sepanjang perjalanan tadi, tak ada obrolan antara aku dan Resti.

Kini Resti duduk di sofa, aku juga turut menjatuhkan tubuhku di sebelahnya.

"Dek, maafkan Abang. Sebenarnya ...."

"Cukup, Bang! Katakan dengan jelas, apa yang Abang inginkan?" tanya-nya memotong kalimatku.

Tercengang aku dengan perubahan sikap Resti. Nada bicaranya mulai meninggi.

Apa salahku?

Bukankah dirinya sendiri yang memberikan aku waktu selama satu bulan ini?

Lalu kenapa tiba-tiba menjadi dingin?

"Apa maksudmu itu, Dek? Abang bingung dengan sikapmu dua hari belakangan ini," ucapku menatap ke arah bola matanya.

"Tidak ada yang berubah, Bang. Hanya saja Resti sudah sadar. Abang tak bisa menepati amanah yang Resti berikan. Lalu untuk apa lagi menunggu sampai sebulan?"

Aku terdiam, masih tak mengerti dengan maksud ucapan istriku itu.

Saat aku hendak menanyakan lebih jelas, tiba-tiba ponselku berdering. 

Lagi-lagi panggilan dari Susi. Resti berdehem pelan, detik berikutnya ia berdiri dan melangkah pergi.

"Halo," ucapku mengangkat telepon Susi.

Lemah dan tak bersemangat aku bicara pada Susi. 

"Mas, kenapa tidak menelepon? Tadi aku juga mengirim pesan, tapi tak dibalas," ujarnya.

"Mas lagi sibuk. Nanti saja Mas telepon."

Kututup panggilan dari Susi begitu saja. Hingga ponselku bergetar-getar. 

Susi mengirim pesan dengan begitu banyak. Aku bahkan tak peduli. Pikiranku saat ini teralihkan dengan perubahan sikap Resti.

Bersambung.

Komen (1)
goodnovel comment avatar
Tri Wahyuni
kmu baru tau Ardan bhw Resti banyak pengagum nya dn akan menggatikan mu ..
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status