Share

Perubahan sikap istriku (Hari ke-2)

.Judul: Wanita lain dalam hatiku (Maafkan aku, istriku)

***

Aku berlari masuk ke dalam kamar Apartemen.

Pintu tak dikunci, aku langsung menerobos masuk.

Terlihat Susi sedang tersenyum mentapku penuh dengan kemanjaan.

"Susi, tadi katamu sedang sakit," ucapku sambil mengerutkan kening.

Susi bangkit dari duduknya, kemudian ia berjalan ke arahku. Diraihnya tanganku dengan lembut, dan berkata. "Kalau tidak bilang begitu, pasti Mas tidak akan datang. Aku tahu, Mas adalah tipe yang tak suka mengingkari janji."

Jadi Susi berbohong demi bisa membuatku mengingkari janjiku pada Resti?

"Ini tidak lucu! Mas tak suka dipermainkan seperti ini!" hardikku.

Ini adalah pertama kali aku berucap dengan nada tinggi pada Susi. 

Entah kenapa, hatiku terasa kesal. Walaupun aku tahu, Susi melakukannya hanya untuk bertemu denganku.

"Mas, jangan marah! Aku cuma ...." 

"Cukup!" Aku memotong ucapannya.

Detik berikutnya, aku langsung keluar dan mencoba kembali ke rumah.

"Mas, Tunggu!" teriak Susi.

Aku tak mempedulikan teriakannya. Aku memang mencintai Susi. Tetapi aku juga tak suka jika dirinya tak mampu menepati janji.

Resti sudah berbaik hati dengan memberikan waktu selama satu bulan. Harusnya aku dan Susi bisa memenuhi persyaratannya.

.

Aku sampai di rumah. Resti membukakan pintu. Namun, ada yang beda. Senyumnya hilang.

"Dek," lirihku.

"Iya, Bang. Resti mau lanjutin memasak," ucapnya.

Aku bergeming, kemudian masuk ke dalam kamar. 

Hari mulai gelap, Resti masih sibuk di dapur. Saat azan magrib berkumandang, barulah Resti masuk ke kamar untuk menunaikan kewajibannya.

Aku menunggu di ruang tengah. Ada kebimbangan dalam hatiku saat ini. Tadinya aku sudah yakin ingin berpoligami, tetapi kenapa sekarang malah jadi ragu.

Selama ini aku dan Susi memang saling mencintai. Walau kami sering bertemu di Apartemen, tapi aku belum pernah melakukan perbuatan kotor itu sebelum ikatan pernikahan terjadi.

Sebulan lagi aku dan Susi akan bersatu. Namun, aku semakin gelisah dan ragu.

Setelah beberapa saat, Resti keluar dari kamar. Aku tak disapanya, ataupun ditolehnya. Resti langsung ke dapur, dan menyiapkan semua makanan yang tadi sudah ia masak.

Setelah selesai, barulah ia mengajakku makan. Semua masih disediakan seperti biasa. Nasi beserta lauknya, lengkap di piringku.

Namun, Resti membisu. 

Ada apa?

Dan apa peduliku?

"Dek, kamu tidak makan?" tanyaku saat melihat Resti hanya minum air putih saja.

"Masih kenyang," sahutnya.

Sikapnya sungguh berbeda. 

Apa karena tadi aku pergi begitu saja?

Atau Resti tahu, kalau aku pergi menemui Susi dan mengingkari janji?

Ya, Allah ... kenapa aku jadi cemas dan takut?

.

Usai makan malam. Aku dan istriku masuk ke dalam kamar untuk beristirahat.

Resti tidur membelakangiku. Biasanya aku yang sering melakukan itu.

Ternyata rasanya tak enak dicuekin begini.

"Dek, sudah tidur?" tanyaku pelan.

Bergeming Resti. Sepertinya benar-benar sudah tidur.

Sementara ponselku sedari tadi terus saja bergetar. Susi mengirimi aku banyak pesan. Namun, belum ada satu pun yang aku balas.

Pikiranku tak nyaman. Perubahan sikap istriku mampu membuat aku susah tidur.

Kenapa?

Bukankah aku tak mencintainya?

Di sela-sela kegelisahanku, tiba-tiba Susi menelepon, hingga ponselku berdering nyaring. Berbeda dengan sebuah pesan, aku hanya mengaktifkan getar saja untuk sebuah pesan.

Sengaja aku tak mengangkatnya. Nyaring terdengar suara ponsel itu, aku letakkan di samping Resti agar ia segera terbangun.

Akan tetapi Resti tetap tak bergerak. 

Mungkinkah Resti hanya pura-pura tidur?

Ya, Allah ... kenapa aku jadi semakin merasa tak tenang begini?

.

Ketika subuh tiba, Resti barulah bangkit, dan menjalani rutinitasnya seperti biasa.

Aku tak tidur semalaman, alhasil ketika subuh begini, aku merasa sangat ngantuk. Mataku masih terbuka, tapi terasa berat.

"Dek, nyenyak sekali tidurmu semalam," ucapku saat Resti melipat mukenanya.

"Iya, Bang. Alhamdulillah, setelah bertahun-tahun jarang tidur selelap itu."

Apa maksud ucapan Resti?

Apa selama ini dirinya susah tidur?

Ah, aku tak tahu ... karena aku jarang sekali peduli tentangnya. Bahkan aku sering meninggalkannya tidur duluan.

Namun, kenapa sekarang aku jadi peduli?

Kenapa?

-

-

Pagi ini sarapan dan bekal makan siangku sudah tersedia. 

Resti duduk manis menemaniku di meja makan. Namun, senyum itu masih tak kutemukan pagi ini.

Setelah selesai, aku berpamitan untuk segera ke kantor. "Abang berangkat sekarang ya, Dek."

"Iya, hati-hati." Datar terdengar ucapan istriku itu. Walau tanganku masih diciumnya sebagai tanda bakti.

Di perjalanan, aku terus memikirkan tentang perubahan sikap istriku. 

Namun, lagi-lagi ponselku berdering. Panggilan Susi sudah masuk berpuluh-puluh kali.

Merasa bersalah juga karena mendiamkan Susi dari semalam. Akhirnya aku mengangkat panggilan darinya.

"Halo, Mas! Kenapa tak menjawab teleponku dari semalam? Mas marah? Aku minta maaf," ucapnya dengan beruntun pertanyaan.

"Hem, Mas hanya tidak suka jika dirimu tak bisa menepati janji."

"Iya, Mas. Aku minta maaf. Mulai sekarang aku tidak akan melakukan hal itu lagi."

"Baiklah. Mas memaafkanmu," ucapku dengan tulus.

Susi terdengar senang. Setelah itu telepon aku tutup.

-

-

Sampai di kantor, aku mengerjakan semua tugasku. Namun, pikiranku selalu saja teringat akan Resti.

Kenapa jadi begini?

Tok! Tok! Tok!

Suara ketukan pintu menyadarkan lamunanku. 

"Masuk," ujarku.

Pintu dibuka, ternyata Ayah mertua yang datang.

"Ardan, maaf jika Ayah mengganggumu," ucap Ayah mertuaku.

"Tidak mengganggu kok, Yah. Tapi ada apa? Tumben Ayah datang ke kantor."

"Bukan apa-apa. Ayah kebetulan lewat sini. Jadi Ayah mampir untuk menitipkan ini untuk  Resti."

Ayah mertuaku memberikan sebuah kotak yang berukuran sedang. Entah apa isinya, aku tak tahu.

"Oh begitu, nanti Ardan berikan pada Resti."

"Baiklah. Ayah permisi dulu."

Mengangguk aku sembari tersenyum. 

-

-

Waktu berjalan ....

Jam makan siang, biasanya aku memberikan pada pegawaiku bekal yang dibuatkan Resti. Sedangkan diriku selalu makan siang bersama Susi di Restoran dekat Apartemennya.

Selama ini hubungan kami aman. Walau ada beberapa orang yang tahu. Namun, mereka bungkam karena uang sogokan yang aku berikan.

Jarak kantor dan Apartemen memang tak terlalu jauh. Jadi aku sering bolak-balik ke sana dulu.

Akan tetapi siang ini, aku ingin memakan masakan Resti saja. 

Kalau boleh jujur, semua menu yang dibuat oleh istriku, sungguh terasa lezat. Hanya Susi melarangku makan siang dari bekal yang aku bawa.

Karena cinta yang begitu besar pada Susi, aku pun menurut. 

Ponselku bergetar, sebuah pesan dari Susi.

[Mas, ini jam makan siang. Jangan lupa makan ya! Kita tak bisa bertemu, tapi Mas pesan saja makanan dari luar, atau makan di kantin saja!]

Aku hanya mengiyakan dan tak membalas terlalu panjang.

Hingga ponselku bergetar lagi. Tetapi tak aku pedulikan.

Aku terus memakan masakan Resti, sambil memikirkan apa yang tengah aku jalani ini?

Tiga tahun bersama, apa iya aku tak menaruh cinta sedikit pun pada Resti?

Kalau benar begitu, harusnya aku tak peduli dengan perubahan sikapnya.

Mungkin lebih tepatnya, aku takut perubahan Resti diketahui oleh orang tuaku, dan orang tuanya.

Jika sampai Resti membuka suara tentang hubunganku dengan Susi, maka habislah aku.

Ya, aku hanya takut ketahuan.

Bukan takut kehilangan Resti.

-

-

Pulang kantor, aku langsung ke rumah, tak lagi singgah ke Apartemen.

Ini adalah hari kedua, tapi rasanya tak seberat hari pertama. Tak ada keinginan untuk bertemu Susi.

Sampai di depan rumah, ada mobil orang tuaku.

Cepat-cepat aku menekan bel, tak lama pintu dibuka oleh Resti.

"Mama dan Papa di dalam," ucap Resti.

Aku langsung masuk dan melangkah menuju tempat duduk mereka. Resti juga mengiringiku.

"Ma, Pa. Tumben ke sini sore-sore begini," ujarku.

"Kenapa? Tidak boleh?" tanya Mama dengan nada bercanda.

"Boleh dong, Ma. Kalian bebas mau ke sini kapan pun. Malahan Ardan sangat senang."

Tersenyum Mama mendengar ucapanku. Detik berikutnya Papa membuka suara. "Kalian sudah tiga tahun menikah. Kenapa masih belum juga memberikan kami Cucu? Apa kalian sudah berusaha?"

Aku bergeming, kutatap ke arah Resti, ia hanya menampakkan ekspresi datar.

Biasanya Resti yang selalu memberikan alasan. Namun, hari ini istriku tidak bersuara.

"Sabar dong, Pa. Ardan dan Resti selalu berusaha. Nanti juga akan terwujud impian Papa dan Mama," ucapku dengan lembut.

Jujur, aku memang jarang menyentuh Resti. 

"Tadi Ayah menelepon. Katanya ada titipan untuk Resti." Istriku akhirnya bicara.

"Oh, iya. Mas lupa."

"Mas?"

Astagfirullah ... Aku salah menyebutkan panggilan. 

"Sejak kapan Resti memanggilmu, Mas?" tanya Mama heran.

"Eh, em ... i-itu Ma ... Ardan tadi salah. Gara-gara sering dengar temen Ardan memanggil suaminya dengan sebutan Mas." 

Gugup aku saat berkilah. Ruangan yang dingin terasa begitu gerah. Keringatku bercucuran.

Tatapan kedua orang tuaku seperti menaruh curiga. Aku jadi salah tingkah.

Aku coba menoleh lagi ke arah Resti, ia masih terlihat tenang.

Setelah itu kedua orang tuaku berpamitan pulang.

.

Kini aku dan Resti berada di dalam kamar, setelah makan malam usai, barulah aku memberikan kotak yang tadi dititipkan padaku.

"Dek, ini ... Maafkan Abang ya, karena tadi salah sebut."

"Terima kasih, Bang. Tidak apa-apa, hanya salah sebut bukanlah masalah yang sebenarnya."

Lagi-lagi ucapan Resti seperti sebuah sindiran. 

Aku merasa tak enak, akhirnya aku mencoba tidur duluan.

Bersambung.

Comments (2)
goodnovel comment avatar
Tri Wahyuni
kmu lama2 juga ketauan dgn orang tua mu dn juga kmu g akan melupakan Hesti ..thor bikin Ardan mentesal dgn Susi coba buka k jelekankn Susi ..
goodnovel comment avatar
Rieca Chandra
Enak bgt ngomongnya silakan dtg aj kpn mereka mau. Klo hubungan lu sama susi blm diketahui resti dan lu lg di apartemen susi gmn lu mau jawab
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status