Share

POV Resti

Judul: Wanita lain dalam hatiku (Maafkan aku, istriku)

***

POV Resti.

Aku merasakan kegelisahan suamiku malam ini. Ia tak tidur, bahkan terus memainkan ponselnya.

Ketika suamiku ke kamar mandi, aku bergegas bangun, dan mengecek ponselnya yang selama ini tak pernah aku sentuh sama sekali.

Ponsel itu terus bergetar hingga membuatku penasaran. 

Susi: pokoknya aku tak mau tahu, Mas! Secepatnya dirimu harus mengambil keputusan untuk kelanjutan hubungan kita.

Degh!

Siapa Susi, aku terus membaca percakapan lama, ternyata Susi adalah kekasih suamiku.

Tak bisa aku berlama-lama memainkan ponselnya, karena Bang Ardan pasti akan kembali.

Aku menaruhnya dan sengaja meninggalkan dengan pesan yang terbuka. Mata aku pejamkan lagi.

Beberapa saat, Bang Ardan naik ke atas ranjang dan memeriksa ponselnya.

Degup di jantungku terasa begitu dahsyat. Bagai dihujani ribuan jarum. Sungguh nyeri, sakit, dan tak bisa aku jelaskan lagi.

Air mata tertahan, tiga tahun pengabdianku tak berhasil memenangkan hatinya. 

Apakah aku harus menyerah?

Tentu tidak!

Aku adalah seorang istri sah. Aku adalah wanita yang halal mendapat kasih sayangnya.

Sikap suamiku juga baik, hanya hatinya yang belum aku miliki.

Ya, Allah .... beri aku kekuatan dan ketabahan. Aku akan berusaha menjadi istri yang jauh lebih baik dari sebelumnya. Aku akan membuat suamiku melupakan wanita lain dalam hatinya itu. Aku tidak akan mengungkit masalah ini di hadapannya.

Bantu aku, ya Rabb ... Engkau adalah pemilik kuasa atas membolak-balikkan hati manusia. Buatlah suamiku terbuka mata hatinya dan dapat mencintaiku, bukan hanya sekedar menerimaku sebagai seorang istri pilihan orang tuanya saja.

.

Pagi harinya, aku menyiapkan semua kebutuhan Bang Ardan. Tak ada yang berubah, bahkan senyumku tak pernah luntur ketika berada di hadapannya. 

Walau sebagai wanita biasa, ada sesak di rongga dada. Namun, aku beristigfar dalam hati agar tampak tenang dan tegar.

Suamiku tak sepenuhnya bersalah. Ia juga adalah pria biasa. Sebagai anak, Bang Ardan sudah memenuhi baktinya pada orang tua, hingga pernikahan kami terlaksana.

Namun, sebagai seorang suami, mungkin Bang Ardan memang belum bisa menerimaku sepenuhnya. 

Aku tidak putus asa. Aku akan menunggu dan terus mencoba membuktikan padanya, bahwa aku adalah seorang istri yang layak ia cinta.

"Dek, nanti malam Abang ingin bicara sesuatu. Kita keluar ya, ada seseorang yang akan Abang kenalkan, sekaligus Abang ceritakan," ujar Bang Ardan.

Mataku pedas karena menahan bulir bening yang ingin menerobos keluar. Aku sudah tahu, apa yang akan Bang Ardan sampaikan nanti malam. Tetapi itu tak boleh terjadi.

"Baik, Bang. Ini bekal makan siang. Nanti Resti mau izin belanja ya, Bang."

"Iya, Dek. Tak perlu meminta izin setiap kali mau keluar. Abang tidak akan memberatkanmu. Silakan pergi menyenangkan diri Adek ke mana pun Adek mau pergi."

Aku mengangguk sambil tersenyum.

Maafkan aku, Bang. Hari ini aku ingin tahu ke mana saja Abang pergi. Aku juga ingin melihat sosok wanita yang bernama Susi itu. Abang pasti menemuinya terlebih dahulu sebelum pulang ke rumah nanti.

-

-

Seperginya Bang Ardan. Aku langsung bersiap-siap untuk mencaritahu.

Aku tidak akan melabrak Susi, ataupun memarahinya. Aku hanya ingin melihat sosoknya.

Jika Susi jauh lebih baik dariku dalam segi menutup aurat dan sikapnya, maka aku akan belajar darinya. 

Namun, bukankah seharusnya Susi menjauhi Bang Ardan, karena saat ini Bang Ardan sudah tak sendiri lagi.

Ah, entahlah ....

Cinta terkadang buta. Mereka berdua sepasang kekasih yang saling menyayangi. Tentunya tidak akan mudah untuk saling melepas.

Tugasku adalah menyadarkan Bang Ardan. Jika hubungan itu tetap dilanjutkan, maka akan menjadi dosa baginya, dan mungkin bagiku juga. Karena kini aku telah mengetahui hubungan terlarang suamiku dengan wanita lain. Namun, aku diam saja.

Tidak!

Aku tak mau membuat suamiku berlama-lama terjebak dalam lembah dosa. 

Aku sangat menyayanginya. Tak pernah terbesit di pikiranku memikirkan pria lain semenjak sah menjadi istri Bang Ardan.

Walau aku juga memiliki kekasih dulu, tapi setelah menikah, haram bagiku untuk mengingat pria lain, apa lagi sampai menjalin hubungan.

Waktu berjalan ....

Aku sengaja menunggu jam pulang kerja Bang Ardan. Aku berada di dalam taksi, jadi Bang Ardan tak akan curiga.

Tak berapa lama, keluar Bang Ardan dan melajukan mobilnya. 

"Pak, tolong ikuti mobil itu ya!" ucapku pada sopir taksi.

"Baik, Mbak."

Aku terus menatap ke depan, takut kehilangan jejak Bang Ardan.

Maafkan aku, ya Allah ... semua ini aku lakukan demi ingin tahu kebenarannya.

Lima belas menit waktu yang ditempuh. Benar seperti dugaanku. Bang Ardan singgah di sebuah Apartemen mewah.

Suamiku itu turun dari mobilnya, dan bergegas masuk ke dalam Apartemen.

Bagaimana caraku masuk ke sana?

Setelah Bang Ardan tak terlihat lagi. Aku memberanikan diri untuk keluar.

Aku bertanya pada satpam. "Maaf, Pak. Apa yang nama Susi, benar tinggal di Apartemen sini?"

"Susi Saraswati, Mbak?"

Aku bergeming sesaat, tak tahu aku siapa nama lengkapnya. Tapi mungkin saja benar itu.

"Iya, Pak."

"Dia tinggal di lantai 3 nomor 31 Mbak."

"Baiklah, terima kasih banyak, Pak."

Pelan langkahku menuju petunjuk yang disebutkan itu.

Saat berada di lantai tiga, aku langsung mencari nomer Apartemen Susi.

Detak jantung mulai tak beraturan. Tepat di depan kamar nomer 31 aku berdiri.

Tok! Tok! Tok!

"Assalamualaikum," ucapku dengan nada suara bergetar.

Keringat dinginku keluar, berkali-kali istigfar aku ucapkan agar tetap kuat menerima kenyataan.

Clekek ....

Pintu dibuka, wanita cantik berambut panjang, tampak seumuran denganku, menatap penuh kebingungan.

"Kamu Resti, bukan?" tanya-nya dengan mata yang membesar tanpa berkedip.

Brak!

Terdengar ada suara benda yang jatuh dari dalam.

Aku tersenyum seramah mungkin. Detik berikutnya Bang Ardan turut keluar.

"Dek Resti," lirihnya dengan sorot mata sulit kujabarkan.

"Boleh saya masuk ke dalam?" tanyaku dengan masih menebar senyuman.

Mengangguk Susi. Aku langsung mengikuti langkahnya.

Kini kami duduk di sofa yang tersedia. Apartemen ini benar-benar mewah dan nyaman.

"Dek, maafkan Abang! Sebenarnya nanti malam Abang ingin membahas ini," ujar suamiku.

Susi hanya menunduk tak berani mengangkat wajahnya.

"Resti yang minta maaf pada Abang, dan Susi. Karena Resti, hubungan kalian jadi terhalang. Namun, takdir Allah tak bisa dielakkan, Bang. Jodoh, rezeki, dan maut sudah menjadi kehendakNya."

"Abang tahu, Dek. Abang bersalah, tapi Abang tak mampu melenyapkan rasa Abang pada Susi. Abang ingin menikahinya walau hanya pernikahan sirih. Abang berharap Adek tidak keberatan," papar Bang Ardan dengan jujur.

Aku melihat keseriusan dalam bola matanya. Besar rasa cinta Bang Ardan pada Susi membuat hatiku pilu.

Ya, Allah ....

Apa yang harus aku lakukan?

Bersambung.

Komen (3)
goodnovel comment avatar
Isabella
mintalah cerai . sekarang aja udah bohong
goodnovel comment avatar
Yuli Defika
msh menyimak apa jawaban Resti
goodnovel comment avatar
Satria izzet ilhami
bukan tak mampu melupakan tapi tak mau melupakan. seandainya arda punya prinsip sprt resti, pasti bisa melupakan. btw... buat ardan blm merasa mencintai resti krn blm kehilangan... coba klw sdh kehilangan resti... pasti nyesel bgt deh.
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status