Tak kudapatkan lagi balasan darinya setelah itu, mungkin dia takut untuk bermain-main lagi denganku karena jika sampai aku tak memberinya uang maka ia tak akan bisa menghidupi gundiknya itu. Biarkan saja, setidaknya sekarang dia tahu jika aku ini tak sebodoh yang ia kira.Tak berselang lama sebuah pesan singkat masuk kembali ke dalam ponselku. Namun disana tertera nomor baru yang masih asing untukku.Gegas aku membukanya dan membaca pesan yang baru saja masuk itu.[Jangan karena kamu menguasai semua pendapatan Mas Naufal, lantas kamu bisa memisahkannya dariku. Apapun yang terjadi dia juga sah sebagai suamiku]Aku memutar bola mata malas. Tanpa tertera nama pun bisa kupastikan bahwa itu adalah nomor gundik tak tahu diri itu.Kita lihat saja wahai gundik. Siapa yang akan menang pada akhirnya. Mungkin sekarang kamu bisa tertawa atas kemenangan hati suamiku, tapi besok aku lah yang akan berganti menertawakanmu atas kecerobohanmu yang sudah berani mengusik hidupku.Bukan karena aku terlalu
Kulihat ia berbincang dengan Sintia dan Kirani, lalu melangkah menuju mobil dan meninggalkan tempat itu.Senyum licik mengembang di bibir, kemudian aku menginjak pedal gas dan mengikutinya hingga sampai rumah. Sengaja aku memilih jalan pintas, agar sampai lebih dulu darinya.Tepat lima menit setelah kedatanganku, kudengar deru suara mobil Mas Naufal memasuki pekarangan rumah kami. Aku yang semula masih ada di dapur mengambil air mineral, lantas keluar menuju ruang tamu untuk berbicara dengannya."Dek," sapanya ketika masuk ke dalam rumah dan mendapatiku yang tengah mengunyah wafer cokelat di atas sofa ruang tamu."Hmmm ... Dari mana?""A-aku ... Aku habis bertemu Sintia," jawabnya gugup."Ada hubungan apa kamu sama Sintia? Berselingkuh lagi? Belum cukup punya dua istri?" cecarku yang berhasil membuatnya menghembuskan nafas kasar."Kenapa, sih. Kamu selalu berfikiran buruk tentangku? Bisa tidak dengar dulu penjelasanku?"Aku mencebik, lalu memasukkan wafer terakhir ke dalam mulutku."K
Ia menatapku tajam dari cermin meja riasku yang berada tepat di depannya. Aku tersenyum genit kearahnya untuk menambah kegundahan hatinya."Mas ... Kamu sedang apa? Jawab? Kamu tidak sedang main-main sama Mbak Zia kan?" Kudengar samar gundik suamiku itu semakin meradang."Mas ... Kamu wangi banget, deh." Kuusap pipinya lembut dan mendekatkan bibirku kearah ponselnya, agar Kirani semakin jelas mendengar perkataanku."Mas! Aku marah denganmu!" teriaknya kasar dari seberang sana lalu mematikan ponselnya secara tiba-tiba. Membuatku tertawa terbahak-bahak hingga membuat wajah Mas Naufal kebingungan.Kurebahkan tubuhku diatas ranjang dengan tertawa terbahak-bahak, sedangkan Mas Naufal bingung melihat aksiku. Sungguh kasihan kamu, Kirani. Sepertinya di sana kamu sedang kepanasan karena ucapanku.Tapi tiba-tiba Mas Naufal meletakkan ponselnya di atas nakas, lalu memandangku dengan penuh hasrat. Seketika itu juga tawaku terhenti dan beringsut mundur darinya. Sepertinya aksiku bak senjata makan
Sudah lebih dari satu bulan aku berusaha berdamai dengan hatiku. Berusaha menerima kenyataan meski sulit, menelan pil pahit yang telah ada di dalam rongga tenggorokan. Mau tak mau aku harus menelannya meski menyakitkan. Tapi inilah hidup, harus tetap berjalan meski di terpa kerikil-kerikil kecil maupun bongkahan batu besar seperti yang tengah aku alami kini.Selama satu bulan ini juga aku mendiami sebuah kos-kosan kecil yang kusewa karena aku pergi dari rumah meninggalkan Mas Naufal. Ya, sudah satu bulan. Itu artinya bukan waktu yang sebentar untukku. Berada jauh darinya membuatku seperti tak bernyawa, tapi setidaknya aku ingin memberikan sedikit pelajaran berharga untuknya.Hari ini aku pulang kerja lebih awal, aku sengaja singgah di sebuah cafe untuk sekedar minum kopi setelah penat dengan pekerjaanku siang ini. Kupesan satu gelas cappucino hangat dan duduk termenung di pojok cafe yang menghadap langsung ke arah taman kota. Sungguh pemandangan yang indah ketika ada dia sejoli yang t
Pov KiraniHatiku sedikit tersentil ketika Mas Naufal begitu memperdulikan istri tuanya daripada aku. Bahkan aku mendengar mereka bermesraan di seberang telepon sana. Membuat hatiku terbakar cemburu, sedang aku sampai detik ini belum disentuhnya.Dengan sengaja pagi-pagi sekali aku sudah mendatangi rumah mereka, lalu menggedor pintu kasar agar mereka segera keluar rumah.Ternyata yang membukakan pintu untukku adalah istri tua yang sombong itu. Membuatku semakin malas, ketika melihat rambutnya tergerai dan basah, itu artinya semalam mereka memang melakukan hal itu. Jahat kamu Mas!Dan lagi-lagi hatiku dibuat panas ketika Mas Naufal tak membukakan pintu untukku ketika istri tuanya itu marah. Sebenarnya kamu cinta tidak, sih, Mas. Apa lebih baik aku mundur?Aku melangkah gontai meninggalkan rumah Mas Naufal, tak terasa buliran kristal keluar dari sudut mataku. Apa yang aku lakukan ini salah? Karena telah mencintai lelaki yang telah memiliki istri? Tapi bukankah cinta itu datang dengan se
Pagi menjelang, dan perasaanku masih sama seperti sebelumnya. Kosong. Semenjak aku tahu bahwa Mas Naufal mengkhianatiku, aku tak lagi bersemangat setiap paginya. Karena biasanya, dialah salah satu penyemangat dalam hidupku.Kubuka ponselku yang tergeletak di atas bantal, setelah semalam saling bertukar pesan dengan Fahmi. Seorang pria yang merupakan teman sekolahku dulu.Ia masih sama seperti dulu. Kaku. Penuh misteri. Hanya saja kini ia terlihat lebih keren dari dahulu. Aku tersenyum kecil mengingat masa-masa sekolah kami dulu.Aku lantas bergegas mandi dan berangkat bekerja, semoga saja hari ini aku tak sial seperti hari kemarin. Seharian penuh pekerjaanku tak ada yamg beres."Pagi," sapaku pada Ara yang telah duduk manis dimejanya."Pagi juga, ada apa, nih? Tumben hari ini terlihat sangat bersemangat? Apa sudah baikan dengan Naufal?" tanya Ara menggelitik hatiku.Bahkan sebulan ini aku tak tahu bagaimana kabar Mas Naufal, dia hanya beberapa kali menghubungiku tanpa aku respon. Biar
Wajah Kirani terlihat merah, mungkin ia geram dengan kepulanganku."Dengar, ya. Ada janin Mas Naufal di dalam perutku. Kamu tak berhak mengusirku!" kata Kirani yang membuatku tertawa terbahak-bahak."Baiklah, mari kita buktikan saja. Mas, siapkan mobil, kita ke dokter kandungan sekarang juga.""Apa?!" pekik Kirani keras."Kenapa? Kamu takut?" ledekku lagi.Sedang Mas Naufal hanya diam membisu tak berani menengahi pertengkaran kami."Tidak! Aku tidak takut, hanya saja ....""Hanya saja apa? Sudah tidak perlu banyak bicara. Ayo kita buktikan." Kuseret kasar tubuhnya keluar rumah, Mas Naufal terlihat mengacak rambut kasar. Mungkin keputusannya memasukkan gundik tak tahu diri ini ke dalam rumah saat aku tak ada adalah suatu kesalahan yang fatal untuknya.Kuseret tubuh kecil Kirani masuk ke dalam mobil, lalu menyuruh Mas Naufal untuk menyetir. Sedang aku ikut duduk di belakang bersama Kirani, agar ia tak berbuat macam-macam lagi.Aku sengaja mengarahkan Mas Naufal untuk mengunjungi Dokter
Sudah dua hari ini Mas Naufal jadi lebih pendiam, tak banyak bicara jika bukan aku yang mengajaknya bicara. Entahlah, karena apa dia bisa bersikap demikian denganku. Mungkin karena kejadian Fahmi tempo hari. Aku tersenyum licik, biarlah dia merasakan apa yang sudah aku rasakan."Sarapan, Mas." Aku melongokkan kepalaku ke dalam kamar, karena sudah pukul setengah tujuh lewat tapi Mas Naufal tak juga keluar dari kamar.Kulihat ia masih terduduk diam di atas ranjang lengkap dengan baju kerjanya."Mas ...." Panggilku lagi.Ia menoleh dan tergagap, sepertinya ia baru saja melamun."Ayo sarapan," kataku mengulangi.Mas Naufal beranjak dan berjalan mengikutiku ke depan meja makan, ia duduk dengan gontai. Tatapannya kosong, sudah dua hari ini juga Kirani tak datang kemari. Mungkin dia malu karena kebohongannya telah kubongkar."Mau sarapan nasi goreng atau roti, Mas?"Dahiku mengkerut, Mas Naufal kembali terdiam melamun."Mas!" Bentakku geram."Oh, ah iya? Terserah kamu saja, Dek,"Aku mendeng