Jantungku berdegub kencang, panas menjalar di sekujur tubuhku ketika melihat dengan mata kepalaku sendiri Mas Naufal memanjakan istri mudanya. Dan juga ia telah berani mengkhianatiku untuk kedua kalinya dengan mencuri kartu yang selama ini kupegang.Rasanya sudah tidak ada lagi air mata yang menetes di kedua pipiku, karena dengan begitu banyaknya luka yang Mas Naufal torehkan di dalam hatiku. Mungkinkah ini harus menjadi akhir dari sebuah pengorbanan yang telah aku berikan selama ini."Hei ... Liatin apa?" ucap Fahmi mengagetkanku.Aku terperanjat, lantas menoleh kearahnya dengan tatapan sayu."Loh, kamu kenapa?" lanjutnya lagi, membuatku semakin terluka."Lihat," kataku sembari menunjuk Kirani yang tengah memeluk erat lengan Mas Naufal."Mas Naufal sudah mengkhianatiku berulang kali, bahkan kali ini dia berani mencuri tabungan kita untuk memanjakan istri mudanya itu," pungkasku.Entah harus bagaimana lagi menyikapinya, rasanya hatiku sudah mati rasa dengan semua perlakuan Mas Naufal
Kuatur nafasku berulang kali, ketika aku telah sampai di pelataran kantor pengadilan agama. Sudah kuputuskan sejak pertengkaran hebatku dengan Mas Naufal beberapa waktu yang lalu, kalau aku akan mengajukan perceraian dengannya.Segala sabar dan baktiku selama ini sudah tak mampu lagi kutahan, bahkan kini aku sudah mengubur dalam-dalam anganku untuk bisa bersama-sama dengan Mas Naufal hingga akhir hayat.Aku tersenyum kecut, mengingat begitu banyak janji-janji dan harapan yang telah kami buat bersama-sama. Namun nyatanya, tak satupun yang bisa tercapai hingga hari ini.Dan hari ini, dengan langkah pasti aku memasuki ruangan sidang perceraianku dengan Mas Naufal. Dengan segala pertimbangan, akhirnya aku kini mantab untuk berpisah dari Mas Naufal.Di pojok sana, kulihat Mas Naufal tengah bercengkerama dengan gundiknya. Sedang aku berdiri disisi pintu dengan ditemani oleh Fahmi.Ya, Fahmi. Lelaki yang selalu siap siaga ketika aku membutuhkan bantuan. Entah apa anggapan orang, bagaimana me
"Dek, tolong keluarkan semua baju kotorku dari dalam tas, ya. Aku buru-buru, nih. Sudah ditunggu bos di kantor." Teriak Mas Naufal ketika baru saja sampai dari dinas luar kota dan langsung pergi ke kantor.Aku yang masih memotong sayuran di dapur lantas menghampirinya yang telah berlalu meninggalkan rumah sebelum aku menyapanya. Segera kuambil tas kerja yang tergeletak di lantai dan mengeluarkan baju-baju kotor miliknya untuk segera kucuci.PlukkSebuah benda kecil jatuh saat aku tengah mengeluarkan semua isi yang ada di tas Mas Naufal. Kemudian aku lantas memungutnya dan melihat benda apa yang telah aku jatuhkan.Bagai dihujam pisau tajam ketika aku melihat sebuah buku nikah dengan wajah suamiku terpampang jelas di dalamnya. Senyum manisnya mengembang sempurna bersama wanita yang juga tak kalah manis dengannya.Dalam buku nikah yang kutemukan tersebut tertulis sebuah nama Atha Hafidz Alfarezy dengan Kirani Cahya Dewi.Namun, bukankah nama suamiku adalah Ghibran Naufal Rizal. Tapi ken
"Selamat pagi, Bu. Ini saya ingin mengantarkan paket," ucap seorang kurir ketika aku tengah membersihkan rumput di halaman.Bak di sambar petir ketika aku membuka paket itu dan menemukan sebuah tagihan angsuran rumah sebesar lima juta rupiah. Untuk membayar angsuran rumah yang berada di Jalan Pegangsaan No 49. Bukankah ini alamat rumah yang sama seperti yang tertera pada buku nikah itu, dan juga alamat yang sama ketika aku mengikuti dua insan yang sedang aku curigai itu."Dek, paket dari siapa?" tanya Mas Naufal mengagetkanku yang masih menganga tak percaya dengan semua ini.Jadi, memang benar, bahwa Atha Hafidz Alfarezy dan Ghibran Naufal Rizal adalah orang yang sama? Tapi mengapa semuanya bisa ia sembunyikan serapi ini?"Oh ... Tidak. Itu tadi paket Shop**ku, Mas.""Kamu pesan apa memangnya?""Pesan lipstik baru, Mas," jawabku sekenanya agar ia tak curiga.Aku lantas memilih masuk ke dalam rumah melalui pintu samping untuk menghindarinya yang masih berdiri mematung di depan pintu se
"Mas, jangan sampai Mbak Zia tau kalau kamu telah memalsukan data-data agar bisa menikahiku secara negara. Ingat, bapak akan membunuhku hidup-hidup jika tau aku menikah dengan suami orang." Aira menyikut lenganku yang tengah menyeruput minuman di meja seberang Mas Naufal dan Kirani.Aku tertegun mendengarnya, berarti memang tak salah lagi kalau Mas Naufal dengan sengaja menduakanku dengan wanita itu.Aku dan Aira sengaja menunggu lumayan lama setelah bertanya-tanya pada Ibu Mar. Berharap kami akan mendapat satu petunjuk lagi setelah itu. Dengan tetap pada penyamaran seperti sebelumnya, kami mengikuti Mas Naufal dan Kirani yang masuk ke dalam restoran cepat saji. Lalu duduk pada sebuah bangku yang tak jauh dari mereka.Syukurlah aku memiliki sahabat yang sangat baik seperti Aira. Ia tak segan menemaniku meluruskan masalah pelik ini. Bahkan ia juga bersedia menyamar untuk mencari bukti yang kuat agar aku bisa membalas perbuatan Mas Naufal."Besok kita berangkat jam berapa, Mas?" tanya K
Sinar mentari terlihat mulai meninggi, Mas Nufal telah tertidur pulas di atas ranjang. Sepertinya ia sudah merasa sedikit baikan, terakhir ia pergi ke kamar mandi satu jam yang lalu. Saat ini jam dinding telah menunjukkan pukul dua belas siang, itu artinya jadwal penerbangan sudah lewat dua jam.Aku tersenyum miring, usahaku menggagalkan rencananya berhasil meski harus membuatnya sakit terlebih dahulu. Nada dering pendek terdengar dari ponsel Mas Naufal yang tergeletak di atas meja. Aku mengendap dan mengambil ponselnya secara perlahan. Biasanya ponselnya tak pernah diberi sandi penguncian.Dan benar saja, ponselnya bisa ku buka hanya dengan satu usapan jari. Tertera ada limabelas panggilan masuk dan dua puluh tiga pesan singkat yang masuk ke dalam aplikasi hijaunya. Aku menggelengkan kepala, sungguh rekan kerja Mas Naufal yang bernama Kiran ini sungguh protectif. Padahal sebelumnya Mas Naufal telah memberitahu kalau tidak bisa pergi karena sedang sakit. Aku terkekeh mengingat kekonyo
Semalaman ini Mas Naufal memilih tidur di depan televisi. Hingga adzan subuh terdengar ia tak masuk ke dalam kamar dan menyusulku yang tengah tidur sendirian. Entah apa yang sedang ia pikirkan. Selepas kerja kemarin sore, ia tak banyak bicara dan memilih langsung istirahat di depan televisi dari pada di kamar.Nada dering pendek pada ponselku tiba-tiba berbunyi ketika aku selesai menunaikan kewajiban dua rakaat. Sepagi ini dan Aira sudah mengirimkan pesan padaku.[Rencanamu berhasil. Kemarin siang mereka berdua telah di usir dari perumahan itu, dan sekarang madumu tengah menginap di hotel melati]Aku tersenyum puas. Akhirnya aku menang satu langkah dari mereka. Mas Naufal pikir aku sebodoh itu? Hingga tak dapat mencium kebohongannya.Jadi karena hal ini, Mas Naufal terlihat sangat tidak bersemangat selepas pulang kerja. Bahkan ia juga tak menyusulku untuk tidur di kamar. Mungkin ia memikirkan nasib gundiknya itu. Aku terkekeh pelan lalu berjalan untuk membangunkan Mas Naufal yang masi
Aku tersenyum licik. Membayangkan apa yang akan Mas Naufal lakukan tanpa dompet dan seluruh kartu kreditnya ini.Sepertinya malam ini aku bisa tidur nyenyak, karena telah menang telak dari Mas Naufal. Ia tak akan bisa berkutik tanpa dompet dan seluruh isinya. Kecuali jika gundiknya itu yang membayar semua tagihan hotel. Aku menyeringai.Baru saja aku ingin memejamkan mataku, tiba-tiba terdengar suara seseorang mengetuk pintu depan pelan. Aku menajamkan pendengaranku, jika itu Mas Naufal ia akan langsung masuk ke dalam rumah karena satu kunci rumah telah di bawanya. Lalu, itu siapa?Aku turun dari atas ranjang dan berjalan mengendap untuk melihat siapa yang telah mengetuk pintu rumahku selarut ini. Kulirik jam yang tertempel di dinding. Pukul sepuluh malam.Jantungku hampir saja keluar dari tempatnya, ketika aku melihat sosok suami idamanku tengah berdiri dengan gundiknya. Kuacungi jempol pada kedua manusia itu. Berani sekali Mas Naufal membawa wanita jalang itu ke rumah kami.Aku meng