“Kami itu datang niatnya mau lamar putri Mbakyu sama Ustaz Husein buat anak-anak.” Aku tersenyum dalam hati mendengar ucapan umik.
Pasalnya umik datang bersama Gus Azam dan abah membawa lamaran. Tentulah wanita mana yang tak bahagia mendapat lamaran dari Gus Azam yang terkenal dengan wajah tampannya. Lebih dari itu, tutur bahasa dan akhlaknya begitu lembut, kesopanan yang membuatku terkagum dengan sosok gus muda tersebut. Aku mengintip dari balik tembok melihat Gus Azam duduk di lantai beralaskan karpet. Dia selalu seperti itu setiap datang ke rumah kami, duduk di bawah sementara di kursi ada orang yang lebih tua, padahal ami dan abi sudah menyuruhnya untuk duduk di atas, ia selalu menolak.“Ya Allah Dik Farrah, ini beneran to? Ndak mimpi?” Ami begitu antusias, senyum merekah dari kedua wanita yang sangat kusayangi itu.“Loh ya beneran to, Mbak. Lha wong ini udah direncanain ana sama Kang Husein lama.” Abah ikut menimpali.Persahabatan mereka memang terjalin sejak dulu. Abah dan abi teman dekat, sama-sama mendirikan pesantren milik abah saat mereka muda, tetapi sekarang abi memilih mengurus Aliyah yang ia dirikan sendiri.“Sek ya, tak panggilin anak-anak.” Ami tergesa hendak ke dapur. Aku bergegas kembali ke meja makan mengaduk minuman yang sudah kusiapkan, berpura-pura tidak tahu pembicaraan mereka.“Dik Halwa, Mbak Hasna, Nduk sini cepet.” Ami melambai tangan pada Mbak Hasna yang masih di depan wastafel. Aku membantu Mbak Hasna mendorong kursi rodanya dan menuju ami. Mbak Hasna sudah lama tak bisa berjalan, semua aktivitasnya harus menggunakan kursi roda.“Ada apa to Mi, kok seneng banget, kayak dapat emas sekarung aja,” ucap Mbak Hasna yang belum tahu tentang rencana umik dan abah.“Sudah, ayo kita keluar dulu, Mbak Hasna biar sama Ami, Nduk. Dik Halwa bawa minumannya.”Aku mengangguk dan kembali mengambil minuman di atas meja, tak lupa kusiapkan kue buatanku dan Mbak Hasna pagi tadi.Kusajikan minuman dan kue di atas meja, “Monggo, Umik, Abah, Gus.”“Nggeh, Nduk. matur suwun, kok repot-repot.” Umik membantuku menurunkan kue yang ada di nampan.“Kue buatan anak-anak ini Dik. Mereka lagi kursus masak online sama sif yang terkenal itu loh. Sif siapa Nduk? Amik lupa, Pinguin, eh… Sarah Kuin, siapa itu?”“Sef yang di tv itu, Yu? Yang dulu sering kita nonton waktu ngekos itu?”“Iya, yang sampean pingin banget bisa belajar masak sama dia itu loh Dik.”“Chef Mi bukan sif, Chef Farah Quin bukan pinguin, pinguin yang di kutub utara,” jawab Mbak Hasna yang disambut tawa oleh semuanya.“Lha itu, sif eh Chef yang cantik banget itu. Sif sama Chef lak yo sama aja to Nduk.” Ami ikut tertawa.Aku tersenyum puas saat melihat mereka dengan lahap memakan kue buatanku dan Mbak Hasna.“Enak yo Bah, ini kalau punya mantu pinter buat kue bisa naik lagi gula darah Umik.” Umik kembali mengambil sepotong roti dengan taburan keju melimpah dan juga coklat di tumpukan roti bagian tengah.“Umik Ndak usah makan, biar Abah sama Azam aja. Wong Umik kalau lihat kayak beginian gak bisa tahan,” cetus abah."Ndak papa Bib, yang penting ndak kelewatan. Sayang to kalau punya mantu pinter masak ndak bisa nikmati," balas abi.Melihat keakraban mereka yang sudah seperti kakak dan adik kandung membuatku senyum senyum sendiri, kekeluargaan yang sejatinya terjalin dari tolong menolong.“Nduk, ini Abah sama Umik kesini mau mengirim lamaran untuk kalian berdua.” Abah menaruh secangkir teh hangat yang ada dalam genggamannya. “Agam ndak bisa datang, dia masih di luar kota,” sambung abah lagi.Batinku tak tenang, aku pikir abah dan umik hanya mengirim lamaran untuk Gus Azam ternyata juga untuk pemuda tengil itu. Ah, mana mungkin Mbak Hasna menikah dengan bocah tengil itu, bagaimana nasib kakakku nanti.Aduh, mana berani Mbak Hasna menolak, terlebih ia akan memikirkan ami dan abi, pastinya ia akan pasrah menerima bocah tengil yang tak punya sopan santun itu.Agam, aku tak begitu mengenal sosok itu. Menurut kabar di pesantren abah, Agam merupakan pemuda yang susah diatur, abah dan umik saja kewalahan mengaturnya yang tak seperti lelaki idamanku, Gus Azam. Agam memang berbeda dari kakaknya yang lebih memfokuskan diri di pesantren dan memperdalam ilmu agama.“Le, cepat bicara jangan malu-malu,” ucap Umik pada Gus Azam yang masih terdiam menunduk sesekali melirik aku dan Mbak Hasna.“Njeh Mi. Ngapunten, Bi, Mi, Azam berniat mengkhitbah salah satu putri Abi sama Ami. insyaallah Azam akan jadikan istri sehidup sesurga, semoga Allah meridhai.”Duh Gusti… dari cara bicaranya yang lembut membuat hati semakin berbunga-bunga.Mbak Hasna menyenggol lenganku, aku tersipu malu. Mbak Hasna tahu jika aku mengagumi Gus Azam sejak kami datang berkunjung ke pesantren umik dan abah.“Insyaallah,” jawab abi.“Azam ingin mengkhitbah Dik Hasna dan menjadikannya istri Azam.” Gus azam memandang Mbak Hasna dengan senyuman, kemudian kembali menatap abi dan ami bergantian.Mendengar ucapan Gus Azam, seketika senyum di bibirku memudar. Nama yang ia sebut 'Dik Hasna'.Ternyata bukan untukku lamarannya, mungkin aku yang terlalu kepedean saat Gus Azam memberikan perhatian dan senyuman saat kami berkunjung ke rumah abah dan umik. Apa yang aku pikirkan? Harusnya aku bahagia kakak tercintaku mendapat seorang pemuda yang baik dan soleh tentunya. Untuk perasaan mungkin aku bisa memangkasnya. Namun, itu artinya aku akan disandingkan dengan pemuda degil itu, Ilahi ya Rabb.Mbak Hasna memandangku sendu. “Dik,” ucapnya lirih.Kutahan air mata yang hendak mentes dan memaksa senyum di bibir. Ami dan Abah terlihat begitu bahagia.“Umik, Abah, Ngapunten tapi—”Aku memegang lengan Mbak Hasna. “Alhamdulilah, Mbak pantas dapat imam seperti Gus Azam.” Sakit sih, terasa nyeri di dada, tetapi mana mungkin aku meminta Gus Azam memilihku.“Ada apa Nduk? Apa kamu ndak suka sama Azam?” tanya ami sedikit khawatir, senyumnya memudar ketika melihat raut wajah Mbak Hasna.“Ami ndak usah khawatir, Mbak Hasna mungkin nervous, mana mungkin nolak Gus Azam, bisa ndak tidur nanti M
“Ada apa Hasna?” tanya ami penuh selidik.“Ngapunten Umik, Abah, tapi Halwa—”“Mbak!” pekikku memotong ucapan Mbak Hasna. "Ngapunten, Halwa kalih Mbak Hasna ke belakang sebentar, nggih." Aku mendorong kursi roda Mbak Hasna membawanya kembali ke dapur.“Mbak, apa yang Mbak lakukan? Jangan merusak kebahagian Ami sama Abah," sungutku ketika kami telah berada di dapur.“Dik, ndak bisa Mbak menikah sama Gus Azam sementara Mbak tahu kamu itu sukanya sama Gus Azam.”“Jangan keras-keras Mbak.” Aku berlutut di depan Mbak Hasna, agar lebih rendah darinya. “Gus Azam mau Mbak Hasna jadi pendampingnya, Halwa seneng ada laki-laki soleh yang bisa jagain Mbak Hasna. Ndak usah pikirin Halwa, kalau Halwa nikah sama Gus Agam kita bisa terus sama-sama, iya tha?”“Dik, ndak bisa gitu.”“Udah, pokoknya Halwa ndak mau Mbak Hasna bicara apapun sama Ami kalih Abi.”Aku kembali mendorong kursi roda Mbak Hasna menuju ruang tamu, tetapi ami datang menghadang kami.“Halwa, Hasna, apa yang kalian sembunyikan dari
“Ami, jangan bicara seperti itu. Halwa ndak salah.” Mbak Hasna memegang gamis Ami dan menariknya pelan.“Ngapunten Mi, Halwa ndak akan merebut Gus Azam. Halwa ndak ada pikiran seperti itu.”“Ami tahu, Halwa anak Ami yang soleha memang ndak mungkin berpikir seperti itu, Ami ndak mau dengar lagi kalian bahas ini. Hasna akan menikah dengan Azam dan Halwa dengan Agam. Ami ndak ingin sampai Abi dengar masalah ini. Dengar kata Ami kan, Nduk?”Ami menatapku bergantian dengan Mbak Hasna.“Nggih Mi,” jawabku serentak Mbak Hasna.“Ya sudah sekarang kalian mandi, anak gadis ndak boleh mandi sore-sore udah hampir Magrib, bada Magrib Ami sama Abi mau antar Mbak Hasna ke rumah Bu Hajjah lagi,” ucap ami sebelum pergi keluar kamarku dan Mbak Hasna.Mbak Hasna sudah beberapa kali terapi pijat di rumah Pak Yai kenalan Abi. Bu Hajjah sendiri yang mengobati kaki Mbak Hasna meskipun kata dokter sudah tidak ada kemungkinan untuk sembuh, tetapi abi dan mi tetap berusaha. Mereka bilang tidak ada yang tidak m
Selesai berjamaah kami mengaji sejenak, abi menyimak hafalan Qu'ranku dan Mbak Hasna, sementara Ami membantu Mbak Ida menyiapkan makanan. Mbak Ida gadis yang Ami rawat sejak ia berusia sepuluh tahun, siang dia ikut mengajar di madrasah dan akan kembali ke rumah sore hari sama sepertiku dan Mbak Hasna. Kami sudah berkumpul di meja makan menyantap hidangan makan malam sederhana yang dimasak oleh Ami. Di rumah kami tak ada pembantu semua dikerjakan oleh ami kadang aku membantu dan Mbak Hasna sebisanya, setelah mengajar di madrasah.“Mbak, bagaimana?” tanya abi setelah selesai menyantap makanannya.“Apanya Bi?” Mbak Hasna balik bertanya.Ia masih sibuk mengupas jeruk, buah kesukaannya. Di meja makan harus ada jeruk karena Mbak Hasna akan mencari buah itu setiap selesai makan. Sementara aku tidak menyukai buah. Jika ami tidak memaksaku selalu minum jus buah aku tak akan menyentuh yang namanya 'buah', entahlah buah apapun terasa tak menarik untukku. Ami akan selalu mengomel setiap pagi jik
“Pelan-pelan Nduk.” Ami mengusap pelan bahu Mbak Ida.“Pelan-pelan aja Mbak, Halwa ndak minta, kok. Habisin aja, habisin. Kalau kurang tambah lagi,” ucapku meledek.“Halwa,” panggil abi lirih,Aku tersenyum dan menutup mulut.“Anak Abi yang satu itu memang suka banget kalau meledek.” Mbak Hasna kembali melempar bantal.“Entah Halwa ini.” Ami mencubit pelan pipiku.“Ida ke kamar dulu, Abi, Ami. Pengen rebahan bentar.”“Iya, Nduk. Istirahat, kamu pasti capek,” jawab ami.Aku masih memandang bahu yang bergoyang menjauh milik Mbak Ida, hingga ia menghilang di balik tangga. Entah mengapa aku merasa ada yang aneh dengan Mbak Ida, seperti ada yang disembunyikan. Ah, sudahlah, aku tidak ingin suudzon. Dosaku saja sudah banyak ditambah pikiran buruk, bisa tertimbun di arang neraka nanti aku.“Mi, sepertinya Abi sudah dapat calon buat Ida,” ucap Abi.“Iya tha? Siapa Bi?” tanya ami antusias.“Itu loh anaknya Yai Salman, si Maher.”“Maher Fauzan lulusan Kairo itu, ya Allah beneran dia mau ta'aruf
Kusiapkan segelas susu dan biskuit lalu mengantar ke atas, ke kamar Mbak Ida. Ami dan abi tak pernah membedakan kami, kamar Mbak Ida tak jauh berbeda denganku dan Mbak Hasna. Tadinya kami bertiga tidur di lantai dua. Sekarang kamar tempat kami di lantai dua kosong dan digunakan abi untuk menyimpan buku-buku juga berkas-berkas, lebih tepatnya menjadi kamar kerja milik abi saat ia menghitung hasil peternakan sapi perah miliknya yang dikelola Paman Adam, adik abi. Abi mempercayakan semuanya termasuk kebun peninggalan Mbah Kung kepada Paman Adam dan Paman Faiz yang tinggal di desa bersama Mbah Putri dan Mbah Kung, sementara abi fokus mengurus dan mengabdi mengembangkan madrasah.Selain mengurus madrasah abi juga menjual keterampilan karya anak-anak yang nantinya hasil jualan akan dimasukan untuk keperluan madrasah. Mbak Ida yang mengajar mereka untuk melukis, sementara Mbak Hasna mengajar mereka membuat kerajinan tangan dan menjahit agar mereka memiliki keterampilan lain. Madrasah milik a
Kurebahkan tubuh di atas ranjang setelah mengambil buku The Miracle Of The Qur'an, buku karya Caner Tasalman, buku yang sudah berulang kali kubaca. Buku riset yang mengkaji tentang hubungan intim antara Al-Qur'an dan sains modern. Buku ini mengungkap bagaimana Al-Qur'an menjabarkan berbagai macam fenomena, hingga bagaimana sebuah kehidupan dalam rahim terjadi. Selain itu buku ini juga menjelaskan bagaimana Al-Qur'an mencakup filsafat-filsafat dan fisika yang begitu rumit. Selain pembahasan yang sudah sedemikian luas dicakup Al-Quran, ditampilkan pula penerapan kode matematis ajaib pada buku tersebut. Kajian dalam topik-topik buku ini menyempurnakan pengakuan tak terbantahkan bahwa Al-Qur'an adalah karya Tuhan dan bukan karangan manusia. Wallahualam, semua kebenaran ada pada Allah.Caner Taslaman melakukan risetnya di Istanbul, Turki. Kota tempat kelahirannya. Setelah menamatkan tingkat sarjana di Universitas Bosphorus, dia meraih gelar master dalam kajian Filsafat dan Agama di Univers
Mbak Hasna memutar roda kursinya dan mendekati ami memeluknya bersamaku.“Ngapunten nggih Mi, Hasna selalu ngrepotin Ami, Hasna selalu minta tolong sama Ami.”“Mbak Hasna ndak boleh ngomong seperti itu, kalian anak-anak Ami ndak ngerepotin Ami, Nak.” Ami mencium pucuk kepalaku dan Mbak Hasna bergantian. “Nduk, kalian saudara, kalian lahir dari rahim dan titisan yang sama. Hanya berbeda beberapa menit. Ingat pesan Ami, apapun yang terjadi jangan pernah bertengkar, kalian harus saling melindungi, yo Nduk.”Aku dan Mbak Hasna sama-sama mengangguk dalam dekapan ami.“Udah, Ami ndak boleh seperti itu, kasihan anak-anak kalau nanti sampai kepikiran," kata abi menghentikan acara haru kami.“Besok, keluarga Umik sama Abah akan datang. Halwa, ingat Nduk, ingat yang Ami katakan, kalian saudara, jangan egois dan apapun yang terjadi jangan saling menjatuhkan. Dik Halwa di jaga sikapnya, meski Umik dan Abah sudah seperti orang tuamu, tetapi mereka tetap mertua Nduk, kalian harus lebih menjaga sika