Share

Wanita Lain Di Hati Suamiku
Wanita Lain Di Hati Suamiku
Author: ER_IN

Lamaran Berujung Lara

“Kami itu datang niatnya mau lamar putri Mbakyu sama Ustaz Husein buat anak-anak.” Aku tersenyum dalam hati mendengar ucapan umik.

Pasalnya umik datang bersama Gus Azam dan abah membawa lamaran. Tentulah wanita mana yang tak bahagia mendapat lamaran dari Gus Azam yang terkenal dengan wajah tampannya. Lebih dari itu, tutur bahasa dan akhlaknya begitu lembut, kesopanan yang membuatku terkagum dengan sosok gus muda tersebut. Aku mengintip dari balik tembok melihat Gus Azam duduk di lantai beralaskan karpet. Dia selalu seperti itu setiap datang ke rumah kami, duduk di bawah sementara di kursi ada orang yang lebih tua, padahal ami dan abi sudah menyuruhnya untuk duduk di atas, ia selalu menolak.

“Ya Allah Dik Farrah, ini beneran to? Ndak mimpi?” Ami begitu antusias, senyum merekah dari kedua wanita yang sangat kusayangi itu.

“Loh ya beneran to, Mbak. Lha wong ini udah direncanain ana sama Kang Husein lama.” Abah ikut menimpali.

Persahabatan mereka memang terjalin sejak dulu. Abah dan abi teman dekat, sama-sama mendirikan pesantren milik abah saat mereka muda, tetapi sekarang abi memilih mengurus Aliyah yang ia dirikan sendiri.

“Sek ya, tak panggilin anak-anak.” Ami tergesa hendak ke dapur. Aku bergegas kembali ke meja makan mengaduk minuman yang sudah kusiapkan, berpura-pura tidak tahu pembicaraan mereka.

“Dik Halwa, Mbak Hasna, Nduk sini cepet.” Ami melambai tangan pada Mbak Hasna yang masih di depan wastafel. Aku membantu Mbak Hasna mendorong kursi rodanya dan menuju ami. Mbak Hasna sudah lama tak bisa berjalan, semua aktivitasnya harus menggunakan kursi roda.

“Ada apa to Mi, kok seneng banget, kayak dapat emas sekarung aja,” ucap Mbak Hasna yang belum tahu tentang rencana umik dan abah.

“Sudah, ayo kita keluar dulu, Mbak Hasna biar sama Ami, Nduk. Dik Halwa bawa minumannya.”

Aku mengangguk dan kembali mengambil minuman di atas meja, tak lupa kusiapkan kue buatanku dan Mbak Hasna pagi tadi.

Kusajikan minuman dan kue di atas meja, “Monggo, Umik, Abah, Gus.”

“Nggeh, Nduk. matur suwun, kok repot-repot.” Umik membantuku menurunkan kue yang ada di nampan.

“Kue buatan anak-anak ini Dik. Mereka lagi kursus masak online sama sif yang terkenal itu loh. Sif siapa Nduk? Amik lupa, Pinguin, eh… Sarah Kuin, siapa itu?”

“Sef yang di tv itu, Yu? Yang dulu sering kita nonton waktu ngekos itu?”

“Iya, yang sampean pingin banget bisa belajar masak sama dia itu loh Dik.”

“Chef Mi bukan sif, Chef Farah Quin bukan pinguin, pinguin yang di kutub utara,” jawab Mbak Hasna yang disambut tawa oleh semuanya.

“Lha itu, sif eh Chef yang cantik banget itu. Sif sama Chef lak yo sama aja to Nduk.” Ami ikut tertawa.

Aku tersenyum puas saat melihat mereka dengan lahap memakan kue buatanku dan Mbak Hasna.

“Enak yo Bah, ini kalau punya mantu pinter buat kue bisa naik lagi gula darah Umik.” Umik kembali mengambil sepotong roti dengan taburan keju melimpah dan juga coklat di tumpukan roti bagian tengah.

“Umik Ndak usah makan, biar Abah sama Azam aja. Wong Umik kalau lihat kayak beginian gak bisa tahan,” cetus abah.

"Ndak papa Bib, yang penting ndak kelewatan. Sayang to kalau punya mantu pinter masak ndak bisa nikmati," balas abi.

Melihat keakraban mereka yang sudah seperti kakak dan adik kandung membuatku senyum senyum sendiri, kekeluargaan yang sejatinya terjalin dari tolong menolong.

“Nduk, ini Abah sama Umik kesini mau mengirim lamaran untuk kalian berdua.” Abah menaruh secangkir teh hangat yang ada dalam genggamannya. “Agam ndak bisa datang, dia masih di luar kota,” sambung abah lagi.

Batinku tak tenang, aku pikir abah dan umik hanya mengirim lamaran untuk Gus Azam ternyata juga untuk pemuda tengil itu. Ah, mana mungkin Mbak Hasna menikah dengan bocah tengil itu, bagaimana nasib kakakku nanti.

Aduh, mana berani Mbak Hasna menolak, terlebih ia akan memikirkan ami dan abi, pastinya ia akan pasrah menerima bocah tengil yang tak punya sopan santun itu.

Agam, aku tak begitu mengenal sosok itu. Menurut kabar di pesantren abah, Agam merupakan pemuda yang susah diatur, abah dan umik saja kewalahan mengaturnya yang tak seperti lelaki idamanku, Gus Azam. Agam memang berbeda dari kakaknya yang lebih memfokuskan diri di pesantren dan memperdalam ilmu agama.

“Le, cepat bicara jangan malu-malu,” ucap Umik pada Gus Azam yang masih terdiam menunduk sesekali melirik aku dan Mbak Hasna.

“Njeh Mi. Ngapunten, Bi, Mi, Azam berniat mengkhitbah salah satu putri Abi sama Ami. insyaallah Azam akan jadikan istri sehidup sesurga, semoga Allah meridhai.”

Duh Gusti… dari cara bicaranya yang lembut membuat hati semakin berbunga-bunga.

Mbak Hasna menyenggol lenganku, aku tersipu malu. Mbak Hasna tahu jika aku mengagumi Gus Azam sejak kami datang berkunjung ke pesantren umik dan abah.

“Insyaallah,” jawab abi.

“Azam ingin mengkhitbah Dik Hasna dan menjadikannya istri Azam.” Gus azam memandang Mbak Hasna dengan senyuman, kemudian kembali menatap abi dan ami bergantian.

Mendengar ucapan Gus Azam, seketika senyum di bibirku memudar. Nama yang ia sebut 'Dik Hasna'.

Comments (1)
goodnovel comment avatar
Samsul Amri
ami bukannya paman ya?
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status