Anne Lucas, dengan kecantikannya yang begitu memesona berhasil menarik perhatian seorang Luciano Enzio. Supermiliader, filantropis, aktivis dan tak lupa predikat bujangan paling diagungkan di lingkungan sosial atas. Segala macam pujian dipersembahkan oleh semua orang untuk pria itu. Tetapi Anne tak pernah terkecoh dengan semua topeng pria itu yang digunakan untuk menjilat kedua orang tuanya demi restu mereka untuk menikahkan Anne dengan Luciano. Ia tahu, di balik kesempurnaan Luciano. Pria itu tak lebih dari pria tua mesum yang berengsek. Segala cara ia lakukan untuk merobek topeng dan menunjukkan pada dunia wajah Luciano yang sebenarnya. Termasuk menghancurkan tubuhnya yang berhasil menarik pria itu. Tetapi, semua rencananya tak berhasil mengusik Luciano untuk memilikinya. Hingga semakin ia mencari tahu siapa sebenarnya Luciano, Anne serasa disambar petir. Siapakah sesungguhnya Luciano Enzio itu?
View MorePlaakkkâŠ
Satu tamparan mendarat dengan keras di pipi Anne. Yang sudah dipoles riasan pengantin dengan sempurna. Rasa panas menjalar di seluruh permukaan pipinya. Wajahnya terputar ke samping, saking kuatnya dorongan dari tamparan tersebut hingga tubuhnya tersungkur ke lantai dan testpack berwarna merah muda dengan dua garis biru yang saling bersilang itu meluncur jatuh ke lantai dan berhenti tepat di sepasang kaki yang mengenakan sepatu putih. Yang baru saja muncul.Pandangan nanar Anne mengikuti benda pipih itu hingga berhenti. Air mata yang menggenang di kedua kelopak mata membuat pandangannya mengabur, tetapi saat wajahnya bergerak naik ke atas dan tatapannya bersirobok dengan kedua mata hijau gelap tersebut. Air mata Anne jatuh. Bukan karena betapa ia sudah menyakiti pria itu, tetapi karena betapa puasnya ia telah mengecewakan pria itu. Kebencian di dadanya bergemuruh terhadap sosok yang saat ini mengenakan setelan putih dengan setangkai bunga mawar dan saputangan merah di saku jas pria itu, yang berdiri di ambang pintu.Pria itu membungkuk, mengambil benda pipih tersebut dan tampak terkejut menemukan dua garis biru sebagai hasilnya. Ya, ia positif hamil. Dan betapa sempurnanya kejutan ini datang di waktu yang tepat. Tepat di hari pernikahannya dengan pria itu, dan hanya beberapa menit sebelum upcara pernikahan dimulai.Ia telah berhasil memberikan tamparan telak terhadap pria itu. Kali ini, pria itu akan menyerah dan menerima kenyataan. Bahwa tidak semua hal yang diinginkan pria serakah itu akan didapatkan. Pelajaran besar dan cukup mengejutkan."Kau benar-benar mengecewakan dan mempermalukan keluarga kami, Anne." Kemarahan Johnny Lucas terhadap sang putri benar-benar tak mampu ditahannya. Kekecewaan yang memucatkan wajah pria paruh baya tersebut berhasil mengalihkan perhatian Anne. Sungguh, dalam hatinya ia tak berhenti meminta maaf dan merasa bersalah terhadap ayah, juga ibunya yang terduduk lemah di pinggiran kasur tempat tidurnya. Dengan wajah penuh air mata.Anne sama sekali tak berniat menyakiti kedua orang tuanya yang begitu baik. Tetapi ia benar-benar sudah kehilangan cara untuk menolak pernikahan ini. Ia benar-benar sudah putus asa untuk membuktikan bahwa Luciano Enzio, calon suaminya adalah pria kejam yang telah menggunakan cara licik untuk masuk ke dalam keluarga mereka. Pria itu tak lebih dari pria tua mesum yang berengsek. Semua topeng kebaikan yang ditampilkan pada mereka semua adalah kedok untuk niat dan tujuan yang tidak baik. Yang setengah mati berusaha Anne buktikan pada kedua orang tuanya.Semua rencana ini terjadi bukan karena betapa bodohnya kedua orang tuanya, melainkan betapa baiknya mereka sehingga tak pernah mengetahui taring tajam yang tersimpan di balik bibir Luciano."Tuan Enzio," panggil Johnny dengan penuh sesal pada Luciano yang berdiri terpaku dengan testpack milik putrinya berada di tangannya. "Kami sungguh-sungguh minta maaf untuk peristiwa tidak terduga ini. Kami akan menjelaskan pada para tamu undangan bahwa pembatalan pernikahan ini, sepenuhnya kesalahan dari pihak kami. Maafkan kami telah mempermalukan Anda dan keluarga Anda."Kedua mata Anne membelalak tak percaya akan ide konyol papanya. Dengan gaun pengantin yang begitu besar, Anne bersusah payah bangkit berdiri dari lantai dan menggeleng dengan keras. "Tidak, Pa. Ini bukan kesalahan âŠ""Cukup, Anne!" raut wajah penuh penyesalan Johnny seketika berubah gelap dan dipenuhi kemurkaan ketika berhadapan dengan wajah putrinya. Seumur hidup, belum pernah Anne mendapatkan kemarahan yang begitu besar dari sang papa. Yang tentu saja membuat wanita itu tercengang dengan keras. Sudah cukup mengejutkan tamparan yang diberikan papanya yang masih terasa memanas di pipinya sekarang. "Kau sama sekali tidak berhak mengucapkan satu patah kata pun," geramnya dengan menunjukkan jari ke arah wajah sang putri."Siapakah pria itu?" Suara Luciano bergetar oleh kecewa yang teramat besar. Keterkejutan yang besar terpasang di raut wajahnya dengan begitu sempurna. "Siapakah pria yang menjadi ayahnya?""Siapa pun itu, dia telah menodai putri saya dan saya akan memastikan bahwa dia tidak akan diterima di keluarga ini," sumpah Johnny dengan tatapan tajamnya yang menusuk tepat di kedua mata sang putri.Keheningan yang begitu menegangkan membentang di seluruh ruangan kamar Anne. Satu-satunya suara hanyalah isak tangis Julia Lucas, ibu Anne."PaâŠ""Cukup, Anne!" penggal Johnny bahkan sebelum satu kata berhasil terlepas dari ujung lidah sang putri. "Setelah mengurus acara pernikahan ini, kita akan berbicara mengenai masalah ini lebih lanjut," pungkasnya sebelum kemudian melangkah ke ambang pintu kamar, tempat Luciano masih berdiri dengan testpack di tangan kanan."Saya mencintai putri Anda dengan tulus, Tuan Lucas," pengakuan yang diucapkan dengan begitu lirih tersebut berhasil membekukan langkah Johnny.Luciano mengangguk meyakinkan ketika tatapannya bertemu dengan Johnny Lucas. Memasukkan testpack di tangannya ke dalam saku celana dan melanjutkan, "Saya akan menerima putri Anda, apa pun keadaannya. Jika Anda masih merestui pernikahan kami, pernikahan ini akan tetap berlangsung."Kedua mata Johnny membelalak lebar oleh ketidak percayaan, berikut isak tangis Julia yang seketika terhenti. Pasangan paruh baya tersebut menatap Luciano dengan penuh keheranan. Mempertanyakan kesungguhan Luciano.Dan sungguh, Anne bersumpah melihat seringai gelap Luciano ketika tatapan mereka sempat bertemu. Untuk sepersekian detik."Omong kosong!" sembur Anne. Kepanikan segera menyerangnya dengan keras. "Tidak, pernikahan ini tidak akanâŠ""Diam, Anne!" Sekali lagi Johnny membentak putrinya. "Melihat penolakanmu, hanya semakin meyakinkan papa untuk memenuhi keinginan Luciano."Anne menggelengkan kepalanya dengan isakan yang lebih dalam. Air mata membanjir memenuhi seluruh permukaan wajahnya dan tak menyangka balasan serangan Luciano akan segila ini. Anne benar-benar tak berdaya ketika papanya beralih menatap Luciano dan mengatakan bahwa keputusan sepenuhnya berada di tangan pria itu.Anne belum pernah merasa tak berdaya sebanyak ini. Tubuhnya jatuh meluruh di lantai dan isakannya semakin keras dan menyayat hati. Kedua orang tuanya berjalan keluar dari kamarnya.Luciano menatap punggung Anne yang bergerak naik turun dengan seringai yang tertarik di salah satu ujung bibirnya. Sebelum menarik pintu kamar wanita itu tertutup dan menyuruh perias untuk mengurus persiapan dalam sepuluh menit.Semua berjalan dengan begitu cepat. Dengan digandeng oleh Johnny, Anne berjalan menuju altar pernikahan dan Luciano yang menunggu dirinya di hadapan pendeta. Sumpah pernikahan, pengesahan pendeta, pertukaran cincin, dan Luciano menyempurnakan jeratannya dengan ciuman di bibirnya."Sekarang. Sepenuhnya kau menjadi milikku, istriku," bisik Luciano di telinga Anne.Seluruh tubuh Anne merinding oleh kebencian yang begitu mendalam. Hingga rasanya merasuk ke dalam tulang sumsum nya. Dan ia bisa merasakan seringai pria itu menempel di kulit lehernya.Senyum bahagia yang dipenuhi kepuasan tertampil dengan sempurna apik di wajah Luciano ketika pria itu bergerak menjauhkan wajah darinya. Menyusul tepuk riuh para tamu undangan.Semua berjalan begitu singkat dan Anne hanya membiarkan semua terjadi begitu saja dengan tanpa daya. Acara resepsi, hingga Luciano membawanya ke salah satu hotel mewah untuk keduanya bermalam."Apakah sekarang kau mengerti posisimu?" Pertanyaan Luciano akhirnya memecah kebisuan yang berusaha keduanya pertahankan ketika keduanya sudah masuk ke dalam ruangan presiden suite hotel dengan dekorasi yang dikhususkan untuk pasangan pengantin baru. Meja yang diatur di samping dinding kaca. Dengan botol anggur dan dua gelas kosong. Anne bersumpah tak akan meminum cairan itu.Anne benar-benar dibuat tak berkutik oleh kekuasaan Luciano Enzio, bahkan menghadapi kendali pria itu terhadap kedua orang tuanya. Dan yang membuat Anne semakin mendendam adalah dirinya yang tak mampu menghadapi ketakutannya, seberapa keras pun ia mencoba bersikap berani.Luciano melangkah mendekat dengan perlahan. Dengan seringai yang semakin gelap."Hamil anak pria lain? Kaupikir itu akan menghalangiku untuk memilikimu?" Luciano menyentuhkan ujung jemarinya di dagu Anne. Sedikit mendongakkannya sehingga tatapan tajam dan kejinya mengunci manik ketakutan wanita itu yang bergetar hebat. "Well, bahkan aku sudah memikirkan cara yang terburuk hanya demi kau menjadi milikku, Annie sayang. Termasuk mematahkan kedua kaki dan tanganmu, sehingga tak ada siapa pun yang menginginkanmu, bahkan jika itu demi rasa iba mereka.""Dan satu-satunya hal yang tersisa darimu hanyalah jatuh ke dalam kepasrahan untuk membutuhkanku, istriku." Luciano memungkasi ancaman kejinya dengan menjatuhkan tubuh Anne di tengah tempat tidur. Kemudian mengoyak gaun merah muda yang dikenakan Anne dan membiarkan kain itu teronggok di lantai dengan menyedihkan."Untuk jatuh di bawah kakiku," bisik Luciano dengan seringai gelap ketika berhasil menindih tubuh Anne di bawahnya.****Lanjutttt?Silahkan komen dan bintangnya, ya."Jadi memang ya?" Anne mendorong dada Luciano menjauh. Kedongkolan tampak jelas memekati rautnya yang muram. Menyentakkan tangan Luciano yang masih melingkari pinggangnya."Aku tidak mengatakan tidak. Itu terdengar seperti sebuah kebohongan, Anne. Kau tak akan menyukainya.""Tidak. Kau salah besar, Luciano.""Lalu apa yang kau inginkan?" Suaranya mulai diselimuti kefrustrasian. "Aku lebih baik mendengar kebohongan. Aku akan mempercayaimu. Selama kau yang mengatakannya."Luciano membelalak. Mulutnya membuka nutup tak percaya. Belum pernah ia setercengang ini menghadapi kelabilan Anne. "Jadi kau lebih suka kebohonganku?""Sekarang, tidak keduanya. Kau memang tak pernah memahami wanita, Luciano. Tak pernah memahamiku sebagai seorang istri. Sebagai pasangan. Sebagai satu-satunya wanitamu. Kau yakin kau menganggapku sebagai istrimu? Bukan hanya sebagai wanita pemuas nafsumu seperti mereka?""Kau tahu itu tidak benar, Anne. Jangan mengada-ada sesuatu yang tak pernah benar."Anne mengibaska
Suasana pesta sudah ramai dan ballroom sudah dipenuhi kemeriahan serta canda tawa. Suara musik yang mengalun lembut sebagai latar belakang kemewahan pesta tersebut menyambut Anne dan Luciano yang bergandengan mesra memasuki ruangan yang luas dengan hiasan bunga dan kerlap-kerlip lampu di mana-mana.âApakah Faraz dan Estelle akan datang?ââMereka sudah putus, Anne. Kenapa mereka datang bersama?ââSiapa bilang mereka sudah putus. Tadi pagi aku menelpon Estelle dan yang menjawab Faraz. Mereka jelas masih sering tidur bersama. Faraz benar-benar memanfaatkan Estelle. Kenapa meniduri wanita jika tidak berniat menikahinya.ââHmm, itu urusan mereka.âAnne mendadak terdiam dengan reaksi penuh ketenangan Luciano. Kedua alis wanita itu saling bertaut ketika menoleh ke samping dengan. âApakah gaya berkencan kalian memang seperti itu?ââSiapa kalian?ââKau dan Faraz.ââHanya Faraz, Anne. Kenapa kau membawa-bawa namaku?ââMeski sekarang aku satu-satunya wanita yang tidur denganmu, kau pikir aku per
âLaki-laki lagi?â Luciano mengangkat salah satu alisnya. Suara rengekan baby Zha mulai tenang dalam gendongan Anne.âYa. Kau tak suka?âLuciano menggeleng. âLaki-laki atau perempuan, aku tak pernah mempermasalahkannya, Anne. dia anakku.ââMamaku bilang, saat kau melahirkan anak perempuan. Itu artinya kau menciptakan musuh bebuyutanmu.âMata Luciano membulat tak percaya, lalu terbahak dengan keras hingga gigi geraham pria itu terlihat.âKenapa kau tertawa? Kau pikir itu lucu?âLuciano menggeleng. Mencoba menghentikan tawanya karena baby Zha yang mulai bergerak tak nyaman. âApa maksudmu dengan menciptakan musuh bebuyutan?â tanyanya, berusaha menahan tawanya kembali terlepas.âDia bahkan bisa menjadi lebih licik dari wanita-wanita yang mencoba memisahkan kita, Luciano.ââDia putrimu.ââItulah sebabnya aku ingin seorang putra. Aku tak mau memusuhi putriku sendiri.ââApakah kau memusuhi ibumu?âAnne terdiam, tampak mengingat-ingat lalu mengangguk. âSetiap kali mama dan papa saling berdekat
Anne terbangun karena dorongan dari dalam perut yang membuatnya gegas turun dari ranjang. Memuntahkan semua makan malamnya yang bahkan tak seberapa. Semakin hari gejala kehamilan datang semakin intens. Bahkan pusing yang semakin sering datang jika ia kurang tidur atau terlalu banyak tidur.Setelah beberapa saat, akhirnya napasnya kembali normal dan tenaganya memulih. Ia bangkit berdiri, menyeka wajahnya di wastafel. Menatap wajah pucatnya yang rasanya sedikit gemuk.Rasanya selera makannya menurun akhir-akhir ini. Meski tak pernah melewatkan jadwal makannya dan memaksa makanan masuk ke mulutnya. Setidaknya untuk memenuhi gizinya dan janin dalam kandungannya. Yang sepertinya lebih banyak dibantu oleh susu ibu hamil dan vitamin.Tubuhnya berputar, hendak keluar ketika tersentak dengan keras dan nyaris berteriak saking kagetnya dengan sosok yang bersandar di pinggiran pintu.âL-luciano?â Suara Anne tercekat. Berusaha meredakan jantungnya yang berdegup kencang. Matanya berkedip beberapa k
Anne tak tahu ke mana Luciano membawa baby Zha pergi. Ia hanya menunggu di rumah selama berhari-hari. Berharap pria itu akan datang untuk pulang. Tetapi hingga satu minggu berlalu, Anne masih sendirian. Tak berhenti merasa sendirian dan kesepian meski beberapa kali Ibra menghubunginya dan menanyakan keadaannya.Anne berusaha menghubungi Farz untuk mencari tahu di mana pria itu dan putranya. Tapi lagi-lagi jawaban Faraz tak pernah memuaskannya.âAku tahu kau tahu di mana mereka berada, Faraz. Siapa pun tak ada yang tahu, kecuali kau.âFaraz mendesah pelan. Menurunkan kedua tangannya di meja. âKalau begitu kuralat jawabanku. Aku tak bisa memberitahumu.ââSetidaknya minta Luciano bicara denganku. Apakah dengan pergi akan menyelesaikan masalah?ââLalu apakah dengan meminta cerai juga akan menyelesaikan permasalahanmu?âAnne menutup mulutnya. Jatuh terduduk di kursinya. âAku tak bermaksud mengatakannya,â sesalnya dalam gerutuan yang lirih. Wajahnya tertunduk lunglai.Faraz menatap Anne se
âIbra?â Anne terkejut dengan kemunculan Ibra yang berjalan memasuki ruangan.âHai.â Ibra melangkah masuk, lekas mendekati ranjang dan menyentuhkan telapak tangannya di kening baby Zha. âPanasnya sudah turun.ââKau di sini?â Anne menatap jam di dinding yang baru saja melewati tengah malam.âEsther mengirimiku pesan. Luciano tiba-tiba membatalkan pertemuan untuk besok karena baby Zha masuk rumah sakit. Butuh beberapa jam untuk sampai, jadi aku datang.ââKau tak perlu datang.ââAku sudah datang, jadi jangan menyuruhku pulang.â Ibra kembali menatap baby Zha. âApa kata dokter?ââHanya demam. Tapi masih menunggu hasil tes untuk kepastiannya. Mungkin besok pagi. Kuharap semuanya baik-baik saja.ââYa, mungkin hanya kelelahan karena seharian main bersama mama dan papaku.ââYa, kuharap. Terima kasih sudah datang.âIbra menarik kursi mendekat ke ranjang pasien. âSepertinya kau belum tidur sama sekali.ââTadi sempat tertidur, tetapi terbangun karena rengekannya dan langsung ke rumah sakit.ââTidu
Melihat kedua orang tua Ibra, rasanya seperti meluapkan kerinduannya terhadap kedua orang tuanya. Anne memeluk dalam-dalam mama Ibra, berharap pelukan itu adalah pelukan mamanya sendiri. Begitu pun dengan papa Ibra yang mengusap ujung kepalanya dengan penuh kasih.âSudah lama tak melihatmu, Anne. Dan putramu sudah semakin besar sejak terakhir kali om lihat.âAnne tertawa. Melihat papa Ibra yang menggendong baby Zha, dalam benaknya seolah adalah papanya sendiri yang menggendong putranya. Keinginan dan harapan terbesar papanya yang belum sempat ia tunjukkan pada sang papa.Ibra menyodorkan sapu tangannya ke arah Anne.âTerima kasih.â Anne mengusap ujung matanya yang basah. Kembali menatap kedua orang tua Ibra yang kini tertawa gemas dengan celotehan baby Zha.Ibra merangkul Anne, menjatuhkan kepala wanita itu ke pundaknya. Sedikit meredakan kerinduan Anne pada kedua orang tua wanita itu di tengah keluarganya. âKau tahu kau tak pernah sendirian di dunia ini, Anne. Kami keluargamu.âAnne
Anne sengaja memejamkan matanya begitu mendengar suara langkah kaki dari arah belakang punggungnya. Berusaha memancing rasa kantuk yang sejak tadi sulit datang meski jam sudah melewati tengah malam karena Luciano belum pulang. Tak biasanya pria itu pulang larut dan tanpa kabar seperti ini.Marah, sedih, dan kecewa. Pada dirinya sendiri dan pada pria itu. Ialah yang memulai perang dingin ini lebih dulu. Tetapi kenapa balasan dari Luciano juga terasa begitu menusuk dadanya. Mengiris hatinya dengan cara yang paling buruk. Apakah keraguannya layak dibalas dengan pengkhianatan pria itu?Suara pintu kamar mandi yang ditutup membuat mata Anne kembali terbuka. Menatap pintu tersebut dengan genangan yang mulai membentuk di kedua mata.Selama seminggu lebih, Anne dan Luciano masih tak saling bicara. Anne selalu bangun kesiangan dan Luciano sudah berangkat ke kantor, malamnya Anne selalu tidur lebih dulu karena Luciano pulang larut malam. Keduanya nyaris tak saling berkomunikasi. Satu-satunya ya
âMungkin ini terlambat dan sedikit sengaja. Tapi ⊠bagaimana pun selamat untuk kalian berdua.â Luciano memecah keheningan yang cukup lama membentang di tengah meja. Terutama dengan sang istri yang lebih banyak menatap isi piring yang sejak tadi hanya berkurang dua potong.âYa, kuharap kalian bisa datang di acara pernikahan kami.ââYa. Kami akan datang. Benar, kan sayang?â Luciano menoleh pada Anne, yang duduk di sampingnya.Anne mengangkat wajah lalu mengangguk singkat. Pelayan datang untuk membawakan pesanan Ibra dan Esther. Pesanan yang sama. Pandangan wanita itu tak lepas dari Ibra yang memotong kecil-kecil daging panggang di depannya sebelum menukarkan dengan piring milik Esther.âTerima kasih, Ibra,â senyum Esther dengan tatapan yang mesra, yang ditanggapi Ibra dengan senyum yang tak kalah lebarnya.Anne mencoba mengalihkan pandangan, sibuk pada isi piringnya sendiri yang entah kenapa rasanya menjadi hambar. Mulutnya terasa pahit. Ya, ia akui ada kecemburuan yang tersemat di cela
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Comments