Nara: Gimana, Mas? Kamu berhasil ketemu sama Hanum?Hanum membaca pesan pertama yang dikirim oleh Nara. Kemungkinan besar pesan itu dikirim saat Dava sampai di kontrakan Hanum. Tidak hanya itu, di bawahnya masih ada dua pesan lagi yang Nara kirim, kemungkinan besar saat pesannya tidak Dava balas.Nara: Sepertinya Hanum mau menerima kamu, apakah malam ini kamu tidur di sana?Di jam yang berbeda Nara juga mengirimkan pesan untuk yang ketiga kalinya. Kemungkinan besar pesan itu dikirim saat Dava dipastikan tidak akan pulang, karena pesan tersebut dikirim tepat pukul satu malam.Nara: Alhamdulillah kalau Hanum sudah bisa menerima kamu.Setelah membaca pesan terakhir dari Nara, Hanum memijat pangkal hidungnya yang terasa pening, ketika ingatannya kembali ke masa lalu, ketika Hanum mengabaikan isu kalau Nara menyukai suaminya. "Ternyata bener ya, Ra. Lu suka sama laki gue."Tidak lama setelah selesai membaca semua pesan dari Nara, handphone Dava kembali bergetar, notifikasi pesan masuk yang
Nasi sudah menjadi bubur. Bukan berarti rasanya sudah tidak enak bukan? Semua tergantung bagaimana cara kita menyikapinya. Hanum yang terlanjur ada di posisi sekarang, mau tidak mau harus merelakan suaminya melaksanakan kewajiban bersama istri keduanya demi mencapai tujuan awal mereka dan segera mengakhiri semuanya.Setelah berdiskusi saat diperjalanan, siangnya Dava pulang ke rumah lama, mengantarkan Nara ke rumah barunya yang memang jaraknya tidak terlalu jauh dari kediaman Hanum."Yakin udah nggak ada yang ketinggalan?" tanya Dava setelah mereka berdua duduk di dalam mobil."Nggak ada, Mas. Lagian kan aku ke sini cuma bawa baju," jawab Nara sambil melihat ke arah Dava."Ya udah, ayo kita jalan."Pedal gas mulai diinjak, mobil mewah berwarna hitam itu mulai melaju dengan kecepatan rendah keluar melewati gerbang utama."Hati-hati, Pak," ucap security seraya memberikan hormat.Dava mengangguk. "Titip rumah ya, Pak.""Siap, Pak. Tenang aja."Beristrikan dua bukan tidak jadi perbincanga
Dering ponsel berbunyi. Hanum yang saat ini sedang menangis sambil duduk di depan televisi pun menurunkan kakinya dari sofa, mengambil handphone di atas meja, lalu membaca isi pesan dari Gina.Gina: Lagi apa, Num?Selesai membaca, ia pun mengetik balasan.Hanum: Lagi santai aja.Gina: Sama laki lu?Hanum: Iya, dia ada di samping gue.Tidak lama setelah itu bel pintu berbunyi. Hanum meletakkan handphonenya di tempat semula, lalu mengusap air mata sambil berjalan menuju pintu.Sebelum membuka pintu, Hanum coba menetralkan perasaannya yang sedang kacau dengan menarik napas panjang, lalu menghembuskannya secara perlahan. Setelah merasa lebih tenang, pintu pun dibuka dan langsung terkejut saat melihat siapa yang datang."Gina?""Iya gue. Boleh gue masuk?""Masuk?" Ada keraguan dalam hati Hanum, pasalnya kurang dari lima menit yang lalu dia berkata kalau saat ini dirinya sedang bersama Dava. Namun, pada kenyataannya Dava tidak ada di sana, melainkan sedang bersama Nara."Nggak boleh, ya?" t
"Nara aku ...." Dava menurunkan tangannya, dia tidak sanggup untuk meneruskan ucapannya."Kenapa? Kamu masih mau menundanya, Mas?" tanya Nara."Ng–nggak," jawabnya terbata."Aku tau kenapa kamu bikin teh manis di sini, aku tau kenapa kamu ngajak aku nonton dulu, aku tau kamu sedang berusaha. Yah, walupun kesannya kamu seperti menghindar. Atau memang sedang menghindar?""Aku butuh suasana yang berbeda, aku butuh atmosfer yang mendukung, aku butuh beberapa proses.""Nggak usah terburu-buru. Kita akan melakukannya melalui beberapa proses.""Maksud kamu?" Mendadak Dava seperti orang bego.Nara melangkah maju satu langkah, mendongakkan kepalanya seraya mengecup singkat bibir Dava, lalu ia meraih tahan sang suami, meletakkan tangan kekar itu di atas gundukan sintal milik Nara yang memang memiliki ukuran yang lebih besar.Jantung Dava mulai berdetak kencang, tetapi detik itu juga matanya berkaca-kaca. Wajah Nara tiba-tiba berubah menjadi Hanum yang sedang menangis. Dia memejamkan mata, dalam
Hanum melepaskan diri dari pelukan Dava, lalu memutar posisinya hingga mereka berdiri saling berhadapan. "Kenapa kamu nangis, Mas?""Aku menangis diri aku yang begitu jahatnya terhadap kamu, aku menangisi sikap ibu aku terhadap kamu. Kenapa ibu begitu tidak menyukai kamu cuma karna kamu belum hamil? padahal di luar sana banyak menantu kurang ajar, tetapi mereka tetap disayang oleh mertuanya. Kenapa harus menitikpusatkan kebahagiaan itu hanya kepada anak hasil pernikahan aja? Padahal sumber kebahagiaan itu adalah saling mencintai, ikhlas, dan sabar.""Udahlah, aku juga bisa apa? Kita sudah berada di titik ini, kita jalani dulu aja sampai akhir. Kita lihat, apakah semuanya akan berjalan sesuai dengan keinginan? Atau mungkin lebih sulit dari sebelumnya. Semua nggak ada yang tau.""Aku cuma takut kehilangan kamu, Num. Aku merasa begitu jahat sama kamu.""Memang kamu jahat, sangat jahat. Kamu membuat aku jatuh cinta kepadamu, kamu menyakiti perasaan aku, kamu menolak menceraikan aku, memak
Tiba di rumah. Dava menghentikan laju mobilnya di teras depan, dia keluar dari mobil lebih dulu, lalu berjalan ke belakang mobil, mengeluarkan koper dari bagasi."Habis ini kamu harus istirahat, ya." Dava bicara seraya menutup kembali pintu bagasi, lalu menyerahkan kunci mobil kepada security untuk memarkirkan mobilnya di garasi."Iya, akhir-akhir ini aku capek. Mungkin karna terlalu sibuk menyembuhkan luka," terdapat nada sindiran dari kalimat yang diucapkan.Dava diam sebentar, lalu mengikuti langkah kaki Hanum dari belakang, berjalan masuk ke dalam rumah. Saat akan naik ke lantai atas, Hanum langsung menghentikan langkah kakinya."Kenapa?" tanya Dava."Nara nggak pernah tidur di kamar aku, kan?" Balik bertanya. Pandangannya terus menatap ke atas. Di dalam kepalanya saat ini hanya ada bayangan Nara dan Nara. Sahabat baiknya saat masih kuliah, berubah seratus delapan puluh derajat setelah Hanum menikah dengan Dava, pria yang digadang-gadang disukai oleh Nara jauh sebelum bertemu deng
Hanum melihat isi pesan yang dikirim oleh Nani kepada Dava. Dia menutup laptopnya, berdiri, lalu pergi. Dava tau istrinya saat ini sedang kesal karena pesan yang dikirim sang ibu. Tanpa membalas pesan, Dava memasukkan handphonenya ke dalam saku celana, lalu mengejar Hanum."Tunggu, Num."Hanum terus berjalan seolah tidak mendengar. Dia kesal sang mertua masih saja ikut campur permasalahan di keluarganya. Sudah membuat putranya menikah lagi secara paksa, sekarang masalah waktu saja masih ikut campur. Menerima dipoligami saja sudah sulit, ditambah menerima sikap Nani.Jangan berharap bisa hidup dengan tenang selama hidup berumah tangga masih diganggu oleh salah satu keluarga. Terutama orang tua yang selalu ikut campur, yang tadinya bukan masalah saja bisa menjadi masalah, masalah kecil saja bisa menjadi besar, apa lagi masalah besar? Celakalah."Tunggu sebentar, Sayang." Terus mengikuti langkah kaki sang istri dari belakang. Menaiki anak tangga menuju lantai dua."Kamu balesin dulu aja
Sudah terlanjur berada di situasi tidak enak, sudah terlanjur tertakdir menjadi seorang istri yang dituntut patuh kepada suami, sepanjang suami tidak meminta ia mendustakan agamanya, sepanjang suami tidak melakukan penistaan terhadap agamanya. Dava tidak melakukan itu dan walaupun dia sudah melakukan kesalahan dengan menikah lagi tanpa sepengetahuan dirinya, Dava memiliki alasan kuat."Jangan biarkan Nara mengambil kesempatan dalam kesempitan, Num. Kenyataannya kalian bertiga sudah berada dalam lingkaran yang sama, jangan sampai lu kalah karena mengikuti hawa nafsu."Kalimat yang Gina utarakan melalui pesan terakhir, sehingga Hanum bersedia memakai baju tidur super seksi pemberian dari Gina."Apakah aku terlihat aneh?" tanya Hanum masih berdiri di ujung pintu akses menuju balkon yang sudah dalam posisi terbuka."Nggak. Kamu cantik, kok.""Aku terpaksa pakai baju ini loh, Mas. Bukan karena kamu, cuma menghargai pemberian Gina aja. Nggak enak kan kalau aku nggak mau pakai. Sekali lagi i