Share

Sama-sama Sakit

Pov Elvan.

Aku kesal setengah mati, kenapa sih, tidak ada satu orang pun yang mau memahamiku? Tidak Mama, Papa atau Jihan, mereka hanya memikirkan perasaannya sendiri tanpa mau melihat seperti apa aku. Sudah cukup aku mengorbankan kebahagiaanku sendiri demi mereka semua, sekarang tidak lagi. Aku ingin meraih apa yang membuatku nyaman dan bisa merasakan kehidupan yang sebenarnya, tentu saja itu bila bersama Cristal seorang.

Dari dulu hingga sekarang, aku hanya selalu menuruti permintaan orang tuaku saja. Tidak pernah sekali pun aku membantah perintah mereka. Bahkan ketika aku diminta untuk menikahi calon istri Kakakku yang sudah meninggal pun aku turuti, meski dengan sangat terpaksa. Aku tidak mau mereka kecewa padaku, tapi hari ini, aku sudah melakukan itu.

Aku sadar aku salah, tidak seharusnya aku membawa wanita lain sedang sudah ada wanita di sampingku yang halal untukku. Aku tahu, apa yang kulakukan sudah sangat menyakiti hati semua orang termasuk kedua orang tuaku, tapi mau bagaimana lagi, perasaan tidak bisa dipaksakan. Aku mencintai Cristal dan itu fakta yang harus mereka terima.

Jangan bertanya apakah aku sudah berusaha mencintai istriku atau tidak? Jawaban sudah, selama ini aku berusaha untuk bisa mencintai Jihan namun, entah kenapa hatiku seperti menolak keberadaan wanita itu setiap kali aku mencobanya. Sengaja aku selalu memberinya liburan yang lama supaya aku tidak tersiksa bila melihatnya.

Ada rasa bersalah bercampur marah bila kami tengah berdekatan. Lalu kenapa bisa hamil? Tentu karena kami juga melakukan hubungan suami istri layaknya pasangan pada umumnya, hanya saja, lagi-lagi aku melakukan semua itu juga karena terpaksa. Mungkin Jihan sekarang berpikir bahwa aku actor terbaik sebab berhasil menutupi perasaanku sendiri dengan sangat apik.

Aku pun juga tidak menyangka bisa bertindak sejauh ini, aku tahu Jihan sudah mulai membuka hati untukku, namun aku belum. Jangan salahkan aku sepenuhnya karena hati tidak bisa dipaksakan. Hati bebas memilih pada siapa dia berlabuh. Ya, seperti itulah pendapatku tentang hati.

Aku tahu Jihan pasti terluka, namun aku tidak bisa berbuat apa-apa. Aku juga ingin seperti orang lain dimana mereka bisa menemukan kebahagiaan mereka sendiri dan hidup bersama wanita pilihannya sendiri.

Tujuanku baik, aku bermaksud untuk meminta ijin secara baik-baik pada mereka. Awalnya aku mengira jika mereka memahami keinginanku, nyatanya aku salah. Mereka menolak mentah-mentah niatku untuk menikah dengan Cristal. Sungguh, hatiku berkecamuk marah pada orang tuaku sendiri dan juga Jihan. Tak khayal, aku pun melayangkan ancaman tegas jika sampai mereka tidak mau merestui kami terutama Jihan, maka aku akan menceraikan wanita itu.

Bukan maksud yang sebenarnya kalau aku akan meninggalkan Jihan, apa pun keadaannya kelak, Jihan tetap akan menjadi tanggung jawabku. Dia anak yatim piatu dan sudah tidak memiliki siapa-siapa di kota ini, aku tidak akan tega menelantarkan dia begitu saja apa lagi dalam kondisi dia tengah mengandung anakku.

Aku tahu dia sakit hati dan kecewa berat padaku, namun aku tidak akan menyerah begitu saja. Aku mengerti kesedihannya, akan tetapi, mataku seakan tertutup oleh amarah ketika Jihan dengan tegas menolak untuk dimadu. Aku kesal bukan main, ku tatap tajam matanya menyiratkan betapa aku sangat marah padanya.

Lagi-lagi, dia tidak gentar hanya oleh tatapan mataku, sengaja aku juga menghinanya dan mencari kekurangan dirinya untuk aku jadikan alasan mendua. Tetap saja mereka semua tidak terima dan justru menyalahkan aku yang sudah menghadirkan orang ketiga dalam rumah tangga kami.

Setelah perbincangan yang menguras emosi, aku pergi dari rumah utama. Aku mampir ke sebuah café tempat favorit Cristal. Tak lupa aku menghubungi sahabatku Arian, aku ingin meminta pendapatnya tentang masalahku.

Berapa menit menunggu, Arian pun datang menyapaku. Aku segera memulai percakapan kami setelah Arian mengambil duduk pada kursi depan berhadapan denganku. “Ada apa, Bro? Sepertinya kamu sedang galau?” tanyanya melihat wajahku murung.

“Aku ingin menikah lagi,” tungkasku membuatnya terkejut.

“Apa? Menikah lagi?” Ku jawab hanya anggukan saja.

“Gila!” serunya cukup kencang hingga membuat Sebagian orang memandang ke arah meja kami.  

“Hey, bisa gak sih, mulutmu sedikit di rem?” ujarku melengos sebal pada pria di depanku ini.

“Habisnya, kamu bukannya membawa kabar baik, justru membawa kabar mengejutkan. Kamu tidak mikirin perasaan Jihan seperti apa? Dia pasti sakit dan kecewa, Bro. Kamu tahu? Beberapa hari yang lalu aku melihatnya di apotik, wajahnya begitu pucat. Aku menghampirinya berniat membantu karena dia hampir limbung, namun dengan tegas dia menolak.

Berulang kali aku mencoba membuatnya bicara atas apa yang dirasakan saat itu, namun Jihan tetaplah Jihan, dia sama sekali tidak ingin membagi kepedihannya pada orang lain. Yah, mau gak mau aku menyerah untuk bertanya.

Tak lama kemudian, Jihan mulai membicarakanmu. Membicarakan semua kebaikanmu padanya. Dari pancaran mata dan bagaimana cara dia menyebutkan namamu saja, aku sudah sangat tahu, betapa besar wanita itu mencintaimu. Aku tidak bisa membayangkan sehancur apa dirinya ketika kamu membawa perempuan lain di hadapannya.” Arian memperbaiki posisi duduknya menjadi tegak dan menatap intens sahabatnya tersebut.

 “Sebenarnya, apa kurangnya Jihan di matamu? Kenapa kamu tega menyakitinya?” Tanya Arian serius.

Aku sendiri bingung, apa kurangnya Jihan di mataku. Dia cantik, cerdas, dan istri penurut. Sebenarnya tidak ada alasan satu pun bagiku untuk mencelanya, semua yang aku katakan tadi di rumah Mama hanya bentuk pembelaan supaya aku mempunyai alasan atas sikapku saja.

“Heh, di tanya malah bengong!” seru pria di depanku ini menganggetkanku. 

“Kenapa? Apa pertanyaanmu begitu penting?” tanyaku balik.

“Apa ini? Kau tinggal menjawabnya, apa itu susah?” Tanya Arian lagi padaku. Entah apa yang mendasari aku untuk tidak menjawab pertanyaannya. Aku memang tidak memiliki jawaban atas pertanyaan Arian padaku.  

“Tidak ada yang perlu di jawab,” ketusku memalingkan muka tidak ingin menatap manik matanya.

“Ceraikan saja dia, biarkan dia bahagia dengan orang yang mencintainya,” ujar Arian yang membuatku terkejut.

Ucapan Arian barusan membuatku berpikir jika pria di depanku ini ada rasa pada istriku. Tentu saja, hal itu tidak akan mempengaruhiku atau membuatku cemburu. Justru aku merasa ada sedikit kelegaan jika memang Arian suka pada Jihan, andai perceraian terjadi, aku tidak perlu terlalu merasa bersalah karena sudah pasti Arian akan teguh pada cintanya dan aku yakin dia bisa membuat Jihan bahagia.

Bagai mendapat angin segar, aku semakin mantap ingin menceraikan  Jihan. Cerai? Ah, aku baru ingat jika aku tidak akan pernah bisa menceraikannya. Papa pasti akan sangat murka bila aku benar-benar menceraikan Jihan. Aku sangat tahu watak Papaku seperti apa, jika sampai aku melawannya, pasti ancaman Papa akan segera dilaksanakan.  

“Lepaskan dia, aku akan menggantikanmu menjaganya.”

 

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status