Share

CEO 6 Ibrahim Menyebalkan

Penulis: Ziya_Khan21
last update Terakhir Diperbarui: 2023-12-25 09:00:33

Alayya kesal bukan main, sambungan teleponnya diputus begitu saja oleh Ibrahim. 

“Kurang ajar banget sih ini orang!” Alayya menggerutu sambil menatap layar ponsel yang kembali hitam. Sekali lagi dia mencoba menghubungi nomor yang tadi, tetapi hasilnya nihil. Ibrahim sama sekali tidak menggubris dering telepon darinya.

“Benar-benar menyebalkan!” Gerak tangan Alayya yang akan melempar ponsel itu menggantung di udara saat terdengar Bembi berseru, “Tunggu Nona! Itu, kan, ponsel saya!” 

Hampir saja benda pipih itu menyapa lantai kalau saja Bembi terlambat mencegah apa yang akan wanita itu lakukan barusan. Alayya mendelik, sedetik kemudian dia menyadari kesalahannya.

“Maaf …,” ucapnya ketus seraya mengulurkan kembali ponsel itu pada sang ajudan. Dia pun kembali masuk ke kamar dengan rasa kesal yang menyesakkan dadanya. 

“Nggak! Aku nggak mau terkurung di sini! Aku harus bisa keluar dari rumah ini secepatnya!” ujarnya bersungut-sungut. Namun, baru saja pintu di belakangnya tertutup, wanita yang menggerai rambutnya itu dengan cepat berbalik. “Astaga! Kenapa aku jadi bodoh begini, sih? Ponsel itu ‘kan bisa aku pakai dulu,” gumamnya merutuki diri sendiri lalu kembali membuka pintu yang mana membuat ajudan tadi tersentak.

“Berikan ponselmu, saya pinjam dulu,” ucap Alayya sambil menadahkan tangannya. 

Bembi menggeleng cepat. “Maaf, Non. Perintah Tuan, saya nggak diizinkan untuk memberikan ponsel saya pada Anda lagi,” ujarnya takut-takut.

“Apa!” Secepat itu Ibrahim memberinya peringatan, sial! Umpat alayya yang tidak bisa dia katakan pada Bembi. 

Wanita itu pun membanting pintu sampai Bembi harus menutup telinganya karena kerasnya suara dentuman itu. 

***

“Siang, Kak Nia?” Ghania Utami tersenyum saja membalas sapaan seorang wanita yang dia temui di ruang tamu kos-kosannya. Kepalanya masih terasa pusing akibat pengaruh alkohol yang dia minum semalaman bersama pria yang menyewanya. 

Dia lewati juga orang-orang yang duduk-duduk di depan kamar mereka tanpa menyapa seperti biasa yang dia lakukan. Sungguh kalau bukan karena waktu check in hotel telah usai, mana mau dia pulang dalam keadaan seperti ini. Namun, dia bukanlah Alayya yang bersedia membayar kelebihan sewa kamar demi kenyamanan sendiri karena Ghania menghargai uangnya. Dia butuh uang itu untuk adik-adiknya di kampung juga ibunya yang butuh pengobatan. Jadi beginilah dia, setiap selesai melayani tamunya, Ghania memilih cepat pulang dan beristirahat di dalam kamar kosnya sendiri. 

Langkahnya masih saja sempoyongan saat dirinya sudah sampai di depan kamarnya. Ruangan yang ada di lantai dua rumah kos tiga lantai itu dia tempati bersama Alayya. Wanita yang lebih muda dua tahun darinya itu bahkan rela membayar lebih banyak agar Ghania bisa mengumpulkan uang yang cukup untuk dia kirim kepada keluarga di kampung setiap bulannya.

Ghania meletakkan sling bag branded-nya begitu saja di atas nakas. Lalu sepatu high heels merahnya dia lepas saat dia duduk di tepian ranjang tanpa menaruhnya kembali di rak.

Wanita berambut sebahu itu melirik ranjang lainnya yang ada di dekat jendela. Kosong. Sahabat sekaligus teman kamarnya tidak ada di sana. Dia bawa mata bulatnya melihat jam di tangan kirinya. Pukul satu siang, tetapi Alayya sudah tidak ada di kamar mereka. 

“Apa dia masih sama Tuan Hardiawan, ya? Tumben betah banget sama bandot tua itu? Iya juga sih, Tuan Hardiawan duitnya banyak, Ayya pasti dimanjain sama dia,” gumam wanita berkulit khas orang Indonesia itu. 

Ghania abaikan ketidakberadaan Alayya karena ini juga bukan pertama kalinya si sahabat menghilang, hanya saja biasanya ke mana pun Alayya pergi, Ghania pasti dibagi tahu, lalu kenapa sampai sesiang ini satu pesanpun tidak ada dari temannya itu? Pikirnya menerawang.

Baru saja dia menurunkan resleting mini dress hitamnya, pintu kamarnya ada yang mengetuk. 

“Siapa juga yang datang jam segini, sih? Bikin orang makin BT aja!” gerutunya sambil berjalan menuju pintu dan tangannya kembali menaikkan lagi resleting bajunya. 

“Kalian siapa?” Ghania memincingkan mata ketika melihat dua orang berpakaian jas hitam lengkap berada di ambang pintu kamarnya. Dari postur tubuh mereka yang tinggi besar, Ghania yakin mereka bukan orang sembarangan. 

“Anda Ghania Utami?” tanya salah satu dari mereka. 

“Benar, kalian cari saya?” 

“Iya, ikut kami ke bawah, bos kami ingin bicara dengan Anda.” Orang itu juga yang menjawab.

“Siapa bos kalian? Saya nggak mau ketemu dengan orang yang nggak saya kenal.” Ghania bersiap menutup pintu tetapi pria yang lebih tinggi dari yang tadi bertanya segera menahan pintu itu. 

“Ada yang harus Anda tahu mengenai teman Anda, Ayya Cantika, silakan ikut kami turun,” titah orang itu sekali lagi yang mana sukses membuat mata Ghania membulat sempurna. 

“Tidak mungkin mereka orang-orang Tuan Hardiawan, bukan?” Hati Ghania berbisik. Ingin menolak, tetapi rasa penasarannya lebih besar dari apa pun yang pada akhirnya menarik langkah kakinya mengikuti kedua ajudan itu. 

Mereka membawa Ghania keluar dari gerbang rumah kos-kosan. Sinar matahari mulai menyengat, menusuk kulit wanita yang hanya memakai mini dress sleeveless itu. Langkah kaki jenjangnya berhenti saat darinjarak tiga meter dia melihat seseorang berjas sama dengan dua orang di belakangnya ini membukakan pintu mobil sedan yang Ghania yakin harganya selangit. 

“Silakan masuk, Nona,” ucap pria yang wajahnya terlihat lebih ramah itu mempersilakannya. 

Agak ragu sebenarnya. Akan tetapi lagi-lagi rasa ingin tahunya mengalahkan rasa takutnya. Ghania pun mengangguk lalu masuk ke mobil. 

“Maaf kalau orang-orang saya sudah membuat Anda takut, Nona.” 

Ghania memberanikan diri melihat si peminta maaf. Dari suaranya yang berat, wanita itu yakin kalau pria ini adalah laki-laki yang galak dan sangar, tetapi saat pandangan mereka bertemu, jantung Ghania serasa berhenti berdetak saat itu juga. Pria berkulit putih dengan iris mata sehitam jelaga dan berwajah tampan itu membuatnya terpesona. 

“Siapa Anda?” 

Bersambung …

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi
Komen (15)
goodnovel comment avatar
Inon Poenya
siapa yg nyari ghania ya
goodnovel comment avatar
ida Sari
apa yg membawa Giana pergi itu Ibrahim ya
goodnovel comment avatar
Itta Irawan
gercep juga ibrahim lsg datengi ghania biar dia gak cariin ayya, apa ibrahim juga suruh jauhi ayya biar ayya gak jd wanita mlm lagi
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terbaru

  • Wanita Malam Kesayangan Tuan Muda    CEO 91 Bahagia telah Tiba

    "Abang, semua ini terasa seperti mimpi, ya?" Suara Alayya terdengar lembut di tengah keheningan malam, menghiasi ruang kamar mereka yang baru saja kembali sunyi setelah seharian dilalui dengan emosi yang campur aduk. Dia berdiri di depan cermin besar, mengurai rambut panjangnya yang hitam, sedangkan mata almondnya menatap pantulan Ibrahim yang sedang duduk di tepi ranjang, menghadap ke arahnya.Ibrahim tersenyum kecil, senyum yang tidak terlalu sering terlihat di wajahnya yang biasanya kaku dan tegas. Tetapi malam ini, ada kehangatan dalam senyumnya, kehangatan yang hanya bisa dirasakan oleh Alayya. "Ya, Ayya. Semua yang telah kita lalui terasa begitu panjang dan berat, tapi akhirnya... kita sampai di sini."Alayya menoleh, memutar tubuhnya pelan dan berjalan mendekati Ibrahim. Langkahnya lembut, hampir tanpa suara di atas karpet tebal yang menutupi lantai kamar mereka. Dia berhenti tepat di hadapan Ibrahim, menatap dalam-dalam ke mata pria yang kini menj

  • Wanita Malam Kesayangan Tuan Muda    Bab 90 Akhir dari Mustika

    “Abang, apa kamu yakin dengan ini?" Suara lembut Alayya bergetar saat mereka berjalan menyusuri lorong panjang menuju ruang kerja Mustika di rumah barunya—sebuah tempat yang Ibrahim baru saja ketahui keberadaannya. Mustika baru-baru ini pindah ke rumah itu, menolak untuk tinggal serumah dengan Nazila, ibunya Alayya. Tangan Alayya menggenggam lengan Ibrahim erat, seolah-olah mencari kekuatan dari pria di sampingnya."Aku harus yakin, Ayya," jawab Ibrahim dengan suara tegas namun rendah. Matanya lurus memandang ke depan, wajahnya keras tanpa ekspresi. "Ini bukan hanya soal aku. Ini soalmu juga. Aku tidak bisa membiarkan kejahatan Tante Tika terus berlanjut."Alayya mengangguk pelan, meski hatinya masih berdebar kencang. Berhadapan dengan Mustika bukanlah hal yang mudah. Perempuan licik itu telah melakukan banyak hal untuk merusak hidup mereka, termasuk mengatur kematian Nisa, istri pertama Ibrahim. Namun, sekarang waktunya tiba untuk membongkar semuanya.Di

  • Wanita Malam Kesayangan Tuan Muda    CEO 89 Rencana Terakhir

    "Aku tahu ini tidak akan mudah, Ayya, tapi ini harus dilakukan." Suara Ibrahim terdengar dalam dan mantap saat dia menatap ke arah jendela besar di ruang kerjanya. Matanya terpaku pada pemandangan kota di depannya, tetapi pikirannya jelas terfokus pada hal yang jauh lebih dalam dan berat. Di sebelahnya, Alayya berdiri dengan tenang. Tangannya dengan lembut menggenggam tangan Ibrahim, memberinya kekuatan tanpa perlu banyak bicara. Dia tahu keputusan yang diambil Ibrahim bukanlah keputusan yang mudah. Menghadapi keluarga sendiri dalam masalah hukum adalah sesuatu yang tak pernah ia bayangkan sebelumnya. "Abang, aku ada di sini. Apapun yang terjadi, aku akan selalu mendukungmu." Suara Alayya pelan, tetapi penuh ketegasan. Ia menatap Ibrahim dengan penuh keyakinan, mencoba menyampaikan bahwa dia tidak akan pernah membiarkan pria itu menanggung semuanya sendirian. Ibrahim menoleh ke arahnya, matanya sedikit melunak. "Aku tahu, Ayya. Dan aku berterima kasih untuk itu. Tanpamu, mungkin

  • Wanita Malam Kesayangan Tuan Muda    CEO 88 Bersiaplah, Tante

    Di tempat lain, Mustika menghadapi kecemasan baru.Mustika duduk di depan meja kerjanya, tangannya gemetar saat memegang telepon. Berita tentang kemunculan Rivaldo membuat tubuhnya panas dingin. Rivaldo, pria yang sudah lama ia coba singkirkan dari lingkaran kekuasaannya, kini kembali—dan kali ini, dia tampak lebih siap dari sebelumnya."Pantas saja," gumam Mustika dengan suara parau. "Aku seharusnya tahu kalau dia akan kembali."Mustika bangkit dari kursinya, berjalan mondar-mandir di ruang kerjanya dengan langkah gelisah. Matanya sesekali melirik ke jendela, seolah-olah takut ada yang mengawasinya dari luar. Rivaldo tidak hanya ancaman bagi rencana besarnya untuk menguasai kekayaan Ibrahim, tapi juga bagi keselamatannya sendiri.Tangan Mustika mengepal, meremas-remas ujung kain yang dia kenakan. "Sial!" teriaknya marah, melemparkan cangkir teh ke dinding hingga pecah berkeping-keping. "Kenapa sekarang? Kenapa dia harus muncul di saat segalanya hampir sempurna?"Frustrasi dan ketakut

  • Wanita Malam Kesayangan Tuan Muda    CEO 87 Kepastian

    Ruangan itu akhirnya hening, hanya terdengar napas Ibrahim yang berat dan suara detik jam di dinding. Setelah semua ketegangan dan amarah yang memuncak, tubuh Ibrahim terasa seperti ditarik ke bumi dengan beban yang luar biasa. Ia berdiri di dekat jendela, memandang ke luar dengan pandangan kosong, mencoba menenangkan diri dari gejolak emosi yang baru saja meledak.Di belakangnya, Alayya mendekat perlahan, tanpa suara. Tangannya yang lembut meraih lengan Ibrahim, memberikan sentuhan yang hangat dan menenangkan. Meski amarahnya belum sepenuhnya mereda, sentuhan Alayya mampu membawa Ibrahim kembali pada kenyataan. Hatinya yang penuh kemarahan kini sedikit melunak dengan keberadaan wanita itu di sampingnya."Abang, ayo duduk sebentar." Suara Alayya lembut, penuh kasih, seolah dia paham betul bahwa Ibrahim butuh waktu untuk meredakan semua gejolak perasaannya. Tanpa protes, Ibrahim membiarkan Alayya memimpin dirinya menuju sofa di dekat jendela. Mereka duduk berdampingan, tetapi tak satu

  • Wanita Malam Kesayangan Tuan Muda    CEO 86 Atur Rencana

    "Sekarang katakan apa yang kamu tahu tentang Tante Tika, Oscar sampai kamu nggak bisa menghentikan rencananya pada Nisa?” Ibrahim kembali menatap tajam pada Oscar yang masih menunduk. Oscar tidak menjawab segera. Napasnya terdengar pendek dan berat, dan meskipun dia sudah berkali-kali merencanakan apa yang akan dikatakannya, lidahnya terasa kaku. Rasanya seluruh tubuhnya tertindih beban yang tak terlihat, menyulitkan dia untuk bicara. Saat dia akhirnya berani mengangkat pandangannya, yang bisa dia lihat hanyalah kemarahan mendalam dari Ibrahim—kemarahan yang sangat pantas diterimanya. "Aku... Takut, Tuan. Nyonya Mustika sudah terlalu kuat." Akhirnya Oscar mengucapkan kata-kata itu, namun suara yang keluar terdengar lebih seperti desahan putus asa. "Aku tahu aku salah, Tuan. Tapi aku tidak tahu bagaimana menghentikannya." "Tak tahu bagaimana?" Ibrahim melangkah mendekat, semakin mempersempit jarak antara mereka. Tu

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status