William melempar semua berkas laporan yang diberikan pengawalnya.
“Sudah lebih dari 2 tahun, kalian bahkan tak bisa menemukannya!” bentak William kepada para pengawalnya yang tertunduk takut.
“Maafkan kami Tuan.”
“Aku tak butuh permintaan maaf kalian! Aku hanya ingin kalian menemukan wanita itu!” ucapnya penuh amarah.
“Tuan, sepertinya wanita yang anda cari sudah ...”
“Jika kau mengira dia sudah mati, maka tunjukkan makamnya padaku. Aku akan membongkarnya untuk memastikan wanita itu benar-benar terbaring di sana,” ucapnya dingin dan tatapan tajam yang begitu mengintimidasi.
William menggerakkan jarinya menyuruh para pengawalnya pergi meninggalkannya.
Matanya memerah menunjukkan amarah. Pikirannya benar-benar kalut. Wajahnya yang tampan pun tak bisa menutupi rasa frustasinya.
Menemukan sosok Viola, seperti mencari bayangan di dalam kegelapan. Ia sudah mengerahkan semua pengawalnya untuk mencari kekasih adiknya itu. Tiap sudut kota yang ia curigai pun, tak membuahkan hasil baginya.
Bukan sehari atau pun 2 hari ia mencari, namun 2 tahun telah berlalu. Ia pun masih tak menemukan titik cerah yang menunjukkan keberadaan sosok gadis itu.
Tiap kali ia menatap wajah adiknya yang terbaring koma dan berjuang dengan semua alat bantu di tubuhnya, membuat hatinya begitu teriris diliputi sesal karena belum memenuhi janji yang ia ucapkan.
“Edwan!” panggil William.
Seorang pria yang lebih muda darinya masuk kedalam ruangan dan memberikan penghormatan padanya.
Pria tinggi dengan potongan rambut cepak serta tatapan mata begitu dingin menghadap padanya.
“Kau harus menemukannya!” perintahnya penuh tekanan. Ia benar-benar tak peduli dengan semua cara yang akan Edwan gunakan nanti.
Edwan, pria yang sudah berada di sisinya sejak 7 tahun lalu mengangguk mengerti. Ia adalah pengawal sekaligus tangan kanan William. Pria yang selalu ia andalkan, kapan pun ketika ia tak menemukan jalan keluar. Ia sengaja menarik Edwan dari perusahaannya sejak seminggu lalu untuk membantunya di sini.
Edwan, pria yang tak kalah dingin dari Tuannya kembali membungkuk dan beranjak pergi meninggalkan ruangan tersebut di ikuti para pengawal lainnya.
William mengepal tangannya meredam amarah. Membalikkan tubuhnya menatap jendela kaca besar dengan pemandangan tepian danau tak jauh darinya.
__*__
Seorang dokter tengah fokus memperhatikan hasil rongten di depannya. Ia melingkari beberapa bagian sebelum akhirnya menyerahkannya pada pasiennya.
“Semuanya menunjukkan hasil yang baik. Anda sudah pulih total.”
“Tapi, keponakan saya sering merasakan sakit di bekas jahitan lukanya, apa Anda tak ingin memeriksanya sekali lagi?”
Dokter itu tersenyum ramah. “Saya sudah memeriksanya dengan seksama Nyonya. Dan Nona Viola pun rutin memeriksa pundaknya. Rasa sakit yang mungkin Nona derita, bukanlah dari fisik yang terluka. Melainkan rasa sakit yang disebabkan oleh trauma yang di alaminya.”
Nyonya Anne, wanita berusia 45 tahun yang nampak khawatir pada gadis di sampinya, hanya mampu memandang penuh kesedihan
Viola menyunggingkan senyum tipis di wajahnya. Seolah menenangkan sang Bibi yang begitu khawatir padanya.
“Bibi akan menunggumu di bar. Nikmatilah waktumu, kau sudah terlalu lama menghabiskan waktu di rumah sakit, kau harus menghirup udara yang lebih segar.” Nyonya Anne berkata dengan tulus, ia merekatkan mantel Viola dan mengecup pelan pipinya.
Nyonya Anne melambai pelan kearahnya sebelum akhirnya masuk kedalam mobil.
Gadis itu tersenyum kecil mengantarkan kepergian Nyonya Anne. Namun, tak berapa lama senyum itu memudar.
Ia mengangkat wajahnya menatap kearah langit yang tak menampakkan sedikit warna cerah di sana. Viola menikmati tiap sentuhan salju yang jatuh di wajahnya. Matanya terpejam lembut, menghirup semua udara di sekitarnya.
Udara yang ia rindukan, setelah hampir setahun ia menghabiskan waktunya dengan semua pengobatan dan terapi yang di siapkan oleh Nyonya Anne untuknya. Bahkan Nyonya Anne dengan hati-hati, menyembunyikan dirinya dari orang-orang yang mencarinya tanpa tau hal yang sebenarnya terjadi.
Viola yang nyaris kehilangannya nyawanya saat itu, merasa berhutang budi pada sosok Nyonya Anne yang menyelamatkannya.
Karena itu, ia bertekad untuk hidup. Membalas semua kebaikan Nyonya Anne padanya dan membalas dendamnya pada pria yang dulu ia cintai.
Kini, gadis lembut yang dulu mereka kenal tergantikan oleh sosok yang menyimpan amarah dan luka. Viola telah siap menghadapi semuanya. Ia tak akan bersembunyi atau pun lari. Ia juga tak akan mencari pembenaran yang akan membuang waktunya, dan membiarkan rumor yang beredar semakin tenggelam bersama dirinya yang dulu.
__*__
Rapat pemegang saham berjalan alot dengan keinginan para petinggi yang tetap menginginkan William menggantikan posisi adiknya yang sedang terbaring koma.
William yang pada awalnya tak ingin terlibat di perusahaan ayahnya, dengan berat hati mengikuti kemauan ayahnya. Ia tak ingin perusahaan yang telah dibangun ayah dan adiknya jatuh ketangan orang lain.
William membuang jasnya, dan melapas dasi yang serasa mencekik di lehernya sejak tadi. Ia menatap keluar jendela, sambil tangannya sibuk membuka kancing di pergelangan tangannya.
“Tuan.”
William berbalik menatap sosok Edwan yang entah sejak kapan sudah berdiri dibelakangnya.
“Aku hanya menginginkan kabar baik darimu.”
Edwan yang tak sedikit pun mengubah ekspresi di wajahnya, melangkah maju dan menyerahkan sebuah amplop coklat ke arah William.
William segera mengembangkan senyum diwajahnya. Tangannya dengan cepat membukanya.
Matanya berbinar penuh kepuasan. “Kau tak pernah mengecewakanku. Terima kasih.”
Edwan mengangguk kecil dan berjalan keluar dari ruangan.
William memperhatikan lembaran foto ditangannya. “Aku menemukanmu. Waktu yang kunantikan telah tiba,” ucapnya dan tersenyum dingin.
__*__
Iringan musik yang terdengar lantang di sebuah klub malam menghanyutkan para pengunjung untuk meliuk-liukkan tubuhnya mengikuti alunan musik. Wajah-wajah penuh kegembiraan yang menyembunyikan sisi lain di tiap pengunjung membaur menjadi satu.
Kelelahan dan rasa frustasi mereka lampiaskan di tempat itu tanpa memikirkan waktu dan melepaskan semua bebannya sesaat.
Beberapa bartender yang tengah asik meracik minuman untuk para pengunjung, sesekali berbisik dan melirik kearah seorang gadis yang nampak duduk termenung menatap keramaian pengunjung yang menari dengan bebasnya.
Pakaian gadis itu cukup menarik perhatian beberapa pasang mata disana.
Bukan karena pakaian yang terbuka seperti kebanyakan wanita disana tetapi ia justru memakai pakaian tertutup. Ia mengenakan setelan jas berwarna putih dengan hels yang terikat di kaki jenjangnya. Wajahnya yang cantik mampu menarik minat dari para kaum adam yang melihatnya. Namun, gadis itu tak bergeming, dan hanya termenung di dalam dunianya.
“Viola ... Gadis kesayanganku.”
Gadis itu mengangkat wajahnya tersenyum kecil menatap seorang wanita bergaun hitam yang tersenyum kearahnya.
Wanita itu mengulurkan gelas berisi minuman beralkohol kepada gadis itu, dan kemudian duduk disampingnya.
“Sudah lama kau tak menginjakkan kakimu disini. Biasanya, kau hanya mengurung diri di ruang kerjamu. Apa sesuatu menganggumu?” tanya Nyonya Anne yang terlihat senang dengan kehadiran Viola di klub malam nya.
Gadis itu biasanya hanya berdiam diri mengurus berkas dan keuangan bar miliknya.
Ya, Nyonya Anne memberikan kepercayaan pada gadis itu untuk bangkit bersamanya. Meski ia tak bisa memberikan pekerjaan yang layak seperti gadis lainnya, tapi ia tak pernah melibatkan gadis itu pada hal-hal kotor yang sering terjadi di klub malam dan juga bar miliknya.
Viola mengulas senyum cantik di wajahnya. Tanpa menjawab, ia meneguk habis minuman ditangannya.
“Mereka masih terus mencarimu.”
Viola meletakkan gelasnya dan membuang tatapannya pada para pria dan wanita yang sibuk bersenda gurau dibawah pengaruh alkohol yang mereka tenggak.
“Benarkah?” tanyanya terlihat acuh.
“Aku tak perduli,” ucapnya lagi.
“Aku hanya mengkhawatirkanmu. Ibumu menitipkanmu padaku, kau harus ingat itu.”
“Aku mengerti, Bibi. Kau tak perlu khawatir,” balas Viola mencoba tersenyum.
“Aku hanya tak ingin, kau kembali terlibat pada keluarga itu. Melihat luka yang mereka tinggalkan padamu, membuatku benar-benar marah. Aku berharap Tuan Muda angkuh itu tak pernah lagi bangun.”
“Bibi ...,” ucap Viola menghentikan amarah Bibi nya.
“Maafkan aku sayang,” sesal nya
“Aku akan kembali ke bar sekarang, tamu VVIP akan segera datang.Kau , jangan terlalu lama di tempat ini. Aku tak ingin suruhan mereka menemukanmu.”
“Aku mengerti,” balas Viola pelan dan tetap membuang wajahnya lebih jauh saat Bibinya meninggalkannya.
Viola meremas tangannya kuat hingga kukunya tanpa sadar membekas di telapak tangannya.
Siang tadi, saat ia dalam perjalanan menuju bar Nyonya Anne tanpa sengaja ia bertemu dengan Teressa, sahabatnya yang telah lama tak ia temui.
Awalnya gadis itu ingin melepaskan rindu dan menceritakan kemana ia selama ini. Namun, harapannya sirna saat Teressa bercerita penuh amarah jika pria yang paling ia benci masih bertahan hidup meski kondisinya sangat mengenaskan. Bahkan orang-orang suruhannya tanpa henti mendatangi Teressa untuk mencari keberadaanya.
Amarah yang ia pendam kembali mencuat, semua mimpi buruknya kembali mendatangi tanpa henti.
Gadis itu memejamkan matanya sesaat membuyarkan semua pikiran yang mengusiknya, menarik nafasnya dalam, menetralkan emosi yang nyaris menguasainya.
Ia segera beranjak pergi dari kursinya dan tak menyadari seseorang yang sejak tadi tengah memperhatikannya tersenyum puas tanpa melepaskan pandangannya.
__*__
Teressa menatap tajam pada seorang wanita yang setengah jam lalu masuk kedalam kedai nya dan memilih duduk di sudut ruangan dengan wajah yang terlihat gusar bahkan gerak gerik tangannya yang sesekali melihat kearah jam membuat Teressa yakin jika ia tengah dilanda masalah.Sekilas gadis itu merasa bersyukur, karena Agatha, gadis angkuh yang selalu membuat masalah untuk sahabatnya terlihat kacau begitu berbeda dengan tampilannya beberapa tahun yang lalu yg selalu terlihat anggun dan dingin.Pintu kedai terbuka perlahan bersamaan dengan bunyi lonceng kecil yang tergantung diatasnya.Teressa dengan cepat berjalan menghampiri Viola yang mengedarkan pandangannya ke seluruh ruangan.“Apa yang kau lakukkan disini?”tanyanya khawatir karena tak ingin sahabatnya itu bertemu dengan Agatha.Viola tersenyum lembut sambil menepuk pelan lengan sahabatnya dan berjalan meninggalkannya.Teressa menatap tak percaya, saat Viola menhampi
Gemerisik dedaunan yang saling bersahutan karena sapaan angin yang berhembus lembut, membuat seorang gadis yang tengah duduk disebuah taman begitu menikmati momen itu. Matanya terpejam , wajahnya terlihat tenang. Tak ada sedikitpun beban di wajah cantiknya, ia benar-benar terhanyut pada ketenangan alam yang menyambutnya hangat dalam pelukan.“Mommy..”Seorang gadis kecil berusia kurang dari 4 tahun berjalan tertatih dengan salah satu tangan menarik tangan wanita lain yang menuntunnya.Viola tersenyum menatap gadis kecil itu. Ia terlihat menghampiri dan berjongkok di hadapan gadis kecil itu.Dengan lembut dan penuh kasih sayang, ia membelai rambutnya dan membawanya dalam gendongan.“Kau merindukan Mommy?”Gadis kecil itu tertawa dan mengangguk penuh semangat ,Viola menanggapinya dengan senyuman.“Kau ingin bermain dengan Mommy?”Senyum gadis kecil itu melebar, menandakan kegembiraan yang tak m
Viola masih berdiri ditempatnya. Gadis itu tak bergeming , bahkan ketika William menghampirinya ia tak menggerakkan sedikit pun tubuhnya. Ia tengah sibuk mengatur emosinya atas hinaan dan permainan William padanya.“Jadi..kau ingin malanjutkan pembicaraan kita disini? Atau kau ingin membahasnya di kamarku?” William menyusuri tubuh Viola dengan pandangannya membuat gadis itu semakin terhina.“Sayangnya, Saya tak tertarik melanjutkan bisnis ini dengan Anda Tuan.”tegas gadis itu. Tatapannya tajam siap menyerang William.William tertawa kecil tak merasakan intimidasi sedikitpun dari gadis itu.“Kau tak akan bisa memulihkan bar itu, kecuali mendapatkan bantuan dariku”“Anda begitu percaya diri Tuan. Maafkan saya, jika ini akan mengecewakan Anda. Tapi ,saya memiliki orang lain yang bisa membantu saya” Viola berusaha sekuat tenaga mempertahankan harga dirinya dan tak akan pernah kalah oleh pria itu.
Rumor, ibarat rumput liar di tanah lapang, meski tanpa kau beri pupuk, ia akan tetap berkembang dengan cepatnya. Kau hanya bisa memangkasnya, tapi tak bisa menghilangkan sepenuhnya.Seperti saat ini, Viola hanya mampu menahan amarahnya saat rumor tentang pernikahannya beredar dikalangan para pegawainya bahkan beberapa klien nya.Belum juga ia menghilangkan rumor tentang dirinya sebagai wanita milik tuan muda, kini ia harus menghadapi rumor pernikahan antara dirinya dan Edwan yang jelas-jelas hanyalah sebuah bualan yang entah dari mana rumor itu berkembang.“Aku tak berniat menikah, apalagi menikah dengan Tuan Edwan” lagi, Viola harus menjelaskannya pada Samantha dan Nyonya Anne.Ia bagaikan tersangka utama yang sedang disidang dan menunggu vonis dari dua wanita di depannya.“Tapi, rumor kali ini seperti nyata Viola. Ditambah Tuan Edwan yang selalu mengirimi hadiah untukmu” selidik Samantha.“Aku me
Viola menatap dingin wanita yang bersimpuh di depannya. Tangannya yang basah karena air mata nampak menggenggam tangan Viola. Sedikit pun, gadis itu tak bergerak dari tempatnya. Hatinya telah ia tekadkan untuk tak goyah. Ia bukan gadis lemah yang bisa mereka permainkan seperti dulu.“Kumohon Viola”pinta Nyonya Hudson mengiba.“Mengapa Anda melakukan ini Nyonya?”tanya gadis itu.Amarah yang ia tahan selama ini memuncak ketika Nyonya Anne menceritakan alasan dibalik gagalnya proyek resort yang sedang dikerjakan. Membuat Nyonya Anne harus menanggung kerugian yang tak sedikit.Selama ini Viola selalu bertahan untuk tak menunjukkan dirinya kehadapan wanita itu meski berbagai cara telah dilakukan untuk memancing dirinya. Namun kali ini Viola tak bisa tinggal diam ketika keluarganya mendapatkan ancaman dari wanita di depannya.“Aku hanya ingin kau berada disamping Felix, hingga anak itu terbangun dari komanya”Vi
“Terima kasih Teresa” Viola tertunduk pelan sebelum akhirnya menutup telpon dari sahabatnya.Tatapannya kosong menatap lantai kayu dibawah kakinya. Gadis itu tak bergeming dan larut dalam lamunannya, hingga ketukan kecil dibalik pintunya menarik kesadarannya.“Apa aku mengganggumu?”Nyonya Anne dengan pakaian hitamnya terlihat anggun masuk kedalam ruangan Viola.“Anda sudah kembali Nyonya?”tanya gadis itu berjalan menghampiri Nyonya Anne dan duduk disampingnya.“Hmm..”balasnya singkat.Viola menatap raut wajah Nyonya Anne yang nampak tertunduk. Ada kecemasan sekaligus ketakutan diwajah wanita itu. Sesekali terdengar tarikan nafas berat dari nya, membuat Viola yakin jika sesuatu telah terjadi.“Apa terjadi sesuatu Nyonya?”Nyonya Anne kembali menarik nafasnya dalam. Ia menatap wajah cantik Viola, seolah ingin menumpahkan semua keluh kesahnya. Namun lebih dulu mani