Share

Tamu dengan Dendam

“Selamat datang Tuan.”

Nyonya Anne dengan gaun hitam mewahnya terlihat tersenyum ramah pada para pengunjung di bar nya. Bar mewah yang hanya menerima tamu VVIP para pengusaha yang ingin melakukan kegiatan dan rapat bisnis secara rahasia.

Ia sengaja membagi tempat hiburannya untuk para pengunjungnya. Dimana, lantai bawah untuk para pengunjung biasa yang ingin menikmati musik dan berkumpul bersama rekan-rekannya. Dan lantai atas ia khususkan untuk pengunjung VVIP yang telah memiliki kartu anggota bar, yang dapat menikmati semua fasilitas barnya. Dari kunjungan pembahasan bisnis atau hanya sekedar bermain dengan para wanita spesialnya.

“Nyona Anne, kau semakin cantik” sapa salah satu pengunjung.

Wanita berusia 45 tahun itu  tersnyum cerah. Wajahnya yang selalu menawan selalu mendapatkan pujian dari para pengunjungnya.

Nyonya Anne memberi kode pada pegawai wanitanya untuk mengantarkan tamu-tamu tersebut keruangan yang sudah ia siapkan.

Ia segera pamit dan membiarkan para pegawai andalannya melayani para tamu tersebut.

Nyonya Anne memperhatikan Viola yang entah sejak kapan sudah berada di dalam barnya, dan membantu bartender menyiapkan minuman.

Baru saja ia akan menyapa gadis itu, tatapannya sudah teralihkan oleh seorang pria yang nampak masuk kedalam barnya diikuti 2 orang pria lain di belakangnya.

Nyonya Anne dengan ramah menghampiri pria tersebut dan mengembangkan senyumnya.

“Selamat datang Tuan, apa anda sudah melakukan reservasi?”

Seorang pria dibelakangnya mengulurkan sebuah kartu nama kepada Nyonya Anne yang membuat wanita itu mengangguk mengerti.

“Silahkan Tuan,” ucapnya sopan dan berjalan lebih dulu mengantarkan pria itu keruangan yang dituju.

Pria itu sesaat menatap kearah Viola yang terlihat sibuk dengan kegiatannya dan tak memperhatikan pria yang mencuri pandang padanya. Ia kemudian melangkah mengikuti Nyonya Anne yang lebih dulu telah berjalan di depannya.

Nyonya Anne mengetuk pelan pintu bermotif emas di depannya, dan membukanya saat mendapatkan izin dari orang yang menempatinya.

“Silahkan Tuan,” ucap Nyonya Anne lagi mempersilahkan pria-pria tadi masuk kedalam.

Nyonya Anne memperhatikan paras tampan salah satu pria yang baru saja masuk mengikutinya. Wajahnya putih bersih dengan bibir pink dan hidung mancung. Pesona dan aura yang dipancarkan begitu mendominasi di ruangan itu.

“Selamat datang Tuan William,” sapa serentak para tamu yang lebih dulu berada diruangan itu.

Nyonya Anne yang sudah sangat berpengalaman, dapat menebak jika pria muda tersebut memiliki posisi yang sangat penting bagi para tamunya.

Pria tersebut mendudukkan tubuhnya, membuka salah satu kancing jasnya dan menatap tajam kearah Nyonya Anne.

“Anda membutuhkan sesuatu Tuan?” tanya Nyonya Anne yang merasa tak nyaman pada tatapan pria itu.

Pria itu mengangkat salah satu jarinya saolah memberi kode pada salah satu pria yang berdri tak jauh darinya, dan tak menunggu lama para pelanggannya yang lebih dulu hadir di ruangan itu pergi meninggalkannya. Menyisakan Nyonya Anne bersama pria itu dan satu pengawalnya.

Nyonya Anne yang nampak bingung, tetap berusaha tenang menunjukkan betapa profesional dirinya dalam pekerjaannya.

“Kudengar pelayanan di bar ini tak pernah mengecewakan pelanggannya.” Suara pria itu terdengar merdu namun begitu dingin.

Nyonya Anne yang seolah mengerti keinginan pelanggannya mengangguk pelan dan memberi kode pada salah satu karyawannya.

Tak berapa lama, beberapa wanita berpakaian minim nan mewah masuk kedalam ruangan itu.

Wajah-wajah cantik yang tersenyum kearah pria itu tak juga melunturkan tatapan dinginnya ke arah Nyonya Anne.

Pria itu tertawa mengejek. “Aku tak menginginkan mereka.”

“Tuan, mereka wanita terbaik di bar ini. Saya yakin anda tak akan kecewa dengan pelayanan mereka,” balas Nyonya Anne dengan senyumnya yang meyakinkan.

Pria itu kembali tertawa. Ia menuangkan wine ke gelasnya dan menggoyangkan pelan cairan ungu pekat di dalam gelasnya.

“Kau pikir mereka layak melayaniku?” tanyanya angkuh.

Nyonya Anne tetap mengembangkan senyumnya meski ada ketakutan di matanya.

Pria itu tersenyum angkuh dan sesekali memandang tak suka kearah wanita yang berjejer di hadapannya.

__*__

Seorang pelayan wanita berlari menuju ruang kerja Viola. Mengetuk sisi pintunya kemudian segera masuk bahkan sebleum mendapatkan izin darinya.

“Nona Violet!”

Pelayan wanita itu bergetar ketakutan, matanya memerah menahan tangis.

Viola yang baru selesai menggantung jasnya, berbalik menatapnya.

“Nyonya ... Nyonya sedang dalam masalah,“ ucapnya dengan suara bergetar.

Viola masih telihat tenang di tempatnya, ia meraih salah satu dokumen dan membaliknya perlahan.

“Nona!” pinta pelayan itu putus asa.

“Kau tau kan, Nyonya Anne melarangku terlibat dalam urusan bar apalagi berhubungan dengan tamu-tamu VVIP nya?” ujar Viola yang masih memperhatikan lembaran dokumen ditangannya.

“Nona kumohon. Sepertinya Nyonya tak bisa mengatasinya.”

“Aku hanya mengerjakan apa yang diperintahkan Nyonya Anne. Mengurus dokumen dan berkas bisnis diluar bar. Kau bisa memanggil pengawal Nyonya untuk membantunya,” tegas Viola

Belum juga pelayan wanita itu keluar dari ruangannya, seorang pelayan lain masuk kedalam ruangannya.

“Nona, beberapa pegawai diserang oleh pengawal tamu. Tolong selamatkan Nyonya , Nona. Nyonya masih tertahan di dalam ruangan. Bahkan para pengawal bar tak berkutik melawan mereka,” jelasnya dengan wajah pucat ketakutan.

Viola memperhatikan pakaian pelayan yang baru saja masuk keruangannya. Terdapat banyak noda minuman keras di kemeja putihnya.

Ia bisa membayangkan berapa banyak kekacauan yang dibuat para tamu itu.

Viola manarik nafasnya dalam, menimbang semua kemungkinan yang akan ia hadapi.

Selama ini, gadis itu tak dibolehkan terlibat dalam urusan bar. Nyonya Anne, benar-benar menyembunyikan identitasnya selama ini. i bahkan mengubah nama Viola menjadi Violet di depan pegawainya yang lain. Bibi nya begitu khawatir jika para utusan pria yang mencarinya menemukannya dan membawanya untuk menyiksanya kembali.

Namun, gadis itu tak bisa membuang begitu saja kekhawatiran di hatinya, mengingat seberapa sayang Nyonya Anne kepadanya. Hanya Nyonya Anne satu-satunya keluarga yang ia miliki.

“Antar aku keruangannya,” ucap gadis itu memutuskan.

__*__

William meneguk nyaman wine di tangannya, meski ruangan yang ia tempati begitu kacau dengan pecahan-pecahan botol wine dan gelas yang berserakan di bawah kakinya.

“Tuan, saya tidak tau apa yang membuat anda begitu marah. Bisakah kita membicarakannya baik-baik?” Nyonya Anne begitu ketakutan ketika beberapa saat lalu para pengawal andalannya jatuh terkapar tak mampu melawan salah satu pria diruangan itu.

William menatap Nyonya Anne dingin.

“Kau hanya perlu memberikan wanita yang kumau,” ujarnya tersenyum.

“Saya sudah memberikan semua wanita yang saya miliki, Tuan. Tapi anda mengusir mereka.”

William tertawa dingin. Matanya yang tajam menatap pintu ruangan yang terbuka dan menampilkan sosok gadis berambut sebahu berdiri disana.

William menyandarkan punggungnya pada sofa bludru dibelakangnya. Ia menatap intens wanita berkemeja putih di depannya.

“Violet.” Nyonya Anne yang gemetar ketakutan segera menghampiri Viola dan menggenggam erat tangan gadis itu.

“Apa yang kau lakukan disini? Bukankah aku memintamu untuk tak mencampuri urusan bar. Kembali keruanganmu!” perintah Nyonya Anne dengan suara bergetar.

Viola menatap lembut kearah bibinya, dan menepuk pelan punggung tangan wanita itu.

“Bawa Bibiku keruangannya, dan obati semua pelayan yang terluka,” ucap Viola sopan pada beberapa pegawai yang tadi mengikutinya.

Dengan segera para pelayan tersebut memapah para pegawai yang terluka serta Nyonya Anne.

“Violet.”

Nyonya Anne bersikeras menarik tangan gadis tersebut. Namun, dengan lembut Viola melepasnya dan tersenyum lembut kearahnya.

“Semua akan baik-baik saja, Nyonya,“ ucapnya meyakinkan.

Nyonya Anne tak bisa menutupi kekhawatirannya, berkali-kali ia berbalik menatap sosok Viola yang berdiri tenang  menghadap pria kejam yang menyiksa para pegawainya.

Ia berdoa dalam hatinya, agar Viola tak terlibat masalah yang akan kembali menyakiti gadis itu.

__*__

Viola dengan tenang manatap dingin pria angkuh di depannya.

Tatapan yang tak kalah dingin pun ia dapatkan, bahkan senyumnya yang terkesan penuh kebencian tak bisa ditutupi oleh pria itu.

Tak ada kata yang terlontar diantara mereka.

Hening, namun udara di ruangan itu terasa begitu mencekam.

Viola yang masih menatap dingin kearah pria di depannya, tak sedikit pun merasa takut pada aura yang mengintimidasi di sekitarnya.

“Anda bisa menyampaikan keluhan anda kepada saya, Tuan,” ucap gadis itu membuka percakapan.

Pria itu bangkit dari duduknya, melangkah perlahan karah Viola yang tak bergeming dari tempatnya.

“Violet ... nama yang bagus,” ucap pria itu membaca papan nama yang tersemat di bajunya.

Viola hanya menatap dingin saat pria itu semakin dekat dengannya.

“Tapi aku lebih menyukai namamu yang dulu. Viola.” Pria itu tersenyum tepat di hadapan wajah Viola.

Viola terlihat kaget. Namun, dengan cepat gadis itu menutupinya. Ia menekan emosinya secepat mungkin. Menggenggam erat tangannya menyembunyikan semua perasaan yang ia rasakan saat ini.

“Jackpot!” Pria itu kembali mengembangkan senyum puas di wajahnya.

Viola menatap tajam kearah pria didepannya. “Apa anda mengenal saya, Tuan?”

“Tidak, tapi adikku begitu mengenalmu.”

“Benarkah? Sayang sekali. Saya rasa adik anda pandai membual.”

“Aku pun berharap seperti itu. Sayangnya, ia tak pandai berbohong.”

Viola menyunggingkan senyum tipis di wajah cantiknya, membuat William menatap tajam kearahnya.

“Felix Xavier. Bukankah kau merindukannya?”

__*__

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status