Share

Sebuah Nasihat

“Felix Xavier. Bukankah kau merindukannya?”

Sebuah tamparan yang begitu keras dengan telak mengenai hati Viola. Luka yang ia simpan begitu rapat kembali mengeluar. Ekpresi dingin di wajah cantiknya berpadu dengan amarah yang ia tuangkan di dalam genggaman tangannya.

William yang sedari tadi menatap lekat, menyunggingkan senyum tipis penuh kepuasan.

Ia berjalan lebih dekat, memajukan wajahnya menghampiri sisi kiri telinga Viola. Dengan senyum penuh kemenangan ia membisikkan sesuatu disana. “Kau tak akan bisa lari lagi kali ini.”

Viola sekuat mungkin menahan dirinya untuk tak menarik wajah itu dan menamparnya dengan kuat. Ia sebisa mungkin menetralkan semua perasaan yang bergumul dan mentertawakan dirinya.

Dengan tenang, gadis itu mengembangkan senyumnya. “Maafkan saya, Tuan. Saya tak pernah mendengar nama itu.”

“Benarkah?” jawabnya sambil menarik wajahnya dan menatap tajam kearah gadis di depannya yang tak menampakkan sedikit pun ketakutan. Bahkan sejak awal tubuh gadis itu tak bergeser sedikitpun dari tempatnya meski William memberikan tekanan yang tak sedikit.

Sempat terbesit dipikiran William, mengapa wajah yang Viola tampilkan saat ini begitu berbeda dengan yang ia lihat di dalam foto bersama Felix.

Wajah penuh kebahagiaan, kepolosan dan cinta yang mendalam. Bahkan tatapan yang ia tujukan seutuhnya pada Felix begitu tergambar jelas.

Tetapi, gadis yang saat ini berdiri di depannya, memiliki tatapan dingin tak terbaca yang terbungkus rapi dengan keberanian yang ia tampilkan.

“Kau akan menyesalinya,” ujar William.

Lagi, Viola mengembangkan senyum di wajahnya dan balas menatap William yang sedikit pun tak mengalihkan pandangannya.

“Penyesalan akan selalu datang di belakang, Tuan. Orang-orang selalu berkata seperti itu.  Tapi, di dalam hidup saya, penyesalan hanyalah sebuah kebodohan atas kelemahan.”

“Menarik,” balas William.

Ia melangkah mundur tanpa melepaskan pandangannya. Senyumnya yang rupawan terukir sempurna di wajah tampannya.

Ia mendudukkan tubuhnya diatas sofa, menyilangkan kaki nya dan menunjukkan sepatu mewahnya yang mengkilap.

Ia menggulung lengan kemejanya, dan tak lama menuangkan wine kedalam gelasnya.

“Kau, wanita yang begitu menarik. Pantas saja jika adikku begitu mencintaimu? “

Viola hanya menatap diam, dengan raut wajah yang tak ia ubah sedikit pun.

“Sayangnya, Aku telah bersumpah akan membuatmu merasakan penyesalan yang tak akan bisa kau bayangkan,” ujarnya dingin penuh amarah yang ia tujukkan pada gadis itu.

“Saya akan menantikannya, Tuan.”

William tertawa kecil. “Kau terlihat tak memiliki ketakutan sedikitpun,” ucapnya memuji.

Viola yang tadi tersenyum, menundukkan wajahnya dalam. Menatap sepatu heels ungu yang melekat di kaki putihnya. Gadis itu menarik nafasnya dalam dan tak lama mengangkat wajahnya.

Senyum dingin diwajah William memudar tergantikan tatapan yang terfokus pada bola mata hitam milik Viola yang menunjukkan kesedihan dan juga luka yang ia sembunyikan.

Gadis itu tersenyum, bukan senyum kesopanan maupun senyum dingin yang telah ia berikan di awal pada William. Senyum seorang gadis yang menyembunyikan luka samar, namun tak semua orang mampu membacanya.

“Saya akan memberikan sebuah nasihat pada anda, Tuan,” ucap Viola sopan namun tatapan nya jelas menusukkan ribuan panah yang siap menghujam William.

“Jika anda bisa melihat ketakutan seseorang, maka di saat itu pula anda membiarkan orang lain membaca kelemahan anda.”

William mengeratkan tangannya. “Berani sekali kau!” bentaknya.

“Jika anda tidak memiliki kepentingan lain, izinkan saya untuk kembali ke ruangan saya,” ucapnya tegas, tak membiarkan William melanjutkan ucapannya.

“Dan juga, seluruh biaya rumah sakit karyawan kami, seta barang-barang yang anda rusakkan dengan senang hati akan saya masukkan kedalam tagihan anda. Kami menunggu kedatangan anda kembali.” Sambung gadis itu ketika meghentikan langkahnya sesaat.

William menatap dengan senyum tak percaya saat langkah kaki gadis itu benar-benar meninggalkannya.

__*__

Gemuruh di hati Viola yang sejak tadi ia tahan semakin berteriak di dalam kebisuannya. Langkahnya yang terlihat tegar perlahan memasuki ruangannya.

Dadanya terasa sakit. Nafasnya memburu tak beraturan. Tubuh gadis itu bergetar. Dengan sekuat tenaga, ia berusaha meraih tas di meja kerjanya.

Jari-jari tangannya yang  bergetar mengambil botol kecil dari dalam tasnya. Mengeluarkan beberapa butir obat dan menelannya dalam sesaat.

Felix Xavier. Sebuah nama yang mampu membuat tubuh gadis itu bereaksi tanpa ampun. Pria yang membangunkan kembali kenangan buruk yang selalu menghantuinya.

Kepercayaan dirinya yang selama ini ia tanamkan, seketika runtuh ketika nama itu kembali terdengar di telinganya. Selama ini ia selalu yakin, jika dirinya telah siap meghadapi semuanya.

Sayangnya, hati dan tubuhnya menolak semua doktrin yang telah ia tanamkan sejauh ini.

Bayangan demi bayangan di pikirannya dengan santai berdatangan tanpa permisi.

Rasa mual yang sejak tadi ia tahan, tak lagi bisa di ajak kompromi.

Dengan cepat gadis itu berlari menuju kamar mandi dan memuntahkan semuanya di sana.

__*__

Mobil William melaju di tengah keramaian kota. Pria itu menatap keluar jendela, menyaksikan gedung-gedung yang menjulang tinggi dibawah langit malam yang begitu pekat.

“Apa kau ingin menyampaikan sesuatu?”

William seolah paham dengan tatapan Edwan yang sejak tadi nampak meliriknya dari kaca spion mobil.

“Anda tak ingin membawa paksa nona Viola, Tuan?”

William tertawa kecil, ia bisa menebak rencana apa yang sejak tadi dipikirkan Edwan saat dirinya tak juga memberi perintah untuk membawa gadis itu.

“Aku tak boleh gegabah membawa orang asing untuk masuk kedalam rumahku. Apalagi harus berada di samping Felix.”

“Tuan Felix mencintai Nona Viola.”

“Aku tau. Tapi gadis itu, menyimpan sesuatu yang tak bisa kutebak.”

Edwan kembali memperhatikan wajah Tuan nya dari spion mobil. Pria itu nampak termenung dengan salah satu tangannya memainkan cincin perak yang melingkar di jari kelingkingnya.

“Aku ingin mengetahui lebih jauh, gadis yang dicintai Felix sebelum aku membalas semuanya.”

“Saya mengerti Tuan”

Edwan kembali memfokuskan pandangannya pada jalan yang dilalui dan membiarkan Tuannya memejamkan mata dengan semua pikiran yang tak ingin ia ketahui.

__*__

“Kau baik-baik saja?”

Nyonya Anne terlihat begitu khawatir melihat Viola yang terbaring lemah dengan infus yang menangcap di punggung tangannya.

Viola menggangguk pelan. “Tekanan darahku menurun, dan sepertinya aku terlambat mengisi perutku,” ucpanya tersenyum menenangkan.

“Kau tak perlu menemui klien itu. Rosaline akan menggantikanmu. Beristirahatlah,“ pintanya.

“Sungguh, aku baik-baik saja, Bibi. Rosaline sudah cukup berat dengan tugasnya di klub malam, jangan menambahkan beban untuknya.”

“Kau selalu saja membantahku.” Nyonya Anne terlihat kesal.

Ia benar-benar mengkhawatirkan Viola yang sejak kemarin terlihat tak sehat. Ia tau apa yang baru saja dialami gadis itu kemarin.

“Aku masih memiliki waktu 2 jam sebelum pertemuan. Bibi tak perlu khawatir, akan aku pastikan untuk mendapatkan para tamu itu.”

Nyonya Anne menarik nafasnya kasar. “Aku tak peduli pada tamu VVIP itu. Aku hanya tak ingin kau kembali sakit. Aku benar-benar menyayangimu, Viola. Kau seperti anakku sendiri.”

“Aku tau, Bibi. Terima kasih untuk itu semua.”

“Berjanjilah padaku, jika kau belum merasa baikkan, jangan memaksa untuk menghadiri pertemuan itu. Kau mengerti?”

“Aku mengerti,” balas Viola sambil menggenggam tangan Nyonya Anne yang menatapnya dengan khawatir.

Viola mengeraskan hatinya lagi dan lagi. Kali ini ia tak akan mengalah pada takdir yang mungkin akan mempermainkannya kembali. Ia akan menghadapinya meski luka itu akan kembali menghantuinya.

__*__

Komen (2)
goodnovel comment avatar
Windy ClLu Chyank Aguuzz
siiip ceritanya lanjutttt thor
goodnovel comment avatar
Windy ClLu Chyank Aguuzz
sippp lanjut thorr
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status