“Loh, kok seperti itu ya, Bu? Kita kan sudah beberapa kali melakukan pertemuan untuk membicarakan kontrak kerjasamanya,” protes Heru.Ia berusaha untuk tetap berbicara dengan santun, meskipun sebenarnya sudah begitu kesal pada wanita yang kini tengah mengibas-ngibaskan kipas di depannya.“Iya, saya juga sebenarnya jadi merasa tidak enak sama Bapak.”“Ya kalau begitu kenapa Ibu harus membatalkan kerjasamanya dengan sebelah pihak seperti ini?”“Maaf, tapi kita masih dalam tahap perencanaan Pak, belum sampai pada kesepakatannya.” Angela, sosialita berpenampilan glamour yang lengkap dengan kalung dan cincin berliannya itu dengan elegan menginterupsi pernyataan Heru.Heru mengangguk dan menarik napas panjang. “Ya, saya salah berbicara.”“Jadi apa yang sudah membuat Ibu berubah pikiran terhadap rencana kerjasama ini?”Angela menyimpan kipasnya di atas meja. Sosialita itu tidak langsung menjawab pertanyaan Heru. Ia tampak berpikir beberapa saat.“Bos kamu.”Heru agak menarik kepalanya ke bel
“Tadi pagi si Juna nelpon soal apa, Fan?” tanya Satria yang tengah mengemudikan mobilnya sambil mengunyah dimsum di dalam mulutnya. Tiffany tertegun dengan mulut yang melongo. “Eum?” Ia berlagak tidak menangkap suara Satria dengan jelas. “Tadi Juna nelpon soal apa?” “Oooh,” sahut Tiffany sebelum membuang mukanya ke jendela sambil mengerutkan dahinya. “Itu … dia lagi ngurusin artisnya.” “Artis? Lu artisnya?” tanya Satria bersandiwara tidak mengetahui apa-apa. “Ya bukan lah. Gue kan nggak ikut agensi gitu-gitu, Sat. Lo ngaco deh nanyanya.” Satria tertawa kecil. “Ya terus kenapa nelpon lu? Kan lu nggak ada kaitannya sama agensi-agensi begituan.” Tiffany melirik Satria dengan tajam sambil menyidik raut wajahnya. “Kenapa?” Satria bertanya. Tiffany menggelengkan kepalanya dan kembali menyuapi Satria. Beberapa detik kemudian, keduanya sama-sama membisu sebelum akhirnya Tiffany selesai dengan pikirannya. “Lo beneran nggak tau? Apa lagi pura-pura nggak tau?” tanya Tiffany sambil men
“Kalian ngapain sih pake acara berangkat bareng segala?” Lauren terus mengumpat sambil mondar-mandir di hadapan Tiffany dan Satria. Satria sengap mengamati tingkah Lauren yang sibuk sendiri dengan kekesalannya. Pria yang belum kunjung melepaskan pakaian samarannya itu pun hanya melirik Tiffany sambil tersenyum kecut atas ocehan Lauren. “Kalian tuh nggak ada kapok-kapoknya, ya? Gimana kalau sampai media mergokin lo ngejemput Fany, Sat?” tanya Lauren sambil menunjuk Satria. Lauren tidak mengetahui jika sebenarnya tadi malam Satria tidur di rumah Tiffany. Tentu akan menjadi bencana besar jika Lauren mengetahuinya! Bisa-bisa telinga Tiffany panas mendengarkan celotehan manajernya itu. Satria menarik kepalanya ke belakang dengan raut wajah yang begitu meremehkan Lauren. “Lu nggak usah terlalu banyak musingin hal-hal yang berkemungkinan besar nggak bakalan terjadi deh, Lau! Lu tuh cuma bikin Fany makin stress aja, tau nggak?” Lauren menyeringai geram. “Apa lo kata? Bikin dia makin stres
Joan, manajer Bumantara Band duduk di sofa sambil memegangi kepalanya yang seperti akan pecah. Belum tuntas menyelesaikan skandal yang menimpa Tiffany dan Satria, kini Joan harus dihadapkan dengan pertikaian dua manusia itu.“Gue udah ada feeling sih kalau akhirnya bakalan ribut kayak gini.”Tiba-tiba suara Joan memecah keheningan studio. Ia pun membuyarkan lamunan Tiffany yang tengah tercenung di seberangnya.“Maksudnya?” tanya Tiffany dari kursi bulatnya.“Ya gue udah tau aja kalau si Lauren bakalan mancing-mancing. Dari sebelum lo sama Satria dateng ke sini juga dia emang udah ngedumel
“Lo kenapa sih, Jun? Malah cekikikan gitu,” ujar Tiffany keheranan. Juna memijiti pelipisnya sambil menumpu sikunya pada arm-rest mobil. Iamemalingkan wajah dari Kevin yang juga duduk di captain seat samping. Juna membuat Kevin begitu penasaran hingga solois itu terus menautkan lirikannya pada Juna. Matanya memicing seperti orang yang kesal. “Enggak apa-apa, Fan,” sahut Juna sambil terkekeh. “Terus, lo mau apa nelpon gue? Masih mau bahas soal obrolan tadi? Sumpah, Jun … gue nggak tau apa-apa lagi soal itu.”
Tiffany beranjak dan segera keluar dari ruangan produser dengan wajah yang muram. “Gue nggak maksa lo, Jun. Eum ... maksud gue, gue nggak maksa Kevin buat ngisi konten gue," keluh Tiffany yang masih melanjutkan teleponnya dengan Juna. "Sumpah, Jun. Gue sama sekali nggak berniat buat ngambil kesempatan atau apapun itu,” lirih Tiffany dengan suara yang bergetar menahan tangis. Ia benar-benar mencemaskan pertemuannya dengan Kevin. Meskipun beberapa hari yang lalu Kevin sudah melindunginya dari dua wanita paruh baya yang menghinanya, namun tetap saja Tiffany merasa enggan untuk berinteraksi dengan pria itu. “I—iya, tenang aja Fan, gue ngerti,” sahut Juna dengan canggung, sebab Kevin tidak mengizinkannya untuk mematikan fitur
Tiffany bangun lebih awal dari biasanya. Di atas kasurnya, wanita berambut hitam panjang bergelombang itu menatap layar ponselnya dengan cemas. Tidak jelas dengan apa yang dibacanya, yang di pikirannya saat ini hanyalah jawaban yang akan diberikan Juna atas undangannya. "Jun, plis jangan terima. Pliiiis!" ucap Tiffany sambil merintih. "Ya Tuhan ... Jangan lagi," keluhnya sambil menyeka air mata yang mulai menetes. "Ya Tuhan ...." Tiffany terus dibayang-bayangi oleh ketakutannya untuk bertemu dengan Kevin. Ia masih belum bisa menyingkirkan rasa enggannya kepada Kevin. Citra Kevin dalam benak dan hatinya seolah membusuk dan menjadi stigma yang negatif. Tiffany benar-benar tidak bisa membayangkan apa yang akan terjadi jika Juna sampai menerima undangannya itu. “Halah! Keluarga …. Shit!" umpatnya ketika mulai mengingat tema podcast yang akan dibawakannya nanti. "Apa yang harus aku bicarain soal keluarga?” keluh Tiffany sambil meringis kesal. Kali ini ia benar-benar terjebak dalam du
“Baik, Pak. Kalau begitu langsung saya kirim saja skripnya ke email Bapak, ya,” ujar Hasna dengan antusias di telepon. “Iya, saya tunggu,” balas Juna dengan respons yang berbanding terbalik. “Kalau begitu, selamat siang Pak, sekali lagi saya ucapkan terima kasih.” “Iya, selamat siang,” sahut Juna sebelum akhirnya panggilan itu berakhir. Juna menarik napasnya dalam-dalam sambil menyandarkan punggungnya pada jok mobil depan. “Kamu harus bersiap menanggung resikonya,” tandasnya pada Kevin yang kini tengah menahan rasa pusingnya di pilot seat. Reyhan yang duduk di samping Kevin hanya bisa terdiam menelan ludahnya setelah menyadari bahwa bosnya itu sedang menahan sakit. Namun, ia tidak bisa berkata apa-apa, sebab sejak tadi malam, Reyhan terjebak dalam situasi mencekam akibat perang dingin di antara Kevin dan Juna. “Minum, Vin?” lirih Reyhan yang segera ditolak oleh Kevin. Tut … tut … Juna melakukan panggilan pada nomor telepon Tiffany sambil menyalakan loudspeaker-nya. Ia masih in