“Lu tuh ngapa, sih? Udahlah, lu nggak usah belaga peduli lagi sama dia! Lagian percuma, lu nggak bakalan mungkin balik lagi sama Fany!”
“Yang ada juga elo! Lo masih nggak nyadar ya udah bikin Tiffany terlibat skandal?” Dimas mengarahkan telunjuknya pada Satria.
“Lo kapan sih sadarnya? Lo udah beristri, tapi lo masih aja nggak bisa ngelepas Fany! Hasrat lo sama sekali nggak ngebuat Fany bahagia, justru bikin dia semakin terbebani!”
Satria berdecak sambil tersenyum sinis menangkis telunjuk Dimas dari hadapan wajahnya. “Lu juga sama aja! Lu semakin membebani Fany kalau lu terus nguntit dia!"
"Lu lupa? Kalian itu beda agama! Dan Fany nggak akan mungkin abai sama perbedaan itu!” pungkas Satria dengan senyum liciknya.
Dimas mendengkus seraya membuang wajah. "Terserah lo mau bilang apa! Yang jelas Fany nggak akan pernah balik sama lo!"
"Nggak akan pernah?" gumam Satria sambil menyeringai. Ia lantas cekikikan kecil dengan pikirannya sendiri.
“Lo jangan pernah macem-macem lagi ya sama Fany! Gue nggak bakalan tinggal diem kalau lo masih buat Fany kesusahan lagi!” tegas Dimas.
Satria menaikkan salah satu alisnya, melirik Dimas dengan jijik. Sekali lagi decakan keluar dari mulutnya, membuat perselisihan di antara keduanya kian memanas.
***
Kevin melepaskan masker oksigen dari wajahnya.
“Udah nggak sesak lagi, Vin? tanya Reyhan. Kevin hanya menjawabnya dengan gelengan kepala.
“Ini gimana cara ngematiinnya ya, Kak?” gumam Reyhan sambil memegang tabung oksigen yang ada di samping sofa dengan pandangan yang tertuju pada Tiffany.
“Itunya diputer ke kanan aja, Kak. Sampai flowmeternya turun,” sahut Tiffany sambil terkekeh.
“Kakak,” gumam Tiffany dan Juna serentak. Mereka sama-sama tergelak mendengar sebutan itu. Sementara itu Reyhan hanya tersenyum gamam menahan gugup di hadapan idolanya.
“Kamu jangan manggil dia Kakak, panggil aja tante.” Juna kembali tergelak sambil memegangi perutnya.
Tiffany tertawa skeptis pada gurauan Juna, pikirannya spontan mengarah pada kecurigaan. Jangan-jangan Juna memang sudah mengetahui skandal yang menimpanya.
“Enak aja, lo. Kalau gue tante, ya berarti lo juga om dong!” Tiffany menimpali.
“Saya sudah mengenal Tiffany sejak lama,” celetuk Kevin dengan lirikan yang sedikit kesal pada Juna.
Tiffany tersentak membelalakan matanya, begitu pula dengan Juna dan Reyhan. Spontan Tiffany membungkam tawanya. Wajahnya memucat tanpa sedikit pun senyuman.
Juna menyadari perubahan ekspresi pada wajah Tiffany. “Kalian rekan bisnis?”
“Teman sekolah," balas Kevin dengan singkat.
Tiffany membuang napas lega. Jantungnya berdenyut kencang. Di satu sisi ia merasa dihargai lantaran Kevin yang notabene seorang solois sekaligus aktor ternama dari Korea Selatan mengakui jika dirinya memang sudah lama mengenal Tiffany. Namun, di sisi lain, Tiffany justru merasa enggan atas pengakuan yang baru saja dinyatakan oleh Kevin.
Juna menoleh pada Tiffany, menunggunya untuk menanggapi peryataan Kevin.
Tiffany mengangguk, menyetujui Kevin. “Tapi kita udah lama nggak pernah ketemu lagi, Jun.”
Juna menggangguk-anggukkan kepalanya seperti seorang murid yang baru memahami materi yang disampaikan oleh gurunya.
“Nggak ketemu berapa lama?” tanya Juna dengan skeptis, “Bukannya kamu belum pernah ke sini lagi setelah 13 tahun ya, Vin?”
Kevin mengangguk mengiyakan, membuat Juna tercengang.
“Berarti kalian belum pernah ketemu selama 13 tahun?”
Tiffany dan Kevin sama-sama mengangguk.
Beberapa saat suasana berubah canggung. Juna pun mulai berpikir lebih jauh. Ia merasa janggal dengan interaksi antara Kevin dan Tiffany yang begitu canggung. Jika mereka saling mengenal dan sudah bertahun-tahun tidak bertemu, bukankah seharusnya keduanya saling menyapa dengan senyum yang sumringah?
Namun, kenyataannya mereka sama sekali tidak saling menyapa. Bahkan, Tifffany pun hanya menanyakan kabar Juna yang baru saja dijumpainya dua bulan yang lalu, jauh lebih singkat daripada 13 tahun.
“Wih ... Lama juga, ya. Tapi kok kalian keliatannya kayak yang nggak pernah kenal sih? M—aksud gue ….”
“Kita nggak deket, jadi cuma sebatas kenal aja,” tukas Tiffany dengan begitu canggung.
"Eum, beda kelas," lanjutnya.
Kevin mengerutkan keningnya. Seketika itu kebahagiaannya atas perlakuan baik Tiffany lenyap terbakar perasaan kecewa.
"Oooh, beda kelas."
"Oooh, lo kan sekelasnya sama Satria ya, Fan?"
Tiffany menahan napasnya dengan perasaan gusar. "Satria kan kakak kelas gue, Jun. Mana ada gue sekelas sama kakak kelas."
"Oiya, gue lupa."
"Kayaknya lo musti konsul ke dokter deh, Jun. Penyakit lupa lo kayaknya makin akut," umpat Tiffany.
"Ya sorry Fan, gue lupa," balas Juna sambil terkekeh.
Juna melirikkan matanya pada Kevin yang kini tampak tersenyum kecut pada Tiffany. Juna melihat kesenduan pada sorot mata Kevin yang meredup, tak seperti beberapa menit yang lalu.
Situasi ini benar-benar mencurigakan bagi Juna. Belum lagi ketika Kevin tampak begitu kesal ketika mendengar nama Tiffany saat di basemen tadi.
“Tadi kita abis dari loksyut Dimas Talkshow, Fan,” ucap Juna setelah beranjak dari kursinya lantas berjalan-jalan melihat sejumlah foto Tiffany dengan teman-temannya yang terpajang di beberapa sisi dinding.
“Oh ya?” gumam Tiffany yang makin dibuat terkejut setelah mendengar nama Dimas.
Juna membalikkan tubuhnya ke arah Tiffany yang duduk di seberangnya.
“Lo lagi ada masalah, Fan?” tanya Juna yang sontak membuat Tiffany tergemap.
Tiffany mengangkat kedua alisnya dengan sorot mata yang kosong. “M—maksudnya masalah apa?” Tiffany gelagapan.
“Enggak … Abisnya tadi gue perhatiin, si Dimas nyebut-nyebut nama lo terus waktu syuting.”
Tiffany mengerutkan keningnya, kali ini bola matanya tampak cemas dengan bergerak ke berbagai arah. Dalam benaknya terbayang kesedihan dan kecemasan Dimas ketika mengetahui skandal yang menyeret namanya saat ini.
“Eum,” Tiffany bergumam sambil tersenyum kecut. Ia mulai bisa bernapas lega, karena sepertinya Juna memang belum mengetahui skandal itu. Atau mungkin Juna berpura-pura tidak mengetahuinya.
“Kenapa Fan?” Juna kembali bertanya.
Tiffany tersentak. Rupanya Juna bersikeras menginginkan jawaban atas pertanyaannya itu. Rasanya ingin sekali Tiffany merutuki Juna agar tidak membicarakan hal itu di depan Kevin.
“Enggak, kok. Gue sama Dimas nggak ada masalah apa-apa. Dia kangen kali sama gue.” tandas Tiffany dibuntuti tawanya yang masih kaku.
“Emang dasar bucin.”
“Daripada lo, hidupnya kerja mulu, kagak ada manis-manisnya,” umpat Tiffany.
“Lah, gue kan kerja juga buat istri gue nanti.”
“Halah, istri istri …. Pacar aja kagak punya kan, lo?” olok Tiffany sambil terkekeh, mencoba kembali bersikap normal.
“Idiiiih, sok sokan ngeledek gue. Emangnya lo punya?”
Tiffany terdiam sambil menahan malu.
“Kagak,” ungkapnya dengan raut wajah yang mengundang tawa.
“Yaudalah kita jadian aja biar sama-sama punya pacar,” tandasnya yang sontak membuat Juna terbahak-bahak begitu pula dengan Reyhan.
Sementara itu, Kevin yang tidak paham dengan maksud guyonan itu hanya bisa menahan kesalnya sendiri. Ia berpikir bahwa Tiffany benar-benar sedang menyatakan perasaannya pada Juna.
“Yang ada juga abis lah gue ditimpuk sama mantan-mantan lo!”
Tiffany tersenyum kecut setelah Juna menyahutnya seperti itu. Ia sedikit merasa tersinggung dengan ucapannya teman kuliahnya itu.
Tuk tuk tuk
“Siapa tuh, Fan?” Juna spontan bertanya.
Tiffany langsung beranjak dari mejanya menuju pintu. “Biar saya aja yang buka, Pak,” ujarnya pada bodyguard Kevin yang sedari tadi berdiri di samping pintu.
“Ibu—”
Plak!
Belum selesai dengan sambutannya pada dua wanita paruh baya yang ada di hadapannya, seketika sebuah tamparan tepat mendarat di pipi Tiffany.
Kevin dan yang lainnya spontan menghampiri Tiffany. Bodyguard Kevin dengan refleks menjulurkan tangannya, melindungi Tiffany dari kedua wanita paruh baya itu.
Sementara itu, di belakang kedua wanita paruh baya itu tampak Lauren dengan raut wajah yang cemas seperti kehabisan tenaga untuk menahan kedua wanita itu agar tidak masuk ke ruangan pribadi Tiffany.
Kevin memasang wajah geram di ambang pintu. Mendadak ia menjadi garda terdepan untuk Tiffany. Sementara di belakangnya, Juna menepuk jidat karena Kevin dengan gegabah menghadapi dua orang wanita paruh baya itu tanpa memikirkan akibatnya. Bisa-bisa Kevin ikut terlibat dalam masalah!
“Ibu, Ibu! Najis sekali saya disebut Ibu sama wanita jalang seperti kamu!” cetus salah satu wanita paruh baya berwajah bule yang berpenampilan mencolok dengan rambut merahnya yang di-curly mengembang.
Lauren agak mendorong kedua wanita paruh baya itu untuk masuk ke dalam ruangan Tiffany. “Heh! Kamu nggak usah pegang-pegang saya, ya!” erang wanita bule. “Saya bisa masuk sendiri tanpa kamu dorong-dorong!” Lauren menyeringai dengan memutarkan bola matanya. Pintu ruangan pun segera ditutup rapat-rapat setelah kedua wanita paruh baya itu masuk. Keduanya tanpa henti merutuki Tiffany. Sambil memegangi salah satu pipinya, Tiffany berdiri tepat di hadapan mereka. Ia melirik kedua wanita paruh baya itu dengan sorot mata yang berapi-api. Sementara itu, Kevin dengan setia mendampingi Tiffany, bahkan Kevin pun tampak jauh lebih murka. “Saya nggak pernah nampar anak Ibu loh, Bu! Tapi Ibu dengan entengnya mendaratkan tangan Ibu di pipi saya?” ujar Tiffany dengan halus namun penuh penekanan. Suaranya terdengar begitu bergetar. “Halah, dasar wanita jalang!” Sekali lagi wanita bule itu melayangkan tangannya menuju pipi Tiffany, tetapi Kevin dengan gesit menahannya dan segera menyingkirkan ta
“Apa? Ibunya Satria sama ibunya Rina ngelabrak Fany?” tanya Dimas dengan suara yang geram. “Apa?” gumam Satria yang menguping percakapan Dimas dengan Lauren di telepon. “Iya, Dim. Barusan banget mereka berdua dateng ke restoran, terus marah-marah. Mana pake nampar segala lagi,” sahut Lauren sambil melirik ke arah Tiffany yang kini tengah duduk di sofa dengan Kevin, Juna, dan Reyhan. Tiffany membalas lirikannya dengan sinis. Ia kesal lantaran Lauren begitu bersikeras untuk memberitahu Dimas soal keributan yang baru saja terjadi di ruangannya. Keputusan Lauren hanya akan membuat citranya semakin jelek di hadapan Kevin. “Hah? Fany ditampar? Sama ibunya Satria?” tanya Dimas yang kian menaikkan suaranya. “Iya, Dim.” “Lo bener-bener, ya! Lo tau kan apa akibatnya sekarang!” umpat Dimas pada Satria. Lauren mengerutkan keningnya. “Loh, kok lo malah nyalahin gue sih, Dim?” Dimas tak menjawab Lauren. Ia menjauhkan ponselnya dari telinga dan berdebat dengan Satria. “Dim! Dim, lo kok malah
"Diminum," ujar Dimas saat menyuguhkan segelas teh hangat buatannya kepada Tiffany. "Eum," balas Tiffany, disertai anggukan kecil. Dimas lantas duduk di depan Tiffany yang sudah hampir satu jam melamun di meja makannya. Ia memandangi wajah wanita itu yang kini terlihat begitu sendu. “Jangan keseringan minum minuman beralkohol, nggak baik buat kesehatan kamu,” tutur Dimas dengan begitu halus. Pria berwajah kecil dengan kacamata yang bertengger di hidungnya itu kemudian memegang salah satu punggung tangan Tiffany. Dimas membelainya dengan begitu lembut sampai sorot mata Tiffany yang kosong akhirnya bergerak mengarah kepadanya. “Masalahnya jadi merembet ke mana-mana, Dim.” Tiffany menarik tangannya dari sentuhan Dimas. Ia kemudian memegang segelas teh hangat yang diberikan Dimas, lantas mengusap-ngusapkan telapak tangannya pada gelas itu. Dimas hanya tersenyum dengan mata yang sayu. “Nama baik aku jadi rusak, aku dibuat malu di depan banyak orang … image aku bener-bener udah hancur
Dengan begitu frustrasi, Tiffany menjambaki rambutnya hingga berantakan. Ia duduk di sudut kamarnya dengan lutut yang menekuk. Wanita itu tampak seperti orang yang depresi setelah melihat sejumlah clickbait dengan redaksi negatif mengenai skandalnya. Bagaimana ia tidak pusing melihatnya, tentu saja clickbait itu akan semakin menggiring opini publik untuk menjustifikasinya sebagai wanita yang benar-benar kotor. Belum lagi dengan sejumlah caption ambigu yang ada pada sejumlah postingan pemberitaan di media sosial. Pastinya warganet yang telah tercecoki stigma negatif tentang Tiffany akan langsung meninggalkan kata-kata jahat pada kolom komentar postingan-postingan itu, termasuk pada postingan media sosialnya Tiffany. Dug dug dug. Suara ketukan pintu yang hampir mirip dengan debukan itu tiba-tiba memenuhi seisi kamar. Tanpa sedikit pun suara yang menyeru nama Tiffany, suara ketukan itu terus berlanjut tanpa sesaat pun berhenti. Perhatian Tiffany pun sontak teralihkan. Namun, bukannya
“Kalau seperti ini terus, kita harus segera check up,” tegas Juna. Ia berdiri sambil menyilangkan kedua tangannya di samping Kevin yang tengah duduk di kursi kerjanya. Kevin memijiti tengkuknya. “Tidak perlu. Saya hanya kelelahan, bukan apa-apa.” Juna mendengkus seraya menaikkan salah satu sudut bibirnya. “Kamu nggak usah berdalih lagi. Saya sudah tau dari Reyhan, kalau kamu itu memang sering muntah-muntah seperti tadi.” Kevin mati kutu, ia tidak dapat berkutik membalas ucapan Juna. Memang benar jika selama berada di Indonesia, Reyhan kerap mendapati Kevin sedang kepayahan mengeluarkan isi perutnya. Pada awalnya, Reyhan mengira bahwa Kevin hanya sedang kelelahan atau mabuk alkohol. Namun, setelah ia menyadari bahwa hal itu terjadi berulang dengan frekuensi yang cukup tinggi, akhirnya Reyhan memutuskan untuk memberitahu Juna. “Kamu sakit apa? Maag?” Kevin terdiam, ia cukup terkejut dengan pertanyaan Juna. Sejenak Kevin berpikir keras untuk mendapatkan jawaban yang tepat, hingga a
“Loh, kok seperti itu ya, Bu? Kita kan sudah beberapa kali melakukan pertemuan untuk membicarakan kontrak kerjasamanya,” protes Heru.Ia berusaha untuk tetap berbicara dengan santun, meskipun sebenarnya sudah begitu kesal pada wanita yang kini tengah mengibas-ngibaskan kipas di depannya.“Iya, saya juga sebenarnya jadi merasa tidak enak sama Bapak.”“Ya kalau begitu kenapa Ibu harus membatalkan kerjasamanya dengan sebelah pihak seperti ini?”“Maaf, tapi kita masih dalam tahap perencanaan Pak, belum sampai pada kesepakatannya.” Angela, sosialita berpenampilan glamour yang lengkap dengan kalung dan cincin berliannya itu dengan elegan menginterupsi pernyataan Heru.Heru mengangguk dan menarik napas panjang. “Ya, saya salah berbicara.”“Jadi apa yang sudah membuat Ibu berubah pikiran terhadap rencana kerjasama ini?”Angela menyimpan kipasnya di atas meja. Sosialita itu tidak langsung menjawab pertanyaan Heru. Ia tampak berpikir beberapa saat.“Bos kamu.”Heru agak menarik kepalanya ke bel
“Tadi pagi si Juna nelpon soal apa, Fan?” tanya Satria yang tengah mengemudikan mobilnya sambil mengunyah dimsum di dalam mulutnya. Tiffany tertegun dengan mulut yang melongo. “Eum?” Ia berlagak tidak menangkap suara Satria dengan jelas. “Tadi Juna nelpon soal apa?” “Oooh,” sahut Tiffany sebelum membuang mukanya ke jendela sambil mengerutkan dahinya. “Itu … dia lagi ngurusin artisnya.” “Artis? Lu artisnya?” tanya Satria bersandiwara tidak mengetahui apa-apa. “Ya bukan lah. Gue kan nggak ikut agensi gitu-gitu, Sat. Lo ngaco deh nanyanya.” Satria tertawa kecil. “Ya terus kenapa nelpon lu? Kan lu nggak ada kaitannya sama agensi-agensi begituan.” Tiffany melirik Satria dengan tajam sambil menyidik raut wajahnya. “Kenapa?” Satria bertanya. Tiffany menggelengkan kepalanya dan kembali menyuapi Satria. Beberapa detik kemudian, keduanya sama-sama membisu sebelum akhirnya Tiffany selesai dengan pikirannya. “Lo beneran nggak tau? Apa lagi pura-pura nggak tau?” tanya Tiffany sambil men
“Kalian ngapain sih pake acara berangkat bareng segala?” Lauren terus mengumpat sambil mondar-mandir di hadapan Tiffany dan Satria. Satria sengap mengamati tingkah Lauren yang sibuk sendiri dengan kekesalannya. Pria yang belum kunjung melepaskan pakaian samarannya itu pun hanya melirik Tiffany sambil tersenyum kecut atas ocehan Lauren. “Kalian tuh nggak ada kapok-kapoknya, ya? Gimana kalau sampai media mergokin lo ngejemput Fany, Sat?” tanya Lauren sambil menunjuk Satria. Lauren tidak mengetahui jika sebenarnya tadi malam Satria tidur di rumah Tiffany. Tentu akan menjadi bencana besar jika Lauren mengetahuinya! Bisa-bisa telinga Tiffany panas mendengarkan celotehan manajernya itu. Satria menarik kepalanya ke belakang dengan raut wajah yang begitu meremehkan Lauren. “Lu nggak usah terlalu banyak musingin hal-hal yang berkemungkinan besar nggak bakalan terjadi deh, Lau! Lu tuh cuma bikin Fany makin stress aja, tau nggak?” Lauren menyeringai geram. “Apa lo kata? Bikin dia makin stres