Tiffany memangku wajahnya dengan siku yang bertumpu pada meja. Dengan perasaan yang penuh akan penyesalan, beberapa kali ia mengusap pipinya yang basah.
Di sampingnya, Lauren duduk berhadapan dengan Satria, keduanya tampak begitu bersitegang.
“Lu jangan terlalu banyak ikut campur deh soal hubungan gua sama Fany! Lu tuh nggak tau apa-apa!” Satria menyeringai sambil menunjukkan telunjuknya.
“Ya, okei! Gue emang nggak tau apa-apa! Tapi mestinya lo tuh mikir, gimana dampaknya atas sikap lo itu buat Fany!” Lauren tak mau kalah menggerutu dengan Satria.
“Lo liat kan sekarang? Cuma butuh waktu beberapa jam aja nama Fany udah jelek! Lo liat dong trending sosmed! Apa lo tega liat si Fany disebut-sebut jadi pelakor?”
Satria sejenak menoleh pada Tiffany.
“Lu gila, ya? Ya mana ada gua tega!” balasnya dengan penuh emosi kepada Lauren.
“Ya terus sekarang lo mau apa, hah? Lo bakalan ngelakuin apa buat nyelesain masalah ini?”
"Nama lo aja udah jelas-jelaas ancur! Mana ada orang yang mau percaya lagi sama lo!” gerutu Lauren yang lantas membuat Satria berderam.
Plakkk!
Kedua wanita itu seketika tersentak oleh suara pukulan meja dari Satria yang tiba-tiba berdiri dengan begitu geram.
Tiffany ikut berdiri setelah Lauren bangkit dengan tubuh yang condong ke depan seperti tengah menantang Satria.
“Udah, Lau. Masalahnya nggak bakalan kelar-kelar kalau kalian ribut mulu!” keluh Tiffany dengan suara yang bergetar.
Satria mengepalkan tangannya, mencoba menahan emosinya untuk menuruti ucapan Tiffany.
“Kita tuh mestinya pikirin masalah ini dengan kepala dingin, bukannya pake emosi!” ujar Tiffany dengan penuh penekanan.
“Udah! Duduk lagi!”
Ketiganya pun kembali duduk. Satria dan Lauren mengatur tarikan napasnya masing-masing.
“Okei. Sekarang gue mau tanya dulu soal Rina—”
“Lu kenapa malah mikirin dia dulu?” tukas Satria memotong ucapan Tiffany dengan kesal.
“Ya gue harus tau dulu kondisi Rina saat ini, Sat. Istri lo tuh sekarang udah bisa diajak bicara atau belum?"
"Masalahnya, kalau ternyata Rina memperpanjang permasalahan ini, terutama soal lo yang udah nampar dia di depan umum, terus dia ngebawa masalahnya ke jalur hukum … itu kan bakalan bikin masalahnya jadi lebih menjalar lagi!” Tiffany mengerutkan keningnya.
“Oke, gua paham maksud lu, Fan. Tapi sekarang yang kita permasalahin adalah bagaimana cara kita untuk membersihkan nama lu!”
“Come on, gua mohon … untuk kali ini jangan terlalu mikirin perasaan orang lain!” sahut Satria dengan kerutan di dahinya.
“Lagian kalau dia bawa masalahnya ke jalur hukum, ya lu juga bisa lah ngelaporin dia karena udah melakukan tindak pencemaran nama baik!”
“Lagian juga kalau kemarin dia nggak mencemarkan nama baik lu di depan orang-orang kafe, ya gua juga nggak bakalan lah nampar dia di depan umum,” tambah Satria.
Tiffany bergeming sambil menatap mata Satria dengan begitu kesal. Jika bukan karena memikirkan perasaan orang lain, mungkin sore kemarin pun Tiffany sudah menampar Satria berkali-kali sebelum pria itu berhasil mencumbunya dengan single lip kiss yang penuh dengan nafsu.
Tiffany terdiam dan membuang mukanya dari Satria sementara Satria hanya mendengkus seolah bosan dengan kelakuan Tiffany yang seperti itu.
“Oke, Fan. Gua pasti mikirin kok masalah si Rina itu. Istri gua!” seru Satria dengan nada yang penuh emosi dan penekanan.
“Tapi kali ini kita selesain dulu permasalahan lu. Karena dengan kelarnya permasalahan lu bisa berdampak juga ke persoalan antara gua sama Rina. Paham?”
Tiffany tak menanggapi, ia tahu jika Satria tidak akan pernah memedulikan masalahnya dengan Rina.
Tak kunjung menanggapi Satria, Tiffany malah mengarahkan matanya ke arah lain hingga Lauren dan Satria pun sama-sama dibuat kesal olehnya.
“Gimana kalau kita pake jasa akun gosip?” tanya Lauren, sontak membuat kedua orang yang ada di meja itu bersamaan menoleh kepadanya.
“Maksud, lo?” tanya Tiffany mengerutkan dahi.
“Maksud lu kayak jasa akun buzzer gitu?” tanya Satria yang kali ini suaranya mulai terdengar tenang.
“Exactly!” sahut Lauren sambil memetik jarinya pada Satria.
Satria tersenyum sambil mengusap dagunya.
“Gua pikir ini ide yang cukup bagus.” Satria mengarahkan pandangannya pada Tiffany. “Gimana?”
Tiffany memicingkan matanya saat menoleh pada Satria, mencoba meyakinkan dirinya sendiri bahwa sosok pria yang ada di hadapannya itu adalah Satria, seorang pria yang dulu begitu ia kagumi atas kebijaksanaannya dalam mengatasi setiap permasalahan.
“Apa yang bakal disebar di akun itu?” tanya Tiffany.
“Ya kita bakalan menarik kembali kepercayaan publik dengan menyebarkan hal-hal positif soal lo. Dan … I think it will be better kalau kita nyebarin isu yang negatif soal istrinya dia,” balas Lauren sambil menunjuk Satria.
Tiffany menyeringai tak habis pikir atas ucapan Lauren.
“Enggak!” sergah Tiffany.
“Kalau harus ngejelekin nama Rina, gue nggak setuju!” bantah Tiffany dengan geram.
“Fan?” Satria mengernyit heran pada Tiffany.
Tiffany berdecak kesal saat melirikkan matanya pada Satria.
“Gue sadar kalau memang sebenernya gue yang salah! Kalau waktu kemarin gue berusaha buat ngehindar dari lo, mungkin masalahnya nggak bakalan kayak gini!” rutuknya.
Satria menatap wajah Tiffany dengan penuh kekecewaan.
“Kalian tuh pikir baik-baik, ya! Apa dengan nyebarin isu negatif soal Rina bakalan nyelesain masalah ini dengan cepet?” tanya Tiffany bersungut-sungut.
“Yes! Mungkin bakalan cepet untuk membersihkan nama gue. Tapi setelahnya bakalan ada masalah lain dan hal-hal yang sebenernya nggak perlu di up ke publik, nggak perlu jadi konsumsi publik! Terutama soal istri lo, Sat!”
Tiffany berhenti sejenak dalam mata sayu blasteran milik Satria.
“Sat, mau gimana pun dia tuh tetep istri lo. Lo tuh harus sadar! Harga diri dia ada pada lo, dan juga sebaliknya. Jadi semestinya lo tuh mikirin soal dia juga! Ditambah lagi … lo tuh punya dua anak dari dia, dan suatu saat nanti anak-anak lo tuh bakalan liat jejak digital kalian!” Tiffany tampak begitu marah.
“Dan suatu saat nanti lo juga bakalan punya keluarga, lo punya suami … anak,” ujar Lauren pada Tiffany yang kemudian membuat Satria melirik manajer itu dengan sinis. Lauren pun spontan membalasnya dengan lirikan tajam.
“Iya gue tau! Maka dari itu, gue juga mau berusaha buat ngebersihin nama gue! Tapi tanpa menimbulkan permasalahan yang lain, apalagi menyinggung dan menjelekkan pihak lain!” sahut Tiffany dengan kesal.
“Gue rasa … dengan menyebarkan info positif soal gue pun itu udah cukup. Setidaknya seolah ada pihak-pihak yang membela gue,” tambah Tiffany dengan percaya diri, “and it must be going naturally.”
“Oh, no … I mean, it should look natural!” Tiffany mempertegas ucapannya dengan nada yang sarkas. “Ya dan sebelum itu … gue rasa gue perlu klarifikasi dulu ke publik?”
Satria dan Lauren saling bertatapan dengan skeptis.
***
“Udah baikan? Mau lanjut sekarang?” tanya Reyhan sambil meraih botol minum yang baru ditutup Kevin.
Kevin mengusap pelipisnya lagi yang masih terasa basah karena keringat dingin yang mengucur.
“Ya, lanjut sekarang aja.” Kevin mengangguk kecil saat berusaha mengabaikan rasa sakit yang masih berdenyut di kepalanya.
Setelah baru saja berkali-kali mendengar nama Tiffany yang keluar dari mulut Dimas, Kevin pun akhirnya kehilangan keseimbangan hingga nyaris tumbang saat berdiri. Alhasil, kegiatan syuting pun dihentikan untuk sementara.
“Sebelumnya saya minta maaf karena—”
“Eh gapapa, santai aja, Vin. Semuanya di luar kendali kita. Ya saya juga paham kok kalau badan lagi nggak fit tuh gimana rasanya,” kata Dimas memotong ucapan Kevin.
“Gapapa, kita lanjut sekitar 10 menit lagi aja. Biar kamu kumpulin dulu tenaga,” sambungnya.
Dimas merogok saku celananya, mengambil ponsel. Ia lantas segera mencari salah satu nama yang ada di kontaknya, nama yang ia tulis dengan emotikon hati.
Ia pun lantas menghubungi pemilik nomor itu.
Beberapa saat setelah mencoba menghubungi si pemilik nomor, Dimas berdecak.
“Kenapa, A?” tanya seorang kru wanita.
“Gapapa, si Fany hp-nya nggak dinyalain terus.”
Dimas kembali melakukan pencarian pada kontaknya sebelum akhirnya menghubungi salah satu nomor ponsel yang lain.
“Hallo?” tanya Dimas pada seseorang yang ditelepon.
“Ya, ada apa Dim?”
“Lo lagi sama Fany? Gue telpon dia nggak aktif terus.”
“Iya. Kenapa? Mau gue kasih telponnya ke Fany?”
“Ini kalian lagi di mana?”
“Lagi di rumah gue. Lagi ngomongin masalah itu. Lo pasti udah tau, kan?”
“Ya,” balas Dimas sambil membuang tatapan kesal, “Gue udah liat artikelnya barusan.”
“Ini gue lagi sama Tiffany, sama Satria juga.”
Dimas terperanjat kesal hingga nyaris menendang kursi yang ada di depannya. “Lo awasin tuh si Fany, jangan sampe salah pilih keputusan!”
Lauren terkekeh, mengerti maksud Dimas. “Ya, gue tau. Lo mau ke sini?”
"Hari ini Fany ada jadwal apa aja? Palingan entar malem gue samperin dia.”
“Kagak banyak, sih … hari ini cuma bikin endorse doang. Eum, terus nanti malem dia ada meeting sama rekan bisnisnya.” Lauren berhenti sesaat. “Entar gue suruh dia ngabarin lo deh, ya.”
“Oke, makasih.”
“Oke, bye.” Lauren mengakhiri panggilan.
“Bye.” Dimas terkekeh, bisa-bisanya Lauren si wanita beku itu menutup teleponnya lebih dahulu.
Di hadapan Dimas, Kevin duduk bergeming mendengarkan percakapan pria berkacamata itu dengan seseorang di ponselnya. Namun, Kevin hanya bisa terdiam sambil mengatur napasnya yang masih belum stabil. Beberapa kali ia meneguk air mineral lagi, mencegah rasa sesak di dadanya yang mungkin akan kembali lagi jika Dimas masih terus saja menyebut-nyebut nama Tiffany di hadapannya.
[Flashback]Langit tak kunjung berhenti menangis. Derai airmatanya terus membasahi tanah, menggenangi jalan, membanjiri hati seorang gadis jelita yang saat ini tengah bermenung di depan jendela kamarnya.Ia tampak begitu nyaman dalam posisinya yang tengah memangku wajah. Bibirnya yang pucat tak sedikit pun melunturkan keindahan garis senyumnya.Tuk ... Tuk ..."Fan." Terdengar suara lelaki yang memanggil namanya di depan kamar.Tiffany spontan menoleh ke belakang. Tanpa berpikir panjang, ia segera berjalan ke arah pintu. "Iya, tunggu."Cklek."Kakak," ucap Tiffany dengan lirih sambil menyimpulkan kebahagiaan. Ia begitu girang saat berjumpa dengan kakaknya.Arga membalas sambutan adiknya dengan reaksi yang jauh lebih antusias. Ia melebarkan senyumnya dengan riang sambil memeluk Tiffany. Tangannya meraih kepala sang adik dan membelainya dengan penuh kehangatan.Arga mengecup puncak kepala adik satu-satunya itu. "Udah makan?"Tiffany mengangguk dengan girang. "Udah. Kakak gimana?""Udah,
"Berkunjung ke rumah keluarga, Pak?"Itulah pertanyaan kesekian kalinya yang terlontar dari mulut sopir yang kini tengah mengantarkan Kevin ke Bandung. Pertanyaan yang lagi-lagi memaksa Kevin untuk berbicara ketika suasana hatinya sama sekali tidak dalam keadaan yang baik-baik saja."Iya," sahutnya singkat."Wah, seneng banget saya kalau lewat jalanan di sana." Sang sopir meneruskan pembicaraannya tanpa mencoba memahami kondisi kliennya. "Romantis banget itu suasananya."Kevin tersenyum pahit. Kata-kata yang diucapkan oleh sopir itu seketika kian membuatnya cemas. Setiap ingatan yang muncul tentang kota legendaris dalam hidupnya itu kini membuatnya berkeringat dingin."Nggak kebayang sih untuk saya, harga rumah di sana. Pasti miliaran, ya," ucap sang sopir.Kevin sama sekali tak menyahut sopir. Pikirannya berantakan. Banyak hal yang kini berkeliaran dalam benaknya. Bahkan ia sendiri pun tidak tahu apa tujuannya pergi ke Bandung.Untuk menyusul Tiffany? Rasanya mustahil untuk saat ini.
"Aduuuuh, La! Pelan-pelan atuuuh!"Tiffany menjerit sambil mencengkeram bajunya. Sementara itu, Damar dan istrinya terus terkekeh saat melihat tingkah konyol Tiffany yang terilihat tidak lagi memedulikan wibawanya sebagai seorang figur publik. Wanita itu malah terlihat seperti gadis kecil yang mengaduh menggemaskan."Aduuuh! Sakiit, Lala!""Lalaaa!""Damar! Lo jangan ngetawain gue! Ini sakit!"Wanita itu tidak berhenti mengoceh hingga bulir airmata terus mendarat di wajahnya. Tingkah wanita itu membuat Damar dan istrinya kian cekikikan sampai wajahnya memerah."Bentar, Fan," ujar Lala sambil merapikan perban yang telah disiapkannya.Bohong sekali jika sebelumnya Tiffany mengaku-ngaku bahwa luka yang ada di dahinya sama sekali tidak berarti apa-apa untuk dirinya. Nyatanya, setelah luka itu dibersihkan oleh Lala, rasa sakitnya bukan main.Tiffany memang benar-benar membenci luka yang menyakiti tubuhnya. Namun, kali ini, ia mengaduh kesakitan bukan semata-mata hanya karena luka yang ada p
Kim Shin menggoyang-goyangkan kakinya di bawah meja. Sejak Heru memulai presentasinya terkait bisnis Stars Peach Cafe, pria oriental itu memang tampak gelisah. Ia bahkan tidak terlihat benar-benar menyimak apa yang telah dipaparkan oleh Heru. Perasaannya begitu buncah dengan pikiran yang tidak karuan."Sudah?" tanyanya singkat setelah Heru kembali duduk di kursinya.Heru menganggukkan kepala sambil tersenyum simpul. Ia sejenak melirik pada Dine. "Sudah, Pak."Pertemuan mereka memang terjadi sangat mendadak. Kim Shin tiba-tiba datang ke kafe dan mendesak Heru untuk mempresentasikan bisnis Stars Peach Cafe. Tidak banyak alasan yang dapat membuat Heru menolak permintaan itu, terlebih lagi dengan kondisi keuangan kafe yang memang tengah membutuhkan suntikan dana investor. Alhasil, meskipun Heru belum mendapatkan tanggapan dari Tiffany terkait permintaan Kim Shin yang begitu mendadak, Heru memberanikan diri untuk mengambil keputusan. Ia menyanggupi permintaan Kim Shin.Kim Shin merapatkan
"Lu baik-baik aja, Fan?" tanya Geza setelah Tiffany masuk ke dalam mobilnya dan duduk di jok penumpang depan.Wanita itu terus saja menundukkan pandangannya. Tidak ada kehangatan yang biasanya terpancar dari wajah orientalnya itu. Bibirnya terus saja melengkung ke bawah dengan mata yang sayu.Tiffany tersenyum tipis. "Gue nggak mungkin baik-baik aja, Gez."Geza menarik napas dengan wajah gamam. "Tadi keliatannya Teh Yuna serius banget."Geza menelan ludahnya. Ia merasa gugup untuk memancing Tiffany agar ia mau menceritakan sesuatu tentang perbincangannya dengan Yuna barusan. Meskipun tidak begitu akrab, entah mengapa hatinya tergerak untuk memastikan agar Tiffany baik-baik saja. Geza tahu persis kalau Dimas sangat menyayangi Tiffany dan tidak ingin wanita itu terluka sedikit pun. Mungkin ini salah satu upaya yang dapat ia lakukan sebagai teman dari pria malang yang harus kehilangan nyawanya dalam insiden kecelakaan itu."Jadi ke DU-nya?" tanya Geza
Tiffany dan Yuna masuk ke dalam mobil kepunyaan kerabat Dimas. Keduanya tampak bersitegang. Yuna terus bersikap dingin dengan raut wajahnya yang sama sekali tidak memberikan ketenangan kepada Tiffany. Sementara itu, Tiffany terus menundukkan pandangannya sambil menahan tangis dan perasaan khawatir. "Jidat kamu kenapa?" tanya Yuna dengan datar. Tiffany refleks memegang perban pada keningnya. Ia menelan ludahnya sebelum melirik pada Yuna. Tiffany bingung harus menjawab apa. Mungkinkah Yuna belum membaca berita soal skandal terbarunya dengan ibu dan mertuanya Satria? "I—ini, kejeduk, Teh," balas Tiffany dengan gugup. "Gara-gara Dimas?" celetuk Yuna. Tiffany membulatkan matanya. Ia spontan bergumam kebingungan. "Bukan, Teh." Otaknya berupaya menemukan alasan yang tepat, Tiffany diam dengan ken