“Kau mengambil keuntungan dariku Tuan Director! Perbuatanmu barusan menunjukan seberapa rendah dirimu!” geram Raellyn, wanita itu lantas melesat kesamping menjauh dari pria itu. Dia tidak ingin membuat kekacauan lebih dari ini.
Arnav hanya menelengkan kepala seraya melihat kearah Raellyn. “Tampaknya lidahmu yang tajam itu sangat bertolak belakang dengan kelihaianmu dalam menggunakan senjata, Miss Raellyn.”
“Manusia cabul!” Belum ada sekitar tiga puluh menit sejak Raellyn menginjakan kakinya di ruang kerja pria itu. Tapi Arnav telah berhasil mendekatinya, bahkan mengambil satu ciuman darinya meskipun bukan yang pertama.
Sesungguhnya Raellyn tidak berpikir pria itu akan cukup berani, dia hanya belajar dari semua orang bahwa pria akan merasa sangat sebal dengan perempuan yang mencoba menggodanya. Raellyn tidak mengira bahwa pria itu justru malah menyerangnya ketika dia berpura-pura melemparkan rayuan.
Raellyn cukup kesulitan mengontrol debaran kencang di dalam dadanya. Lebih karena ciuman sang director yang begitu nikmat dan penuh kontradiksi mengejutkan.
Tindakan yang dilakukan oleh Arnav secara tiba-tiba tersebut sungguh sangat menohok dirinya, apalagi ketika dia mengingat tubuhnya ikut menanggapi dengan penuh nafsu yang sama sekali bertentangan dengan kepribadiannya. Bagaimana pria itu bisa membuat ia berubah sedemikian rupa?
Arnav adalah contoh dari eksistensi pria berbahaya, bahkan patut dia waspadai lebih dari yang dia bayangkan.
Gelora panas yang membakar seluruh tubuh Raellyn saat mengingat bagaimana sang director menekan tubuhnya dan menjarah bibirnya seolah menekankan bahwa pria itu berhak melakukannya tanpa harus mendapatkan perlawanan.
Kini dengan air muka yang tidak tertebak apa maksudnya, Arnav telah berbalik mengawasi tindak tanduknya. Gerakan halus yang dia buat layaknya seekor singa jantan yang kelaparan. Tangan Raellyn sungguh sangat gatal ingin melayangkan pukulan pada wajah yang terlihat sedemikian angkuh didepan matanya. Dorongan yang begitu kuat sebab dia bahkan perlu mengepalkan lengan kuat-kuat. Sepertinya Arnav beruntung lantaran pria itu telah mengenyahkan pisau lipat yang beberapa saat lalu Raellyn pegang. Dia pintar, namun licik.
Alis Arnav melengkung melihat gesture tubuh Raellyn. “Apa kau masih berniat untuk melanjutkan negosiasi kita? Apa sekarang kau punya dendam kesumat lain padaku setelah tidak berhasil melampiaskannya pada saudaraku?” tanya Arnav lambat-lambat, seperti dia peduli pada apapun respon yang akan Raellyn hadirkan. Seolah tanggapan Raellyn teramat penting baginya.
“Aku bisa melihat dari mana Arsene mendapatkan kecenderungan akan perilaku tercelanya dan ketidaksenonohannya.”
Arnav kini menyeringai. “Apa sebelumnya kau mengira bahwa aku pria yang berbudi Miss Raellyn? Sungguh naif. Padahal saat ini saja aku sedang memikirkan bagaimana caranya menidurimu sebelum kau pergi.”
Raellyn terperangah takjub atas perkataan sembarangan yang dilontarkan pria itu. Terpana atas kesombongannya seolah dia pemilik sejati dan memiliki tahta diatas oranglain. Raellyn mencoba untuk mengamati wajah pria itu, menemukan sesuatu yang bisa dia jadikan untuk melawannya balik. Wanita itu berusaha mengambil peluang dan memahami apa yang sedang terjadi diantara mereka dalam waktu yang singkat.
Dalam diamnya, Raellyn yang yakin bahwa Arnav sedang mendidih.
Entah dia mengetahuinya dari mana namun Raellyn meyakini dengan sangat pengamatannya tersebut. Lekuk bibir pria itu, caranya bersandar pada meja kayu dengan angkuh, menunjukan dia berupaya untuk menutupi itu semua. Raellyn mendapatkan kebenaran itu lewat matanya. Mata sebiru samudra pria itu begitu membara denagn intensitas yang tidak dapat dia pahami. Tapi sejauh ini kesimpulannya adalah hanya Raellyn saja pihak yang sedang dirugikan.
Sesal mulai dia rasa, Raellyn terlambat menyadari bahwa Arnav berbeda seratus delapan puluh derajat dengan Arsene, ataupun dengan para pria yang mencoba mendekatinya dan mengunjungi kediamannya setiap malam minggu. Arnav tidak seperti para pria yang mencoba untuk melamarnya karena kecantikannya dan mencoba membelinya dengan mas kawin yang murah.
Arnav pria yang tidak ramah, tidak mudah diajak bicara, dia juga tidak seperti pria terhormat dengan reputasinya yang diatas awan, dia bukan pria yang bisa diatur bahkan ditipu dengan begitu mudahnya. Dia pria yang licik, luar dan dalam. Kaya, kuat, dan picik. Raellyn merasa khawatir dia tidak dapat menandingi pria itu. Meskipun beberapa orang menyatakan bahwa otaknya cukup cerdik dan tidak ada tandingannya.
Kekuatan yang begitu terkendali terpancar dari dalam diri Arnav, berikut pula dengan sensualitas gelap yang mempertegas sosoknya. Meskipun memang saat ini bibirnya menyunggingkan senyum tipis, tapi tetap saja sorot matanya begitu dingin dan juga angkuh. Reputasi yang tersemat sebagai pria yang lihai dalam urusan bisnis, ternyata memang layak untuk disandangnya. Apalagi bila ditambah dengan rumornya yang telah mencicipi banyak gadis sebagai bayaran atas bantuan yang dia berikan untuk menaikan pamornya di dunia hiburan. Raellyn mungkin memang sedang goblok dan tidak beruntung dalam situasinya sekarang.
“Kau marah.” Raellyn mengamati wajah Arnav. Mencari tanda yang menunjukan bahwa dia tidak keliru. Berusaha sebaik mungkin untuk memblokir gambaran mengenai perkataan yang dikatakan oleh Arnav soal menidurinya. “Kau marah karena kau bukan yang pertama. Itu kan alasannya?” Perkataan tanpa pertimbangan itu lolos begitu saja.
Bayangan kehancuran mulai memenuhi benak Raellyn selepas mengatakan hal itu. Dia tahu bahwa sentimental dalam dirinya mengalahkan seluruh logika.
“Kau salah.” Suara Arnav terdengar lagi. “Aku benci seorang pembohong,” timpalnya lagi. Memang tidak ada korelasi sama sekali tapi tetap saja pria itu tahu caranya menghina seorang wanita.
“Aku hanya mengatakan pendapatku, dan aku mengatakan hal yang sebenarnya.” Raellyn menunjukan senyum mengejek padanya.
“Arsene tidak melakukan apapun padamu. Kalaupun benar, berarti dia adalah pria yang payah dalam melakukannya.”
Raellyn terbelalak mendengar komentar pedas Arnav. “Kau bersikeras menganggapku sebagai seorang pendusta? Dengar aku tidak mungkin melakukan ini bila aku sedang berbohong padamu atau membuat skenario palsu! Aku hanya menuntut perkataan Arsene padaku. Aku bersumpah atas kerhomatanku sendiri bahwa saudaramu telah memperdayaku dengan seenaknya menjanjikanku sebuah pernikahan!”
Meskipun Arnav terus memandanginya dengan dingin, Raellyn bergeming. Dia mengesampingkan seluruh emosi yang bergejolak di dalam dirinya.
“Wanita sepertimu tidak punya kehormatan yang bisa kau pertaruhkan untuk sebuah sumpah.” Nada suara Arnav terdengar begitu menusuk dan tajam. Itu jelas hanyalah hinaan, tidak ada yang lain. Air mukanya memerah, bukan karena malu tapi karena amarah yang sudah mulai kesulitan untuk dapat dia bendung.
“Lihat, kau tersipu. Kau malu karena aku baru saja mengungkap aibmu.”
“Tersipu? Anggap saja ini caraku untuk memperlihatkan kerendahan hatiku. Tuan director,” tukas Raellyn.
“Seorang wanita yang membawa senjata dan berusaha mengajakku negosiasi dengan cerita omong kosong. Ini menarik. Jadi beri tahu aku, Miss Raellyn, bakat apalagi yang kau sembunyikan di balik wajah cantik dan tubuh molekmu itu? apa kau barangkali juga bisa bermain piano sambil bernyanyi atau mungkin menari? Kusarakan untuk mengambil pole dance karena kau cocok untuk itu.”
Dalam hati Raellyn memaki setiap bagian tubuhnya yang mendadak terasa lemas ketika Arnav mengamati sekujur tubuhnya dengan seksama selepas mengatakan komentarnya.
Raellyn menegakan tubuhnya sendiri setelah itu, kemudian menanggapi cemoohan sang director dengan penuh percaya diri. “Tidak. Tapi aku tahu caranya membuat sebuah ketegangan dalam film, aku bisa menulis sebuah naskah drama dengan sangat terampil. Aku tidak tertarik pada tarian bodoh yang kau rekomendasikan, karena aku tidak suka tubuhku dikonsumsi oleh mata orang asing yang tidak kukenal. Ah aku juga pandai menghadapi orang-orang sombong dan angkuh, misalnya pria yang berdiri dihadapanku sekarang.”
Arnav berjalan menuju kearah telepon di mejanya. Mengangkat benda itu kemudian bicara pada seseorang. Mengabaikan Raellyn yang sedang meledak-ledak dengan sindiran pada pria dihadapannya. Tidak perlu menunggu lama sampai seorang asisten pria yang beberapa saat lalu mengantar Raellyn mengetuk pintu dan masuk kedalam ruangan.
Raellyn kini menutup mulutnya, merasa malu.
Sang asisten pria membungkuk. “Ada yang bisa saya bantu Pak?”
“Tolong kosongkan jadwalku hari ini, aku ada urusan penting. Tolong hubungi juga penghulu,” perintah Arnav. “Ah, aku juga tidak akan kembali ke kantor. Karena aku punya jadwal kencan dengan calon istriku.”
Sekonyong-konyong ruangan yang Raellyn pijaki terasa berputar ketika wanita itu mendengar pernyataan Arnav terhadap asistennya. Ia langsung jatuh terpernyak di kursi terdekat lalu mengambil gelas berisi wine yang sempat wanita itu tolak dari Arnav. Ditenggaknya habis dalam seketika, dia benar-benar menghilangkan title wanita dengan bermartabat dalam sikapnya.
Raellyn amat mengagumi bagaimana pembawaan sang asisten yang bekerja sama dengan Arnav. Pria itu sama sekali tidak terlihat kaget ataupun terlihat gembira atas pengumuman itu. “Baik, saya akan mengatur semuanya.” Dia kemudian berlalu dari luar ruangan. Menyisakan Raellyn dan Arnav berdua saja.
Raellyn menarik napasnya dengan lambat. “Pak Director, aku—”
“Arnav saja, sekarang kita sudah masuk dalam tahap intim. Jadi tidak perlu menggunakan panggilan seperti itu, Raellyn.”
Raellyn bergidik mendengar cara Arnav menyebut namanya, bergulir perlahan di lidahnya seolah dia menikmati setiap pengucapan setiap suku katanya. Raellyn bingung. Apakah pria ini mengidap sejenis penyakit dengan kepribadian ganda? Raellyn seperti sedang mengendarai roller coaster. Beberapa saat yang lalu pria itu marah padanya dan menghinannya dengan kasar. Sekarang pria itu malah tersenyum padanya dengan sensualitas yang terasa begitu ganjil.
“Kau setuju untuk menikahiku?”
Satu pekan kemudian, resepsi pernikahan digelar. Tidak banyak persiapan yang dilakukan, karena Arnav telah menyerahkan seluruh urusan tersebut kepada wedding orgaziner terkemuka dan professional dibidangnya. Sehingga, meskipun serba dadakan tapi hasilnya terkesan seperti sebuah pesta yang telah direncanakan jauh-jauh hari dan ini lebih seperti pertama kalinya Raellyn dinikahi. Belum lagi keramaian ini juga karena ada beberapa wartawan yang meliput acara pesta dan bahkan disiarkan secara langsung. Memang benar pengaruh seorang Arnav bisa mengguncangkan layar kaca dan semua orang. Padahal ini hanyalah acara resepsi tapi makna yang terkandung di dalamnya terasa seperti sebuah pernikahan yang memang selalu Raellyn impikan. Seolah Arnav memang memahami betul dirinya dan Raellyn terkejut karena detail-detailnya sesuai sekali dengan pernikahan impiannya. Padahal obrolan mengenai acara resepsi hanya berlangsung sekali dan itu pun tidak terlalu mendalam karena mereka berdua langsung sibuk deng
“Tolong jangan merusak itikad baikku malam ini. Aku tidak memanggil kalian kemari untuk berdebat dan menuding istriku dengan sesuatu yang tidak masuk akal,” ujar Arnav yang seketika menghentikan perdebatan hanya dalam sekejap mata.Pandangan mata Sylvia berubah, wanita itu langsung menunduk begitu pula dengan adik Arnav yang baru Raellyn ingat bernama Louisa. Keduanya tidak mampu mengatakan sepatah kata pun dan kondisi meja kembali tertib.Raellyn memang sangat menyangkan situasi yang berjalan tidak seharusnya. Sebagai satu keluarga dan di dominasi oleh orang dewasa semestinya mereka memiliki pemikiran yang matang dan bisa menentukan mata yang pantas dan tidak pantas di lakukan. Toh, untuk apa pula berdebat dan mempermasalhkan hal yang tidak benar adanya? Menunjukan siapa yang paling benar dan pantas mendapatkan dukungan dan simpati? Cerita lama.“Nyonya Chyntia alasan aku memanggilmu kemari karena aku ingin minta maaf.”Semua orang di meja langsung menatap Arnav dengan pandangan tida
Seminggu berlalu sejak moment dimana Arnav bilang ingin meminta maaf pada Nyonya Chyntia dan ingin melepaskan beban masa lalu. Raellyn memang senang mendengarnya, tapi ketika hari dimana suaminya mengajaknya untuk melakukan sebuah pertemuan dengan sang ibu mertua saat itu pula pikiran Raellyn malah tidak tenang.Restaurant mewah yang mereka datangi malah membuat Raellyn dejavu. Suasana ini nyaris serupa dengan saat pertama kali dia bertemu dengan sang ibu mertua. Yang berbeda adalah dia tidak begitu mengenal ibu mertuanya saat itu dan punya tujuan untuk ikut campur bak super hero bijaksana. Tapi sekarang Raellyn hanya menjadi seorang pengamat dan dia tidak di perkenankan ikut campur sebelum Arnav menyelesaikan urusannya. Raellyn sekarang memang sudah berubah, dia sudah bisa memahami posisinya dan tidak lagi keras kepala seperti dulu. Maka beginilah yang terjadi dia menanti dengan sabar sebelum keluarga baru suaminya tiba.Kemarin, Arnav kembali menyinggung soal niatannya dan saat itu
Suara pintu dibuka dan sedikit mengejutkan bagi kedua insan di dalam ruangan ketika seorang pria paruh baya masuk kesana.“Paman,” panggil Raellyn begitu menyadari orang yang datang berkunjung adalah sang paman. Dia melirik kearah Arnav yang tersenyum kearahnya. Raellyn benar-benar terharu, dia pikir pria itu tidak akan membagi kabar ini kepada kerabat ataupun keluarga. Raellyn juga tidak memaksanya karena dia tahu pria itu sudah cukup sibuk dan lelah selama seharian kemarin. Makanya ketika dia melihat pamannya datang Raellyn senang bukan main. Keluarganya menjadi yang pertama mengetahui soal kelahiran putranya.“Dimana cucuku, Raellyn? Aku ingin melihatnya,” ujar sang paman dengan penuh pancaran kebahagiaan. Dia benar-benar menampakan sebuah ekspresi tak sabar untuk melihat cucunya. Perasaan bahagia itu tidak bisa dia sembunyikan setelah mendengar bahwa keponakannya baru saja melahirkan. Tentu saja pria itu langsung melesat ke rumah sakit tanpa perlu memikirkan apapun.“Ini cucumu, p
Operasi caesar telah usai dan berjalan dengan sangat lancar. Kini Raellyn dibawa menuju ke ruang pemulihan khusus dan dia berada di bawah pantauan tim dokter dengan sangat teratur. Tentu saja hal ini tidak lepas dari kuasa sang suami yang memberikan seluruh akses istimewa sehingga Raellyn mendapatkan perawatan secara paripurna. Infus masih terpasang di lengan kiri Raellyn selama istrinya itu masih belum bisa makan dan juga minum dengan sempurna.Arnav, dengan seluruh kuasa yang dia miliki juga meminta agar anaknya berada di dalam satu ruangan yang sama dengan Raellyn. Hal itu tidak terlalu banyak menyita waktu karena memang bayinya sehat dan tidak membutuhkan tindakan medis lebih lanjut.“Berapa lama masa penyembuhan istri saya, dok?” tanya Arnav, saat ini dia berada di ruangan sang dokter muda yang menangani persalinan istrinya.“Kurang lebih sekitar empat sampai dengan enam minggu untuk sembuh total dan bisa beraktifitas seperti biasa. Saya sangat menyarankan istri anda jangan sampa
Memasuki jadwal kontrol bulanan, di fase bulan ke sembilan. Raellyn seperti biasa di dampingi oleh Arnav kembali mengunjungi sebuah klinik yang telah di percayai untuk berkonsultasi mengenai kelahiran buah hati mereka pada dokter yang menanganinya. Bahkan Arnav sendiri juga sudah sampai pada titik melakukan reservasi sebuah kamar VVIP di sebuah rumah sakit untuk berjaga-jaga, karena dari yang dia ketahui melalui pengalaman asisten pria-nya terkadang kelahiran dapat terjadi secara tiba-tiba dan melenceng dari hari yang sudah di jadwalkan. Dalam hati terutama untuk Raellyn sendiri, tentu saja dia terkadang kerap kali di hantui oleh rasa cemas dan juga takut yang berlebih selama menantikan hari persalinan.“Arnav, aku tiba-tiba jadi merasa takut.”Arnav sendiri biar pun tampangnya terlihat tenang, tapi jauh di lubuk hati dia juga cemas bukan kepalang. Dia sangat khawatir kepada istri dan juga calon buah hati mereka. “Tenanglah, sayangku. Apapun yang terjadi nanti aku ada disampingmu.”Ra
Sayangnya sejak hari itu Arnav tidak pernah buka suara tentang apa yang terjadi. Arsene juga sudah tidak pernah terlihat lagi batang hidungnya. Raellyn memang penasaran dengan apa yang terjadi, tapi untuk sekarang dia merasa tidak perlu mengulik atau pun mencari tahu. Dia sudah mempercayai Arnav dan tidak lagi meragukan dirinya yang dulu. Kedua pria itu pasti punya alasan, dan Raellyn tidak akan mengusik hal tersebut.Waktu sudah berlalu, menginjak bulan ke sembilan dari kehamilannya. Raellyn makin hari makin di manjakan saja. Sesungguhnya Raellyn hanya bisa berdoa agar dia tidak meleleh setiap paginya karena pria itu selalu saja punya cara untuk memanjakannya dengan penuh cinta. Apalagi saat perutnya dibelai sambil dibisiki kata-kata mesra. Ah… sungguh, apakah Arnav memang seperti ini? rasanya dia benar-benar seperti tokoh pria fiksi idamannya jika begini terus.“Raellyn sayang, bangun.”“Tidak mau.” Raellyn masih merasa sangat berat, semalam mereka bermain cukup lama. Ini karena Arn
Lita dan Raellyn kini asyik berceloteh ria di ruang tamu kediaman sang paman. Sepupunya itu langsung melonjak gembira begitu membuka pintu dan mendapati Raellyn ada disana dengan perut buncitnya. Padahal sedari tadi dia kata Sharon, Lita hanya menatap ponselnya tanpa memiliki niatan beranjak sedikit pun. Raellyn hanya terkikik mendengarkan celotehan adik sepupunya itu sambil sesekali Lita akan angkat bicara untuk menyanggah apa yang adiknya katakan. Reuni kecil setelah sekian lama memang membawa sedikit rasa nostalgia.Kini setelah ditinggal oleh Sharon, kedua wanita itu mulai bercerita banyak hal. Terutama topik mengenai kehamilan Raellyn yang sejak tadi selalu diungkit oleh Lita.“Kau sudah siapkan nama untuk calon anakmu belum?”Raellyn hanya menggeleng. “Aku belum punya nama untuk bayiku, tapi aku rasa Arnav sudah punya beberapa. Dia sangat antusias sejak dokter bilang bahwa calon bayi kami akan lahir sebagai bayi laki-laki.” Raellyn mengujar seraya mengusap perut besarnya dengan
Mendengar suara Mrs. Maddy dari balik pintu Raellyn tersedak saliva-nya sendiri dan terbatuk-batuk. Muka wanita itu langsung merah padam tak tertahankan ketika melihat ke arah pintu kamar yang sudah terbuka dan menampakan si kepala pelayan. Sementara Arnav susah payah untuk menggeram menahan hasratnya yang harus dia tenangkan. Kehadiran Mrs. Maddy benar-benar sangat tidak tepat.“A-ah ya Mrs. Maddy ada apa?” Raellyn menghampiri wanita itu untuk mengurangi kecanggungan meskipun tentu saja kesalah tingkahannya tidak benar-benar bisa dia sembunyikan.“Maaf bila saya mengganggu aktivitas pagi Anda. Tapi ada tamu.”Mati aku! Raellyn sempat merutuk sebelum akhirnya dia terhenti dan menatap Mrs. Maddy dengan tatapan tidak percaya.“Tamu? Pagi-pagi begini?” tanya Raellyn yang sekarang benar-benar murni telah melepaskan seluruh kecanggungannya beberapa saat lalu menjadi sebuah tanda tanya besar di kepala.Mrs. Maddy diam sejenak, wanita itu bergantian memandangi wajah Raellyn yang ada di hadap