Serina mengedikkan kepala tidak peduli melihat mayat laki-laki mungil malang yang jatuh di bawah ranjang. Lalu pandangannya yang tak acuh kembali ia tujukan pada Brata yang masih mematung tidak percaya.“Pakai bajumu, lalu bicara denganku di ruangan lain.”Brata akhirnya tersadar dari keterkejutannya, napasnya menyentak marah. “Apa yang kau lakukan, Serina?!”Serina mengangkat dagu alih-alih merasa bersalah. “Membunuhnya.” Menunjuk laki-laki bersimbah darah di bawah ranjang dengan santai.Gemelutuk gigi Brata terdengar jelas di tengah keheningan kamar. “Beraninya kau melakukan itu padanya!”“Sudahlah, Brata. Jangan sampai peluru ini ikut menembus kepalamu. Aku tunggu di ruangan yang bersih.”Serina tak memedulikan ekspresi bengis Brata sedikit pun. Ia melengos keluar dari kamar yang sudah bersimbah darah itu dengan tak acuh. Tanjung mengekor secara otomatis di belakangnya.“Kenapa kau membunuhnya?”Serina terus berjalan tanpa mengindahkan pertanyaan Tanjung, pun mengabaikan para pria
Serina menggeliat marah, mencoba melepaskan diri dari belitan tangan Tanjung untuk kembali menyerang Brata, tapi Tanjung memeluknya kian erat sampai Serina hanya bisa mendengus penuh amarah.“Lepaskan aku, akan kubunuh si keparat itu!”“Kau mengajakku ke sini bukan untuk menyaksikan semua tindakan kriminalmu!”Detik itu juga Serina terdiam. Seolah kata kriminal itu begitu melekat di kepalanya. Berulang kali dia mendengarnya dan berulang kali pula dia selalu terpengaruh.Melihat Serina menjadi lumayan tenang, Tanjung melonggarkan pelukannya. “Kau bilang aku harus menghadapi seseorang untuk membuatmu menyetujui tawaranku. Apa dia orangnya?” Tanjung melirik Brata yang masih terbatuk-batuk.Serina tidak menjawab. Hanya deru napasnya yang berembus tidak teratur. “Biar aku yang menyelesaikannya. Diamlah dan serahkan semuanya padaku.”Serina mendengus kasar—masih menggeliat marah di atas pangkuan Tanjung. “Aku akan mengatasinya. Percayakan padaku.”Serina masih enggan turun dari atas paha
Serina kehilangan kendali diri. Malam ini adalah malam yang sangat tidak beruntung untuknya. Dihunjamnya Brata sangat tajam. Matanya penuh dendam dan kebencian. “Kau tidak lihat kondisinya? Aku harus membawanya ke rumah sakit dulu.” “Kalian pasti akan kabur setelah ini. Jangan membodohiku.” “Lalu apa maumu?” “Pengawalku akan mengikuti kalian.” “Jangan gila! Kami akan ke rumah sakit sekarang!” Di tengah ringisannya yang semakin kesakitan, Tanjung meraba-raba dompet di saku celananya. Tangannya gemetar dan tidak mampu bergerak dengan bebas. Serina sangat membenci situasi ini. Sungguh. Alih-alih kembali kepada keluarganya dan tidur dengan nyaman, sekarang dia harus berhadapan dengan dua laki-laki menyebalkan. “Apa sih yang kau cari?!” “Dompet,” jawab lelaki itu lirih. Serina akhirnya membantu, gemas melihat Tanjung yang terus merogoh sakunya, tapi tidak mengeluarkan apa-apa. Ia memasukkan tangan ke saku lelaki itu, agak sulit karena ia harus menyorongkan tubuh sebab tangan ki
Selagi dr. Linda mengobati luka Tanjung, Serina membuka seluruh kancing kemeja lelaki itu dan mulai membersihkan peluh yang membanjiri dada dan perutnya.“Apa tidak ada infeksi?” tanyanya.“Untungnya tidak karena Anda cepat memanggil saya, tapi pelurunya menembus cukup dalam. Saya tidak punya alat yang cukup untulk membedahnya.”Serina semakin pening. Apa lagi yang harus dia lakukan sekarang?“Begini, saya punya rekan dokter yang punya klinik pribadi. Kalau pasien tidak mau dibawa ke rumah sakit, dia bisa dibawa ke sana.”Serina luar biasa lega. Ia mengangguk cepat dan dr. Linda langsung menelepon rekan dokternya.“Syukurlah. Masih ada ruang operasi yang kosong. Kita harus cepat membawanya.”Tanpa membuang waktu yang lama, dr. Linda membantu Serina memapah Tanjung. Wanita berkulit kecokelatan itu buru-buru mengambil mobilnya di depan apotek dan kembali membantu Serina memasukkan Tanjung ke dalam mobil.“Kliniknya cukup dekat. Cuma perlu 12 menit. Kita akan sampai dalam sepuluh menit.”
Tanjung tampak kaget. “Apa?”“Menikah. Karena kau sudah membebaskanku dari Brata yang semoga saja kelaminnya berulat itu, maka aku akan menuruti kemauanmu. Menikah dan menyingkirkan ibu tirimu. Kita seimbang.”Tanjung menggeleng dengan raut kebingungan. “Tunggu, kapan aku bilang kita akan menikah?”Serina memajukan tubuh, mengamati wajah Tanjung seperti memeriksa sesuatu. “Apa peluru itu naik ke kepalamu? Kau yang melamarku dengan putus asa dua hari yang lalu.”Wajah Serina terlalu dekat sampai Tanjung bisa melihat seberapa mulusnya kulit wanita itu. Pori-porinya hampir tidak terlihat, seperti boneka porselen.“Maksudku bukan menikah dengan sungguh-sungguh, hanya bohongan untuk mengelabui ibuku. Kita tidak perlu menikah—"“Hei, Tuan Tanjung. Untuk mendapat hasil maksimal, kau harus melakukannya dengan totalitas penuh. Seorang aktor saja akan belajar bela diri sampai mahir demi memerankan perannya dengan sempurna. Kau berpikir ibu tirimu yang kejam itu adalah anak SD yang mudah dikelab
Segalanya sudah Tanjung ucapkan di hadapan penghulu, dua perawat pria dan juga dr. Fahri, serta Serina sebagai mempelainya. Hari ini ia bahkan bisa pulang. Alat penyangga sudah dilepas berikut dengan gips di lengannya. Ia tidak tahu apa yang Serina katakan pada dokter untuk mengizinkan mereka melakukan ini.Wanita itu muncul dari balik pintu, menunjukkan paper bag yang dibawanya lalu mengeluarkan isinya. Setelan jas serta alat mandi untuk Tanjung. “Kau bisa mandi sendiri. Well, ini memang terdengar kejam—kau baru saja tertembak dan harus pura-pura sehat—tapi inilah yang harus kau lakukan.”Tanjung mengambil kantong itu. “Tidak masalah. Aku sudah biasa melakukannya.” Lalu melepas selang infusnya dengan santai. Rasanya sakit, tapi ia sudah terbiasa. “Yah … orang dewasa memang harus terbiasa. Tidak boleh istirahat saat sakit, itu sudah menjadi makanan kita.” Serina mengedikkan bahu santai.Diam-diam Tanjung tersenyum miris. Jangankan dewasa, dari kecil pun ia terbiasa melakukannya. Naru
Tatapan itu jelas merendahkan Serina. Lirikannya menyapu penampilan Serina dari ujung sepatu sampai ujung rambut, kemudian satu ujung bibirnya tertarik ke atas.“Kok tahu?” celetuk Serina secara tiba-tiba. Kepala Tanjung mulai terangkat, sedang wajah Narumi menjadi datar dalam sekejap. Pandangannya menyapu wajah Serina lekat-lekat. “Siapa namamu, Nona?” Nada suara itu terdengar antusias, kombinasi antara marah dan tertarik.Serina memasang senyum terbaiknya, tidak canggung sama sekali, lalu mengulurkan tangan. “Serina, Madam.”“Oh, Serina?” Narumi menatap lekat tangan Serina, lalu tersenyum jijik.Serina tidak tersinggung sama sekali. Dia angkat sebelah bahunya santai kemudian menarik kembali tangannya yang tidak tersambut.“Jadi kau memang memungutnya dari kelab malam? Saat kau berusaha menenangkan diri dari patah hati kekanakanmu, anakku? Saat aku menolak kekasihmu?” Serina jelas tahu teknik itu. Teknik yang mencoba meruntuhkan kepercayaan dirinya. Mengoyak habis harga dirinya dan
Hening yang pekat kembali menerjang. Suasana terasa lebih senyap dari sebelumnya, sampai akhirnya Serina mengurai senyum tanpa memutus tatapannya dari Narumi. Kedua mata serupa langit malam itu menyiratkan ejekan yang mampu ditangkap Narumi dengan cepat. “Wah, aku sangat kagum pada intuisimu, Madam. Dari tadi kau menebak dengan benar. Dari mana kau tahu aku adalah perempuan murahan?” Lalu tawa itu meluncur, merobek keheningan yang sejak tadi menyiksa paru-paru Tanjung.Tanjung terperangah. Sumpah mati, tidak pernah ada satu wanita pun yang berani melakukan hal itu di depan Narumi. Bernapas saja mereka tidak berani. Tapi, wanita satu ini melakukan hal-hal yang melebihi semua ekspektasinya.Diliriknya Narumi yang membeku hebat. Ingin rasanya ia mengabadikan keterkejutan yang dibungkus dalam ketenangan itu.“Aku menghibur para lelaki yang sedang kalut di club-ku.” Serina menunduk untuk mengamati kuku-kuku hijaunya yang mengkilap indah. “Aku penasaran seperti apa keluarga yang sudah mend