“Jadi istriku.”
Serina hampir mengira dirinya salah dengar. Dada mereka bersentuhan dan ia bisa merasakan gerakan naik turun dada Tanjung yang semakin cepat.
Ia mendorong laki-laki itu dan memberikan jarak di antara mereka. Syukurlah, kali ini tubuh Tanjung bergerak, dan Serina bisa melihat mata Tanjung yang bergetar dan memerah.
Bola mata Tanjung seperti tidak fokus, seolah berusaha menghindari tatapan Serina.
“Istri kau bilang?” Serina tidak habis pikir. “Banyak laki-laki yang tertarik padaku, tapi baru kali ini ada yang memintaku menjadi istrinya.”
Serina gemas sekali. Ingin rasanya ia mengangkat dagu laki-laki itu dan membuatnya menatap matanya. Ia seperti sedang berhadapan dengan murid SD yang sedang mengakui kesalahannya di depan guru.
“Apa alasanmu? Kita baru pertama kali bertemu.” Lalu Serina membulatkan mata lima detik kemudian. “Oh, apa cinta pada pandangan pertama?” Ditatapnya lelaki itu ngeri.
Tanjung tidak menjawab.
Dan Serina menertawakan terang-terangan. “Kau ingin mengorbankan masa depanmu hanya karena cinta pandangan pertama yang konyol?”
Itu sangat naif. “Kau hanya tertarik, Tuan. Bukan cinta.”
“Bukan.”
Serina menutup mulut dan memfokuskan pandangannya pada lelaki itu.
“Aku ingin kau menyingkirkan ibuku.”
Serina memiringkan kepala. Tidak mengerti dan juga tidak tertarik.
“Ibu tiri.”
“Ah, perebutan warisan? Drama keluarga kaya.” Serina mengerjap bosan. “Maaf, tapi aku tidak ingin terlibat.”
Ia mengayun langkah dan meninggalkan tempatnya sambil menggeleng heran. Bisa-bisanya hari ini dia bertemu dengan orang-orang aneh yang menyebalkan.
“Tunggu.” Tanjung kembali meraih lengan Serina. “Aku akan memberikan bayaran yang sepadan. Berapa pun yang kau mau.” Diliriknya kertas-kertas yang diremas Serina.
“Apa pun masalahmu, aku akan membantu.”
Serina ikut melirik surat kontraknya. Mulai merasa bingung dan disorientasi. Juga tidak mengerti mengapa lelaki bernama Tanjung ini sejak tadi terus memepet padanya. Kali ini pria itu meraih lengan kanannya dan kembali mendekatkan tubuh mereka.
“Aku juga akan membebaskanmu dari tempat ini. Kau tidak perlu mendapatkan penghinaan seperti tadi.”
Serina seperti sedang berhdapan dengan seorang bocah TK yang merengek ditemani tidur sepanjang malam sambil memberikan janji-janji bahwa dia akan menjadi anak baik dan akan mendapatkan nilai tertinggi di sekolah.
Baginya, lelaki ini terlihat seperti itu.
Seperti laki-laki yang putus asa dan hanya berharap padanya. Begitu berharap sampai-sampai tidak sanggup menerima penolakan.
“Kenapa harus aku? Banyak perempuan di luar sana.”
Tanjung kembali mengembuskan napas berat di bahu kiri Serina. “Hanya kau yang bisa.”
Tanjung terlihat sangat tertekan. Sebenarnya seburuk apa tabiat ibu tirinya?
Serina mulai merasa iba, tapi tentu rasa kasihan itu tidak bisa membuatnya mengambil keputusan secara spontan. Ia perlu menemui Brata dan menyembur pria tua bangka itu.
“Aku akan mengikuti semua kemauanmu dan memberimu banyak uang.”
Serina menghela napas. Lelaki ini tidak akan berhenti merengek jika dia tidak memberikan kesempatan. “Baiklah. Kita bicarakan di tempat yang sepi. Kau punya uang untuk menyewa satu ruangan VIP?”
Tanjung mengangguk dan sedetik kemudian Serina sudah menarik tangannya keluar dari lorong tempat peristirahatan para pekerja itu menuju ruang VIP.
Mereka masuk ke ruangan paling ujung. Dengan napas lelah, Serina menghempaskan tubuh ke atas sofa dan menyandarkan kepalanya.
“Oh, Tuhan … hari ini aku bertemu orang-orang aneh.”
Tanjung ikut duduk di hadapan Serina. Menatap wanita itu dalam-dalam dan menemukan banyak keunikan. Serina terlihat licik dan punya banyak akal, tipe yang sulit dilawan, tapi juga punya sisi yang natural seperti ini.
“Jadi … ceritakan semuanya, dan berhentilah merengek.”
Tanjung mengernyit. Kapan dia merengek?
Meski begitu, ia tetap memperbaiki posisi duduknya dan bersiap untuk menceritakan segalanya.
“Ayahku punya wanita simpanan.”
Kalimat awal itu direspon oleh dengusan muak oleh Serina. Lagi-lagi simpanan! Laki-laki berengsek!
“Dan wanita simpanan itu adalah ibuku.”
Oh, baiklah. Serina mengerjap canggung dan mulai menegakkan tubuhnya.
“Ibu tiriku sangat membenci ibuku. Dia adalah perempuan yang sangat mengerikan. Di saat umurku lima tahun, dia membawa beberapa preman untuk menyiksa ibuku, bahkan memperkosanya secara bergantian.”
Saat itu mata Tanjung tak lagi fokus. Ia menunduk dengan dua tangan yang mengepal kuat. Masih teringat jelas dalam kepalanya, bagaimana angkuhnya Narumi yang membawa lima preman berbadan besar dan menyiksa ibunya tepat di depan mata Tanjung kecil.
“Lalu membawaku pergi. Mengurung ibuku di rumah sakit jiwa dan membesarkanku dengan cara yang sangat kejam. Mendidikku dengan disiplin yang ketat dan menyiksaku setiap saat. Menguasai diriku dan kehidupanku.”
Tanjung bahkan tidak bisa lagi menemukan jati dirinya sendiri. Ia dikuasai. Tubuh, hati, jiwa, mental dan pikirannya didominasi penuh oleh Narumi sejak kecil.
“Lalu saat aku mulai dewasa. Ketika aku sedikit memberontak, dia mengancamku dengan menggunakan ibuku.”
Sampai di situ, Serina merinding.
“Aku membawa beberapa wanita pilihanku, tapi semuanya berakhir gagal. Tak ada yang berjalan lancar. Dia ingin menjadikanku bonekanya seumur hidupku.”
Tubuh itu menggigil. Serina melirik AC di atas mereka sekilas kemudian menyadari bahwa Tanjung bukan menggigil karena kedinginan.
“Aku kehabisan cara untuk terbebas darinya. Setelah melihatmu, aku mendapatkan cara terakhir. Aku tidak punya strategi lain selain itu.”
Serina tak mampu berkata apa-apa. Saat Tanjung mengangkat wajah untuk meminta jawabannya, Serina menggeleng dan saat itu juga Tanjung menjadi murung.
“Aku tidak sedepresi itu untuk menghasilkan uang sampai masuk ke kandang macan betina seperti ibu tirimu.”
“Aku akan membantumu.”
“Aku juga punya keluarga, Tuan Tanjung. Apa kau bisa menjamin ibu tirimu tidak akan menyakiti keluargaku?”
Yah, walaupun itu mustahil terjadi sih.
Dia punya seorang kakak mantan pembunuh bayaran dan saat ini bekerja sebagai pengawal eksklusif, juga kakak ipar yang lebih garang dari macan betina yang kelaparan.
“Aku akan memberikan mereka pengawalan penuh. Kau tidak perlu khawatir.”
Serina mendecak karena dirinya mulai bimbang. Dia tidak ingin lagi terlibat dengan keluarga konglomerat—tidak sama sekali. Sudah dua kali dia celaka karena berhadapan dengan mereka.
“Aku juga akan memberimu status dan menghilangkan semua jejakmu di bidang ini.”
“Cukup. Jangan memberiku janji lagi. Aku sedang berpikir jadi jangan menggangguku.”
Tanjung mengunci mulut detik itu juga. Lelaki dengan sorot mata polos, tapi berbahu lebar itu menunggu dengan tegang seperti murid yang menantikan pembagian rapor.
Serina melanjutkan debat dalam pikirannya. Menelaah untung dan rugi yang akan ia dapatkan. Tentu saja dia akan mendapatkan banyak keuntungan. Uang, kekuasaan, kehormatan dan uang. Uang lagi lalu uang terus. Ia akan kaya dalam waktu cepat tanpa menjadi babi ngepet atau memelihara tuyul.
Tapi masalahnya, itu tidaklah mudah. Menghadapi perempuan yang temperamen seperti ibu-ibu nyolot yang tadi menyiramnya dengam wine sangatlah gampang. Tapi, melawan perempuan yang licik, berbahaya dan bergerak tanpa rasa takut sangat sulit.
Banyak hal yang harus dia pertaruhkan, termasuk nyawanya sendiri.
Saat ia melirik Tanjung yang ternyata masih menatapnya penuh harap, Serina meringis. Ia bukannya takut, hanya saja sekarang keadaannya berbeda.
Dulu ia bosan hidup, karena itulah dia bisa melakukan apa saja dan mengambil semua risiko yang berbahaya sekalipun, tapi sekarang dia punya banyak alasan untuk tetap hidup dan juga keluarga yang mesti dia lindungi.
Serina mengangkat wajah. Menarik napas dalam-dalam dan menatap lekat mata Tanjung.
“Ayo kita coba.”
Serina belum mengambil keputusan yang bulat sepenuhnya. Ia patahkan sorot mata yang berbinar itu dalam satu tatapan tegas.“Jangan senang dulu. Aku ingin kau menghadapi seseorang terlebih dulu.”Namun, tidak seperti dugaannya. Binar di mata Tanjung tidak surut sama sekali. “Aku akan menghadapinya.”Tanjung bisa menghadapi segala jenis orang kecuali Narumi. Ia bisa bernegosiasi dengan cepat dan mengambil keputusan akhir yang menguntungkan. “Mana orangnya?”Alih-alih menunjukkan orangnya, Serina malah melempar surat kontrak yang sejak tadi diremasnya ke atas meja. “Ini surat kontrakku bersama orang itu. Namanya Brata, pemilik tempat ini. Sesuai dengan tanggal perjanjian, seharusnya aku sudah bisa kelaur dari sini hari ini, tapi si Brata sialan itu malah mencantumkan pasal penipuan di bagian bawah.”Tanjung membaca baik-baik isi surat itu dan menemukan poin terakhir yang membuat dahinya berkerut. Sekarang dia tidak terlihat seperti anak kecil yang merengek lagi. Sorot matanya serius dan
Serina mengedikkan kepala tidak peduli melihat mayat laki-laki mungil malang yang jatuh di bawah ranjang. Lalu pandangannya yang tak acuh kembali ia tujukan pada Brata yang masih mematung tidak percaya.“Pakai bajumu, lalu bicara denganku di ruangan lain.”Brata akhirnya tersadar dari keterkejutannya, napasnya menyentak marah. “Apa yang kau lakukan, Serina?!”Serina mengangkat dagu alih-alih merasa bersalah. “Membunuhnya.” Menunjuk laki-laki bersimbah darah di bawah ranjang dengan santai.Gemelutuk gigi Brata terdengar jelas di tengah keheningan kamar. “Beraninya kau melakukan itu padanya!”“Sudahlah, Brata. Jangan sampai peluru ini ikut menembus kepalamu. Aku tunggu di ruangan yang bersih.”Serina tak memedulikan ekspresi bengis Brata sedikit pun. Ia melengos keluar dari kamar yang sudah bersimbah darah itu dengan tak acuh. Tanjung mengekor secara otomatis di belakangnya.“Kenapa kau membunuhnya?”Serina terus berjalan tanpa mengindahkan pertanyaan Tanjung, pun mengabaikan para pria
Serina menggeliat marah, mencoba melepaskan diri dari belitan tangan Tanjung untuk kembali menyerang Brata, tapi Tanjung memeluknya kian erat sampai Serina hanya bisa mendengus penuh amarah.“Lepaskan aku, akan kubunuh si keparat itu!”“Kau mengajakku ke sini bukan untuk menyaksikan semua tindakan kriminalmu!”Detik itu juga Serina terdiam. Seolah kata kriminal itu begitu melekat di kepalanya. Berulang kali dia mendengarnya dan berulang kali pula dia selalu terpengaruh.Melihat Serina menjadi lumayan tenang, Tanjung melonggarkan pelukannya. “Kau bilang aku harus menghadapi seseorang untuk membuatmu menyetujui tawaranku. Apa dia orangnya?” Tanjung melirik Brata yang masih terbatuk-batuk.Serina tidak menjawab. Hanya deru napasnya yang berembus tidak teratur. “Biar aku yang menyelesaikannya. Diamlah dan serahkan semuanya padaku.”Serina mendengus kasar—masih menggeliat marah di atas pangkuan Tanjung. “Aku akan mengatasinya. Percayakan padaku.”Serina masih enggan turun dari atas paha
Serina kehilangan kendali diri. Malam ini adalah malam yang sangat tidak beruntung untuknya. Dihunjamnya Brata sangat tajam. Matanya penuh dendam dan kebencian. “Kau tidak lihat kondisinya? Aku harus membawanya ke rumah sakit dulu.” “Kalian pasti akan kabur setelah ini. Jangan membodohiku.” “Lalu apa maumu?” “Pengawalku akan mengikuti kalian.” “Jangan gila! Kami akan ke rumah sakit sekarang!” Di tengah ringisannya yang semakin kesakitan, Tanjung meraba-raba dompet di saku celananya. Tangannya gemetar dan tidak mampu bergerak dengan bebas. Serina sangat membenci situasi ini. Sungguh. Alih-alih kembali kepada keluarganya dan tidur dengan nyaman, sekarang dia harus berhadapan dengan dua laki-laki menyebalkan. “Apa sih yang kau cari?!” “Dompet,” jawab lelaki itu lirih. Serina akhirnya membantu, gemas melihat Tanjung yang terus merogoh sakunya, tapi tidak mengeluarkan apa-apa. Ia memasukkan tangan ke saku lelaki itu, agak sulit karena ia harus menyorongkan tubuh sebab tangan ki
Selagi dr. Linda mengobati luka Tanjung, Serina membuka seluruh kancing kemeja lelaki itu dan mulai membersihkan peluh yang membanjiri dada dan perutnya.“Apa tidak ada infeksi?” tanyanya.“Untungnya tidak karena Anda cepat memanggil saya, tapi pelurunya menembus cukup dalam. Saya tidak punya alat yang cukup untulk membedahnya.”Serina semakin pening. Apa lagi yang harus dia lakukan sekarang?“Begini, saya punya rekan dokter yang punya klinik pribadi. Kalau pasien tidak mau dibawa ke rumah sakit, dia bisa dibawa ke sana.”Serina luar biasa lega. Ia mengangguk cepat dan dr. Linda langsung menelepon rekan dokternya.“Syukurlah. Masih ada ruang operasi yang kosong. Kita harus cepat membawanya.”Tanpa membuang waktu yang lama, dr. Linda membantu Serina memapah Tanjung. Wanita berkulit kecokelatan itu buru-buru mengambil mobilnya di depan apotek dan kembali membantu Serina memasukkan Tanjung ke dalam mobil.“Kliniknya cukup dekat. Cuma perlu 12 menit. Kita akan sampai dalam sepuluh menit.”
Tanjung tampak kaget. “Apa?”“Menikah. Karena kau sudah membebaskanku dari Brata yang semoga saja kelaminnya berulat itu, maka aku akan menuruti kemauanmu. Menikah dan menyingkirkan ibu tirimu. Kita seimbang.”Tanjung menggeleng dengan raut kebingungan. “Tunggu, kapan aku bilang kita akan menikah?”Serina memajukan tubuh, mengamati wajah Tanjung seperti memeriksa sesuatu. “Apa peluru itu naik ke kepalamu? Kau yang melamarku dengan putus asa dua hari yang lalu.”Wajah Serina terlalu dekat sampai Tanjung bisa melihat seberapa mulusnya kulit wanita itu. Pori-porinya hampir tidak terlihat, seperti boneka porselen.“Maksudku bukan menikah dengan sungguh-sungguh, hanya bohongan untuk mengelabui ibuku. Kita tidak perlu menikah—"“Hei, Tuan Tanjung. Untuk mendapat hasil maksimal, kau harus melakukannya dengan totalitas penuh. Seorang aktor saja akan belajar bela diri sampai mahir demi memerankan perannya dengan sempurna. Kau berpikir ibu tirimu yang kejam itu adalah anak SD yang mudah dikelab
Segalanya sudah Tanjung ucapkan di hadapan penghulu, dua perawat pria dan juga dr. Fahri, serta Serina sebagai mempelainya. Hari ini ia bahkan bisa pulang. Alat penyangga sudah dilepas berikut dengan gips di lengannya. Ia tidak tahu apa yang Serina katakan pada dokter untuk mengizinkan mereka melakukan ini.Wanita itu muncul dari balik pintu, menunjukkan paper bag yang dibawanya lalu mengeluarkan isinya. Setelan jas serta alat mandi untuk Tanjung. “Kau bisa mandi sendiri. Well, ini memang terdengar kejam—kau baru saja tertembak dan harus pura-pura sehat—tapi inilah yang harus kau lakukan.”Tanjung mengambil kantong itu. “Tidak masalah. Aku sudah biasa melakukannya.” Lalu melepas selang infusnya dengan santai. Rasanya sakit, tapi ia sudah terbiasa. “Yah … orang dewasa memang harus terbiasa. Tidak boleh istirahat saat sakit, itu sudah menjadi makanan kita.” Serina mengedikkan bahu santai.Diam-diam Tanjung tersenyum miris. Jangankan dewasa, dari kecil pun ia terbiasa melakukannya. Naru
Tatapan itu jelas merendahkan Serina. Lirikannya menyapu penampilan Serina dari ujung sepatu sampai ujung rambut, kemudian satu ujung bibirnya tertarik ke atas.“Kok tahu?” celetuk Serina secara tiba-tiba. Kepala Tanjung mulai terangkat, sedang wajah Narumi menjadi datar dalam sekejap. Pandangannya menyapu wajah Serina lekat-lekat. “Siapa namamu, Nona?” Nada suara itu terdengar antusias, kombinasi antara marah dan tertarik.Serina memasang senyum terbaiknya, tidak canggung sama sekali, lalu mengulurkan tangan. “Serina, Madam.”“Oh, Serina?” Narumi menatap lekat tangan Serina, lalu tersenyum jijik.Serina tidak tersinggung sama sekali. Dia angkat sebelah bahunya santai kemudian menarik kembali tangannya yang tidak tersambut.“Jadi kau memang memungutnya dari kelab malam? Saat kau berusaha menenangkan diri dari patah hati kekanakanmu, anakku? Saat aku menolak kekasihmu?” Serina jelas tahu teknik itu. Teknik yang mencoba meruntuhkan kepercayaan dirinya. Mengoyak habis harga dirinya dan