Share

Ceroboh!

Mataku melebar melihat benda kecil berbungkus plastik yang ikut terkumpul di antara kosmetik. Masih utuh dan tak ada tanda-tanda bahwa aku baru saja menyentuhnya, itu artinya aku sama sekali tidak memakainya saat tadi bersama Ray?

Entah dari mana pergulatan tubuhku dengan Ray yang baru saja berlangsung, seperti menjelma kembali menutup kesadaranku dengan sesaat, diikuti bayang-bayang benih yang akan tumbuh dalam rahimku. Aku yang harus mendapat ocehan dari banyak orang, aku yang harus merawat si kecil dan mengecewakan Ibu, aku yang harus melihat Ibu menangis dan ikut dihina, dikucilkan dan ....

Tenagaku merosot, bersimpuh dengan dada ngilu seketika. Apa yang bisa aku lakukan? Kebingungan itu menjalar seiring bayangan buruk yang mengantarkanku pada ketakutan. Ini belum nyata, tetapi kenapa Tuhan seolah menumpukiku dengan ribuan ton beban?

Aku meniti langkah, mengangkat telepon begitu deringnya mengalihkan perhatian. Kuusap wajah yang barangkali sudah kusut. Dari Ibu ternyata.

“Iya, Bu?”

“Ini aku, Kak Rahma, Laila.”

“Oh kamu, Dik. Ya?”

“Kakak sehat?”

“Ya, Alhamdulillah.”

“Kakak mau pulang tahun ini?”

“Iya, Dik.”

Tentu, idul fitri kemarin aku tidak pulang, bagaimana mungkin sekarang tidak lagi? Meski dalam waktu dekat ini tidak ada perayaan-perayaan tertentu tapi setahun lalu aku pernah bilang akan pulang setahun lagi dan itu artinya tahun ini. Aku tidak mau lagi-lagi hanya memberi harapan tak pasti pada Lail terutama pada Ibu.

“Pastikan, ya, Kak, kami sudah kangen.”

Kali ini suaranya lebih pelan dan seperti menahan tangis? Ada apa dengannya? Apa dia secengeng itu?

“Pasti, tapi kau baik-baik saja, ‘kan?”

“Kami kangen Kakak, Ibu juga sampai—”

“Sampai apa, Dik? Ibu tidak apa-apa, ‘kan? Beliau sehat, ‘kan? Bagaimana dengan obatnya? Jangan sampai habis. Bilang sama Kakak kalau sudah tinggal sedikit, biar lebih dulu dipesankan.”

Aku tidak bisa lagi menahan bibirku dari buruan pertanyaan. Aku meninggalkan Ibu dalam keadaan sakit dan itu jelas tidak tidak perlu lagi ada pertanyaan mengapa aku terkesan khawatir, aku tak mau Ibu kenapa-napa.

“Ibu baik-baik saja, Kak. Tapi ....”

Sampai di situ Lail menggantung kalimatnya lagi. Aku menunggu dengan cemas, remasan sebelah tanganku yang lain bahkan sampai membuat ujung bajuku mengkerut. Namun, sampai beberapa menit masih saja tak ada kelanjutan kalimat dari Lail. Aduh, Dik, ayolah … jangan siksa kakak dengan kecemasan ini.

“Kalau Kakak sudah cukup uang, Lail lebih senang Kakak pulang. Tidak perlu banyak ole-ole, kedatangan Kakak adalah oleh-oleh terbaik untuk kami, kami rindu, Kak.”

Tidak, ini pasti bohong! Aku menangkap ada sesuatu yang disembunyikan adikku itu. Apa ia sudah sepintar itu membohongiku? Umurnya baru tujuh belas tahun, apa kecerdasannya mendewasakan cara berpikirnya juga? Oh ayolah, tidak selamanya berbohong dalam keadaan seperti ini dikatakan dewasa juga, bukan?  Aku tak suka bila itu berhubungan dengan Ibu, dan Lail yang pernah tinggal belasan tahun denganku pasti lebih tahu alasannya!

“Tunggu sajalah, tidak mungkin satu minggu Kakak pastikan sudah ada di sana.”

“InsyaAllah, Kak.”

Ia seolah menohokku dengan ucapannya. Ah, sepertinya aku sudah terlalu terbiasa tanpa ucapan itu. Padahal ini sosok Rahma.

“Ya, insyaAllah dalam satu minggu.”

“Aamiin semoga sampai, ya. Assalamualaikum.”

“Wa’alaikum salam.”

Sudah itu aku langsung menyudahinya. Bertanya tentang Ibu pada Lail? Tidak! Bocah itu sudah terlalu pintar sekarang. Aku tidak tahu apa karena ia mewarisi kepintaran itu dari Ibu. Selalu mengatakan baik-baik saja, sekalipun aku tahu tak selamanya defenisi baik menunjukkan keadaan sebenarnya, bahkan kadang harus bertolak belakang dengan kenyatannya.

Tuhan ... apa lagi ini? Setelah kesalahan hubungan yang tadi kulakukan tanpa memakai kondom, Engkau hendak menumpukinya dengan Ibu? Namun ...  oh tidak, itu dua hal yang berbeda, kond*m itu milik Nona Bintang dan Ibu milik Rahma.

Sedikit kulirik angka yang tertera dalam buku ATM.

75 juta tiga ratus lima puluh lima ribu. Lumayan dan kurasa cukup untuk oleh-oleh pulang dan modal warung kecil-kecilan buat Ibu sekaligus percetakan undangan sesuai feshionku.

Tentu saja setelah sebelumnya aku memisahkan nominal paling besar, aku tidak mau ibu mencurigaiku karena jumlah uang yang tak wajar. Aku hanya perlu menyimpan uang itu sekadar berjaga-jaga bila ada sesuatu yang tak diinginkan.

Mulai kumasukkan lagi dalam dompet, memperhatikan lemari yang sebentar lagi pasti kosong, keputusanku sudah final. Pu-la-ng.

***

[Kamu beneran mau berhenti, Nona?]

[Ya, Mami]

[Apa karena ada yang tau identitasmu?]

[No, Mami. Nona hanya ingin pulang. Nona ingin tinggal di kampung saja]

[Oh ... puji Tuhan, Nona. Semoga cepat sampai, titip salam buat ibumu.]

[Terima kasih, Mami. Tolong juga jangan sampai Ray tau, bilang saja untuk beberapa malam ini banyak yang membooking Nona]

[Kenapa?]

[Nona hanya tak ingin dia tau saja]

Lama tak ada balasan, sepertinya Mami keheranan.

[Oh ya, baiklah] lanjutnya setelah hampir dua menit.

Deretan SMS itu sedikit melegakan juga, mungkin sekitar lima hari lagi semuanya benar-benar beres dan aku berada di rumah, tetapi dunia Nona Bintang harus kuakhiri lebih dulu.

Semuanya lebih mudah ternyata, tak ada jeratan dan Mami cukup memberi kebebasan. Hampir tak jauh beda saat pertama kali bibirku mengucapkan keinginan itu pada Mami.

"Anda Berta Dellica ...?"

"Ya?" Wanita masih muda itu memperhatikanku yang sudah basah kuyup dimandikan hujan. Tapi itu bukan hujan, semuanya lebih mirip salju yang meningkahi tubuhku, badanku sampai bergetar dengan bibir yang barangkali sudah kebiruan. Mami Berta segera membawaku masuk, lebih tepatnya setelah aku memberitakukan namaku. Ia memberiku handuk kecil dan kopi panas.

"Oh jadi kau Nona Bintang?" Ia mengulangi pertanyaan yang sama. Aku juga memberitahukan nama itu tadi melalui WA.

"Iya, Tante."

"Jangan panggil Tante, Mami saja. Mami Berta."

Ia tersenyum memperlihatkan cetakan lesung di kedua pipinya. Rambutnya pirang dengan dagu sedikit lebar dan hidung mancung, netranya berwarna kebiruan seperti mata kucing, tetapi terlihat pas dipadukan warna kulitnya yang putih seputih salju. Perempuan ini lebih mirip orang luar negri.

"Kau benar ingin kerja denganku?"

Ia kembali mengulangi pertanyaan yang sama saat di WA tadi. Beberapa hari lalu aku sudah terlalu sibuk mencari infonya, tidak mungkin aku menyia-nyiakannya, bukan? Aku mengangguk mantap.

"Saya siap, Tan-Mami," ralatku cepat. Dia tersenyum lagi. Ramah dan cukup manis.

"Tapi kau tau pekerjaan apa, bukan?"

"Saya tau dan saya sudah pernah membicarakan ini dengan Mami, bukan?"

Aku sudah bersikap santai, mengikuti nada bicaranya yang lembut. Ia tersenyum lagi. Sepertinya perempuan ini benar-benar memiliki sejuta senyum.

"Oh ya, baiklah, tapi kau pasti mengerti apa yang harus kau ubah dari penampilanmu. Terutama kain yang menutupi kepalamu itu."

Ia sedikit menunjuk jilbabku dengan tatapannya, bicaranya terkesan hati-hati dan sopan. Apa sebaik itukah perempuan ini? Sepertinya aku akan betah kerja di sini.

"Oh ini? Yah ... tak apa."

Perlahan aku memegang jilbab lantas melepasnya. Seluruh persendianku entah apa ikut merosot lalu patah, bumi juga berhenti berputar dengan detakan dadaku yang entah apa seperti mendadak berhenti. Sejenak, Tuhan seperti mengambil seluruh napasku saat ini juga. Apa sesakit inikah melepas benda yang dinamakan kain penutup itu oleh Mami Berta?

Ini baru sedetik tanpa yang bukan muhrim melihatnya, lalu bagaimana jika mereka yang melihatnya, lalu menyatukan tubuh denganku dan ... seperti ada ribuan jarum yang mendadak menusuk-nusuk dadaku, perih dan ... Allah ....

"Kau tak apa?"

Mami Berta memegang pundakku. Perempuan itu ternyata sudah berpindah pada kursi yang kududi agar lebih dekat.

"Ini memang berat, Nona. Tapi jika kau ikhlas kau akan menjalaninya dengan baik."

Ia mengatakan ikhlas? Apa arti ikhlas masih berlaku saat aku menyerahkan diri dalam pekerjaan kotor seperti ini? Aku tak pernah menginginkan itu kalau saja luka tak jerat aku dengan keterpaksaan. Nominal yang tiap bulan bosku kasih di toko baju,

tulisan yang tak rampung-rampung lalu sekalinya rampung selalu mendapat penolakan dari meja redaksi. Lebih lagi bila ingat bagaimana tangis Lail dan tubuh ibu yang saat ini terbaring di rumah sakit.

Wajahnya yang pucat, tubuhnya yang mengurus, dan jantungnya yang tidak sedang baik-baik saja itu, apakah aku bisa mengalahkan ego untuk tak melindunginya? Apa yang lebih penting dari sekadar cinta untuknya? Ribuan bantahan itu entah dari mana mulai berebutan memasuki rongga dadaku. Ini lebih menyakitkan dari yang kubayangkan, sepertinya aku perlu berdamai dengan luka.

"Saya bisa, Mami, saya yakin bisa. Lagi pun apa yang tidak bisa jika itu Nona Bintang?"

Aku mengangkat wajah lalu menatap Mami Berta tepat pada bagian matanya. Wanita itu menyunggingkan senyum, tapi matanya yang tadi menatapku lebih terlihat meneduhkan dengan mata sedikit berkaca-kaca.

"Tidak semua alasan bisa menjawab kata adil, bukan? Seberapapun kita mencari alasannya. Hanya ada satu jawaban dalam hati tentang keluhan kenapa harus terjadi?"

Ia bangkit lantas entah apa mengeluarkan uang dari dompetnya dan menyodorkan padaku.

"Apa ini cukup, Nona? Kau bisa memakainya dulu, barangkali kau bisa menemukan pekerjaan yang bisa membuatmu mengubah keputusanmu."

Aku mendongak dengan mata sedikit mendelik. Entah apa yang Mami pikirkan tentangku. Aku mendadak tersenyum sinis, aku datang untuk bekerja bukan untuk dikasihani, lagi pun tak ada yang gratis. setidaknya itu yang kutahu. Kuberikan uang itu lagi padanya. Ia tak langsung mengambil sampai kupilih meletakkannya di atas meja.

"Saya siap bekerja, ini sudah jauh hari saya pikirkan. Saya tak mungkin salah mengambil keputusan, Mami."

Aku menegaskan kalimat pada tiap kata 'saya', seolah semuanya benar-benar menunjukkan jati diriku yang siap akan konsekunsinya.

Bibirku sudah membentuk senyum yang sama dengannya. Oh sepertinya aku cukup pintar belajar dari gerakan kepura-puraan itu.

Mami berta menatapku dengan mata mengawasi, tapi sejenak kemudian tersenyum lagi dan mengangkat kepalanya.

"Kau rupanya cukup pintar, Nona. Senyummu cepat sekali belajar dariku."

Ia mengakhiri ucapannya sembari memasukkan uangnya lagi. Tangannya terangkat lalu melambai.

"Reni!"

"Ya, Mami?"

Laki-laki berpakaian t-shir buru-buru keluar, celananya ketat dengan bando di bagian rambutnya yang panjang bergelombang. Ia menatapku setelah sebelumnya mengerling pada Mami Berta. Tangannya memegang kipas bulu yang sesekali ia kibaskan padaku.

"Yu cantik, manis!" ujarnya sebelum akhirnya menuntunku ke ruang rias.

"Kau harus berhias. Nanti aku pilihkan pelanggan terbaik di hari pertamamu kerja."

Mami berta sempat masuk dan hanya berujar itu. Setelahnya wanita berkulit salju itu pergi entah ke mana.

"Iyke yang menghias yu, Nona.

Tenang saja, iyke tak suka perempuan. Iyke normal."

Nada bicaranya yang sengaja dimerdukan layaknya perempuan membuatku mau tak mau menahan tawa. Oh, dia banci rupanya, lalu siapa yang harus aku layani? Dia mungkin lelaki pertama yang bisa membuat sejarah tersendiri dalam dunia Nona Bintang, tetapi tentu saja bukan berarti bisa mendapatkan keperawananku. Karena sejak awal semuanya sudah terenggut.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status