Share

Ceroboh!

Author: Hitam Putih
last update Last Updated: 2022-05-27 21:19:36

Mataku melebar melihat benda kecil berbungkus plastik yang ikut terkumpul di antara kosmetik. Masih utuh dan tak ada tanda-tanda bahwa aku baru saja menyentuhnya, itu artinya aku sama sekali tidak memakainya saat tadi bersama Ray?

Entah dari mana pergulatan tubuhku dengan Ray yang baru saja berlangsung, seperti menjelma kembali menutup kesadaranku dengan sesaat, diikuti bayang-bayang benih yang akan tumbuh dalam rahimku. Aku yang harus mendapat ocehan dari banyak orang, aku yang harus merawat si kecil dan mengecewakan Ibu, aku yang harus melihat Ibu menangis dan ikut dihina, dikucilkan dan ....

Tenagaku merosot, bersimpuh dengan dada ngilu seketika. Apa yang bisa aku lakukan? Kebingungan itu menjalar seiring bayangan buruk yang mengantarkanku pada ketakutan. Ini belum nyata, tetapi kenapa Tuhan seolah menumpukiku dengan ribuan ton beban?

Aku meniti langkah, mengangkat telepon begitu deringnya mengalihkan perhatian. Kuusap wajah yang barangkali sudah kusut. Dari Ibu ternyata.

“Iya, Bu?”

“Ini aku, Kak Rahma, Laila.”

“Oh kamu, Dik. Ya?”

“Kakak sehat?”

“Ya, Alhamdulillah.”

“Kakak mau pulang tahun ini?”

“Iya, Dik.”

Tentu, idul fitri kemarin aku tidak pulang, bagaimana mungkin sekarang tidak lagi? Meski dalam waktu dekat ini tidak ada perayaan-perayaan tertentu tapi setahun lalu aku pernah bilang akan pulang setahun lagi dan itu artinya tahun ini. Aku tidak mau lagi-lagi hanya memberi harapan tak pasti pada Lail terutama pada Ibu.

“Pastikan, ya, Kak, kami sudah kangen.”

Kali ini suaranya lebih pelan dan seperti menahan tangis? Ada apa dengannya? Apa dia secengeng itu?

“Pasti, tapi kau baik-baik saja, ‘kan?”

“Kami kangen Kakak, Ibu juga sampai—”

“Sampai apa, Dik? Ibu tidak apa-apa, ‘kan? Beliau sehat, ‘kan? Bagaimana dengan obatnya? Jangan sampai habis. Bilang sama Kakak kalau sudah tinggal sedikit, biar lebih dulu dipesankan.”

Aku tidak bisa lagi menahan bibirku dari buruan pertanyaan. Aku meninggalkan Ibu dalam keadaan sakit dan itu jelas tidak tidak perlu lagi ada pertanyaan mengapa aku terkesan khawatir, aku tak mau Ibu kenapa-napa.

“Ibu baik-baik saja, Kak. Tapi ....”

Sampai di situ Lail menggantung kalimatnya lagi. Aku menunggu dengan cemas, remasan sebelah tanganku yang lain bahkan sampai membuat ujung bajuku mengkerut. Namun, sampai beberapa menit masih saja tak ada kelanjutan kalimat dari Lail. Aduh, Dik, ayolah … jangan siksa kakak dengan kecemasan ini.

“Kalau Kakak sudah cukup uang, Lail lebih senang Kakak pulang. Tidak perlu banyak ole-ole, kedatangan Kakak adalah oleh-oleh terbaik untuk kami, kami rindu, Kak.”

Tidak, ini pasti bohong! Aku menangkap ada sesuatu yang disembunyikan adikku itu. Apa ia sudah sepintar itu membohongiku? Umurnya baru tujuh belas tahun, apa kecerdasannya mendewasakan cara berpikirnya juga? Oh ayolah, tidak selamanya berbohong dalam keadaan seperti ini dikatakan dewasa juga, bukan?  Aku tak suka bila itu berhubungan dengan Ibu, dan Lail yang pernah tinggal belasan tahun denganku pasti lebih tahu alasannya!

“Tunggu sajalah, tidak mungkin satu minggu Kakak pastikan sudah ada di sana.”

“InsyaAllah, Kak.”

Ia seolah menohokku dengan ucapannya. Ah, sepertinya aku sudah terlalu terbiasa tanpa ucapan itu. Padahal ini sosok Rahma.

“Ya, insyaAllah dalam satu minggu.”

“Aamiin semoga sampai, ya. Assalamualaikum.”

“Wa’alaikum salam.”

Sudah itu aku langsung menyudahinya. Bertanya tentang Ibu pada Lail? Tidak! Bocah itu sudah terlalu pintar sekarang. Aku tidak tahu apa karena ia mewarisi kepintaran itu dari Ibu. Selalu mengatakan baik-baik saja, sekalipun aku tahu tak selamanya defenisi baik menunjukkan keadaan sebenarnya, bahkan kadang harus bertolak belakang dengan kenyatannya.

Tuhan ... apa lagi ini? Setelah kesalahan hubungan yang tadi kulakukan tanpa memakai kondom, Engkau hendak menumpukinya dengan Ibu? Namun ...  oh tidak, itu dua hal yang berbeda, kond*m itu milik Nona Bintang dan Ibu milik Rahma.

Sedikit kulirik angka yang tertera dalam buku ATM.

75 juta tiga ratus lima puluh lima ribu. Lumayan dan kurasa cukup untuk oleh-oleh pulang dan modal warung kecil-kecilan buat Ibu sekaligus percetakan undangan sesuai feshionku.

Tentu saja setelah sebelumnya aku memisahkan nominal paling besar, aku tidak mau ibu mencurigaiku karena jumlah uang yang tak wajar. Aku hanya perlu menyimpan uang itu sekadar berjaga-jaga bila ada sesuatu yang tak diinginkan.

Mulai kumasukkan lagi dalam dompet, memperhatikan lemari yang sebentar lagi pasti kosong, keputusanku sudah final. Pu-la-ng.

***

[Kamu beneran mau berhenti, Nona?]

[Ya, Mami]

[Apa karena ada yang tau identitasmu?]

[No, Mami. Nona hanya ingin pulang. Nona ingin tinggal di kampung saja]

[Oh ... puji Tuhan, Nona. Semoga cepat sampai, titip salam buat ibumu.]

[Terima kasih, Mami. Tolong juga jangan sampai Ray tau, bilang saja untuk beberapa malam ini banyak yang membooking Nona]

[Kenapa?]

[Nona hanya tak ingin dia tau saja]

Lama tak ada balasan, sepertinya Mami keheranan.

[Oh ya, baiklah] lanjutnya setelah hampir dua menit.

Deretan SMS itu sedikit melegakan juga, mungkin sekitar lima hari lagi semuanya benar-benar beres dan aku berada di rumah, tetapi dunia Nona Bintang harus kuakhiri lebih dulu.

Semuanya lebih mudah ternyata, tak ada jeratan dan Mami cukup memberi kebebasan. Hampir tak jauh beda saat pertama kali bibirku mengucapkan keinginan itu pada Mami.

"Anda Berta Dellica ...?"

"Ya?" Wanita masih muda itu memperhatikanku yang sudah basah kuyup dimandikan hujan. Tapi itu bukan hujan, semuanya lebih mirip salju yang meningkahi tubuhku, badanku sampai bergetar dengan bibir yang barangkali sudah kebiruan. Mami Berta segera membawaku masuk, lebih tepatnya setelah aku memberitakukan namaku. Ia memberiku handuk kecil dan kopi panas.

"Oh jadi kau Nona Bintang?" Ia mengulangi pertanyaan yang sama. Aku juga memberitahukan nama itu tadi melalui WA.

"Iya, Tante."

"Jangan panggil Tante, Mami saja. Mami Berta."

Ia tersenyum memperlihatkan cetakan lesung di kedua pipinya. Rambutnya pirang dengan dagu sedikit lebar dan hidung mancung, netranya berwarna kebiruan seperti mata kucing, tetapi terlihat pas dipadukan warna kulitnya yang putih seputih salju. Perempuan ini lebih mirip orang luar negri.

"Kau benar ingin kerja denganku?"

Ia kembali mengulangi pertanyaan yang sama saat di WA tadi. Beberapa hari lalu aku sudah terlalu sibuk mencari infonya, tidak mungkin aku menyia-nyiakannya, bukan? Aku mengangguk mantap.

"Saya siap, Tan-Mami," ralatku cepat. Dia tersenyum lagi. Ramah dan cukup manis.

"Tapi kau tau pekerjaan apa, bukan?"

"Saya tau dan saya sudah pernah membicarakan ini dengan Mami, bukan?"

Aku sudah bersikap santai, mengikuti nada bicaranya yang lembut. Ia tersenyum lagi. Sepertinya perempuan ini benar-benar memiliki sejuta senyum.

"Oh ya, baiklah, tapi kau pasti mengerti apa yang harus kau ubah dari penampilanmu. Terutama kain yang menutupi kepalamu itu."

Ia sedikit menunjuk jilbabku dengan tatapannya, bicaranya terkesan hati-hati dan sopan. Apa sebaik itukah perempuan ini? Sepertinya aku akan betah kerja di sini.

"Oh ini? Yah ... tak apa."

Perlahan aku memegang jilbab lantas melepasnya. Seluruh persendianku entah apa ikut merosot lalu patah, bumi juga berhenti berputar dengan detakan dadaku yang entah apa seperti mendadak berhenti. Sejenak, Tuhan seperti mengambil seluruh napasku saat ini juga. Apa sesakit inikah melepas benda yang dinamakan kain penutup itu oleh Mami Berta?

Ini baru sedetik tanpa yang bukan muhrim melihatnya, lalu bagaimana jika mereka yang melihatnya, lalu menyatukan tubuh denganku dan ... seperti ada ribuan jarum yang mendadak menusuk-nusuk dadaku, perih dan ... Allah ....

"Kau tak apa?"

Mami Berta memegang pundakku. Perempuan itu ternyata sudah berpindah pada kursi yang kududi agar lebih dekat.

"Ini memang berat, Nona. Tapi jika kau ikhlas kau akan menjalaninya dengan baik."

Ia mengatakan ikhlas? Apa arti ikhlas masih berlaku saat aku menyerahkan diri dalam pekerjaan kotor seperti ini? Aku tak pernah menginginkan itu kalau saja luka tak jerat aku dengan keterpaksaan. Nominal yang tiap bulan bosku kasih di toko baju,

tulisan yang tak rampung-rampung lalu sekalinya rampung selalu mendapat penolakan dari meja redaksi. Lebih lagi bila ingat bagaimana tangis Lail dan tubuh ibu yang saat ini terbaring di rumah sakit.

Wajahnya yang pucat, tubuhnya yang mengurus, dan jantungnya yang tidak sedang baik-baik saja itu, apakah aku bisa mengalahkan ego untuk tak melindunginya? Apa yang lebih penting dari sekadar cinta untuknya? Ribuan bantahan itu entah dari mana mulai berebutan memasuki rongga dadaku. Ini lebih menyakitkan dari yang kubayangkan, sepertinya aku perlu berdamai dengan luka.

"Saya bisa, Mami, saya yakin bisa. Lagi pun apa yang tidak bisa jika itu Nona Bintang?"

Aku mengangkat wajah lalu menatap Mami Berta tepat pada bagian matanya. Wanita itu menyunggingkan senyum, tapi matanya yang tadi menatapku lebih terlihat meneduhkan dengan mata sedikit berkaca-kaca.

"Tidak semua alasan bisa menjawab kata adil, bukan? Seberapapun kita mencari alasannya. Hanya ada satu jawaban dalam hati tentang keluhan kenapa harus terjadi?"

Ia bangkit lantas entah apa mengeluarkan uang dari dompetnya dan menyodorkan padaku.

"Apa ini cukup, Nona? Kau bisa memakainya dulu, barangkali kau bisa menemukan pekerjaan yang bisa membuatmu mengubah keputusanmu."

Aku mendongak dengan mata sedikit mendelik. Entah apa yang Mami pikirkan tentangku. Aku mendadak tersenyum sinis, aku datang untuk bekerja bukan untuk dikasihani, lagi pun tak ada yang gratis. setidaknya itu yang kutahu. Kuberikan uang itu lagi padanya. Ia tak langsung mengambil sampai kupilih meletakkannya di atas meja.

"Saya siap bekerja, ini sudah jauh hari saya pikirkan. Saya tak mungkin salah mengambil keputusan, Mami."

Aku menegaskan kalimat pada tiap kata 'saya', seolah semuanya benar-benar menunjukkan jati diriku yang siap akan konsekunsinya.

Bibirku sudah membentuk senyum yang sama dengannya. Oh sepertinya aku cukup pintar belajar dari gerakan kepura-puraan itu.

Mami berta menatapku dengan mata mengawasi, tapi sejenak kemudian tersenyum lagi dan mengangkat kepalanya.

"Kau rupanya cukup pintar, Nona. Senyummu cepat sekali belajar dariku."

Ia mengakhiri ucapannya sembari memasukkan uangnya lagi. Tangannya terangkat lalu melambai.

"Reni!"

"Ya, Mami?"

Laki-laki berpakaian t-shir buru-buru keluar, celananya ketat dengan bando di bagian rambutnya yang panjang bergelombang. Ia menatapku setelah sebelumnya mengerling pada Mami Berta. Tangannya memegang kipas bulu yang sesekali ia kibaskan padaku.

"Yu cantik, manis!" ujarnya sebelum akhirnya menuntunku ke ruang rias.

"Kau harus berhias. Nanti aku pilihkan pelanggan terbaik di hari pertamamu kerja."

Mami berta sempat masuk dan hanya berujar itu. Setelahnya wanita berkulit salju itu pergi entah ke mana.

"Iyke yang menghias yu, Nona.

Tenang saja, iyke tak suka perempuan. Iyke normal."

Nada bicaranya yang sengaja dimerdukan layaknya perempuan membuatku mau tak mau menahan tawa. Oh, dia banci rupanya, lalu siapa yang harus aku layani? Dia mungkin lelaki pertama yang bisa membuat sejarah tersendiri dalam dunia Nona Bintang, tetapi tentu saja bukan berarti bisa mendapatkan keperawananku. Karena sejak awal semuanya sudah terenggut.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Wanita Penghibur   Curiga

    Apa Gana menjebakku? Apa dia yang mencampur obat bius pada jus yang aku minum? Kalau memang benar kenapa Gana bisa seberani itu?Aku tahu sekali siapa Gana, Mami Berta menjadikan Gana orang kepercayaan bukan tanpa alasan. Gana tidak pernah melanggar aturan yang ditetapkan Mami Berta, dan tidak menggangguku adalah aturan yang sejak dulu Mami buat untuk Gana, apalagi Gana juga selalu menujukkan tidak pernah mau berurusan dengan keluarga Bagaskara. Tetapi sekarang? Apa dan kenapa?[Kamu sudah pulang, Rahma?] Itu dari nomor asing, aku baru membacanya setelah naik grab. Nomor itu ternyata bukan sekali itu mengirimiku pesan tapi juga semalam? Sekitar jam 21:40, dan hanya berisi kamu kenapa lama di dalam, Ra? Saat melihat di foto profilnya, dia ternyata ... Ravan?Astagfirullah, apa yang sebenarnya sudah Rav ketahui selama ini? Jelas sekali bohong kalau dia tidak tau apa-apa, kehadiran Rav tiba-tiba tadi malam sudah cukup membuktikan itu, ditambah lagi

  • Wanita Penghibur   Kesalahan

    "Gue pikir lo gak bakal ke sini lagi, Nona. Apa jadi Nyonya Bagaskara masih buat lo belum cukup uang? Atau karena lo kangen gue?"Gana mendekat, merangkul pinggangku, lalu meminta ditambahkan minuman, dua botol minuman sudah dibawa salah satu pelayan, bersamaan dengan Cha dan Pak Andro yang baru saja keluar. Dua orang itu anehnya bersikap seolah tak mengenaliku, Pak Andro terlihat lebih fokus pada Cha yang mabuk."Gue mau lo bantu gue!" Aku sedikit berkelit, mengeluarkan hp lalu menujukkan pada Gana. Gana melirik sekilas lalu langsung mengangkat tangan."Gue gak bisa!" Tubuh Gana bahkan pindah lalu duduk berhadapan denganku."Gan, lo udah menguasai jual beli di dark web maupun situs-situs gelap lainnya. Lo gak mungkin gak bisa.""Kalau lo tau situs-situs itu lo seharusnya bisa belanja sendiri, Nona! Gak perlu minta tolong gue! "Konyol! Selama jadi Nona Bintang aku tak pernah tahu urusan hal-hal seperti itu. Sekalipun p

  • Wanita Penghibur   Tempat yang Sama

    Ray tidak berbicara denganku lagi. Setelah pertengkaran kami siang tadi, dia lebih banyak diam, atau lebih tepatnya hanya mendiamkanku? Astaga, padahal seharusnya aku yang lebih berhak marah. "Kalau ada masalah, dibicarakan baik-baik, jangan saling diam. Hidup berumah tangga itu sudah pasti ada cobaannya."Ibu sampai setengah memperingati, mungkin karena selama di meja makan Ray bersikap tak kalah menyebalkan dibanding aku yang lebih banyak diam. Chayra sendiri sampai menghubungiku berkali-kali. Entah dari mana dia tahu, tapi dia kadang terkesan cerewet.[Teteh dan Kak Ray baik-baik saja, 'kan? Jangan marah sama Kak Ray, Teh. Kak Ray gak salah][Arkan memang suami Cha, Arlis yang bohong. Kalau saja Teteh marah karena salah paham]Sok tahu! Aku bahkan tidak mempermasalahkan dramanya itu, tetapi Cha? Sikap dan penjelasannya itu yang seolah ingin menunjukkan semuanya justru membuatku ada yang tidak beres. Bukankah sesuatu yang ditunjukkan l

  • Wanita Penghibur   Lelaki dari Masa lalu

    “Ramha?”Pak Andro menyebut namaku tapi yang dilihat kemudian adalah Ray, ia bahkan setelahnya berpaling pada Ibu.“Kau di sini sedang apa, Rahma?” Pertanyaannya terkesan wajar, tetapi aku merasa itu lebih sebagai peringatan, lebih lagi setelah melihat tatapan nakalnya.“Bapak mengenal putri saya? Maaf, bapak siapa ya?” Ibu maju satu langkah, mendekat pada pak Andro. Wajah Ibu terlihat kebingungan, Ibu Rana dan Cha sendiri terlihat tak kalah kebingungan, hanya Ray yang seperti membeku dan mematung.“Apa bapak mengenal anak saya?” Ibu sampai bertanya sekali lagi, Pak Andro melihat padanya, senyumnya menyeringai, ia mendekat padaku.“Mengenal? Tentu, tentu saja saya mengenal, bahkan saya sangat mengenal putri anda. Dia–”“Diam!”Ray tiba-tiba mendorong tubuh Pak Andro, menarik lenganku lalu cepat-cepat membawa aku dan Ibu pergi.***flashback Lelaki itu bermata sipit dengan hidung

  • Wanita Penghibur   Drama

    "Apa ini, Lek? Apa?"Ibu seperti tak percaya, ia menunjuk foto-foto di hadapan kami, foto saat aku menjadi Nona Bintang, foto saat aku bekerja di toko baju, foto saat aku didandani, foto saat Nona Bintang berhadapan dengan banyak lelaki di club dan--"Itu nggak benar Bu, itu nggak benar, jangan percaya!"Aku buru-buru mengambil foto-foto itu, hendak membuangnya tetapi ibu lebih dulu menahan, Matanya kilat menatapku. Jelas sekali ada kemarahan di mata ibu, tetapi sekaligus ada kepedihan di sana. Aku sampai berpaling, tidak berani sekadar bersipandang dengan Ibu."Kalau tidak benar, kenapa bisa ada foto-foto ini. Kenapa? Apa yang sebenarnya Rara sembunyikan dari ibu?”"Tidak ada, Bu, tidak ada yang Rara sembunyikan. Itu pasti editan, ibu jangan percaya. Jangan percaya!"Aku menggeleng cepat, berusaha menyakinkan, tetapi yang ada perasaanku semakin cemas, aku bahkan masih tidak berani sekadar menatap ibu."Kalau memang edit

  • Wanita Penghibur   Alibi

    "Kalian bertengkar? Kenapa? Ada apa?"Ibu bertanya pelan setelah duduk di sampingku. Ini sudah jam 9 malam, seharusnya sudah waktunya istirahat tetapi kegaduhan kami tadi sepertinya sudah cukup menyita perhatian banyak orang termasuk ibu. Aku bahkan seperti melihat lagi tatapan orang-orang yang menatap kami tadi saat berciuman, mungkin bukan sesuatu yang salah karena kami sudah memiliki ikatan suami istri, tapi tidak dengan di depan banyak orang, apalagi aku terbiasa hidup di desa dengan aturan-aturan yang masih terlalu tabu untuk hal-hal seperti itu. rasa-rasanya itu tak lebih dari dilemparkan kotoran ke wajahku. "Kami tidak kenapa-kenapa, Bu, kami hanya sedang salah paham saja, kami sudah baikan." Aku seolah tidak mau membahas lebih lanjut, Ibu menatap sekilas tetapi setelahnya dia mengeluarkan hp dari saku bajunya. Hp android dengan casing warna tosca dan gambar kucing, hp itu ..."Ini hp Rara!" Aku merebut hp itu cepat, Ibu sempat mendelik s

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status