"Jangan!"Aku mendadak mengambil diary di tangan Rav saat lelaki itu ternyata tengah membuka diaryku. Aku tidak tahu apa bahkan dia sudah sempat membacanya. Lelaki itu tergeragap dan seperti tertangkap basah, tetapi anehnya menatap tenang setelah mengucap maaf. "Kau terpaksa?""Apa maksudmu?"Rav tidak menjawab, dia malah menatap Diary itu dan aku jadi menatap curiga padanya. "Kau tidak membacanya, 'kan?"Masih diam. "Rav, jawab! kau tidak membacanya, 'kan? Jangan diam aja!"Aku masih berusaha menghujani Rav dengan pertanyaan, bahkan mungkin sudah mirip tuduhan dengan mengatakan kalau Rav harusnya memilih mengembalikan barang pada pemiliknya jika menemukan sesuatu."Kau tidak punyak hak membuka apalagi membaca diary orang lain, Rav. Kau---""Kak, kakak. "Suaraku terpotong teriakan Lail dari kejauhan, aku sempat berpaling kanan kiri dan begitu melihat ke belakang, adikku itu ternyata tengah berlari dengan tangan menunjuk ke rumah. "Ibu ... Ibu ... sa ...." Ia masih berujar di teng
"Maafkan Lail, Kak, Lail tidak bermaksud buat Kakak marah."Lail berujar itu setelah sejak tadi kami sama-sama diam. Ia menyusulku ke pantai beberapa saat setelahnya dan jadilah kini kami sama-sama duduk di atas batu-batu kecil. Perahu-perahu nelayan sudah tidak ada, dan itu karena rata-rata untuk saat ini mereka memancing di waktu siang. "Sudahlah, Lail, tak perlu bahas itu. Lebih baik kamu pulang, temani Ibu, jangan biarkan Ibu kelelahan sampai terjadi hal tak diinginkan lagi.""Maaf, Kak, sepertinya itu bukan karena kelelahan tapi mungkin karena suasana hati Ibu.""Maksud kamu?" Lail tak langsung menjawab. Ia seperti ragu mengatakannya. "Beberapa bulan terakhir Ibu seperti menerima telpon dan SMS dari seseorang, saat Lail tanya, katanya bukan siapa-siapa. Tapi setiap kali Ibu menerima SMS atau telpon itu Ibu seperti orang cemas dan syok. Lail sudah coba cek tapi Ibu selalu menyembunyikan hp-nya."Ucapan Lail mau tak mau membuatku mendadak bangkit, seperti ada sesuatu yang menarik
Entah apa yang dilakukan Ray pada peneror itu, dia terlihat hanya sibuk menelpon seseorang, terkadang juga menemui dua pengawalnya dan mereka bercakap-cakap serius. Ray bilang semua akan diurus dan aku hanya diminta percaya saja, meski aku pernah melihat langsung bagaimana Ray berhasil membuat si peneror tidak lagi melakukan aksinya tetapi perasaan cemas itu tetap saja ada. Kesehatan Ibu juga lumayan semakin membaik dan itu cukup melegakan. "Maafkan ibu, ibu sempat membuatmu cemas, ibu juga memaksa kamu untuk tinggal sama ibu, ibu percayakan kau sama Ray. Kalau kau ingin pergi tanpa ibu, tak apa. Ibu izinkan."Ada apa dengan Ibu? Kenapa Ibu mendadak sekali berubah pikiran? Ini tidak seperti Ibu yang kukenal, tetapi justru itu membuatku tidak nyaman. Aku semakin tak mau meninggalkan Ibu sendirian, apa lagi jika harus mengingat kejadian beberapa hari terakhir. "Rara mau pergi sama Ibu, kok, Ibu ikut Rara, kita tinggal sama-sama di kota."Aku akhirnya berujar pasrah, dalam hati berdoa
Tidak ada yang berbicara lagi setelah kepergian Papa Bagas. Flo hanya tersenyum samar sebelum pergi. Sementara Ray menatapku dan hendak menuntun ke kamar, tetapi aku lebih dulu mengentakkan lengan.Ia bahkan belum menjelaskan semuanya, tak pernah meminta maaf padaku dan Ibu, apalagi melindungi seperti ucapannya waktu itu. Aku tiba-tiba tertawa sumbang, dia rupanya pandai memberiku neraka ke sekian karena perlakuannya itu.“Kamarmu di atas, Ra. Ayo, biar aku antar, Ibu dan Lail biar Chayra yang bantu ngantar nanti.” Ia malah berujar itu, Chayra sendiri langsung mendekat dan memegang bahu Ibu, berisyarat untuk pergi, tetapi wanita itu tidak bergeming sama sekali. Tatapannya tajam pada orang-orang sekitar, jelas, mereka bahkan bersikap seolah-olah pernyataan Flo bukan hal penting. “Katakan bahwa ini hanya omong kosong, Ray!”Aku tiba-tiba teriak, tak peduli lagi Ibu akan mencapku kurang ajar setelah ini. Aku bahkan ingin mencakar-cakar wajah santai Ray. Ia menatapku sejenak sebelum men
Tangan kekar Ray menyambutku saat pertama kali membuka mata. Ia bergelayut di pinggangku dengan hidung mencium leher. Aku bahkan bisa merasakan deru napas lelaki itu, entah sejak kapan dia pulang, padahal tadi malam aku sampai harus tidur bersama Ibu karena mendapati tidak ada tanda-tanda kepulangannya, tetapi biarkan saja, aku tak peduli dan tak mau peduli.Kupilih memindahkan lengan Ray dengan pelan, lalu beranjak mengambil whuduk. Sudah itu aku segera sholat dan memilih turun. Beberapa pelayan rupanya sudah sibuk bersih-bersih dan menyiapkan makanan. Ibu ada di sana, tampak ikut membantu bersama Lail. Tatapan Ibu sekilas seperti menghindariku saat tanpa sengaja bertabrakan dengan bola mataku. Aku hanya mengerjap sebentar, bersikap seolah tak ada apa-apa, meski aku bisa menduga suasana hati Ibu pasti sedang tidak baik karena kejadian tadi malam, tetapi biarkan saja seperti itu. Setidaknya aku harus tampak baik-baik saja agar Ibu tak mempersoalkannya dan membuat keadaan tambah rumi
"Maaf, Bu, harusnya saya tidak merusak suasana makan tadi, padahal itu makan pertama kami sebagai keluarga."Ray berujar dengan nada seperti tak enak saat kami dalam perjalanan di dalam mobil. Chayra dan Ibu Rana baru saja pulang sehabis makan tadi, mereka tidak mau sekadar berlama-lama meski Papa Bagas dan Ray menyarankan untuk besok saja kembali ke apartemen, tetapi kata Chayra ia ingin banyak istirahat di apartemennya, jadilah mereka mau tak mau mengalah, termasuk saat Chayra tak mau diantar Ray. "Tidak apa-apa, Nak Ray." Ibu menjawab dengan nada datar dan anggukan pelan, meminta Ray untuk tidak perlu membahasnya lagi. Beberapa menit setelah itu mobil kemudian berhenti di sekolah dengan gaya semi klasik-modern. Halamannya luas dengan tanaman yang tertata rapi. Aku baru menyadari tujuan kami setelah sama-sama masuk dan Lail mendaftar sebagai salah satu siswa di sana. Ibu rupanya juga sudah mempersiapkan surat kepindahan Lail, parahnya itu ternyata sudah direncanakan Ibu seminggu se
"Ray benar-benar akan pulang malam ini, 'kan, Lek?" Pertanyaan itu entah sudah ke berapa kalinya Ibu lontarkan. Matanya menatap was-was keluar lewat kaca jendela. Aku jadi tak tahu lagi bagaimana harus menanggapinya.Nyatanya, sejak sore tadi lelaki itu sudah sempat menghubungiku melalui W******p, dan mengatakan akan pulang sebelum jam delapan malam, tetapi bahkan ini sudah hampir jam sebelas malam.[Aku ada urusan mendadak, Ra. Maaf, besok mungkin aku baru pulang.]Pesan itu lantas menyusul setelah beberapa saat aku terdiam dan tanda notifikasi terdengar. Mataku melirik Ibu sekilas, wanita itu masih mondar-mandir sembari melihat ke arah luar, tidak terlalu sepi karena beberapa penjaga masih terlihat di sana."Ray ada urusan mendadak, Bu. Kita tidur saja. Aku tidur sama Ibu, ya?""Urusan apa? Coba kamu ...."Ibu tak melanjutkan kalimatnya, ia memilih mengambil hanphone-ku dan menghubungi Ray. Tersambung, tetapi tak langsung diangkat. Ia menghubungi lagi sampai hitungan ke tiga baru di
Lelaki itu bermata sipit dengan hidung bangir. Tahi lalat sebesar biji jagung yang lebih mirip tompel terlihat jelas di atas hidungnya. Aku bisa melihat ada gigi emas terselip di bagian kanan saat ia tertawa, dan saat berdiri ribuan ton beban terasa memenuhi perutnya yang buncit. Aku tidak tahu bagaimana Mami Berta sempat mengatakan bahwa dia lelaki yang pantas untuk menjadi pelanggan pertamaku, bahkan mendapatkan keperawananku? Oh tentu sana tidak, karena jelas sejak awal aku sudah tidak perawan lagi."Kau mau berapa, Nona?" Tangan keriputnya memegangi pipiku dengan nakal, ada kerling yang sempat ia perlihatkan juga dengan posisi mulai merapat. Aku hanya memejamkan mata sekilas. Berusaha menahan sesak dan panas yang sejak tadi bergumul memenuhi dadaku. Jangan, jangan katakan bahwa aku akan kalah berperang dengan perasaan ini. Semuanya hanya akan berpulang pada perasaan rumit karena lagi-lagi aku tak mampu membiayai pengobatan Ibu."Berapa tinggi Anda bisa membayar saya?" Aku menjawab