"Di mana ini, Ray?" Tubuhku terlonjak mendapati posisiku di sebuah kamar dengan warnah serba putih. Lelaki berkulit kuning itu hanya tertawa renyah, apa begitu menyenangkannya melihat aku cemas dan terkejut?Kembali kupandangi langit-langit kamar yang menunjukkan warna sama, tetapi sedikit berwarnah kuning telur, memberikan kesan cream bila diperhatikan lebih saksama."Tenang, Nona, aku akan mengantarmu. Tidak baik bila kau sendirian. Kau tau 'kan kamu sudah milikku, jadi aku tidak mungkin membiarkan kamu kenapa-napa."Aku mendadak menahan senyum kecut. Dia benar-benar tidak waras, sejak kapan aku jadi miliknya? Aku Rahma dan hanya aku yang berhak atas tubuh sendiri. Aku mulai berdiri lantas mencari-cari bagian koperku.Kamar ini tepatnya adalah apartemen dengan ukuran cukup besar dan luas. Dua tangga harus aku lewati sebelum benar-benar sampai keluar, anehnya pelayan yang sempat kujumpai menurut saja dan membuatku lebih mudah menemukan koperku. Kubongkar sedikit dan memilih slop hak
Tatapan wanita paruh baya itu tajam. Tangannya memegang kursi kayu dengan setengah mengeraskan pegangan, bibirnya sejak tadi sudah mengeluarkan ribuan keresahan yang barangkali sudah menggumpal menjadi kekesalan. “Kau pikir mencari kerja itu gampang, hah? Ingat, ijazahmu hanya sebatas SMP!”“Aku tau, tapi ini sudah kuputuskan!”Nadaku tak kalah ditekan. Lelah juga sebenarnya, harus bermanis-manis kata meminta Ibu menginkanku, tetapi akhirnya selalu saja mendapat penolakan. Lebih lagi dadaku yang harus terombang-ambing di balik perkataannya. Harus jauh dari keluarga, makan seadanya, teman yang kadang menipu, keadaan sekitar yang memakai konsep gue-gue lo-lo.Belum lagi kemungkinan ijazah yang katanya dianggap terlalu rendah, apalagi yang lebih menyusahkan bila alasan untuk pergi justru tak dapat ditemukan di tempatnya? Yah, itu yang barangkali sudah menjadi pertimbangan Ibu, tetapi ini sudah kuputuskan dan risiko apa pun itu tak akan kepedulikan lagi. “Apa pun keadaannya Ibu tidak me
"Ini untuk Obhek Karman, ini Obhek Saumi, Obhek Ahmad, Rasita .... "Aku memilah-milah bungkusan untuk oleh-oleh yang sempat kupersiapkan sebelum pulang. Ibu dan Lail ikut membantu, isi dan nama-namanya bahkan kami catat takut ada yang terlewat, masing-masing juga sudah kuselipkan amplop berisi uang dengan nominal yang berbeda. Yang paling besar untuk Obhek Ahmad, saudara tertua ibuku yang sebenarnya sangat-sangat tidak pantas dan bahkan sempat kuniatkan tak akan kukasih sama sekali. Namun, karena selain karena permintaan Ibu, aku juga ingin menunjukkan bahwa ada hal yang sudah benar-benar berubah dalam kehidupanku, Ibu, dan Lail. "Kamu itu kalau miskin ya miskin saja, tak perlu jadi parasit!" Itu yang diucapkan Obhek Ahmad saat dulu Ibu hendak meminjam uang untuk biaya SPP-ku yang sudah nunggak tiga bulan. Ibu bahkan hampir bersujud kalau-kalau tak ada aku yang waktu itu menghalangi, akibatnya aku jadi tak lulus karena tak ikut ujian. Sejak itu aku juga meminta ibu untuk sama-sama
“Saya pacarnya Rahma, Bu. Saya akan meni—” “Dia temanku, Bu!” Aku buru-buru memotong, setengah mengeraskan suara, tetapi tidak lagi melihat pada Ray, melainkan lebih-lebih pada Ibu Halima, Ravan, dan Ibu yang terlihat menganga karena Ray bahkan tak mau melepas cekalannya dari lenganku. “Saya boleh tinggal di tempat Ibu untuk sementara ini? Paling lama hanya dua harian, saya hanya menunggu kedatangan keluarga saya.” Ray malah bertanya itu setelah Ibu meminta pamitan pada Ibu Halima. Mungkin merasa tak enak karena bahkan Ravan pergi setelah menatap Ray dan aku. Lelaki itu juga sempat menyunggingkan senyum kecut, sesuatu yang entah apa karena perkataanku tadi atau karena Ray?“Tidak boleh. Rumahku bukan penginapan!” Aku menjawab cepat saat Ibu ingin mengiyakan. “Tetapi aku tidak memiliki kenalan selain kamu di sini, Ra. Kalau bukan di rumahmu di mana lagi?” “Terserah! Cari saja sebisamu. Itu bukan urusanku. Lepas!” Aku mengentakkan lengan dengan suara keras, tak memedulikan tatapa
Ray tidak muncul lagi setelah hari itu, atau sekalipun muncul hanya sesekali lewat di depan rumah, berbincang dengan orang-orang sekitar, atau bahkan dengan Ibu dan Lail. Ia tak menyapa, apalagi menunjukkan sifat arogannya itu, menatap pun lelaki itu seperti menghindari tatapanku. Hanya sekali ia akan menatap tajam begitu Ravan berkunjung dan berbicara denganku maupun Ibu dan Lail. Sampai hari itu, pagi setelah aku baru saja mandi dan menyiram tanaman serta menyiapkan sarapan untuk Lail dan Ibu, Ray datang bersama wanita sepantaran Ibu dengan baju batik bermotif kijang kujang, ditemani wanita berjilbab yang membuatku sesaat membeliak kaget, dia ... Chayra? Untuk beberapa saat aku hanya memandangi wanita itu, ia sendiri seperti kaget. Wajahnya itu masih sama, terlihat cantik dan manis, tetapi sedikit memucat dan tubuhnya juga mengurus. Aku tidak tahu apa yang sudah dilakukan Ray padanya, bisa jadi Chayra datang untuk melabrakku.Refleks aku memegang tangan Ibu, memintanya ke dalam, t
"Saya tidak menduga kamu akan secepat itu memutuskan, padahal waktu saya meminta sekedar mengenal kamu, kamu hanya diam dan malah mengatakan sesuatu yang tidak ingin saya dengar."Ravan mengucap kalimat itu dengan satu kali tarikan napas. Seperti biasa pandangan lelaki itu ke bawah, entah ia sepertinya memang lebih suka menunduk. "Saya sebenarnya sudah lama memutuskan ini, saya menerima apa pun masa lalu kamu. Saya yakin kamu sudah berubah, tapi saya memang pengecut, saya tidak bisa terus terang sekalipun saya sudah dapat jawaban dari istikharah saya. Saya terlalu takut tidak bisa menjalani kehidupan kita nanti dan mengungkit-ungkit masa lalu kamu. Ego saya terlalu besar menuntut kesempurnaan dalam diri kamu, maafkan saya. Saya ingin sekali bersama kamu, tapi ... apa itu masih mungkin?"Ia mengakhirnya dengan senyum kaku, pandangannya seperti kosong ke depan. Aku tak tahu apa itu pertanyaan yang perlu kujawab atau sekadar pertanyaan pada dirinya sendiri. Untuk beberapa saat aku hanya
“Jadilah pakaian yang baik untuk suamimu, Lek, menghangatkan di kala dingin dan menyejukkan di kala panas.” Ibu membisikkan kalimat itu setelah Ray resmi mengucapkan ijab qabul. Pelukannya erat disertai mata berkaca-kaca. Ibu Darsi, Lail, dan Chayra juga baru saja memelukku dan memberi banyak pesan. Make up mereka bahkan jadi agak luntur.Detik setelah itu, aku sudah harus menahan lelah karena terlalu banyak duduk atau berdiri menghadap para undangan saat pajangan pengantin. Berbagai hiasan, tarub juga hiburan ludruk digelar di depan rumah. Semuanya sesuai dengan keputusan keluargaku dan Ray beberapa hari lalu. Aku tak tahu bagaimana cara menolaknya, bahkan sekadar menggantinya pada qosidah sederhana dan mengundang beberapa orang.“Pernikahan itu terjadi sekali seumur hidup. Ia momen paling terpenting dan karenanya ibu ingin pernikahan anak Ibu mendapatkan yang terbaik. Lagipula jangan menolak tradisi dan adat bila merasa mampu, tak baik. Pamali!” katanya yang membuatku mau tak mau m
“Bu, Ibu di dalam, ‘kan?” Sembari kuketuk pintu kamar sesekali, tetapi tak ada jawaban. Hanya terdengar suara Ibu yang sedikit samar-samar seperti tengah berbicara dengan seseorang, entah siapa. Saat aku kemudian memilih masuk dan menghampirinya, Ibu tampak duduk di sisi ranjang dengan tangan menggenggam telepon. Aku rasa ia baru saja berbicara melalui telepon, anehnya wajah Ibu terlihat pucat dengan tatapan kosong? “Ibu kenapa?”Ibu mendelik, berpaling cepat, dan langsung mengusap wajah sembari mengucap istigfar.“Sejak kapan Rara di sini? Suamimu di mana?” tanyanya seolah baru menyadari kehadiranku. Telepon dalam gemgamannya bahkan cepat-cepat disembunyikannya di bawah bantal. Aku jadi melirik curiga pada benda pipih itu.“Ray masih di kamar, Rara mau tidur bareng Ibu, karena besok Rara sudah harus ke kota, Rara ingin tidur di hari terakhir Rara sama Ibu.” Aku menjawab itu sembari berbaring di samping Ibu, sebagai isyarat sekaligus tentang rencanaku dan Ray. “Tidak boleh, kamu tida