Share

Pulang

"Kamu beneran tidak mau digaji? Ini hak kamu, Neng."

"Benar, Bu, saya juga, 'kan, hanya sesekali saja kerja di sini. Sering cuti ditambah lagi sepuluh hari lalu baru gajian, jadi tak apa," jelasku tanpa melepas pegangan pada koper yang sudah berada tepat di sampingku.

Airin hanya menatapku dengan wajah sembap, tadi pelukannya seperti lem saja yang nempel dan tidak mau lepas dariku. Sepertinya sekarang ia menjaga kemungkinan agar tidak mengulanginya lagi.

"Ya sudah, kamu hati-hati, ya. Salam buat keluargamu."

"Hem, ya, Bu. Makasih."

Sudah itu aku segera beranjak lalu melambai pada sopir angkot.

"Jangan lupa sama kami, Rahma."

Airin setengah melambai, matanya makin berkaca-kaca. Sepertinya akan ada gumpalan air mata yang kembali jatuh darinya. Tak pelak lagi, saat aku sudah duduk dan angkot melaju,-ia langsung bersimpuh dengan air mata menganak sungai. Aku hanya tersenyum kalem, apa dia benar-benar akan secengeng itu? Padahal aku seringkali jahat dengan meninggalkannya bekerja sendirian.

Rumah-rumah penduduk diikuti bangunan pertokoan berdiri di sisi jalan. Kadang angkot yang kutumpangi harus berhenti.

Perjalananku harus melewati Cileungsih, Kampung Rambutan, lalu lewat terminal Jakarta, baru kemudian naik bus menuju Sumenep. Bukan apa-apa, jika aku melewati terminal Bogor, hanya ada tiket menuju Sampang, dan itu pasti mengharuskanku ganti bus lagi, mengingat aku harus sampai di Sumenep sebelum memilih untuk naik kapal menuju Kepulauan Kangean, pulau terpencil yang sudah lama aku rindukan selama beberapa tahun merantau.

Kubiarkan pandangan melalui kaca jendela, lalu mendengarkan musik lewat earphon.

[Kau itu jahat, Rahma, sudah sering meninggalkaku kerja sendirian, tidak mau curhat bila ada masalah. Sekarang benar-benar meninggalkanku? Apa itu teman? Atau apa itu hanya caramu menyakiti seseorang?]

Chat itu membuatku makin tak bisa menahan senyum. Entah seperti apa sebenarnya Airin menganggapku. Aku kira dulu bahkan layaknya orang paling tolol dan jahat buatnya, mengingat untuk ikut numpang di indekos-ku saja tak kuizinkan karena khawatir ia tahu pekerjaan asliku.

Untunglah ternyata dia masih menganggapku sebagai teman. Apa aku terlalu berlebihan? Entahlah. Hanya bibirku saja yang kembali tersenyum, lalu membiarkan putaran lagu Assalamualaikum Beijing mengalun merdu seiring mata yang terpejam.

"Kau tau ini lagu apa, 'kan?"

"Assalamualaikum Beijing."

"Ya, benar! Aku kira hanya sebatas jilbabmu itu saja yang kependekan."

Gadis berwajah bulat telur itu berseru sembari melebarkan senyumnya yang memperlihatkan cetakan lesung. Kulitnya sawo matang dan sedikit terkesan hitam, mungkin mengikuti warna nenek moyangnya yang keturunan Papua.

"Apa hubungannya dengan jilbab, Rin?"

"Oh, maaf."

Airin setengah menutup mulutnya, lalu memejamkan mata dan memegang kalung salibnya.

"Setahu aku muslimah harus syar'i. Dan Ibu pernah perlihatkan itu panjang sekali. Tapi tak apa, tak perlu dibahas. Kita fokus nyanyi."

Airin mulai menirukan nada Assalamualaikum Beijing yang berputar dalam hp-nya. Tangannya kadang ia gerakkan mengikuti nadanya yang naik turun. Matanya setengah merem dengan bulu mata sedikit bergerak-gerak lucu.

Aku sudah tidak bisa menahan tawa, kontan melepas tawaku begitu saja.

"Hahahaha."

Airin membuka matanya lagi dan mengikuti tawaku, tetapi wajahnya setengah merengut.

"Hahaha, terus saja ketawa. Apa suaraku lucu?" Sudah itu ia langsung meninggalkanku menuju kamar mandi.

"Kiri-kiri."

Teriakan yang sedikit gaduh diikuti angkot berhenti sedikit mengejutkanku.

Orang yang naik mulai turun lagi. Beberapa orang masuk, ada juga anak kecil yang memakai gitar. Sepertinya ia akan mengamen, benar ternyata, ia sudah langsung bernyanyi lalu menyodorkan kaleng terbuka pada tiap penumpang. Sebagian orang memasukkan recehan, kadang memilih menggeleng.

"Kau tak mau memberi mereka uang?"

Mataku mendelik, menoleh pada orang di sampingku. Suara itu cukup familier sekali dan ... Ray?

Entah dari mana lelaki berkulit kuning langsat itu sudah duduk di sebelahku, parahnya merapat pada tubuhku, padahal angkot tidak terlalu penuh. Apa Mami Berta memberi tahu Ray? Apa perempuan itu kecewa aku berhenti?

[Mau apa kamu, Ray?]

Aku memilih menggunkan chat. Ray mendelik dan menatap ponselnya, tetapi kemudian tersenyum.

"Kamu yang mau apa, Nona?"

Ia malah menjawabanya dengan bisikan. Telingaku sampai terasa geli, tatapanku sudah was-was menatap sekitar.

"Kau meninggalkanku tanpa memberi tau, kau kira hubungan kita apa, hah?"

Ia sedikit mengeraskan ucapannya. Tatapannya tajam dengan senyum menyeringai, apa dia sedang marah? Lalu apa peduliku? Aku lebih peduli pada pandangan orang di sekitarku sekarang.

[Kau punyak WA, Ray, balas melalui chat, jangan ramai. Di sini angkot, banyak orang]

"Kenapa? Kau takut? Apa itu memang akan selalu jadi jawabanmu, Nona? Kau menyepelekan perasaanku!"

Nadanya makin tinggi, tatapanku jadi risih. Orang-orang di angkot ini makin memperhatikan kami. Kupilih memberi isyarat pada sopir angkot dan segera turun, tetapi Ray buru-buru menahan. Beberapa orang yang hendak turun sampai menggerutu kesal. Kutarik koperku sembari mengibas berkali-kali lalu meloncat keluar.

Ada kursi duduk yang berdiri tepat di sisi jalan dan aku memilih duduk di sana, tetapi parahnya Ray lagi-lagi ikutan, Allahu ... apa sebenarnya keinginan lelaki ini? Kenapa ia seperti hantu yang selalu muncul tiba-tiba dan siap mencekikku? Aku sudah terlalu lelah dengannya!

"Bisa kau enyah dari kehidupanku, Ray?" kataku setelah sebelumnya memesan grap online. Aku mengatakannya dengan setengah berbisik di telinganya. Ray membelalak, tetapi kemudian tersenyum santai.

"Teruslah seperti itu, Nona. Aku suka, ini ... biar sedikit santai."

Ia menyusulnya dengan tawa renyah diiikuti tangannya yang memberiku minuman. Sosok seperti apa sebenarnya lelaki di sampingku ini? Apa semuanya belum cukup? Aku sudah berhenti jadi wanita penghibur, harusnya semuanya cukup juga, bukan?

Meski kesal, aku memilih tidak menanggapinya dan mengambil minuman di tangan Ray. Meneguk sedikit isinya lalu mengusap peluh.

Haus juga sebenarnya, ditambah lagi ada Ray yang membuat lelah itu bertambah. Kubiarkan mata kembali tertutup sambil memijit kening saat pusing tiba-tiba terasa. Tepatnya setelah grap onlineku datang. Ray ikut, tetapi kubiarkan saja, toh aku yakin ia pasti tak akan sampai ikut ke pulauku yang jauhnya harus menempuh dua hari lebih.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status