"Mas? Kamu menjualku atau ASIku?" ulang Malilah Malilah sekali lagi membuat Hanan langsung menatapnya dengan tatapan aneh.
"Kamu! Kamu sudah enggak waras ya! Atau jangan-jangan kamu memang sengaja berniat membeliku?" Malilah menunjuk wajah Hanan. Seketika ia lupa cara menghormati tamu.
"Aku? Membelimu? Untuk apa? Dipakai enggak bisa, dijual enggak bisa?" Hanan mengernyitkan dahi heran. Bukankah tadi Malilah sendiri yang mengiyakan? Kenapa jadi menuduh yang bukan-bukan.
"Kalian sudah sekongkol makanya dengan mudah dia mengeluarkan uangnya? Lima belas juta, setuju?" Tuding Malilah masih tak terima merasa diperjual belikan oleh dua manusia yang sama-sama egois di depannya. Ia menunjuk wajah Dimas lalu berpaling menatap Hanan masih dengan sorot curiga.
"Sekongkol bagaimana? Jelas-jelas tadi yang bicara sama dia kamu sendiri!" jawab Dimas santai.
"Licik kamu, Mas!" Dada Malilah turun naik menahan emosi. Setelah itu ia meringis karena merasakan sakit di pay*d*ranya.
Hanan berbalik dan melangkah keluar menuju mobil sambil geleng-geleng kepala, meninggalkan pasangan suami istri yang menurutnya aneh tersebut. Malilah menangis sesenggukan.
"Tega kamu Mas. Memanfaatkan keadaan!"
"Eh, Lila! Ini namanya rejeki! Aku nukang sampai babak belur dari pagi sampe sore cuma dapat seratus lima puluh ribu . Kamu cuma menyusui aja lima belas juta masa enggak mau! Bego itu namanya kalau nolak! Ingat utang! Dan ingat! Bagaimana dulu aku memungutmu jadi istri!" Jawab Dimas mencemoh. Malilah terdiam mendengar ucapan Dimas.
"Ini! Lima belas juta kubayar di depan! Bisa ikut aku sekarang? Arumi sudah menunggu," ucap Hanan sambil meletakkan amplop lumayan tebal di depan Dimas dan Malilah.
"Enggak! Aku enggak mau! Kembalikan!" Malilah merebut amplop uang dari tangan Dimas yang nampak kalap langsung menyambar amplop tersebut dan langsung ingin membuka. Malilah berusaha merebut agar bisa dikembalikan pada Hanan.
"Rejeki enggak baik ditolak, Lila! Jangan belagu kamu jadi orang! Ingat utang!"
Dimas langsung merebut kembali amplop tersebut dengan kasar, lalu menyimpannya di bawah pantat. Hanan menarik napas kesal melihat ulah Dimas dan Malilah seperti bermain drama di depannya.
"Aku sudah membayar istrimu ... maksudnya ASI dari istrimu dengan harga fantastis. Apa dia boleh kubawa sekarang? Anakku sudah menunggu!" tukas Hanan dengan nada tinggi, karena merasa sudah menunggu cukup lama dari tadi.
"Bawa aja! Tapi, aku akan menemui istriku setelah dia empat puluh hari. Kamu pahamkan, maksudku? Biasalah! laki-laki," sahut Dimas menatap Hanan sambil tertawa.
"Hem!"
Hanan hanya berdehem singkat, dan mengisyaratkan dengan mata supaya Malilah segera mengikutinya. Malilah berpura-pura tak melihat membuat Hanan menjadi gusar.
"Ayo!"
Hanan mendekat dan langsung menarik Malilah untuk berdiri. Demi mengurangi rasa sakit, Malilah langsung berdiri.
"Aku mau ambil baju-bajuku dulu!" Malilah melepas tangannya dari cengkraman Hanan.
"Aku sudah terlalu lama menunggu. Sebaiknya nanti suamimu saja yang mengantar!" tolak Hanan.
"Aman! Pergilah Malilah! Dia sudah membayarmu. Gaji pertama ini untuk melunasi utang-utang kita dulu. Aku akan mengantar pakaianmu nanti!"
Dimas nampak tak sabar ingin membuka amplop yang ia duduki. Ingin Malilah berontak lagi, tapi kondisinya tidak memungkinkan. Hati, pikiran, dan badannya masih lemah. Malilah juga ingat, bahwa wanita tidak boleh terlalu banyak bergerak setelah lahiran. Lagi pula menentang dua orang lelaki yang sama-sama tak punya hati di depannya sangatlah mustahil. Terpaksa ia pasrah mengikuti Hanan.
"Di belakang!" Perintah Hanan sambil membuka pintu depan mobil dan menghempas tubuhnya. Tanpa menjawab Malilah masuk dan menutup pintu mobil dengan membanting.
"Pelan-pelan aja. Setahuku kamu baru habis melahirkan. Kalau pintu mobilku rusak, gajimu berikutnya akan kupotong separo! Dan suamimu yang keras itu pasti akan bertanya-tanya!" Ucap Hanan sambil menyalakan mesin kendaraan mereka.
Malilah diam. Tak ingin membuat mulutnya ikutan lelah ia memilih memejamkan mata selama perjalanan menuju rumah Hanan.
***
"Sudah sampai!" ucap Hanan sambil memarkirkan mobil. Sepi. Tak ada jawaban."Ck! Malah tidur! Ngiler pula! Sampe ke baju-baju! Hew!"
Hanan bergidik jijik melihat Malilah tertidur dengan baju bagian depan sedikit basah.
Tuk! Tuk! Tuk!
"Lila! Lila! Hey! Sudah sampai," ucap Hanan sambil mengetuk kaca mobil dari luar. Dia memilih lebih dulu turun, kemudian membangunkan Malilah dari luar saja.
"Emmm .... Eh, sudah sampai?" Malilah tersentak menyadari ia hanya sendirian di dalam mobil.
Tuk!tuk!tuk!
"Turun!" Perintah Hanan sedikit keras.
Malilah langsung membuka pintu mobil."Kamu ini ternyata jorok ya! Tidur nganga, ilernya sampai tumpah-tumpah dibaju. Kalau kerja sama aku, harus bersih. Apalagi kalau menyusui anakku. Makanan, minuman, pakaian, semuanya harus bersih dan sehat!" tatar Hanan begitu Malilah turun dari mobil.
Malilah menunduk meraba baju di bagian dadanya yang basah.
"Ini bukan iler! Sembrono kalo ngomong!" Malilah bersungut kesal.
"Terus? Apa?"
"I-ni ... ini ... anu. Ah, sudahlah. Aku kesini untuk bekerja bukan buat ngobrol, kan?" ujar Malilah risih bila harus menjelaskan bahwa bajunya basah karena ASInya yang merembes sendiri.
"Benar! Sekarang aku bosmu di sini. Jadi kamu harus tunduk atas semua perintahku! Masuk dan langsung mandi!" Perintah Hanan dengan suara yang terdengar sombong di telinga Malilah.
"Oh, ya! Han ... eh, Pak!" Malilah bingung harus memanggil Hanan apa.
"Panggil aku Pak Bos!"
"Pak Bos?" ulang Malilah heran.
"Iya! Kenapa? Keberatan? Aku Bosmu kan tadi kubilang?"
Malilah menggeleng.
'Bagus! Aku meninggalkan Dimas yang gila harta di rumah untuk mengabdi dengan Hanan yang gila hormat' gerutu Malilah dalam hati.
" Pak ... eh, Pak Bos. Ta-tapi kalau aku mandi, ba-juku?"
"Ada baju Almarhum Nenekku!"
"Hah?" Langkah Malilah langsung berhenti mendengar jawaban Hanan. Membayangkan dirinya harus memakai baju jaman old. Kebaya model kuno, atau baju dengan renda mengelilingi leher.
"Masuk! Dan langsung mandi kubilang!"
"I-iya!" Malilah melangkah pelan memasuki rumah Hanan yang membuatnya berdecak kagum. Semua pekakasnya nampak mewah dan yang pasti sangat bersih, membuat Malilah bertanya-tanya dalam hati. Apa pekerjaan Hanan? Kenapa dia membayar begitu mahal? Apa dia seorang CEO seperti di cerita-cerita fiksi yang pernah ia baca?
"Sepertinya iya."
Malilah menebak-nebak sendiri dalam hati sambil melangkah.
"Ini orangnya, Han?"
Tiba-tiba seorang wanita berusia sekitar 55 tahun keluar dari sebuah kamar.
"Iya! Aruminya tidur, Ma?" tanya Hanan dengan volume selow. Beda sekali dengan caranya bicara pada Malilah.
"Iya!" Jawab wanita tersebut sambil menelisik seluruh bagian tubuh Malilah.
"Kamu yakin? Penampilannya kucel begini mau nyusuin Arumi? Kamu yakin, makanan yang dia makan sehat dan bergizi?"
"Dia akan tinggal disini. Jadi kita bisa ngawasin makanan dan minumnya." Terang Hanan.
"Anaknya gimana? Dibawa kesini juga? Suaminya juga? Tinggal di sini rombongan?" Cecar wanita yang dipanggil Mama oleh Hanan seperti khawatir.
"Ma, dia ini baru saja melahirkan dua hari yang lalu. Makanya ASInya melimpah. Bayinya tidak bisa diselamatkan, Ma! Dan suaminya tidak keberatan dia tinggal disini, nyuruh malah," terang Hanan membuat Bu Ratih heran.
"Ada suami model gitu?" Batin Bu Ratih.
" Oya, Lila, kenalin ini mamaku. Ma, ini Malilah. Panggil dia Lila." Hanan baru tersadar bahwa mereka belum saling kenal.
Malilah menyodorkan tangan pada wanita tersebut, tapi tak mendapat sambutan.
"Panggil saja saya Bu Ratih. Kamu mandi saja dulu baru menyentuh cucuku!" ucapnya sedikit melunak mendengar penjelasan Hanan, sambil berbalik masuk ke kamar menemani cucunya kembali.
"Bu ... Bu Ra-tih," panggil Malilah ragu-ragu.
"Kenapa?" Bu Ratih mengurung langkah.
"Sa-ya ... boleh pinjam ba-ju ibu?"
"Kamu? Mau tinggal di sini tapi enggak bawa baju? Aneh sekali? Enggak! Aku enggak suka bajuku dipakai oleh orang lain." Jawab Bu Ratih tegas membuat Malilah langsung menciut.
"Sudah kubilang, kamu pakai saja baju Almarhum Nenekku kalau suamimu belum datang! Selesai mandi, kamu langsung saja masuk ke kamar tadi!" ucap Hanan.
Malilah mendengkus kesal sambil mengikuti langkah Hanan yang akan menunjukkan letak kamar mandi padanya.
***
Hampir dua jam Malilah menunggu,tapi Dimas tak kunjung datang mengantarkan pakaiannya. Ia merasa risih memakai baju kebaya tempo dulu dengan bawahan sarung jarik yang dililitkan di pinggang. Gerakan Malilah sedikit susah, menyusui Arumi yang tampak begitu haus di pangkuan.Sakit yang dirasakan Malilah sedikit berkurang. Ia mengusap wajah Arumi dengan lembut, lalu menyapu air mata yang lolos begitu saja membanjiri pipi. Ada rasa nyeri dihatinya menatap Arumi yang belum genap berusia dua bulan. Nalurinya sebagai ibu yang kehilangan anak langsung tersentuh.
Malilah begitu penasaran, kemana ibu dari Arumi? Keberadaannya pun tak nampak dari tadi. Hanan dan Bu Ratih tak ada berbicara sepatah katapun soal ibu dari bayi yang dis*suinya. Tapi ia takut untuk bertanya. Nanti dikira lancang.
"Sudah tidur lagi?" Tiba-tiba suara Bu Ratih mengagetkan. Malilah mengangguk. Dengan hati-hati sekali, ia menurunkan Arumi dari pangkuan.
"Lila! Itu Dimas sudah datang!"
Hanan memanggil dari luar. Malilah langsung bergerak turun dari pembaringan dan langsung keluar. Dimas yang takjub melihat isi rumah tempat istrinya bekerja, langsung berdecak kagum.
"Lila! Kamu baik-baik kerja di sini, biar aku bisa nyusul kamu tinggal disini juga," bisik Dimas. Malilah yang masih kesal tak menjawab, langsung menarik kasar tas dari tangan suaminya.
"Kamu! Jadi, kamu suaminya Malilah? Hanan! Kenapa kamu enggak bilang, kalau begajul ini suaminya?" Suara Bu Ratih mendadak tinggi. Sementara itu wajah Dimas berubah pucat melihat Bu Ratih.
"Hanan, kamu cari Ibu ASI yang lain saja untuk Arumi. Kalian pulang saja! Aku enggak mau berurusan dengan mereka ini!" ucap Bu Ratih mengusir tanpa penjelasan.
"Kenapa, Ma? Enggak bisa dibatalkan. Aku sudah bayar dia untuk satu bulan ke depan, lima belas juta, Ma!" ucap Hanan heran.
"Lima belas juta? Ya Ampun!" Mata Bu Ratih melotot mendengar ucapan Hanan.
"Kembalikan uang anakku, dan bawa istrimu pulang!" Hardik Bu Ratih pada Dimas.
"U-uangnya su-dah ha-bis bayar utang, Bu!" jawab Dimas tergagap.
"Lima belas juta, astaga Hanaaan!" Pekik Bu Ratih lalu ambruk!
Pingsan.
Dimas sendiri mundur teratur mendekat ke arah pintu keluar, langsung tancap gas. Pulang. Meninggalkan Hanan dan Malilah yang sibuk menyadarkan Bu Ratih. Keduanya sama-sama penasaran. Ada masalah apa antara Bu Ratih dan Dimas?
"Mama! Ma!" Hanan begitu panik, menyadari Bu Ratih pingsan karena ulahnya."Malilah! Bantu angkat ke kamar! Kamu di kakinya!" perintah Hanan."Ta-pi. Pak Bos. Saya kan baru habis lahiran. Enggak boleh angkat yang berat-berat.""Ya ampun. Ya udah! Minggir. Aku angkat sendiri! Kamu ambilin air, sana!""Dimana ambilnya?""Astaga! Ya di dapur masa di WC!" Ucap Hanan langsung membopong tubuh ibunya ke kamar."Oh, air minum," gumam Malilah sambil berbalik menuju dapur. Ia heran. Kenapa rumah sebesar itu tidak ada pembantu satu pun. Cukup lama ia tengak-tengok mencari tempat gelas."Malilaaaah! Cepat airnya!" Terdengar teriakan Hanan."I-iya!"Oweeek! Oweeek! Oweek!Mendengar suara Hanan yang berada di sebelah kamar, Arumi rupanya terbangun.Malilah buru-buru
Hanan yang semula hanya mengamati dari dalam mobil langsung turun dan mendekat pada Malilah."Kenapa? Ada apa?" tanyanya sambil mengamati Malilah yang menarik rambutnya seperti orang depresi berat."Hey, kamu siapa? Kenapa kamu bisa sama Malilah? Kamu temannya Dimas ya? Dimasnya mana?"Bu Ana langsung memberondong Hanan dengan pertanyaan yang membingungkan baginya."Loh? Dimasnya enggak ada di sini?""Ditanya malah balik nanya. Gimana sih? Kamu temannya Dimas?" ulang Bu Ana."Saya Bosnya Lila!" Hanan memperkenalkan diri dengan nada yang agak sombong."Bos? Kamu kerja Malilah? Wah, Baguslah! Berarti dugaanku benar. Kamu datang untuk mengantar uang yang kuminta, kan?" Wajah Bu Ana langsung ceria."Bu! Bukannya Mas Dimas sudah membayar semuanya? Tadi dia ada kesini kan, Bu?" tanya Malilah dengan wajah kusut."Bayar apa? Enggak ada! Aku malah telpon-telpon dari tadi enggak ny
"Kenapa kamu ikut kembali? Aku sudah bilang, kembalikan saja uang anakku!" Ucap Bu Ratih dingin."Maaf Bu ... ta-pi ... uangnya, sayaa .... kami belum bertemu suami saya. Saya ... tidak tau dimana dia sekarang," sahut Malilah sambil tertunduk."Lalu, untuk apa kamu ikut Hanan kembali ke sini? Jangan bilang kamu mau meneruskan bekerja di sini?" Tebak Bu Ratih langsung.Malilah terdiam, mempertimbangkan saran Hanan sebelumnya."Tolong Ibu ... ijinkan saya untuk tetap bekerja di sini! Saya butuh pekerjaan ini!"Tanpa sadar Malilah mengucapkan kalimat tersebut sudah berbarengan dengan isak tangisnya, sembari menjatuhkan diri di hadapan Bu Ratih. Padahal Hanan tidak menyuruh Malilah untuk melakukan ketiga sarannya secara bersamaan. Tapi Malilah memilih langsung memohon.Lama Malilah terisak, tak ada jawaban. Bu Ratih tak berucap sepatah kata pun. Malilah sendiri bertekad tidak akan berdiri dan menganggkat
Setelah menyelesaikan makan, Malilah bergegas mencuci piring, sebelum Arumi terbangun.Sekilas ia melirik Hanan yang menggantikan posisinya duduk di meja makan. Hanan pun memperhatikan Malilah dengan seksama, sampai Malilah selesai mencuci piring."Kenapa?"Malilah merasa risih, saat menyadari mata Hanan masih mengawasi dirinya."Enggak apa-apa. Sebenarnya, pekerjaan dapur tidak termasuk dalam tugasmu, kamu fokus ngurus anakku saja," jawab Hanan datar."Aku sudah biasa melakukannya, ini hanya mencuci bekasku sendiri! Lagi pula Arumi masih tidur.""Oh, ya Malilah. Nanti kalau Arumi sudah bangun, sebelum mandi kamu bawa dia berjemur sebentar. Tapi .... bajumu itu loh!"Hanan menopang wajahnya dengan tangan yang ditumpukan ke meja makan."Kenapa dengan bajuku, Pak Bos? Apa ada yang robek?"Malilah berputar di depan Hanan, menoleh ke kanan dan ke kiri, meneliti setiap bagian dasternya.
"Sudah jalan-jalannya? Banyak tetangga yang liatin kamu, Gak?"Hanan menyambut Malilah masih dengan wajah masam."Ya banyak to, Pak Bos, masa enggak. Namanya juga aku orang baru di sini," jawab Malilah polos.Ckk!Hanan berdecak sebal."Udaaah? Anak cantiknya Papa udah jalan-jalan? Udah bejemur?" Hanan membungkuk sambil tersenyum berbicara pada Arumi. Arumi seperti mengerti ucapan Hanan. Bayi mungil itu menatap Papanya cukup lama."Ya udah, kamu mandiin sana!" Perintahnya masih dengan nada kesal sambil menghempas tubuhnya di kursi. Arumi mulai gelisah dan menangis kecil."Sepertinya dia haus. Kan habis jalan-jalan. Di sus*in aja dulu ya, Pak Bos?" Ucap Malilah langsung mengangkat Arumi dan membawanya duduk di kursi ruang tamu juga."E ... e ... eh! No! Mandi dulu Malilah, habis dari jalanan banyak debu."Malilah menggeleng."Dia haus Pak Bos, kasian. Kalau nunggu mandi dulu kelama
Hari Posyandu.Malilah bingung karena tak ada baju bagus. Pasti Hanan akan protes lagi dengan penampilannya. Lama Malilah mematut diri di depan cermin, menatap wajahnya dan berbicara sendiri,"Siapkan hatimu Malilah, Hanan pasti menghinamu lagi. Sabar ... sabar ... sabar ...."Malilah membalik badan menghampiri Arumi. Ia tersenyum menatap Arumi yang sudah siap dari tadi. Malilah bersyukur karena bayi mungil itu sangat pintar. Dia rewel hanya saat mengantuk dan lapar."Anak cantik, ayo kita timbang dulu," ucap Malilah sambil mengangkat tubuhnya."Bismillah!"Malilah menarik napas panjang sambil melangkahkan kaki keluar kamar. Ragu-ragu ia menghampiri Hanan yang sejak tadi menunggu mereka di ruang tamu."Kami sudah siap, Pak Bos," ucap Malilah menyiapkan telinga. Pasti Hanan menghina bajunya lagi kalau sudah menoleh."Ya sudah. Ayo!""Lah, kok tumben dia anteng?" Pikir Malilah heran. Tak menoleh pun.
Selama perjalanan pulang Hanan dan Malilah sama-sama diam. Sibuk dengan pikiran masing-masing. Malilah terlihat murung. Bohong kalau ia mengatakan bahwa perasaannya baik-baik saja. Sakit hati, kesal dan marah bercampur aduk dalam hatinya. Dimas benar-benar keterlaluan.Sedangkan Hanan yang juga masih terbawa emosi, sibuk memikirkan waktunya yang tepat, tanpa Malilah dan ibunya tahu bahwa ia mencari tahu tentang Dimas. Tak sabar ia ingin berjumpa dengan orang yang berani mencari masalah dengannya di depan umum tadi.Berkali-kali ia melirik Malilah yang jadi banyak melamun. Sedikit rasa iba di hatinya muncul, melihat wanita yang begitu tulus menyayangi buah hatinya tersebut harus menjalani hidup yang sangat rumit."Sudah sampai!" ucap Hanan beberapa sesaat setelah memarkirkan mobilnya. Malilah tak menyadari mereka telah tiba di rumah, karena pikirannya masih sibuk.Hanan kembali membantu Malilah turun dan membawa dua paper bag tadi.
"Mbak, maaf! Pernah liat orang ini enggak, disini?" tanya Hanan pada seorang wanita yang sedang menyapu halaman rumahnya. Wanita tersebut mengamati sejenak foto yang ditunjukkan Hanan, kemudian menggeleng. "Coba Mas tanya sama Bapak-Bapak yang di sana. Siapa tau teman ngumpulnya," tunjuk Wanita tersebut pada seorang lelaki yang sedang bercengkrama dengan burung peliharaanya. Setelah mengucapkan terima kasih, Hanan beralih menghampiri Bapak tersebut. "Pak, Maaf. Pernah liat orang ini enggak di sekitar sini?" Bapak tersebut mengamati foto dengan seksama, kemudian menatap Hanan lekat-lekat. "Ada perlu apa?" tanyanya menyelidik. "Oh, itu. Sudah hampir sebulan enggak pulang. Ibunya di rumah sendiri dan sedang sakit. Saya tetangganya," jawab Hanan berbohong dan memilih Bu Ana jadi objeknya. "Aku sih, sering liat. Kalau malam lewat ke arah sana. Entah kumpulan di pos atau ke komplek, aku enggak tahu," jawab Bap