Melihat ekspresi Maureen, Natan tahu Maureen tidak senang dengan ucapannya.“Maaf, aku ga enak nih, tanya kayak gitu,” kata Natan. Tatapan aneh Maureen membuat Natan sadar, dia salah bicara. “Sampai sekarang papa ga pernah bicara soal nikah. Lagian aku ga mau la, punya ibu tiri,” ujar Maureen tegas. Natan tersenyum melihat Maureen manyun. Tapi dia bisa paham mengapa Maureen berpikiran seperti itu. Natan akan ingat baik-baik, Maureen cukup sensitif bicara soal ini. Lebih baik dia tidak mengungkit mengenai ini lagi. "Sorry, Reen. Really sorry," ucap Natan."Dahlah, ga apa-apa." Maureen melempar senyum tapi terlihat kecut.Mereka melanjutkan mengerjakan PR. Lumayan, Natan datang membuat dia lebih semangat belajar. Waktu berlalu, hingga jam lima sore, Yerry dan Natan pulang. ***** Semenjak pembicaraan di teras samping dengan Natan, pikiran Maureen jadi sering tertuju pada papanya. Apa benar papa tidak ingin menikah? Memang papa tidak muda banget, tapi papa masih belum tua juga. Misal
Reggy menoleh pada Resita, tidak memperhatikan yang Maureen katakan. "Kak Reggy!? Dengar aku, kan?" Lagi teriakan Maureen terdengar. "Ya, oke. Kirim saja list-nya. Aku pulang sekalian belanjain," jawab Reggy. "Makasih, Kakakku yang paling baik. Aku tunggu ya ... Ga pakai lama!" Klik. Panggilan Maureen selesai. Resita masih memandang Reggy. Serius, gadis itu merasa lucu dengan kejadian barusan. "Nama kamu bukannya Ardani?" tanya Resita. "Reggy panggilanku di rumah. Sorry, adikku memang cerewet." Reggy melepas senyum tipis. "Seru kedengarannya. Aku malah ga punya adik," ujar Resita. "Oh ... anak tunggal?" tanya Reggy sambil menyimpan ponsel di tasnya. Dia bersiap akan pulang. "Ada kakak laki-laki. Tapi kakak angkat." Resita menjawab sambil ikut merapikan tasnya. "I see ..." Reggy mengangguk. "Baiklah, aku harus pulang juga. Sampai besok, Re ... ah, ga apa-apa aku panggil Reggy?" "Ya, tentu." Reggy kembali tersenyum.Mereka berpisah di tempat parkir. Masing-masing dengan moto
Kembali ke sekolah, Reggy dan Resita mendapat sambutan heboh dari teman-teman. Mereka berhasil menjuarai lomba puisi se-kota. Tentu saja semua bangga, karena piala kemenangan diboyong ke sekolah oleh keduanya. Reggy di tempat pertama dan Resita menyusul di nomor kedua. Senyum lebar Resita yang hampir tidak hilang dari bibirnya yang indah, makin membuat hati Reggy bergelut dengan rasa yang dia yakin, itu adalah cinta. Sampai di detik terakhir Reggy harus meninggalkan sekolah, dia masih melihat senyum Resita sembari gadis itu melambai ke arahnya, lalu mereka berpisah. "Kapan bisa duduk berdua ngobrol lagi, Re? Lomba selesai, urusan kita juga selesai." Reggy merasa sedikit melow memikirkan itu. "Hebat!! Kakakku kerennn!!" Maureen melompat-lompat girang menyambut Reggy pulang. Tentu saja, kabar kemenangan Reggy sudah beredar di sosmed dan sampai kepada adik-adiknya. Maureen langsung beraksi begitu Reggy sampai di rumah. Dia peluk Reggy erat, dia goyang-goyang, sampai berputar-putar kar
"Sore, Reen!" Gio masuk ruang makan. Hampir setengah enam sore. Pada jam itu memang biasanya Gio sampai rumah. "Sore, Pa," balas Maureen datar. Dia menuangkan susu hangat buat papanya. "Thank you, Sayang." Gio mendekat dan mencium kening Maureen. Maureen diam tidak bereaksi. Tanpa berkata apa-apa dia masuk ke kamar. Masih jengkel ingat waktu di mal melihat Gio bersama wanita muda. Kenapa papanya begitu? Rasanya hancur hati Maureen. Padahal selama ini dia sangat bangga pada sang ayah. Papa seorang pria penyayang dan setia. Bagaimana dia bsa tega seperti itu? Apa papa mulai lupa dengan mama? Pasti wanita itu memang mata duitan. Apa dia tidak bisa melihat Gio Hendrick sudah bapak-bapak? Secara wanita itu masih muda. Usianya, Maureen yakin tidak beda jauh dari Reggy. Wanita itu masih pantas disebut seumuran anak papa. Apa semua laki-laki memang begitu? Tidak bisa setia. Mama pasti sedih melihat situasi ini. Papa tidak punya perasaan. Maureen tidak menyangka papanya sendiri bisa berbu
"Nina?" Maureen makin penasaran. Matanya menatap papanya dengan aneh."Nanti kamu tahu." Gio tersenyum manis lalu beranjak ke kamarnya."Kak, lanjutin masaknya, ya. Tinggal angkat ikannya terus selesai. Aku bikin minuman dulu," kata Maureen pada Felipe. Dia menekan rasa kesal yang mulai merayap cepat di dadanya."Siap," sahut Felipe.Maureen membuat es jeruk dan membawanya ke ruang tamu. Maureen memperhatikan wanita muda yang duduk di sana. Ya, ini wanita yang berdua dengan papa di food court siang itu. Cantik dengan rambut berombak sebahu. Wajahnya lembut. Maureen tidak akan lupa.Maureen menaruh gelas di meja. Gadis cantik itu tersenyum ramah ke arah Maureen."Terima kasih," ucap wanita itu. Suaranya lembut terdengar.Tidak salah lagi. Wanita ini yang memang sedang dekat papanya."Kamu pasti Maureen, ya?" ujarnya wanita itu. Suara lembut, tatapan ramah, masih tertuju pada Maureen."Nama kamu Paulina, kan?" Maureen berkata dengan sinis. Dia membalas sikap ramah tamu papanya dengan di
Dengan senyum lebar, Veronica masuk ke gedung di depannya. Untuk kesekian kali, Veronica melangkahkan kakinya di sana. Jika yang lalu, dia sedang berjuang menaklukkan hati CEO dingin untuk menerima tawaran kerja sama, kali ini, Veronica datang dengan kabar gembira. Dia yakin CEO itu akan tersenyum, tidak memandang dengan wajah datar dan dingin. Veronica bicara pada resepsionis, meminta waktu bertemu CEO sebentar. Dan, sangat normatif, Veronica ditanya apakah sudah ada janji. Veronica sedikit kesal, kenapa seketat itu aturan perkantoran. Tetapi tetap dia menjawab dengan senyum yang ramah, agar bisa meluluhkan hati pegawai manis itu dan menolongnya bertemu sang CEO Sedingin Kulkas. “Terima kasih,” ucap Veronica lega, saat resepsionis itu akhirnya mau menghubungi kantor Gio. Veronica duduk di lobi menunggu. “Bu, Pak Gio akan turun sebentar lagi,” kata resepsionis manis itu. “Oh? Terima kasih.” Veronica cukup kaget. Jawaban yang menyenangkan. Hari ini memang hari baik untuknya. Hati
"Tidak mengecewakan. Beberapa hari distro buka, lumayan yang berkunjung. Apalagi dengan menggunakan media sosial untuk mengenalkan distro, menolong sekali orang mengenal A&L." Veronica berbicara di telpon dengan sahabatnya.Cukup sering Veronica berkomunikasi dengan sahabatnya untuk menumpahkan apa yang dia rasa dan alami. Dengan orang tuanya juga tidak jarang Veronica berkirim kabar, tetapi tetap lebih terasa free mengungkap semua yang dia rasa jika pada sahabat."Great job, Ve. Aku senang kamu begitu bersemangat. Boleh aku bilang sahabat cantikku telah lahir kembali?" Kalimat itu tak Veronica kira akan dia dengar."Ahh, kamu membuat aku meleleh, Lady." Veronica terharu mendengar itu."Teruslah begini. Aku tahu kamu akan jadi seseorang yang hebat. Proud of you, really." Lady membuat hati Veronica makin bergairah.Gairah untuk menata hidup dan memulai masa depan yang baik, yang Veronica tidak pernah yakin akan indah setelah dia kehilangan suami dan anaknya."Thank you for always suppor
Gio masih terdiam di tempatnya. Kalimat terakhir yang Ranintya ucapkan terngiang kuat di telinga pria itu. Apa memang benar yang Ranintya katakan? Gio melukai hati wanita hanya karena menolak pemberiannya?"Kalian saja yang terlalu sensitif." Gio bicara lirih.Lalu tangan Gio terulur ke arah kotak di meja. Dia menarik kotak itu mendekat. Kotak yang manis. Berwarna hitam dengan pita emas menghiasinya. Ada kartu kecil terpasang di pojok kiri atas.'A little gift. Nothing can say, but thank you'Tulisan tangan ditorehkan dengan tinta emas tertulis di sana. Rapi. Tulisan tangan Veronica enak dilihat. Gio membuka pita emas yang membalut kotak itu. Dia lanjutkan membuka penutup kotak dan melihat isinya. Aroma wangi dan manis segera merebak ke penciuman Gio."Bolen pisang?" Gio tidak mengira isi kotak itu adalah bolen pisang, salah satu makanan khas Bandung.Gio mengangkat kotak itu, mencium lebih kuat aroma dari makanan yang ada di depannya."Ini Veronica membuatnya sendiri?" tanya Gio.Tam